******
Bel pulang sekolah berbunyi, Guru yang mengajar di kelas Manda pun baru saja keluar. Ia segera mengemasi barang barang miliknya.
"Man, pulang bareng gue aja gimana? Daripada lo nunggu abang taksi," tanya Luna yang masih menyalin materi yang disampaikan guru tadi disampingnya.
"Lain kali aja, ya, Lun. Gue ada rapat OSIS hari ini, Bye," jawab Manda lalu berlari keluar kelas.
"Yah, gue ditinggal sendirian," gumam Luna, sambil melihat ke-sekeliling kelas yang sudah sunyi.
"Mana udah sepi banget, lagi," Ia menyelesaikan tulisannya lalu memasukan barang barang nya dengan sedikit terburu buru. Kalau kalian berfikiran kalau Luna ini penakut, jawabannya iya. Saat ia berbalik dia terkejut karena ada seseorang didepannya.
"Astaghfirullah," ucapnya sambil memegangi dadanya.
"Eh, sorry sorry. Ngagetin ya? Hehe," itu Gema.
"Eh, Gema. Nggak apa apa kok. Oh, ya ada apa lo kesini?"
"Temen lo mana lun?", tanya Gema.
"Manda?" Gema menganggukkan kepalanya cepat.
"Oh, tadi dia ke ruang OSIS. Ada rapat sih katanya."
"Oh"
"Kok lo tiba tiba nanyain Manda, Kenapa ya?"
"Ehm.. Ada perlu. Thanks, ya, Lun gue pergi dulu, Bye," ujarnya lalu meninggalkan Luna sendiri di kelas tersebut.
Luna hanya memandangi arah perginya Gema. "Ih, ditinggal mulu gue," kesalnya.
*****
Ditempat lain, Manda sedang memimpin rapat bersama anggota OSIS terkait Pensi tahun ini, yang akan diselenggarakan sebelum wisuda kelas dua belas.
"Tadi, saya di suruh pak Arya buat menginformasikan, kalau tahun ini OSIS harus buat pertunjukan di Pensi, yang menghandle nanti diatur sama beliau," ujar Manda selaku Ketua OSIS. Sesama anggota OSIS selalu ditekankan untuk berbicara secara formal, jika tidak mematuhi aturan maka akan dikenakan sanksi. Tapi aturan tersebut hanya berlaku di area sekolah saja, untuk diluar area sekolah tidak masalah.
"Kalo menurut saya,untuk pembukaan nampilin grup dance saja bagaimana?"
"Saya setuju. Nanti untuk penutupan acaranya anggota OSIS yang tampil, " ujar Gara. Wakil Ketua OSIS.
"Tapi, kita mau menampilkan apa?" tanya Manda bingung dengan usulan Gara.
"Bagaimana kalau duet? Di sekolah kita yang kurang hanya ekskul band, kan? Suara Kamu juga bagus, Man. Sekali kali, kan? OSIS menampilkan sesuatu bukan cuma menyiapkan saja. Nanti anggota lain ngiringin sambil ngedance atau apapun terserah."
"Setuju Kak. Nanti kak Manda duetnya sama kak Gara saja," usul salah satu anggota kelas sepuluh.
"Iya, ide yang bagus. Biar Pensi kali ini terlihat beda dari yang sebelumnya. Kamu setuju?" Ujar Farrel menatap Manda.
"Tapi,kalian yakin hasilnya akan sesuai, Kalau yang nyanyi saya?" Manda menatap ragu para anggota yang saat ini menatapnya penuh harap.
"Sekali ini saja Man, tunjukin diri kamu didepan publik. Ini demi OSIS juga, kok, kita semua berharap sama kamu banget kali ini," harap Farrel. Farrel ini memang teman dekatnya Devan, dia sudah kenal dekat dengan Manda dari SMP. Oleh karena itu dia berani berkata seperti itu. Kalau orang lain mungkin tidak akan berani.
"Ya, sudah, saya setuju. Saya akan usahakan yang terbaik untuk Pensi kali ini," finalnya.
"Sudah setuju semua kan?" tanya Gara. Semua yang ada disitu pun mengangguk menyetujui.
"Oke, kita akhiri rapat hari ini. Untuk tugas setiap Devisi jangan lupa, siapkan mulai besok biar nanti pas hari-H tidak terburu - buru. Silahkan pulang ke rumah masing masing," lanjut Gara. Lalu para anggota mulai keluar dari ruang OSIS untuk pulang.
Manda memakai tasnya ke punggung, berniat untuk pulang.
"Man," ia menghentikan langkahnya lalu menengok kebelakang mendapati Gara di sana.
"Kapan mau mulai latihan?"
"Nanti saya kabarin," jawabnya.
"Oh, oke."
Manda lalu melanjutkan langkahnya keluar ruangan tersebut. Saat ini Jam menunjukan pukul empat sore. Ia berjalan menyusuri koridor yang sepi sendiri, hingga ada kaki jenjang seseorang yang menyamai langkahnya.
"Sendiri aja neng?"
Manda mengalihkan pandangan nya kearah orang disampingnya, "Ngapain lo?"
"Mau nemanin kamu."
Manda tersenyum, itu Gara. Sejak satu tahun yang lalu Manda dan Gara menjalin hubungan, tapi secara diam - diam. Bahkan Luna pun tidak Manda biarkan tahu. Tidak ada seorang pun di sekolah ini tahu jika Manda dan Gara mempunyai hubungan spesial. Karena hubungan mereka terhalang aturan, sesama anggota OSIS tidak boleh ada yang mempunyai hubungan karena ditakutkan akan mengganggu kefokusan pada organisasi atau biasanya akan menyangkut kan masalah pribadi dengan organisasi. Jadi, didepan orang - orang dan anggota OSIS mereka akan bersikap seperti partner ketua dan wakil saja.
"Ngapain nungguin gue?"
"Hei, nggak boleh bicara informal,ya. Ini masih di sekolah,loh."
Refleks ia menghentikan langkahnya, begitupun dengan cowok itu. Lalu terkekeh pelan. "Iya iya, siap pak waketos."
"Kok ngeledek gitu?" Mereka melanjutkan langkahnya.
"Nggak,kamunya aja yang baperan, " ucap Manda.
"Haha, bisa aja. " Gara menyentil pelan dari cewek itu.
"Keluar yuk," ucap Gara menghadap Manda.
"Kemana?"
"Ikut aja, " jawabnya lalu menarik pelan tangan Manda kearah parkiran.
Ditempat yang tak jauh dari mereka berdiri, seseorang murid laki - laki menatap mereka dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Dia orang yang sebelumnya berpikir akan menghampiri Manda tadi, tapi dia urungkan melihat kenyataan yang begitu pahit didepan matanya.
"Kenapa selalu dia yang dapat hal yang gue ingin?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Harusnya gue nggak disini, anjir." Dia berbalik pergi dari sana, menelan bulat - bulat rasa kecewa yang dirasakannya.
*****
Gara ternyata membawanya ke perpustakaan kota. Biasanya mereka kesini untuk sekedar mengerjakan tugas atau membaca buku disana. Kamu tau? Mempunyai pacar yang sama-sama mementingkan pendidikan seperti kita itu bagaikan menemukan berlian diantara ribuan kerikil. Sangat sulit untuk menemukan kekasih yang mempunyai hobi sama seperti kita. Mereka berjalan menyusuri jejeran rak penuh buku yang menjulang tinggi.
"Mau ngapain kesini? " tanya Manda kepada Gara.
Gara yang semula sedang memilih buku komik menoleh kearah Manda. "Ya, mau baca buku dong, sayang," ucapnya seraya terkekeh geli.
"Maksudnya, mau ngerjain tugas atau apa gitu,loh, Gara, " ujar Manda sambil memandang sinis lelaki disampingnya itu.
"Susah, ya bikin kamu salting?"
"Kamu aja yang nggak jago, " ucapnya lalu berlalu menuju kearah rak yang berisi khusus novel remaja.
"Apa, sih, bagusnya buku tanpa gambar?" tanya Gara yang sudah berada disamping Manda.
"Bagusnya, karena kita bisa berimajinasi sendiri gimana gambaran wajah dan bentuk tokoh yang ada dibuku tanpa gambaran orang lain. Bagi aku itu memuaskan banget," jelas Manda.
"Tapi, kan lebih bagusan yang ada gambarnya?"
"Kalo ada gambarnya dibuku langsung, itu ngerusak imajinasi, dong, namanya,dan mungkin aku nggak bakalan suka."
"Kalau aku suka nggak?" tanya Gara menggoda.
Manda tak menghiraukannya, lalu beranjak kearah pustakawan untuk meminjam buku.
"Pinjam buku aja,yuk. Kita makan eskrim didepan," ajaknya kepada Gara.
"Tumbenan, biasanya nggak pernah mau," ucap Gara jengkel sendiri.
"Haha, mukanya lucu banget."
"Jadi mau apa nggak nih? " tanya Manda lagi.
"Mau, lah. Kesempatan langka mana mungkin aku sia - siain, " ujar Gara lalu menarik Manda keluar perpustakaan setelah meminjam buku, menuju penjual eskrim yang berada di taman depan perpustakaan.
"Kamu duduk disana aja, biar aku yang pesanin, " ucap Gara,seraya menunjuk bangku taman bewarna putih yang berada dibawah pohon.
Manda pun mengangguk lalu melangkah menuju bangku tersebut. Dari sana dia bisa melihat pemandangan banyak anak anak kecil—mungkin sekitar lima tahunan yang sedang bermain bersama di taman tersebut.
Entah kenapa,hal itu mengingatkan Manda kepada seseorang yang dahulu menghiasi masa kecilnya, seorang anak laki-laki yang selalu mengulurkan tangannya kearah Manda ketika dia berada didalam jurang kesedihan terdalam.
Setiap suara yang keluar dari bibirnya, tidak pernah sekalipun membuat orang sedih, kata katanya selalu membuat pendengarnya tenang, seperti namanya. Sampai sekarang, Manda tak pernah lagi melihat orang yang mempunyai tatapan tulus itu lagi.
"Kok ngelamun? Mikirin apa?"
Manda mengalihkan tatapannya kearah laki laki yang sudah duduk di sampingnya, yang memberinya eskrim rasa coklat kesukaan Manda. Ia pun menerimanya.
"Nggak apa - apa." Gara hanya mengangguk anggukan kepalanya mengerti.
"Disini banyak juga, ya, anak anak yang masih bermain diluar rumah."
"Iya, biasanya yang seumuran sama mereka, sekarang udah main gadget dirumah. Nggak mau keluar. "
"Ya, bagus lah, harusnya seumuran mereka kan memang harus sesekali keluar rumah. Banyak banget hal hal yang perlu mereka kenali di dunia luar." Gara menatap anak anak yang berlarian kesana kemari tersebut dengan pandangan ingin merasakan kembali masa kecilnya.
Manda memandang laki - laki disampingnya, dia tidak tahu apakah alasan dia tertarik dengan Gara karena murni tertarik atau karena hal lain. Pasalnya, kesan pertama yang Manda simpulkan saat mengenal Gara adalah Gara sangat mirip dengan dia—teman kecilnya yang selalu ia rindukan hingga sekarang.
****** Gema menekan kode apartementnya lalu memasuki ruangan tersebut. Netranya memandang nanar keseluruh apartemen yang hanya dihuni oleh dirinya saja. Sepi dan hampa. Itulah yang suasana yang selalu dia rasakan dua tahun terakhir. Atau lebih tepatnya sedari ia kecil? Dulu saat dia berusia sembilan tahun, dia dibawa neneknya ke kota Los Angeles, California. Untuk menyusul kakeknya disana, nenek Gema sangat menyayangi Gema, bahkan saat ayah dan ibunya membenci dan menjauhi Gema karena suatu hal yang menurut mereka adalah salah Gema dahulu membuat ibunya hampir kehilangan nyawanya. Ibunya masih hidup, namun dengan kondisi kakinya tidak bisa berjalan kembali seperti sebelumnya. Ingatannya kembali pada kejadian bertahun tahun lalu saat ia masih berumur tujuh tahun. ***** 10 Tahun yang lalu.... Terlihat dua anak kembar yang sedang keluar da
****** Gema hanya menatap malas perdebatan antara Luna dan Devan yang sama sekali tidak bermutu menurutnya. "Kalian ribut mulu gue do'ain jodoh, mampus," ujarnya sambil melahap mie ayam yang dipesanya tadi. "Najis!" ucap Luna dan Devan Serempak kearah Gema membuat cowok itu tersedak makanannya seketika. "Anjir, parah banget lo berdua!" ucapnya lalu meminum es teh nya. Seorang cewek dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan es teh duduk disamping Gema. "Nih makan jangan berantem mulu lo berdua. Keburu bel nanti," Ujarnya. Mata Manda tak sengaja melihat kearah sampingnya. Baru dia ingat kalau cowok yang menolongnya tadi pagi pernah Devan kenalkan kepadannya. "Eh, lo cowok yang tadi kan?" Gema mendongakkan kepalanya melihat kearah cewek didepannya. Hanya menatap sesaat lalu kembali memfokuskan diri kearah makanannya. Devan menyenggol lengan Gema menyadarkan
Dia adalah tokoh utama yang disembunyikan. –Annora ***** Saat ini, Manda tengah berbaring diatas kasurnya dengan earphone terpasang di kedua telinganya sambil memejamkan mata, menikmati setiap nada musik yang mengalun. Matanya terbuka kala ponselnya berdering memperlihatkan sebuah notifikasi masuk dari orang yang satu tahun belakangan ini sering menjadi alasannya tersenyum. Gara : Sayang. Manda : Siapa? Gara : Baru nggak dikabarin sehari masa udah lupa? Manda : Haha, bercanda. Gara : Besok ada acara nggak? Manda : Nggak ada. Kenapa? Gara : Besok mau ke rumah aku, nggak? Latihan buat pensi. Manda terdiam sejenak, Gara mengajaknya latihan dirumah cowok itu? Biasanya jika Manda ingin kerumah Gara, dia selalu menolak dan membuat alasan. Lalu berujung ketempat lain, ini mengapa tiba -
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
*** Aku melangkah kearahmu, namun kamu memilih berjalan kearah lain. Terkadang cinta selucu itu. —Annora. **** "Cih, dasar drama," ucap seseorang yang kini tengah bersembunyi di semak-semak tak jauh dari Gara dan Manda berdiri. Plak! "Ngomong aja lo pengen, bego!" Cewek berambut sedikit kemerahan itu menempeleng kepala cowok yang tengah menatap sengit Gara dan Manda yang sedang berpelukan. "Sakit, Lun, anying." Cowok itu mengelus kepalanya yang sedikit sakit. Namun, sedetik kemudian malah mengulas senyum jail. Sudah pasti kalian tahu, kan, siapa ini? "Iya, Lun, mau banget. Asal sama lo aja," ucapnya sembari tersenyum lebar. Luna menatap tajam Devan yang berada di sampingnya. "Dih, ogah gue sama lo. Jauh-jauh sana!" Dia mendorong-dorong Devan kesamping kiri membuat Devan menahan keseimbangannya karena hampir terjerembab
***** Gara : Pulang sekolah gue tunggu di taman belakang. Manda yang tadinya sedang asik bercerita ria di bangku kelas bersama Luna karena jam kosong pun sejenak terdiam membaca pesan dari Gara. Tumben sekali Gara mengajak bertemu di area sekolah. Dan satu lagi, Manda sedikit aneh dengan penggunaan 'gue' di kalimat Gara. "Kenapa, Man?" Tanya Luna yang merasa raut Manda berubah. Manda tersentak kecil, "e-enggak," ucapnya lalu tersenyum canggung. Luna mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti walaupun masih menaruh sedikit rasa curiga. "Lun, nanti lo pulang sendiri, ya? Gue ada urusan," ujarnya sembari membereskan bukunya di meja usai pelajaran sebelumnya. Kebetulan ini adalah jam terakhir. "OSIS?" Tanya Luna yang dibalas dengan gelengan oleh Manda, tanda tidak. "Terus? Gara?" Luna mengamati cewek berambut hitam nan panjang itu penuh pertanyaan.
******* "Lindungi anak kita..." Pria itu sontak terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, sudah bertahun-tahun lamanya dia bermimpi sama hampir setiap malam. Sosok wanita berpakaian putih dengan wajah yang sangat dikenalinya, dia adalah istrinya. Istrinya yang meninggalkannya beberapa tahun lalu bersama dengan anaknya yang menyusul, meninggalkan dirinya sendirian dengan sepi yang berkali-kali membunuhnya. Tapi dia tidak mengerti kenapa di mimpi itu istrinya terus mengatakan untuk melindungi anaknya, padahal bukannya anak mereka sudah pergi bersama dia? Lalu apa yang harus dia lindungi? Dia belum bisa menyimpulkan bahwa putri mereka masih hidup, karena dia sama sekali tidak menemukan kebenaran apapun sampai saat ini. Kecuali memang putri mereka sudah meninggal karena kecelakaan itu bersama dengan istrinya. Dia mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas lalu meneguknya hingga tak tersisa. Andai istrinya masih bera
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada