******
Gema hanya menatap malas perdebatan antara Luna dan Devan yang sama sekali tidak bermutu menurutnya.
"Kalian ribut mulu gue do'ain jodoh, mampus," ujarnya sambil melahap mie ayam yang dipesanya tadi.
"Najis!" ucap Luna dan Devan Serempak kearah Gema membuat cowok itu tersedak makanannya seketika.
"Anjir, parah banget lo berdua!" ucapnya lalu meminum es teh nya.
Seorang cewek dengan nampan berisi dua mangkuk bakso dan es teh duduk disamping Gema.
"Nih makan jangan berantem mulu lo berdua. Keburu bel nanti," Ujarnya.
Mata Manda tak sengaja melihat kearah sampingnya. Baru dia ingat kalau cowok yang menolongnya tadi pagi pernah Devan kenalkan kepadannya.
"Eh, lo cowok yang tadi kan?"
Gema mendongakkan kepalanya melihat kearah cewek didepannya. Hanya menatap sesaat lalu kembali memfokuskan diri kearah makanannya. Devan menyenggol lengan Gema menyadarkan cowok itu untuk sekedar menjawab. Tapi Gema tidak menghiraukan. Gema boleh kecewa tidak? Entah kenapa, fakta yang kemarin ia lihat masih sulit untuk dia terima. Dari banyaknya cowok yang ada disekolah ini, mengapa harus Gara yang menjadi kekasih Manda? Mengapa harus orang yang menjadi sumber dari lukanya selama ini? Dia tidak mau egois, tapi tetap saja untuk menerima kenyataan itu rasanya sangat sulit.
"Gem, katanya kemarin lo nyari Manda. Kok sekarang kayak orang nggak kenal gini?" tanya Luna. Manda menolehkan kepalanya kearah Luna bingung. Gema mencari dia? Memangnya mereka pernah ada urusan?
"Oh, kemarin salah orang, " jawab Gema sambil tertawa.
Luna jadi bingung, jelas - jelas kemarin Gema menanyakan temannya. Sikap Gema juga, saat hanya bertiga dengannya dan Devan biasa saja. Tapi kenapa pas Manda hadir diantara mereka, cowok itu justru diam saja?
Luna yang hendak bicara kembali pun tangannya digenggam Devan,suatu kode agar cewek itu diam saja. Karena sepertinya ada sesuatu yang mengganggu Gema. Dari sikap Gema sudah terlihat kalau ada sesuatu yang tidak disukai cowok itu dengan lawan bicaranya. Padahal, kemarin Gema masih bertanya soal Manda, tapi kenapa sekarang seperti ini?
"Van, gue pergi dulu ya. Ada urusan di jurnalistik bentar, " ucapnya seraya memberikan dua lembar sepuluh ribuan kearah Devan lalu berlalu dari sana. Manda menatap Gema dengan pandangan heran.
"Aneh banget, tuh, anak hari ini, " ujar Devan memandang kearah kepergian Gema.
"Gema anggota jurnalistik?" tanya Luna.
"Ketuanya dia, " jawab Devan.
Manda sontak menatap Devan. "Seriusan? Kok gue nggak pernah lihat dia?" Tanyanya.
"Yang lo tau apa, sih, Man? Kerjaan lo kalau nggak dikelas ya diperpus. Sampai ketua jurnalistik yang selalu jadi bahan pembicaraan di setiap penjuru lo nggak tahu?" ucap Devan heran.
"Iya, padahal OSIS sama jurnalistik kan biasanya berhubungan."
"Kalian mau gandengan terus?" ucap Manda yang sedari tadi memperhatikan tangan Devan yang menggenggam tangan Luna diatas meja. Sontak mereka melepas dan menjauhkan diri.
"Ngapain, sih, lo pegang pegang tangan gue, " sarkas Luna.
"Ya, lagian lo cerewet."
"Ya, kan bisa pakek cara lain."
"Salah siapa nggak peka."
"Mulai lagi... " ucap Manda lirih.
*****
Manda melangkahkan kakinya kearah gerbang sekolah. Sekolah sudah sepi karena semua siswa sudah pulang sedari tadi, Ia pulang paling akhir dikarenakan ada urusan OSIS tadi.
Ia berdiri di trotoar depan sekolah sambil menunggu Taksi lewat. Jujur, saat melihat Gema ia seperti tidak asing dengan lelaki tersebut. Seperti melihat seseorang di masa lalunya.
Sedang asik melamun, tiba tiba ada dua orang preman menghampirinya. "Hai, neng cantik, Sendiri aja nih?"
Manda menepis kasar tangan salah satu preman yang ingin menyentuhnya. "Jangan pegang pegang!"
Sejujurnya ia takut karena sekolah sudah sangat sepi tidak ada satu orang pun ditambah hari sudah mulai gelap.
Ia berjalan cepat menjauhi kedua preman tersebut. "Mau kemana sih neng? Nggak mau main main dulu sama kita?" ujar satunya yang bertubuh rada gempal sambil tertawa.
Saat tangan salah seorang preman tersebut ingin menyentuh Manda lagi seseorang melayangkan pukulan di pipi preman tersebut secara tiba tiba. Refleks Manda menengok kearah orang tersebut. Kalian tau itu siapa? orang itu adalah Gema.
"Lo lagi lo lagi. Nggak bosen apa gangguin orang mulu?" ucap Gema sambil bersidekap dada memandang orang tersebut remeh. Beberapa kali ia menghajar dua preman ini karena sering mengganggu orang-orang tapi tidak ada kapok kapoknya.
"Jangan ikut campur lo bocah!" ucap satu orang preman yang lainnya. Gema melayangkan pukulan kearah orang tersebut hingga tersungkur.
"Masalahnya yang lo ganggu kali ini cewek gue! Pergi nggak lo berdua?" Gema yang bersiap akan memukul kedua orang itu lagi pun diurungkan karena preman tersebut sudah lari.
"Lo nggak apa-apa, kan?" Tanyanya kearah Manda. Manda hanya menggelengkan kepalanya tanda 'Tidak'.
Gema menggaruk tengkuknya canggung. "Sorry ya, tadi gue ngaku didepan mereka kalau lo pacar gue." ucapnya.
Manda mendongakkan kepalanya menatap Gema, "Nggak apa-apa kok. Malahan gue yang harusnya bilang Makasih sama lo."
"Ceroboh banget, sih, lo. Harusnya kalau mau pulang jam segini itu suruh nungguin Devan atau Luna gitu, loh. Bayangin kalau tadi gue nggak lewat gimana nasib lo, coba?"
Manda tersentak. Memperhatikan lelaki didepannya yang sedang menatapnya marah.
"Ya, sorry. Biasanya gue pulang juga nggak ada preman, kok."
"Yaudah,yuk, pulang, gue antar" ucap Gema lalu melangkahkan kakinya menuju tempat motornya diparkirkan, Manda hanya mengikutinya dari belakang.
"Nih, pakai," ucap Gema menyodorkan helm kearah Manda. Mereka lalu melaju menyusuri jalanan kota jakarta ditemani langit senja yang begitu menawan. Untuk kedua kalinya Manda berada di satu motor bersama cowok itu.
"Senja indah, ya," ujar Manda memecahkan keheningan.
"Indah banget."
"Gue itu suka sama senja apalagi hujan. Beda sama hujan yang datengnya buat menuhin kebutuhan manusia, Senja cuma manjain semua mata pengagumnya. Senja itu emang sesaat lalu pergi, tapi dia selalu nepatin janjinya buat dateng lagi setiap sore," ucap Manda memandang langit dengan binar terpatri dimatanya.
"Dan senja itu selalu ngajarin kita kalau segala sesuatu yang indah itu datangnya cuma sesaat," ujar Gema.
"Dan pertanyaan gue dari dulu cuma satu, kalo kita ngibaratin sesuatu yang indah itu seperti senja, apa mungkin sesuatu itu juga akan kembali lagi seperti senja?" Lanjutnya.
"Kalo menurut gue, orang yang ngibaratin itu salah besar. Karna kalo senja itu mungkin pergi tapi dia nggak pernah ngingkarin janjinya buat kembali, Sedangkan sesuatu yang indah itu takdir, Gem. Lo lihat, orang yang bisa bahagiain kita, buat kita nyaman, dan selalu pengen disampingnya, itu pun bakal diambil sama Tuhan. Dan orang yang udah diambil sama Tuhan selamanya nggak akan pernah kembali ke dunia ini lagi."
"Yang perlu lo tau cuma kehidupan manusia itu bagai roda. Kadang posisi kita dibawah kadang kita diatas," ucap Manda tenang. Membuat Gema menarik sudut bibirnya, mengingat suatu hal yang sedang ia alami saat ini.
Mereka pun sampai di depan gerbang rumah Manda. "Makasih ya, udah nolongin gue dan nganterin gue pulang. Gue masuk dulu," ucap Manda seraya tersenyum. Saat ingin berbalik tangan Gema tiba tiba menahannya membuatnya berbalik kembali.
"Kenapa?" tanyanya.
"Helmnya nggak mau dilepas?" tanya Gema.
"Oh, iya. Sorry - sorry, " ucapnya sambil tertawa canggung.
"Santai, sana masuk." Manda mengangguk, lalu membuka pagar dan masuk kedalam rumah.
Gema lalu menyalakan motornya meninggalkan rumah Manda, seketika merubah rautnya menjadi datar kembali.
Sedangkan di balik pagar besi tersebut Manda masih melihat kepergian Gema sambil merenungi sesuatu. Mengapa dia jadi ramah sekali dengan orang asing kali ini?
"Gue kok ngerasa kalo dia itu gak asing,ya?" tanyanya pada dirinya sendiri. Entah kenapa ia merasa aneh, seperti Gema itu orang terdekatnya padahal kenal saja baru dua hari yang lalu.
"Gue juga kenapa tadi ramah banget?"
"Ah, bodoamat,lah."
Dia adalah tokoh utama yang disembunyikan. –Annora ***** Saat ini, Manda tengah berbaring diatas kasurnya dengan earphone terpasang di kedua telinganya sambil memejamkan mata, menikmati setiap nada musik yang mengalun. Matanya terbuka kala ponselnya berdering memperlihatkan sebuah notifikasi masuk dari orang yang satu tahun belakangan ini sering menjadi alasannya tersenyum. Gara : Sayang. Manda : Siapa? Gara : Baru nggak dikabarin sehari masa udah lupa? Manda : Haha, bercanda. Gara : Besok ada acara nggak? Manda : Nggak ada. Kenapa? Gara : Besok mau ke rumah aku, nggak? Latihan buat pensi. Manda terdiam sejenak, Gara mengajaknya latihan dirumah cowok itu? Biasanya jika Manda ingin kerumah Gara, dia selalu menolak dan membuat alasan. Lalu berujung ketempat lain, ini mengapa tiba -
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
******* "Lindungi anak kita..." Pria itu sontak terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, sudah bertahun-tahun lamanya dia bermimpi sama hampir setiap malam. Sosok wanita berpakaian putih dengan wajah yang sangat dikenalinya, dia adalah istrinya. Istrinya yang meninggalkannya beberapa tahun lalu bersama dengan anaknya yang menyusul, meninggalkan dirinya sendirian dengan sepi yang berkali-kali membunuhnya. Tapi dia tidak mengerti kenapa di mimpi itu istrinya terus mengatakan untuk melindungi anaknya, padahal bukannya anak mereka sudah pergi bersama dia? Lalu apa yang harus dia lindungi? Dia belum bisa menyimpulkan bahwa putri mereka masih hidup, karena dia sama sekali tidak menemukan kebenaran apapun sampai saat ini. Kecuali memang putri mereka sudah meninggal karena kecelakaan itu bersama dengan istrinya. Dia mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas lalu meneguknya hingga tak tersisa. Andai istrinya masih bera
*** Aku melangkah kearahmu, namun kamu memilih berjalan kearah lain. Terkadang cinta selucu itu. —Annora. **** "Cih, dasar drama," ucap seseorang yang kini tengah bersembunyi di semak-semak tak jauh dari Gara dan Manda berdiri. Plak! "Ngomong aja lo pengen, bego!" Cewek berambut sedikit kemerahan itu menempeleng kepala cowok yang tengah menatap sengit Gara dan Manda yang sedang berpelukan. "Sakit, Lun, anying." Cowok itu mengelus kepalanya yang sedikit sakit. Namun, sedetik kemudian malah mengulas senyum jail. Sudah pasti kalian tahu, kan, siapa ini? "Iya, Lun, mau banget. Asal sama lo aja," ucapnya sembari tersenyum lebar. Luna menatap tajam Devan yang berada di sampingnya. "Dih, ogah gue sama lo. Jauh-jauh sana!" Dia mendorong-dorong Devan kesamping kiri membuat Devan menahan keseimbangannya karena hampir terjerembab
***** Gara : Pulang sekolah gue tunggu di taman belakang. Manda yang tadinya sedang asik bercerita ria di bangku kelas bersama Luna karena jam kosong pun sejenak terdiam membaca pesan dari Gara. Tumben sekali Gara mengajak bertemu di area sekolah. Dan satu lagi, Manda sedikit aneh dengan penggunaan 'gue' di kalimat Gara. "Kenapa, Man?" Tanya Luna yang merasa raut Manda berubah. Manda tersentak kecil, "e-enggak," ucapnya lalu tersenyum canggung. Luna mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti walaupun masih menaruh sedikit rasa curiga. "Lun, nanti lo pulang sendiri, ya? Gue ada urusan," ujarnya sembari membereskan bukunya di meja usai pelajaran sebelumnya. Kebetulan ini adalah jam terakhir. "OSIS?" Tanya Luna yang dibalas dengan gelengan oleh Manda, tanda tidak. "Terus? Gara?" Luna mengamati cewek berambut hitam nan panjang itu penuh pertanyaan.
******* "Lindungi anak kita..." Pria itu sontak terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah, sudah bertahun-tahun lamanya dia bermimpi sama hampir setiap malam. Sosok wanita berpakaian putih dengan wajah yang sangat dikenalinya, dia adalah istrinya. Istrinya yang meninggalkannya beberapa tahun lalu bersama dengan anaknya yang menyusul, meninggalkan dirinya sendirian dengan sepi yang berkali-kali membunuhnya. Tapi dia tidak mengerti kenapa di mimpi itu istrinya terus mengatakan untuk melindungi anaknya, padahal bukannya anak mereka sudah pergi bersama dia? Lalu apa yang harus dia lindungi? Dia belum bisa menyimpulkan bahwa putri mereka masih hidup, karena dia sama sekali tidak menemukan kebenaran apapun sampai saat ini. Kecuali memang putri mereka sudah meninggal karena kecelakaan itu bersama dengan istrinya. Dia mengambil gelas berisi air putih yang berada di nakas lalu meneguknya hingga tak tersisa. Andai istrinya masih bera
******"Lo yakin nggak suka sama Manda?"Netra Gema menyorot malas kearah Devan yang sedari menjemputnya tadi terus melontarkan pertanyaan tentang perasaannya kepada sepupu cowok itu terus menerus."Lo sekali lagi nanya kayak gitu gue beneran nelfon Luna, bilangin kalo lo suka sama dia dari dulu," ucap Gema lelah sendiri.Sontak Devan merampas ponsel Gema, yang sebentar lagi akan digunakan cowok itu untuk menghubungi Luna. Sedangkan Farrel melongo mendengar ungkapan yang sepertinya disengaja oleh Gema."Baperan, lo," ucap Devan sengit."Tadi lo bilang apa, Gem?" Farrel yang sedari tadi melongo pun akhirnya angkat bicara."Devan suka sama Luna," ucap Gema enteng sambil memakan camilan yang sudah disiapkan Mamanya Devan."Mulut lo lemes amat, buset." Devan yang gemas sendiri karena mulut ceplas-ceplos Gema itu pun melempar kaleng minuman bekasnya hingga tepat mengenai mulut cowok itu.Se
***** Gema tersadar dari ekspresi sendunya, seharusnya dia tidak boleh runtuh begitu saja. Semakin Gema menunjukkan kesedihannya, mereka akan semakin meremehkannya habis - habisan. Pembuktian paling baik adalah bertahan bukan? Itu yang selalu Gema pelajari beberapa tahun terakhir. Dia tersenyum sumringah, lalu berdiri dan menghampiri mereka bertiga. Dia menarik kursi yang masih kosong,mendudukkan dirinya disana, lalu melipat tangannya diatas meja. "Halo, Pa, Ma, Gar. Gimana kabar kalian?" sapanya, terkesan sangat murni tanpa paksaan sekalipun. Padahal hatinya bagai diremat oleh tangan besar sedari tadi saat perkataan ayahnya yang secara tak langsung mulai meremehkannya lagi. "Baik, soalnya nggak ada kamu." Mendengar itu, Orang-orang yang berada di sofa dibuat geram sendiri, karena bukankah itu terlalu menyakitkan untuk dilontarkan kepada anak? Sudah dipastikan jika bukan Gema, maka tidak akan sebaik itu keadaannya. Lihatlah
******Gema menatap nanar ponselnya yang memperlihatkan sebuah pesan dari Kakeknya. Malam ini, dia dikabari Kakeknya kalau hari ini diadakan makan malam bersama keluarga besar di rumah beliau yang berada di Indonesia, rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal salah seorang pamannya. Kabarnya, kakeknya akan tiba di Indonesia malam ini.Cowok yang saat ini sedang nongkrong di cafenya bersama Devan dan Farrel itu menghela napas berat. Pasti dia akan bertemu dengan orang tuanya dan saudaranya. Bukannya dia tidak senang, tentu saja dia sangat senang.Karena bisa setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengobati rindunya kepada orang yang begitu lama tidak dia temui. Tapi entahlah, dilain sisi dia tidak siap melihat pandangan tak suka yang selalu mereka sorotkan untuknya.Devan yang menyadari perubahan raut Gema pun menghentikan tawanya. "Kenapa muka lo? Kek habis diputusin cewek, aja, " tanyanya."Nggak dapet cewek,
******** Di jam istirahat, Gema sedang menyibukkani diri dihadapan komputer yang berada diruang jurnalistik. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, setiap hari sepulang sekolah atau setiap jam istirahat berlangsung,dia selalu memeriksa ruangan tersebut, apakah yang mempunyai tugas atau piket hari itu datang kesana atau tidak. Tapi kali ini giliran dia yang bertugas jaga ruangan. "Gem, besok siaran tugas siapa? " tanya Dika, salah satu anggota tim jurnalistik yang berada disitu. "Ya, gue, " jawabnya masih tidak mengalihkan pandangannya kearah komputer. "Ya, tau lah gue, maksudnya sama siapa? " "Sama Clara kayaknya. Hah... Capek gue, " keluhnya. Anggota jurnalistik mempunyai beberapa tugas, salah satunya adalah mengisi siaran radio sekolah. Oleh karena itu, setiap anggota jurnalistik harus mempunyai keberanian bercakap, bukan hanya tentang pintar dalam masalah komputer saja.
******Manda pulang sekolah bersama dengan Luna. Bukan Luna namanya jika tidak mengajak Manda untuk sekedar mampir ke tempat tempat tertentu terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Seperti saat ini dia dan gadis yang berambut hitam sedikit kemerahan tersebut sedang berada di sebuah cafe. Namanya Garden Coffee, pasti yang terlintas di pikiran kalian mungkin cafe outdoor yang berkonsep alam atau taman bukan? Namun cafe ini tidak.Mungkin Garden Coffee hanya namanya saja atau bagaimana, tapi cafe tersebut adalah cafe indoor berkonsep vintage dengan cat hitam yang berpadu dengan cat putih yang menurut Manda cukup menarik dan menenangkan, disitu terdapat beberapa—atau mungkin banyak sekali gambar pemandangan alam dari penjuru Indonesia digantungkan dan ditempel didinding. Dan juga ada lukisan sketsa, poster kata kata mutiara serta panggung live music minimalis disamping barista dengan dua kursi dan piano serta gitar yang tersedia disana. A
Kamu adalah kata hati yang tidak pernah disetujui oleh langkah kaki. –Annora ***** Gema sedang asik bermain Play Station di ruang tengah apartemennya sendirian. Sebenarnya, tadi Devan mengajaknya untuk sekedar nongkrong di cafe, tapi dia menolak karena ingin istirahat saja usai membuat poster untuk Pensi diruang jurnalistik tadi. Sejujurnya Gema heran, karena Pensi saja diadakan dua bulan lagi, tapi posternya sudah minta dibuatkan untuk disebar. Tapi katanya, Pensi kali ini tidak hanya menampilkan dari sekolah sendiri saja namun dari sekolah lain yang akan ikut berpartisipasi juga diperbolehkan. Sudah tidak diragukan lagi, karena SMA Flamboyan adalah sekolah besar dan sebagian muridnya berasal dari kalangan atas, jadi tidak mungkin sedikit yang ingin masuk kesana. Dia menghentikan aktifitas bermain gamenya kala mendengar handphone nya berbunyi menandakan ada