Bella menatap heran kerumunan murid cewek yang berdiri di depan kelasnya. Ada kejadian apa pagi-pagi begini yang membuat kelasnya ramai? Tumben sekali."Bell, gawat." Bella menoleh pada Sita dengan kening mengerut. "Gawat kenapa? Ini kenapa kelas kita jadi banyak orang?""Mantan lo.""Alan? Kenapa?""Dia pindah ke sekolah kita."Bella terkejut. Alan pindah ke sekolahnya? Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Dan lebih parahnya lagi dia pindah ke kelas kita."Kaki Bella seketika lemas. Bella tahu kalau Alan memang nekat, tapi Bella tidak tahu kalau Bella senekat ini hingga harus pindah ke sekolahnya, bahkan sekelas dengannya. "Gue udah duga dia pasti bakal rencanain sesuatu, tapi gue gak nyangka sama rencananya."Sita mengusap pundak Bella. "Lo tenang dulu, ya, Bell. Pokoknya kita harus cari cara biar dia gak betah di sekolah ini."***"Yan, kayaknya lo bakal ada saingan."Vian mengernyitkan keningnya. "Saingan? Saingan apa?""Saingan cowok ganteng. Ada murid pindahan cowok. Pindah k
Baron mengepalkan tangannya. "Jadi dia pindah ke sekolah lo?"Bella mengangguk.Sepulang sekolah tadi Bella langsung memberitahu Baron. Karena dia tidak bisa menyimpan hal tersebut dari Baron. Kecuali dari kedua orangtuanya karena Bella tidak mau mereka ikut khawatir padanya. "Apa gue harus ke sekolah lo tiap hari buat ngawasin dia?"Bella menggeleng. "Gak usah, kak. Urus aja kuliah lo. Gue bisa urus dia sendiri.""Kalian lagi ngobrolin apa sih? Kok keliatannya serius banget?" Lani menghampiri mereka."Ini ma, masa kak Baron minta aku buat kenalin dia sama teman sekolah aku.""Kuliah aja belum benar udah ngurus cewek."Baron menatap Bella tidak terima. Baron tahu Bella berbohong agar mama mereka tidak curiga, tapi jangan menjatuhkan dia juga."Oh iya, Bell, Alan ada hubungi kamu gak?" Lani bertanya."Enggak kok, ma. Emangnya kenapa?" Bella berbohong."Cuma nanya doang. Mama gak mau dia ganggu kamu lagi.""Mama tenang aja. Dia gak bakal hubungi aku kok. Aku kan udah ganti nomor.""Syu
"Bell." Bella yang baru saja tiba di kelas menghela napas karena Alan langsung menghampirinya.Bella memilih keluar kelas. Alan pun mengikutinya. "Aku liat kemarin kamu sama Vian lagi makan nasi goreng bareng. Kalian beneran pacaran?"Bella menatap Alan malas. "Terus lo pikir gue bohong?""Ya aku gak percaya lah. Aku yakin kalau kamu masih punya perasaan buat aku.""Gak usah kepedean jadi orang!" sahut Sita yang baru saja tiba."Lo pikir karena lo ganteng jadi Bella masih suka sama lo gitu? Dengar ya, mau lo ganteng atau apapun kalau udah selingkuh lo bakal dibenci. Cuma orang gak punya akal yang masih mau nerima lo." Sita menarik lengan Bella. "Ayo Bell, masuk kelas. Gue mau minta tugas Kimia lo."***"Yan, daripada lo sama Bella pacaran bohongan kenapa gak beneran aja? Biar tuh anak baru lebih percaya gitu," kata Beno."Gue jelas mau beneran, tapi Bella gak mau gimana? Gue gak bisa maksa dia juga, kan. Gue cuma bantuin dia.""Ya udah, minta imbalan jadi pacar beneran aja. Kan lo ud
"Siapa yang mau datang sih, pa, ma? Tamu penting, ya?" Vian bertanya karena kedua orangtuanya tampak sibuk menyiapkan makan malam. Padahal biasanya di jam tujuh malam begini kedua orangtuanya masih berada di kantor. "Teman lama papa."Tak lama kemudian mereka mendengar bel rumah berbunyi. "Vian, tolong bukain pintu. Kayaknya tamunya udah datang," ujar Tari."Iya ma."Vian segera pergi membuka pintu. "Loh? Om, tante?" Vian terkejut karena yang datang adalah Ardi dan Lani.Keduanya tersenyum. Vian segera mencium tangan mereka."Silakan masuk om, tan.""Iya, Baron sama Bella masih di luar. Bentar lagi mereka masuk. Maklum masih berantem.""Iya tan."Beberapa menit kemudian Baron dan Bella muncul. Keduanya tampak sedang berdebat.Vian yang melihat mereka berdua hanya tersenyum. "Gak capek berdebat mulu?"Keduanya terdiam lalu menoleh pada Vian."Yan." Baron berhigh five dengan Vian. Terlihat senang. Sedangkan Bella sebaliknya. Seperti biasa dengan ekspresi datarnya."Ayo masuk dulu."
“Lo ingat gue?”Vian mengerutkan keningnya. “Maksudnya?”“Lo ingat pernah ketemu gue sebelumnya?” Kali ini Bella memperjelas pertanyaannya.“Oh, ingat dong.”“Kapan?”“Waktu di Surabaya terus gue balikin dompet lo yang jatuh, kan?”Bella hanya mengangguk. Tadinya Bella pikir Vian mengingatnya kalau dia pernah menolongnya, ternyata tidak. Mungkin Vian sudah lupa. Apalagi kejadian tersebut sudah cukup lama.“Thanks.” Walaupun Vian tidak mengingatnya, Bella tetap mengucapkan terima kasih. Karena Bella sudah berjanji pada dirinya sendiri akan berterima kasih langsung padanya.“Kok tiba-tiba bilang makasih?”“Makasih udah nolongin gue.”“Maksud lo karena gue bantuin lo jadi pacar pura-pura? Kalau soal itu aman.”Bella hanya diam. Sebenarnya Bella ingin memberitahu Vian kalau dia pernah membantu Bella jauh sebelum membantunya menjadi pacar pura-pura demi Alan. Tapi karena Vian sama sekali tidak ingat, Bella mengurungkan niatnya. Kalau Bella memberitahu dan Vian juga masih tidak ingat yang a
“Ada apa Yan?” Sani bertanya karena Vian ingin berbicara dengannya.Saat ini mereka sedang berada di sebuah cafe dekat sekolah mereka. Saat pelajaran berakhir tadi, Vian langsung pergi ke kelas Sani dan mengajaknya ke sini.“Gue dengar lo kasih coklat ke Bella atas nama Alan padahal dia gak ada nyuruh lo lakuin itu. Bener?”Sani agak terkejut karena Vian rupanya mengetahui hal tersebut. “Lo tahu darimana?”“Gue gak sengaja dengar waktu lo lagi ngomong sama Alan. Katanya lo sengaja ngelakuin itu karena mau bantuin Alan biar bisa balikan sama Bella. Bisa lo jelasin? Atau gue yang salah paham?” Vian berbohong karena tidak mungkin dia memberitahu kalau Beno yang sebenarnya mendengar pembicaraan Sani dan Alan. Yang ada Sani malah marah pada Beno.“Ini lo beneran ngajak gue ke cafe cuma mau bahas hal gak penting kayak gini?”“Mungkin bagi lo gak penting, tapi bagi gue penting. Lo juga tahu kan kalau gue suka sama Bella, tapi lo malah mau dukung Alan yang jelas-jelas Bella benci.”“Gue tahu
"Guys!" Beno, Regan, dan Sani yang sedang mengobrol meoleh pada Vian."Em, Ben, Gan, gue balik ke kelas dulu, ya." Sani pamit lalu pergi tanpa menatap Vian.Vian pun mengambil duduk di samping Regan."Lo sama Sani berantem?" Regan menyadari sikap Sani yang menghindar ketika Vian datang."Sani marah sama gue setelah gue nanya yang kemarin Beno ngomong.""Berarti salah Beno.""Loh? Kok malah gue?""Iya lah kalau lo gak ngomong Vian gak bakal berantem sama Sani.""Ya udah deh gue salah. Gak bakal lagi gue bilang ke kalian kalau ada info penting. Biar gue gak disalahin.""Lo gak salah kok, Ben. Ini cuma salah paham. Sani bilang gue berubah semenjak gue suka sama Bella dan dia gak suka itu. Emang gue berubah, ya?"Regan menggeleng. "Menurut gue enggak sih. Lo masih sama kok. Mungkin Sani cuma ngerasa lo udah gak terlalu seperhatian dulu sama dia. Ya namanya juga cewek jadi lumayan sensitif.""Hm, kalau pendapat gue sih dari dulu gak berubah, ya. Gue mikirnya Sani cemburu karena dia suka sa
Vian mengetuk pintu rumah Bella. Tak lama kemudian pintu terbuka.“Masuk Yan, Bella udah nunggu.” Baron mempersilakan Vian masuk.“Bella udah nunggu daritadi ya, bang?” tanya Vian.“Lumayan sih. Dia sampe ketiduran, tapi gak papa. Lo gak usah takut.”Vian jadi merasa bersalah karena sudah membuat Bella menunggu. Bella tadi menyuruhnya untuk datang jam setengah lima sore dan sekarang sudah jam enam. Pasti Bella akan marah. Vian terlambat karena dia masih harus menyelesaikan soal yang kemarin diberikan Bella. Semalam Vian sudah mengerjakan, tapi tidak selesai karena dia ketiduran. Ditambah Vian cukup kesusahan dengan beberapa soal karena belum diajari oleh Bella.“Bell. Bella.” Baron menepuk pelan pipi Bella mencoba membangunkannya.Bella perlahan membuka matanya. “Kenapa sih?”“Vian udah datang.” Bella mengubah posisinya menjadi duduk. “Gue tinggal, ya. Mau nonton footsal,” ucap Baron lalu pergi.Vian masih diam menatap Bella yang sepertinya masih mengumpulkan kesadarannya setelah ba