Langkah Angela terhenti oleh rasa kagetnya. "Bukankah tadi Tuan mengatakan ingin menunjukkan sesuatu yang belum pernah dilihat oleh perempuan lain?" "Saya mengajak Nona ke rumah ini hanya untuk sekedar berkeliling. Tuan Gerald ada memberikan sepetak tanah yang cukup besar untuk saya tepat di belakang sana. Tempat itu yang saya maksud sebelumnya." Antoni menjelaskan. "Jadi Tuan tahu apa saja yang akan diberikan oleh mendiang Tuan Gerald pada saya?" tanya Angela masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. "Ya. Saya adalah salah satu saksi yang ditunjuk Tuan Gerald saat membuat surat wasiat yang akan dibacakan hari ini.""Selain rumah ini, apa masih ada yang lain?""Ada. Aset keluarga Tuan Gerald banyak. Nona mendapatkan rumah ini, tanah perkebunan dan sejumlah uang yang cukup besar. Nanti saat pembacaan wasiat Nona akan tahu nilainya.""Tapi saya tidak suka rumah ini, Tuan."Alis Antoni bertaut. "Kenapa?""Sangat besar untuk saya." Angela kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Ant
Perasaan Angela campur aduk. Walaupun bila benar ini sekadar sandiwara, melihat orang yang dicintainya bergandengan tangan dan saling beradu pandang di depan matanya, tetap saja menjadi sebuah situasi yang tidak menyenangkan."Mari kita bersenang-senang, Mbak Angela. Ah! Aku benci menyebutmu Mbak. Terdengar seperti sebuah penegasan kalau kau itu kakak perempuanku. Najis!" Lula meludah di depan Angela. "Kau pikir aku suka menjadi saudaramu? Najis!" Angela melakukan hal yang sama. "Berkatalah sesukamu selagi masih bisa," kata Lula dengan senyum yang terangkat sedikit di ujung sebelah bibirnya. "Mari Nona! Ikuti kami. Tidak perlu melawan atau mencoba melarikan diri. Akan sia-sia saja. Percuma." Kali ini Antoni yang berbicara dengan nada ketus serupa Lula. "Tenang saja Tuan Antoni yang terhormat. Saya tidak akan melawan. Apa pun yang kalian mau akan aku turuti, misalnya pun harus mati, berarti memang sudah selesai tugasku di dunia ini." Angela berusaha terlihat tenang meskipun ritme
"Mari ikut saya, Nona!" Antoni beranjak tanpa menggenggam tangan Angela seperti sebelumnya.Pria itu mengikuti kedua anak buah Lula yang sudah berjalan lebih dulu. Sedangkan Angela berada di belakang mereka. Angela dibawa ke sebuah ruangan yang terdapat di rumah tersebut. Letaknya di ujung paling belakang. Udara di dalamnya terasa lebih panas dan pengap. Sepertinya memang sengaja tidak diberi ventilasi udara. Tempat ini lebih cocok disebut sebagai ruang khusus penyekapan. Ada satu kursi kayu tua tanpa cat dan beberapa rantai tergeletak di lantai. "Silakan duduk, Nona." Antoni meminta Antoni duduk di kursi tersebut. Angela dengan wajah mendongak duduk anggun menekan rasa takutnya sendiri. Antoni tampak tersenyum tipis. Senyum yang sekarang sulit untuk ditafsirkan maksudnya oleh Angela. "Saya akan meninggalkan Nona sampai waktu yang belum ditentukan. Bisa satu atau dua jam, bisa juga baru besok saya jemput." Antoni berkata demikian seperti tanpa beban. Dua anak buah Lula cepat berg
"Kenapa kau menyimpulkan begitu?""Tadi Kak Rania bilang Galih sudah dua hari tidak datang. Tapi tadi ketika masuk ke sini Tuan Antoni bilang yang membuka pagar adalah Galih. Dia sudah berbohong padaku. Remote control pagar ada padanya. Aku saja yang tidak memperhatikan gerakan tangannya.""Cukup menarik," kata Gumawang dengan senyum kecil yang misterius. "Kau ini, Wang! Jawabnya mengambang gitu. Tinggal bilang saja apa susahnya, sih!"Gumawang tertawa. "Aku hanya takut salah karena terlalu cepat menyimpulkan.""An! Motor Galih masih di gudang. Kuncinya pun masih tertancap di motornya. Jaket kulit hitamnya masih tersampir di dinding, coba nanti kau periksa siapa tahu STNK-nya ada di sana. Sekarang cepat ikuti aku!"Rania melayang cepat ke arah taman mawar Antoni kemudian berbelok ke arah kanan. Sebuah bangunan kecil seadanya terlihat di dekat pagar pembatas rumah ini. Gumawang membukakan pintu untuk Angela lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tetapi Angela tidak lagi sekhawat
Angela hanya menghela napas. Lula memang bukan perempuan biasa. Ia memiliki ilmu sihir yang mumpuni. Gumawang yang asli makhluk alam bunian saja mesti bertindak hati-hati menghadapinya. Hampir satu jam Andreas berkeliling bersama Angela. Pria itu lalu berbicara empat mata untuk menanyakan beberapa hal terkait Lula dan Antoni. Gumawang ikut menemani berdiri di samping Angela. "Sebenarnya posisi Mbak Angela di antara Lula dan Antoni itu seperti apa? Sampai saat ini saya belum mengerti," tanya Andreas dengan wajah serius. "Saya pun sebenarnya tidak begitu mengerti, Pak. Awal mula saya kenal keduanya saat merias jenazah Lily anaknya Tuan Antoni. Seiring bergulirnya waktu saya dekat dengan beliau. Ternyata di balik kedekatan itu ada semacam konspirasi untuk melenyapkan saya.""Melenyapkan Anda? Untuk apa?""Agar saya tidak mendapatkan warisan dari Tuan Gerald yang tak lain adalah ayah biologis saya. Itu pun baru saya tahu belakangan ini.""Lula itu hubungannya dengan Mbak Angela apa?""
Tubuh Angela mulai berkeringat. Cukup lama ia menunggu sampai Lula dan Antoni akhirnya datang. Wajah mereka terlihat tegang. Langkahnya cepat seperti ada yang mengejar. "Siapa yang datang?" tanya Lula seraya menarik lakban di mulut Angela. "Kau perempuan hebat. Gunakan ilmu sihirmu. Tidak perlu tanya padaku," jawab Angela dengan mata terarah pada langit-langit. Ia sengaja bersikap seolah tidak melihat Lula. Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi Angela. Ia terkesiap! Pipinya terasa panas, dadanya pun seketika bergemuruh. Sepanjang hidup inilah kali pertama seseorang berani menamparnyamenamparnya di depan orang lain. "Lula!" Antoni segera melangkah dan berhenti di hadapan Angela. "Sudah! Tidak ada gunanya menyakiti Angela. Dia tidak akan mengatakan apa pun. Aku tahu betul siapa dia." "Kau benar-benar jatuh cinta padanya, iya, kan?!" Lula bertanya dengan suara keras dan meninggi. "Bukan begitu, Lula. Lebih baik kita langsung eksekusi saja dia. Menunggu lebih lama juga ti
"Tarik saja pelatuknya, Nona. Saya siap menerima satu peluru dari pistol ini, " ujar Andreas tersenyum. Mata Lula memicing. "Apa aku tidak salah dengar Pak Polisi ganteng?""Anda tidak salah dengar, Nona," jawab Andreas yakin. Lula menyeringai. Ia terlihat senang. Tanpa menunggu lagi ia menarik pelatuk pistol miliknya. "Dor! " seru Andreas, tangannya secepat kilat merampas senjata api yang dipegang Lula. "Sial!" Lula merutuki dirinya sendiri ketika Andreas sudah menekuk tangannya ke belakang tubuhnya. Sepersekian detik kemudian dua rekan Andreas masuk ke ruangan. Salah satu dari mereka menghampiri Andreas dan dengan cepat memborgol tangan Lula lalu membawa perempuan itu ke luar. Sumpah serapah dan caci maki terlontar dari mulutnya. Ia merasa dirinya masih belum kalah dan akan membalaskan sakit hatinya pada Angela. "Tunggu waktunya, Kakak! Aku akan meneror hidupmu lagi!" pekik Lula dari ambang pintu. Angela bergeming. Ia sudah tidak punya niat untuk berdebat dengan Lula tentang
"Iya, Tante. Selama saya kenal dengan Tuan Antoni, dia belum pernah mengenalkan saya pada keluarganya.""Menunggu waktu yang tepat saja, " kata Tante Meri sambil melangkah menuju ruang UGD. Angela mengangguk. Ia menunggu di luar. Kesempatan itu ia gunakan untuk menghubungi Olla dan menjawab beberapa pesan yang masuk sejak tadi di ponselnya.Tidak lama, terlihat Pak Kardiman keluar sendirian. Ia menghampiri Angela lalu duduk di sebelahnya. "Maafkan saya, Nona," kata Pak Kardiman yang memunculkan pertanyaan di benak Angela. "Maaf untuk apa, Pak?" "Untuk semua yang saya lakukan yang berakibat buruk pada Nona. Orang kecil seperti saya lebih sering tidak punya pilihan selain patuh.""Selama ini Bapak sudah sangat baik pada saya." Angela mengusap bahu pria yang wajahnya terlihat sangat lelah. "Sebenarnya saya tahu banyak tentang Nona Lula. Ibunya dan saya berteman sejak lama. Dulu ia bekerja pada Tuan Gerald sebagai asisten rumah tangga.""Jadi, apa yang dikatakan Lula tentang ibunya t
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela