*****
Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir.
Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja.
"Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi.
"Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
******* "Lindungi anak kita..." Pria itu sontak terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, sudah bertahun-tahun lamanya dia bermimpi sama hampir setiap malam. Sosok wanita berpakaian putih dengan wajah yang sangat dikenalinya, dia adalah istrinya. Istrinya yang meninggalkannya beberapa tahun lalu bersama dengan anaknya yang menyusul, meninggalkan dirinya sendirian dengan sepi yang berkali-kali membunuhnya. Tapi dia tidak mengerti kenapa di mimpi itu istrinya terus mengatakan untuk melindungi anaknya, padahal bukannya anak mereka sudah pergi bersama dia? Lalu apa yang harus dia lindungi? Dia belum bisa menyimpulkan bahwa putri mereka masih hidup, karena dia sama sekali tidak menemukan kebenaran apapun sampai saat ini. Kecuali memang putri mereka sudah meninggal karena kecelakaan itu bersama dengan istrinya. Dia mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas lalu meneguknya hingga tak tersisa. Andai istrinya masih bera
***** Gara : Pulang sekolah gue tunggu di taman belakang. Manda yang tadinya sedang asik bercerita ria di bangku kelas bersama Luna karena jam kosong pun sejenak terdiam membaca pesan dari Gara. Tumben sekali Gara mengajak bertemu di area sekolah. Dan satu lagi, Manda sedikit aneh dengan penggunaan 'gue' di kalimat Gara. "Kenapa, Man?" Tanya Luna yang merasa raut Manda berubah. Manda tersentak kecil, "e-enggak," ucapnya lalu tersenyum canggung. Luna mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti walaupun masih menaruh sedikit rasa curiga. "Lun, nanti lo pulang sendiri, ya? Gue ada urusan," ujarnya sembari membereskan bukunya di meja usai pelajaran sebelumnya. Kebetulan ini adalah jam terakhir. "OSIS?" Tanya Luna yang dibalas dengan gelengan oleh Manda, tanda tidak. "Terus? Gara?" Luna mengamati cewek berambut hitam nan panjang itu penuh pertanyaan.
*** Aku melangkah kearahmu, namun kamu memilih berjalan kearah lain. Terkadang cinta selucu itu. —Annora. **** "Cih, dasar drama," ucap seseorang yang kini tengah bersembunyi di semak-semak tak jauh dari Gara dan Manda berdiri. Plak! "Ngomong aja lo pengen, bego!" Cewek berambut sedikit kemerahan itu menempeleng kepala cowok yang tengah menatap sengit Gara dan Manda yang sedang berpelukan. "Sakit, Lun, anying." Cowok itu mengelus kepalanya yang sedikit sakit. Namun, sedetik kemudian malah mengulas senyum jail. Sudah pasti kalian tahu, kan, siapa ini? "Iya, Lun, mau banget. Asal sama lo aja," ucapnya sembari tersenyum lebar. Luna menatap tajam Devan yang berada di sampingnya. "Dih, ogah gue sama lo. Jauh-jauh sana!" Dia mendorong-dorong Devan kesamping kiri membuat Devan menahan keseimbangannya karena hampir terjerembab
Jakarta, 31 - Juli - 2021 "Papa milih kamu untuk nerusin perusahaan Papa." Cowok yang baru memasuki umur delapan belas tahun dengan seragam sekolah lengkap itu berdecih mendengar perkataan lelaki yang saat ini berada didepannya. "Pas kayak gini anda baru inget sama saya ? Kemarin - kemarin saat saya butuh, anda kemana saja?" ucapnya, tak mengerti bagaimana pemikiran orang didepannya ini. "Papa cuma mau persetujuan kamu." "Nggak ada alasan buat saya setuju sama permintaan anda." Pria itu menatapnya tajam. "Bisa nggak, sih, nurut sama Papa sekali - kali?" "Terus nasib anak anda, gimana?" tanyanya, sambil memainkan kunci motor yang ada ditangannya. "Kamu anak Papa, Gema." Gema tertawa sarkas. "Anak? Emang anda memperlakukan saya seperti anak?" "Gema, jaga ucapan kamu, ya." Pria itu menggebrak meja didepannya, menatap tajam cowok yang duduk santai didepannya.
****** Bel pulang sekolah berbunyi, Guru yang mengajar di kelas Manda pun baru saja keluar. Ia segera mengemasi barang barang miliknya. "Man, pulang bareng gue aja gimana? Daripada lo nunggu abang taksi," tanya Luna yang masih menyalin materi yang disampaikan guru tadi disampingnya. "Lain kali aja, ya, Lun. Gue ada rapat OSIS hari ini, Bye," jawab Manda lalu berlari keluar kelas. "Yah, gue ditinggal sendirian," gumam Luna, sambil melihat ke-sekeliling kelas yang sudah sunyi. "Mana udah sepi banget, lagi," Ia menyelesaikan tulisannya lalu memasukan barang barang nya dengan sedikit terburu buru. Kalau kalian berfikiran kalau Luna ini penakut, jawabannya iya. Saat ia berbalik dia terkejut karena ada seseorang didepannya. "Astaghfirullah," ucapnya sambil memegangi dadanya. "Eh, sorry sorry. Ngagetin ya? Hehe," itu Gema. "Eh, Gema
****** Gema menekan kode apartementnya lalu memasuki ruangan tersebut. Netranya memandang nanar keseluruh apartemen yang hanya dihuni oleh dirinya saja. Sepi dan hampa. Itulah yang suasana yang selalu dia rasakan dua tahun terakhir. Atau lebih tepatnya sedari ia kecil? Dulu saat dia berusia sembilan tahun, dia dibawa neneknya ke kota Los Angeles, California. Untuk menyusul kakeknya disana, nenek Gema sangat menyayangi Gema, bahkan saat ayah dan ibunya membenci dan menjauhi Gema karena suatu hal yang menurut mereka adalah salah Gema dahulu membuat ibunya hampir kehilangan nyawanya. Ibunya masih hidup, namun dengan kondisi kakinya tidak bisa berjalan kembali seperti sebelumnya. Ingatannya kembali pada kejadian bertahun tahun lalu saat ia masih berumur tujuh tahun. ***** 10 Tahun yang lalu.... Terlihat dua anak kembar yang sedang keluar da
****** Gema hanya menatap malas perdebatan antara Luna dan Devan yang sama sekali tidak bermutu menurutnya. "Kalian ribut mulu gue do'ain jodoh, mampus," ujarnya sambil melahap mie ayam yang dipesanya tadi. "Najis!" ucap Luna dan Devan Serempak kearah Gema membuat cowok itu tersedak makanannya seketika. "Anjir, parah banget lo berdua!" ucapnya lalu meminum es teh nya. Seorang cewek dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan es teh duduk disamping Gema. "Nih makan jangan berantem mulu lo berdua. Keburu bel nanti," Ujarnya. Mata Manda tak sengaja melihat kearah sampingnya. Baru dia ingat kalau cowok yang menolongnya tadi pagi pernah Devan kenalkan kepadannya. "Eh, lo cowok yang tadi kan?" Gema mendongakkan kepalanya melihat kearah cewek didepannya. Hanya menatap sesaat lalu kembali memfokuskan diri kearah makanannya. Devan menyenggol lengan Gema menyadarkan
*** Aku melangkah kearahmu, namun kamu memilih berjalan kearah lain. Terkadang cinta selucu itu. —Annora. **** "Cih, dasar drama," ucap seseorang yang kini tengah bersembunyi di semak-semak tak jauh dari Gara dan Manda berdiri. Plak! "Ngomong aja lo pengen, bego!" Cewek berambut sedikit kemerahan itu menempeleng kepala cowok yang tengah menatap sengit Gara dan Manda yang sedang berpelukan. "Sakit, Lun, anying." Cowok itu mengelus kepalanya yang sedikit sakit. Namun, sedetik kemudian malah mengulas senyum jail. Sudah pasti kalian tahu, kan, siapa ini? "Iya, Lun, mau banget. Asal sama lo aja," ucapnya sembari tersenyum lebar. Luna menatap tajam Devan yang berada di sampingnya. "Dih, ogah gue sama lo. Jauh-jauh sana!" Dia mendorong-dorong Devan kesamping kiri membuat Devan menahan keseimbangannya karena hampir terjerembab
***** Gara : Pulang sekolah gue tunggu di taman belakang. Manda yang tadinya sedang asik bercerita ria di bangku kelas bersama Luna karena jam kosong pun sejenak terdiam membaca pesan dari Gara. Tumben sekali Gara mengajak bertemu di area sekolah. Dan satu lagi, Manda sedikit aneh dengan penggunaan 'gue' di kalimat Gara. "Kenapa, Man?" Tanya Luna yang merasa raut Manda berubah. Manda tersentak kecil, "e-enggak," ucapnya lalu tersenyum canggung. Luna mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti walaupun masih menaruh sedikit rasa curiga. "Lun, nanti lo pulang sendiri, ya? Gue ada urusan," ujarnya sembari membereskan bukunya di meja usai pelajaran sebelumnya. Kebetulan ini adalah jam terakhir. "OSIS?" Tanya Luna yang dibalas dengan gelengan oleh Manda, tanda tidak. "Terus? Gara?" Luna mengamati cewek berambut hitam nan panjang itu penuh pertanyaan.
******* "Lindungi anak kita..." Pria itu sontak terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, sudah bertahun-tahun lamanya dia bermimpi sama hampir setiap malam. Sosok wanita berpakaian putih dengan wajah yang sangat dikenalinya, dia adalah istrinya. Istrinya yang meninggalkannya beberapa tahun lalu bersama dengan anaknya yang menyusul, meninggalkan dirinya sendirian dengan sepi yang berkali-kali membunuhnya. Tapi dia tidak mengerti kenapa di mimpi itu istrinya terus mengatakan untuk melindungi anaknya, padahal bukannya anak mereka sudah pergi bersama dia? Lalu apa yang harus dia lindungi? Dia belum bisa menyimpulkan bahwa putri mereka masih hidup, karena dia sama sekali tidak menemukan kebenaran apapun sampai saat ini. Kecuali memang putri mereka sudah meninggal karena kecelakaan itu bersama dengan istrinya. Dia mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas lalu meneguknya hingga tak tersisa. Andai istrinya masih bera
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada