******
Gema menekan kode apartementnya lalu memasuki ruangan tersebut. Netranya memandang nanar keseluruh apartemen yang hanya dihuni oleh dirinya saja.
Sepi dan hampa. Itulah yang suasana yang selalu dia rasakan dua tahun terakhir. Atau lebih tepatnya sedari ia kecil?
Dulu saat dia berusia sembilan tahun, dia dibawa neneknya ke kota Los Angeles, California. Untuk menyusul kakeknya disana, nenek Gema sangat menyayangi Gema, bahkan saat ayah dan ibunya membenci dan menjauhi Gema karena suatu hal yang menurut mereka adalah salah Gema dahulu membuat ibunya hampir kehilangan nyawanya.
Ibunya masih hidup, namun dengan kondisi kakinya tidak bisa berjalan kembali seperti sebelumnya. Ingatannya kembali pada kejadian bertahun tahun lalu saat ia masih berumur tujuh tahun.
*****
10 Tahun yang lalu....
Terlihat dua anak kembar yang sedang keluar dari sebuah mall dengan digandeng wanita paruh baya yang masih terlihat muda. Yang satu sangat ceria dengan memakan eskrim ditangan kanannya, yang satunya pendiam. Dia hanya mengikuti langkah kaki ibunya sambil memegang sebuah robot Transformers di tangannya.
Gara, si anak yang ceria. Melompat lompat sambil menunjuk penjual gula - gula kapas yang berada seberang jalan. "Ma,pengen ituuu, " ucapnya sambil menggoyang goyangkan tangan ibunya.
"Bentar ya, sayang," ujar ibunya sembari menengok kanan kiri. Tiba - tiba Gara berlari menyebrang jalan bersamaan dengan sebuah truk akan melintas.
"Garaa!!!" Sontak ibunya berlari mengejar Gara yang sudah berada ditengah jalan hingga truk tersebut menabrak mereka berdua. Gema tercenggang, dia kaku ditempat seolah rohnya menghilang dari tubuhnya saat itu juga. Robot yang sedari tadi dipegangnya jatuh dijalan, dia berlari menerobos gerombolan orang yang mengerubungi dua tubuh yang penuh dengan noda darah tersebut. Jantungnya berdegup dengan ritme lebih cepat dari biasanya.
"Mama..." lirihnya, lalu menangis kejar sambil menggoyang - goyangkan tubuh wanita itu.
Tak butuh waktu lama, Ambulance datang dan petugas kesehatan membawa ibunya dan Gara kedalam mobil Ambulance sedangkan dia juga disuruh naik mobil tersebut.
Setibanya dirumah sakit, dia duduk di kursi depan UGD. Menunggu ibunya dan Gara di tangani dokter. Ia masih menangis mengingat kejadian tadi. Hingga kehadiran ayahnya disampingnya menyadarkannya.
"Kamu buat kekacauan apalagi, hah?!" Sentak ayahnya sambil meremas kuat pundak Gema. Anak itu menatap wajah ayahnya dengan mata yang berkaca - kaca.
"Bu-bukan.... Ge—," Perkataannya terpotong kala pintu ruangan tempat ibunya dan Gara dirawat terbuka dan dokter keluar dari sana. Dengan cepat ayahnya menghadang dokter tersebut. Gema memejamkan matanya takut. Takut jika ayahnya memarahinya dan menyalahkannya lagi.
"Gimana keadaan istri dan anak saya, dok?" tanyanya panik.
"Keluarganya pasien?" Ronald—ayahnya Gema mengangguk cepat.
"Anak anda tidak terluka parah, sekarang dia bahkan sudah sadar. Tapi untuk istri anda bisakah anda mengikuti saya sebentar?"
Ayahnya dan dokter itu berajak dari depan ruangan tersebut menyisakan Gema dengan mata sembabnya disana. Gema kecil perlahan mengintip dari kaca jendela, dan tatapannya bertemu dengan mata Gara yang sedang memandangnya juga. Entah ini hanya perasaan Gema saja tapi dia merasa seperti ada maksud lain dari tatapan saudara kembarnya itu.
Hingga ayahnya kembali dari ruangan dokter tersebut dia menatap Ronald tapi Ronald justru malah menatapnya tajam seolah akan memangsanya detik itu juga. Dia masih memandang ayahnya sampai beliau memasuki ruangan UGD.
Tanpa Gema sadar, tatapan itulah yang seakan membunuhnya secara perlahan hingga dia tumbuh dewasa seperti saat ini. Melihat ibunya bangun dari koma dan syok mengetahui bahwa kakinya tidak bisa berjalan seperti dahulu membuat Gema ingin berlari kearah wanita yang melahirkannya tersebut dan memeluknya.
Pertanyaan Gema dari dulu sangat banyak hingga ia bingung arah hidupnya ini mau dibawa kemana. Kenapa harus dia yang dijauhkan? Kenapa dia yang harus dibenci untuk hal yang bahkan tidak pernah dia lakukan? Kenapa mereka hanya bisa menyimpulkan menurut opini mereka saja? Kenapa dia tidak pernah diizinkan untuk membela diri? Mereka pikir dia bukan manusia? Gema juga merasakan sakit. Kalau tidak menginginkan dia ada mengapa harus dilahirkan? Jikalau Gema bisa memilih, dari awal Gema tidak mau lahir dari keluarga itu. Sampai sekarang Gema tidak tahu apa penyebab ayahnya sangat membencinya.
Alasan Gema memilih tinggal di apartemen, karena dia tidak mau lagi melihat keluarganya yang bahkan tidak menganggapnya bahwa dia juga bagian dari mereka, lagi. Gema lelah, sedari kecil hanya dikucilkan. Rela dipukuli hanya untuk melindungi kesalahan Gara. Hingga karena dia terlalu banyak diam dan bertaruh, ayahnya jadi selalu menyalahkannya untuk setiap hal yang bukan kesalahannya. Gema bukan hanya dijauhi setelah kecelakaan ibunya, tapi juga sebelum itu. Yang hanya diperdulikan ayah dan ibunya hanyalah Gara dan Gara, Gema dituntut selalu mengalah dengan alasan dia seorang kakak dan seorang kakak harus mengalah demi adiknya. Tapi, apa itu tidak berlebihan?
Kamu tau yang lebih hal yang lebih menyakitkan dari pada broken home? Jawabannya adalah, keluarga yang utuh dan bahagia, tapi kamu tidak dianggap ada disana. Saat kamu hanya bisa diam di kamar saat mendengar setiap tawa yang keluar dari bibir keluargamu, tanpa memikirkan ada anak yang berusaha menutup telinganya rapat - rapat kalaumendengar tawa bahagia itu keluar. Terkadang tanpa kamu sadar, disela sela bahagiamu ada orang yang sedang berkorban untuk itu, ada orang yang berusaha menahan diri untuk tidak menghampirimu walaupun dia merasa punya hak, dan ada orang yang hanya bisa menatap kamu bahagia sembari berharap dia-pun akan mendapatkan kebahagiaan yang sama seperti yang kamu dapatkan.
Definisi bahagia itu seperti apa, sih? Kenapa Gema tidak pernah merasakannya barang hanya sekali? Dia juga ingin, saat mendapatkan prestasi dihadiri oleh orang tuanya. Saat sedang berlomba mereka tersenyum hangat sambil menyemangati dia. Menyiapkan sarapan dan makan siang bersama, Gema ingin tahu rasanya saat orang tuanya mengucapkan kata bangga kepadanya. Tapi itu sepertinya hanya sekedar mimpinya saja.
Karena melihat dia diperlakukan tidak adil di rumah itu, neneknya membawanya pindah kerumah beliau. Nenek Gema meninggal saat Gema mendekati kelulusan Sekolah Menengah Pertama. Oleh sebab itu dia pindah ke Indonesia lagi, Sebenarnya kakeknya memaksanya untuk tetap di California, tapi Gema menolak. Dengan menjanjikan dia akan kembali kesana saat sudah lulus SMA, jadi kakeknya menyetujui. Dia bahkan disuruh mengelola sebuah cafe milik kakeknya disini, oleh karena itu dia dihadiahi apartemen untuk bayarannya karena telah bersedia mengelola cafe tersebut.
Ting!
Gema merogoh saku hoodienya dan mengambil ponselnya. Melihat notifikasi dari seseorang yang sama sekali tidak mau dia temui.
+6285xxxxxxxxx
Bang, dicariin Mama.
********
Luna menatap Manda penuh selidik. Ia khawatir dengan sahabatnya ini, tadi dia melihat Manda pulang diantar oleh Gara.
Bagaimana tidak khawatir? Manda itu tidak pernah diantar oleh laki laki sebelumnya bahkan dekat saja tidak pernah.
"Kenapa lo lihat lihat gue sampai segitunya?"
"Man, lo nggak sakit kan?"
"Hah?"
"Tumben tadi mau dianter sama cowok. Mana Gara lagi, Apa jangan jangan lo diancam,ya? makanya lo mau, mukanya dia kan seram," tuding Luna bertubi tubi.
"Terpaksa. Lagian tadi tuh nggak ada angkutan umum yang lewat, mana taksi online gue dicancel lagi. Pas banget Gara nawarin buat pulang bareng jadi gue ikut aja." Manda berbohong lagi, Sebenarnya dia ingin memberitahu Luna tentang ini, tapi karena dahulu Luna juga berada di luar negeri, jadi komunikasinya terbatas. Lagipula, kalau Luna tahu pasti dia akan heboh sendiri, mulutnya dia itu seperti ember bocor.
"Tapi, ya, Man, gue setuju, nih, kalo lo sama Gara. Walau mukanya sadis,tapi ganteng tau, Man. Mana ada cewek yang bisa nolak pesonanya Gema."
"Apa, sih, Lun. Tadi itu gue latihan buat pensi tahun ini, kan gue sama Gara kepilih buat nyanyi bareng.
"Whattt? Serius lo? Demi apa?"
"Demi lo jadian sama Devan," jawab Manda santai. Mata Luna melotot sempurna.
"Sembarangan lo! Sampai ada perkawinan silang antara kucing sama tikus pun gue nggak akan jadian sama manusia setengah simpanse kayak dia!"
Lihat kan? Luna sama Gema itu tidak pernah akur. Kalau hadap - hadapan pasti seperti ada bara api menyala nyala di mata mereka berdua.
"Awas lo jilat ludah sendiri," ujar Manda meledek Luna. Lalu mengambil handuknya dan berlari menuju kamar mandi kamarnya, takut mendapat amukan Luna.
"Sialan lo Man!" umpat Luna kesal.
"Kenapa sih lun? Marah marah mulu lo. Suara lo kedengaran sampe bawah tau nggak," ujar seorang cowok yang sedang bersender di pintu kamar Manda yang terbuka, sambil memakan camilan di tangannya. Sontak Luna mengalihkan tatapannya kearah ambang pintu.
"Ish, lo lagi lo lagi! Kenapa sih lo itu selalu muncul di manapun gue berada," Luna yang sedang kesal pun bertambah kesal karena keberadaan Devan di rumah Manda kini.
"Jodoh kali kita," ucap Devan sambil menaik turunkan alisnya menggoda.
"Ih, amit - amit gue jodoh sama lo," sinis Luna.
"Apalagi gue, hah?"
"Eh, ada Luna, kapan kamu pulang dari London?" ujar seorang wanita paruh baya tiba tiba memotong perdebatan panjang mereka. Luna pun menghampiri wanita tersebut lalu menyalimi tangannya sopan.
"Kemarin, tante," ucapnya seraya tersenyum.
"Di depan Tante Rima aja ramah lo, bareng sama gue aja ngajak berantem terus bawaannya," Sinis Devan yang berada disamping Rima, Mamanya Manda.
"Diem lo," sinis Luna.
"Sudah - sudah, kalian ini berantem terus. Nggak bosen apa?" ucap wanita itu sambil menggeleng - geleng kan kepalanya heran sendiri melihat tingkah dua remaja itu.
"Ini Manda nya kemana?"
"Eh, itu ,Tan, Manda lagi mandi baru pulang dia."
"Mama," ucap Manda yang keluar dari kamar setelah selesai mandi terkejut ketika mendapati Mamanya yang sudah ada di rumah. Karena dari dua bulan yang lalu Mamanya pergi keluar negeri untuk urusan bisnis. Mamanya mengurus Manda sendirian, dikarenakan Ayah nya telah meninggal saat umur Manda masih 9 tahun.
Manda menghampiri mamanya lalu memeluknya erat erat.
"Manda kangen,Ma," ucapnya.
"Iya sayang Mama juga kangen kamu."
"Van, kok lo disini?" tanya Manda.
"Itu, tadi disuruh jemput nyokap lo di bandara sekalian nganter kerumah."
"Mama kok nggak bilang Manda aja,sih, kan Manda bisa jemput."
"Mama tau kamu pasti sibuk sama urusan kamu,orang jam segini aja baru sampai rumah."
"Eh makan yuk. Tadi tante sama Devan mampir di restoran beli makanan loh."
Mereka menganggukkan kepalanya kompak,lalu turun untuk makan bersama.
******
Keesokan harinya, Manda pergi ke sekolah diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia berjalan menyusuri lorong sekolah menuju kelasnya. Dengan earphone bertengger di kedua telinganya.
Karena terlalu menikmati lagu, Manda sampai memejamkan matanya sampai akan menaiki tangga pertama menuju lantai dua. Tak sengaja kakinya menyandung ujung tangga hingga membuatnya hampir terjatuh jika seseorang yang berada dibelakangnya tidak memegang tangannya.
Manda tertegun sejenak melihat sepasang netra hitam legam yang kini menatapnya. Lalu detik berikutnya dia kembali berdiri tegak. "Sorry, nggak sengaja, " ucapnya.
Lelaki yang berseragam sama itu memasukkan tangannya kedalam saku celana. "Lain kali, hati - hati, " balasnya lalu berlalu dari sana.
Manda bingung. "Bukannya itu cowok kemarin? Kok cuek? Perasaan kemarin ramah banget, deh. Apa dendam ke gue gara - gara kemarin gue cuekin, ya?"
Dia mengedikkan bahunya tak peduli lalu melanjutkan langkah menuju ruang kelasnya.
Manda mendudukkan dirinya kursi, tak sengaja matanya melihat sesuatu di kolong mejanya. Karena penasaran, ia mengambilnya dan ternyata itu adalah sebungkus roti dengan note yang ditempel diatasnya. Ia membukanya lalu membacanya.
Jangan lupa makan, gue tau lo belum makan.
—G.R.F.
Manda mengerutkan dahinya bingung membaca itu. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar ruang kelasnya yang masih kosong karena masih terlalu pagi. Ah sudahlah, dia tak peduli siapa yang menaruhnya disini, Toh, dia juga lapar sebab tak sempat makan apapun tadi.
Ia membuka pembungkus roti tersebut lalu memakannya sambil membaca ulang materi yang ia pelajari tadi malam, hari ini ada ulangan Fisika oleh karena itu ia memilih berangkat pagi.
Sedang dibalik jendela kelas Manda ada yang mengamati gadis itu lamat lamat lalu senyuman tipis terlukis di bibirnya. Seseorang tersebut lalu berbalik arah meninggalkan kelas Manda karena keadaan sekolah mulai ramai.
***
Ulangan Fisika sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Tapi justru Manda malah di sumpah serapahi seisi kelas XI MIPA-1 ini.
"Man, lo parah banget tau nggak. Masa di panggil panggil dari tadi nggak,noleh noleh, sih. Padahal tadi kesempatan banget Bu Vina keluar. Ya, walaupun gak ada tiga menit," Bahkan saat ini Luna pun ikut memojokkannya.
"Tau, ih, si Manda. Telinganya yang semula normal juga jadi budek pas ulangan," ujar salah seorang cowok di kelasnya.
"Lagian Bu Vina ketat banget tuh sampek nggak bisa nyontek gue. Jadi merah,kan, nilai gue," celetuk seorang siswi yang paling menor di kelas tersebut.
"Ya, bagus, lah, walaupun nilai lo merah seenggaknya itu hasil lo sendiri nggak dengan nyontek. Nilai bagus hasil orang aja lo banggain," balas Manda dengan tenang tapi mampu membuat seisi kelas bungkam.
Tak lama setelah itu, Bel istirahat berbunyi. Membuat para siswa dan siswi berjalan menuju kantin. Manda menatap Luna yang saat ini sedang memandangi hasil ulangan Fisika nya tadi.
"Jangan salahin gue ,ya, tadi malem kan udah gue ajarin. Masa, cepet banget lupanya," ucap Manda. Sebenarnya nilai Luna juga tidak jelek - jelek sekali, cuma pas KKM jadi Luna agak kecewa. Dari dulu ia memang paling lemah dalam pelajaran Fisika.
"Huft, udahlah yang penting gue nggak remidi. Kantin, yuk!" ujar nya lalu menarik tangan Manda menuju kantin sekolah.
Saat sampai kantin, semua kursi sudah penuh. Hanya tersisa kursi ditempat Devan duduk yang masih kosong.
"Kok penuh semua sih," ujar Luna. Manda lalu menarik tangan Luna kearah meja Devan, karena hanya itu yang masih kosong.
"Lo mau apa?"
"Nasi goreng sama es teh aja, deh."
"Oke, gue pesenin dulu. Tunggu sini."
"Ini orang lagi, bosen gue ngeliat muka lo terus," Devan yang semula fokus pada ponselnya pun mengalihkan tatapannya kearah sumber suara.
"Apa,sih,Luna Lovegood. Natap orang ganteng gini bosen, aneh lo."
"Dih,najis!"
****** Gema hanya menatap malas perdebatan antara Luna dan Devan yang sama sekali tidak bermutu menurutnya. "Kalian ribut mulu gue do'ain jodoh, mampus," ujarnya sambil melahap mie ayam yang dipesanya tadi. "Najis!" ucap Luna dan Devan Serempak kearah Gema membuat cowok itu tersedak makanannya seketika. "Anjir, parah banget lo berdua!" ucapnya lalu meminum es teh nya. Seorang cewek dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan es teh duduk disamping Gema. "Nih makan jangan berantem mulu lo berdua. Keburu bel nanti," Ujarnya. Mata Manda tak sengaja melihat kearah sampingnya. Baru dia ingat kalau cowok yang menolongnya tadi pagi pernah Devan kenalkan kepadannya. "Eh, lo cowok yang tadi kan?" Gema mendongakkan kepalanya melihat kearah cewek didepannya. Hanya menatap sesaat lalu kembali memfokuskan diri kearah makanannya. Devan menyenggol lengan Gema menyadarkan
Dia adalah tokoh utama yang disembunyikan. –Annora ***** Saat ini, Manda tengah berbaring diatas kasurnya dengan earphone terpasang di kedua telinganya sambil memejamkan mata, menikmati setiap nada musik yang mengalun. Matanya terbuka kala ponselnya berdering memperlihatkan sebuah notifikasi masuk dari orang yang satu tahun belakangan ini sering menjadi alasannya tersenyum. Gara : Sayang. Manda : Siapa? Gara : Baru nggak dikabarin sehari masa udah lupa? Manda : Haha, bercanda. Gara : Besok ada acara nggak? Manda : Nggak ada. Kenapa? Gara : Besok mau ke rumah aku, nggak? Latihan buat pensi. Manda terdiam sejenak, Gara mengajaknya latihan dirumah cowok itu? Biasanya jika Manda ingin kerumah Gara, dia selalu menolak dan membuat alasan. Lalu berujung ketempat lain, ini mengapa tiba -
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
*** Aku melangkah kearahmu, namun kamu memilih berjalan kearah lain. Terkadang cinta selucu itu. —Annora. **** "Cih, dasar drama," ucap seseorang yang kini tengah bersembunyi di semak-semak tak jauh dari Gara dan Manda berdiri. Plak! "Ngomong aja lo pengen, bego!" Cewek berambut sedikit kemerahan itu menempeleng kepala cowok yang tengah menatap sengit Gara dan Manda yang sedang berpelukan. "Sakit, Lun, anying." Cowok itu mengelus kepalanya yang sedikit sakit. Namun, sedetik kemudian malah mengulas senyum jail. Sudah pasti kalian tahu, kan, siapa ini? "Iya, Lun, mau banget. Asal sama lo aja," ucapnya sembari tersenyum lebar. Luna menatap tajam Devan yang berada di sampingnya. "Dih, ogah gue sama lo. Jauh-jauh sana!" Dia mendorong-dorong Devan kesamping kiri membuat Devan menahan keseimbangannya karena hampir terjerembab
***** Gara : Pulang sekolah gue tunggu di taman belakang. Manda yang tadinya sedang asik bercerita ria di bangku kelas bersama Luna karena jam kosong pun sejenak terdiam membaca pesan dari Gara. Tumben sekali Gara mengajak bertemu di area sekolah. Dan satu lagi, Manda sedikit aneh dengan penggunaan 'gue' di kalimat Gara. "Kenapa, Man?" Tanya Luna yang merasa raut Manda berubah. Manda tersentak kecil, "e-enggak," ucapnya lalu tersenyum canggung. Luna mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti walaupun masih menaruh sedikit rasa curiga. "Lun, nanti lo pulang sendiri, ya? Gue ada urusan," ujarnya sembari membereskan bukunya di meja usai pelajaran sebelumnya. Kebetulan ini adalah jam terakhir. "OSIS?" Tanya Luna yang dibalas dengan gelengan oleh Manda, tanda tidak. "Terus? Gara?" Luna mengamati cewek berambut hitam nan panjang itu penuh pertanyaan.
******* "Lindungi anak kita..." Pria itu sontak terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, sudah bertahun-tahun lamanya dia bermimpi sama hampir setiap malam. Sosok wanita berpakaian putih dengan wajah yang sangat dikenalinya, dia adalah istrinya. Istrinya yang meninggalkannya beberapa tahun lalu bersama dengan anaknya yang menyusul, meninggalkan dirinya sendirian dengan sepi yang berkali-kali membunuhnya. Tapi dia tidak mengerti kenapa di mimpi itu istrinya terus mengatakan untuk melindungi anaknya, padahal bukannya anak mereka sudah pergi bersama dia? Lalu apa yang harus dia lindungi? Dia belum bisa menyimpulkan bahwa putri mereka masih hidup, karena dia sama sekali tidak menemukan kebenaran apapun sampai saat ini. Kecuali memang putri mereka sudah meninggal karena kecelakaan itu bersama dengan istrinya. Dia mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas lalu meneguknya hingga tak tersisa. Andai istrinya masih bera
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada