Tubuh Angela mulai berkeringat. Cukup lama ia menunggu sampai Lula dan Antoni akhirnya datang. Wajah mereka terlihat tegang. Langkahnya cepat seperti ada yang mengejar. "Siapa yang datang?" tanya Lula seraya menarik lakban di mulut Angela. "Kau perempuan hebat. Gunakan ilmu sihirmu. Tidak perlu tanya padaku," jawab Angela dengan mata terarah pada langit-langit. Ia sengaja bersikap seolah tidak melihat Lula. Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi Angela. Ia terkesiap! Pipinya terasa panas, dadanya pun seketika bergemuruh. Sepanjang hidup inilah kali pertama seseorang berani menamparnyamenamparnya di depan orang lain. "Lula!" Antoni segera melangkah dan berhenti di hadapan Angela. "Sudah! Tidak ada gunanya menyakiti Angela. Dia tidak akan mengatakan apa pun. Aku tahu betul siapa dia." "Kau benar-benar jatuh cinta padanya, iya, kan?!" Lula bertanya dengan suara keras dan meninggi. "Bukan begitu, Lula. Lebih baik kita langsung eksekusi saja dia. Menunggu lebih lama juga ti
"Tarik saja pelatuknya, Nona. Saya siap menerima satu peluru dari pistol ini, " ujar Andreas tersenyum. Mata Lula memicing. "Apa aku tidak salah dengar Pak Polisi ganteng?""Anda tidak salah dengar, Nona," jawab Andreas yakin. Lula menyeringai. Ia terlihat senang. Tanpa menunggu lagi ia menarik pelatuk pistol miliknya. "Dor! " seru Andreas, tangannya secepat kilat merampas senjata api yang dipegang Lula. "Sial!" Lula merutuki dirinya sendiri ketika Andreas sudah menekuk tangannya ke belakang tubuhnya. Sepersekian detik kemudian dua rekan Andreas masuk ke ruangan. Salah satu dari mereka menghampiri Andreas dan dengan cepat memborgol tangan Lula lalu membawa perempuan itu ke luar. Sumpah serapah dan caci maki terlontar dari mulutnya. Ia merasa dirinya masih belum kalah dan akan membalaskan sakit hatinya pada Angela. "Tunggu waktunya, Kakak! Aku akan meneror hidupmu lagi!" pekik Lula dari ambang pintu. Angela bergeming. Ia sudah tidak punya niat untuk berdebat dengan Lula tentang
"Iya, Tante. Selama saya kenal dengan Tuan Antoni, dia belum pernah mengenalkan saya pada keluarganya.""Menunggu waktu yang tepat saja, " kata Tante Meri sambil melangkah menuju ruang UGD. Angela mengangguk. Ia menunggu di luar. Kesempatan itu ia gunakan untuk menghubungi Olla dan menjawab beberapa pesan yang masuk sejak tadi di ponselnya.Tidak lama, terlihat Pak Kardiman keluar sendirian. Ia menghampiri Angela lalu duduk di sebelahnya. "Maafkan saya, Nona," kata Pak Kardiman yang memunculkan pertanyaan di benak Angela. "Maaf untuk apa, Pak?" "Untuk semua yang saya lakukan yang berakibat buruk pada Nona. Orang kecil seperti saya lebih sering tidak punya pilihan selain patuh.""Selama ini Bapak sudah sangat baik pada saya." Angela mengusap bahu pria yang wajahnya terlihat sangat lelah. "Sebenarnya saya tahu banyak tentang Nona Lula. Ibunya dan saya berteman sejak lama. Dulu ia bekerja pada Tuan Gerald sebagai asisten rumah tangga.""Jadi, apa yang dikatakan Lula tentang ibunya t
Angela tidak begitu peduli dengan semua celoteh Rachel. Baginya yang terpenting adalah anggota keluarga inti memberikan restu. Itu sudah sangat cukup. "Sekarang ceritakan padaku bagaimana seorang Antoni Hakim bisa masuk ke dalam lingkaran rencana jahat Lula?" tanya Angela, duduk manis di tepi tempat tidur memandangi wajah tampan kekasihnya. "Pak Kardiman. Dia menceritakan hal menyedihkan tentang keluarganya yang mati karena perbuatan ibunya Lula.""Kok bisa?""Dulu saudara perempuan Pak Kardiman bekerja pada Tuan Gerald, sama seperti ibunya Lula. Dia tidak sengaja mendengar pembicaraan ibunya Lula dan seseorang. Intinya ibunya Lula ingin menjadi nyonya rumah dengan menyingkirkan istri Tuan Gerald, mamanya Miranda.""Tapi tidak berhasil karena saudaranya Pak Kardiman membocorkannya pada Tuan Gerald.""Kurang lebih seperti itu.""Lalu kematian saudara Pak Kardiman bagaimana ceritanya?""Menurut orang yang mengerti. Kematian mendadak saudara Pak Kardiman karena kena santet.""Ibunya Lu
Perempuan tersebut lalu menjambak rambut Angela sekuat tenaga. Angela mendorong tubuh perempuan itu menggunakan kedua kakinya. Sementara tangannya menahan tangan perempuan tersebut yang tidak mau melepaskan cengkerama di kepala Angela. "Gumawang! Tolong!" Angela berteriak sekuatnya. Namun perempuan itu tidak peduli dan Gumawang pun tidak memunculkan diri. "Aduh!" Angela merasa kepalanya membentur sesuatu. Ia memegang kepalanya menahan sakit. Mata Angela menyipit, mengerjap beberapa kali untuk memastikan keberadaan dirinya. Ia sudah tergeletak di lantai rumah sakit tepat di samping tempat tidur khusus penunggu pasien. Ia terjatuh karena mimpi yang baru saja dialaminya. Mimpi itu seperti nyata. Perempuan yang berusaha menyakitinya pun seakan ingin menyampaikan sesuatu. Aura dendam pada diri perempuan tersebut sangat terasa. Namun, ia belum menyebutkan nama. Angela teringat anting yang ia temukan sebelum pergi tidur. Jangan-jangan perempuan itu memiliki hubungan dengan anting terse
Namun, begitu ia memutar kepalanya ke depan, semua kesan itu hilang. Wajahnya nyaris hancur. Satu bola matanya hilang, sedangkan satunya lagi hampir terlepas. Sangat sulit dikenali siapa sosok tersebut. Tetapi dari semua yang mengerikan itu, anting di sebelah telinganya sama persis dengan anting yang ada pada Angela. Angela mengambil anting tersebut dari saku jaketnya. "Apa ini yang kau cari?"Perempuan itu menunduk dengan cepat. Bunyi tulang patah terdengar sangat jelas. Angela bergidik mendengar suara tersebut. Kemudian tiba-tiba ia menghempaskan tubuhnya hingga tertelungkup dengan ujung kepalanya di depan kaki Angela. Angela refleks bergerak mundur. Namun terlambat. Tangan perempuan itu sudah memegang pergelangan kakinya. "Lepaskan!" jerit Angela menggerak-gerakkan kakinya agar tangan perempuan tersebut terlepas. Namun, tidak juga bisa.Angela pasrah, memejamkan mata. Memanggil Gumawang pun tidak ada jawaban. Mungkin dia merajuk setelah berbicara tentang Antoni tadi. Rasa din
Angela memilih berdiri agak jauh dari pemotor lainnya. Bukan tanpa alasan, orang-orang yang berteduh hampir semuanya laki-laki. Sebuah sepeda motor tiba-tiba berhenti di depannya. Tanpa dosa mengibas-ibaskan tangan tangan yang basah dan mengenai wajah Angela. "Hati-hati dong, Mas. Jangan sembarangan seperti itu. Saya manusia bukan patung!" Beberapa orang langsung menoleh ke arah Angela. Ternyata suaranya masih terdengar di antara derasnya hujan. Lelaki itu membuka helm-nya. Giliran Angela yang terkejut. "Angela!" Lelaki itu pun tampak terkejut. Angela hanya diam. Ia bahkan membuang pandang ke arah lain. Bertemu Budiman benar-benar bukan sesuatu yang ia harapkan. Terlebih di saat ia tidak bisa menghindar seperti sekarang ini. Sikap Angela yang tak acuh, sepertinya tidak berpengaruh pada Budiman. Ia berdiri santai di samping Angela."Dunia ini hanya selebar daun teratai. Tidak bertemu di sana, bisa bertemu di sini," kata Budiman tanpa menyebut Angela. Hati Angela jadi tidak tena
"Kalau sudah ketemu mau apa?""Mau nanya soal perempuan itu pastinya. Supaya dia tidak mengganggu tidurku terus.""Aku tidak kenal dekat dengan Steve. Hanya kenal begitu saja. Bertemu pun di acara-acara tertentu saja.""Kira-kira kapan ada acara lagi, Kim?""Acara tahunan pertengahan tahun depan. Masih lama.""Susah juga kalau begitu. Nanti sajalah dipikirkan. Yang terpenting kata dokter Surya, Kim sudah boleh pulang hari ini." Angela memeluk Antoni dari samping. Wajahnya semringah, bahagia. "Tapi Pak Kardiman mungkin masih beberapa hari lagi.""Seperti dugaanku sebelumnya, Pak Kardiman ada masalah di jantungnya. Harus segera dicek apakah ada sumbatan di pembuluh darahnya. Sementara pakai sopir lain dulu. Keluarga Kim pasti banyak sopirnya, iya, kan?" Angela turun dari tempat tidur, mengambil cangkir bekas minum tehnya pagi tadi. "Yang menjemput nanti sopir kantor. Kita pulang berdua saja. Tante Meri tidak bisa karena ada urusan. Begitulah keluargaku, semenjak aku tidak punya orang
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela