"Aku mau tema princes, Ma."
Talita mengguncangkan tubuhku. Dia merengek meminta tema pesta ulang tahunnya princes seperti dongeng yang sering kali aku bacakan."Beneran mau dirayakin?"Sebuah anggukan dan tatapan penuh harap terlihat jelas di netranya. Aku memutar tubuh hingga berhadapan dengannya. Guling yang menjadi pembatas sudah berpindah tepat. Di ranjang Talita kami membicarakan pesta ulang tahunnya.Bulan depan adalah bulan kelahiran Talita. Tinggal menghitung hari Talita genap berusia tujuh tahun. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa bayi yang dulu kugendong kini sudah duduk di bangku SD.Aku dan Mas Arif sudah merencanakan akan merayakan ulang tahunnya. Namun belum menemuka tema yang tepat. Beruntung Talita memberikan sebuah masukan sehingga kami tak kebingungan."Tapi bilang papa dulu, ya.""Mama aja deh."Talita membalikkan badan, mulut yang sedari tadi asyik membicarakan pesta seketika bungkam. Putri kecilku menunduk seraya memainkan ujung baju yang ia kenakan."Kenapa? Itu ulang tahun Talita, kan ... bukan ulang tahun mama.""Aku takut sama papa ... nanti gak dibolehin."Aku geser tubuh Talita hingga berhadapan denganku. Lagi-lagi dia memilih mengalihkan pandangan, enggan menatap mataku.Talita memang tak terlalu dekat dengan papanya. Pekerjaan Mas Arif sebagai fotografer menuntutnya sering kali pergi ke luar kota. Jarak yang tercipta membuat Thalita takut meminta apa pun pada papanya. Walau sebenarnya Mas Arif selalu menuruti permintaanya."Papa kasih izin kok as ....""Beneran, Ma?""Asal Talita yang bilang sendiri ke papa.""Mama aja yang kasih tahu, ya. Pliss."Sebuah anggukan kepala membuat Talita melonjak kegirangan.***Satu persatu barang di ruang tamu sudah aku keluarkan. Kursi yang terbuat dari kayu jati sudah kutata rapi di teras rumah. Hanya tersisa meja yang besok digunakan untuk meletakkan kue tart bermotif putri salju.Aku meluruskan kaki yang terasa pegal. Sejak pagi aku membersihkan dan mendekor ruangan seorang diri. Tak ada suami atau saudara yang datang membantu. Maklum kami tinggal di kota orang, jauh dari orang tua dan saudara.Di dinding ruang tamu sudah menempel tulisan nama Talita. Setiap sudut ruangan sudah terpasang balon berwarna merah muda. Tak lupa bunga mawar putih yang kurangkai indah dan kuletakkan di dekat dinding.Lengkungan indah tergambar di wajah ini. Lelah yang kurasakan seolah hilang saat membayangkan senyum Talita.Sebuah panggilan masuk menyentak lamunan indah itu. Sudut bibirku tertarik ke atas kala melihat nama mas Arif di layar ponsel. Mas Arif pasti ingin memberitahu jika ia sudah sampai bandara."Sudah sampai mana, Mas?" tanyaku setelah mengucapkan salam."Maaf, Dek.""Maaf untuk apa?""Mas gak bisa pulang hari ini?""Kenapa? Besok ulang tahun Talita. Mas harus pulang!""Mas usahakan besok sampai rumah sebelum acara di mulai.""Tapi Ma ...."Belum sempat aku melanjutkan kata, tapi Mas Arif sudah mematikan sambungan telepon. Mendadak semangat untuk menghias ruangan hilang. Kini hanya rasa lelah yang mendera. Ya, aku kecewa ... sangat kecewa.Denting jam mengusik keheningan yang tercipta. Benda berbentuk kotak yang menempel di dinding seolah menertawakan diriku. Di saat aku membutuhkan kehadiran Mas Arif, namun ia justru tak pulang.Aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang tiba-tiba mendera. Hendak berontak pun percuma, ini sudah menjadi tugas Mas Arif. Dia berusaha profesional meski terkadang mengorbankan aku dan Talita."Assalamualaikum."Aku menoleh, bibir kutarik paksa saat Eka berdiri di depan pintu yang terbuka. Perempuan itu pun masuk tanpa kupersilakan."Ada yang mau ultah nih.""Besok Talita ulang tahun, datang, ya.""Siap, Mbak."Eka menjawab seraya menoleh ke kanan dan kiri."Talita dan Mas Arif gak ada, Mbak?""Talita tidur, kecapekan niup balon tadi. Kalau Mas Arif belum pulang. Dia pulangnya besok." "Anak yang ultah kok pulangnya mepet to, Mbak."Aku hanya diam, enggan menangapi perkataan Eka."Hati-hati lho, Mbak. Lagi musim pelakor, bilangnya kerja ... eh, gak tahunya pacaran."Dadaku bergemuruh, pikiran buruk seketika hadir tanpa permisi. Benarkah perkataan Eka? Benarkah Mas Arif memiliki kekasih lain?Astagfirullah ...Aku elus dada yang terasa sesak. Segera kutepis prasangka buruk yang hadir tanpa permisi."Maaf, Ka. Aku mau istirahat."Perempuan yang lima tahun lebih muda dariku itu beranjak, melangkah pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Biar saja dia marah, toh ucapannya justru menyakiti hatiku.***Azan ashar sudah berkumandang setengah jam yang lalu. Talita sudah siap dengan gaun berwarna merah muda. Namun wajahnya masih saja ditekut. Berkali-kali aku bujuk untuk tersenyum, namun justru bulir bening yang keluar dari netranya."Papa mana, Ma? Kenapa papa gak pulang?" rengeknya membuat hatiku terasa teriris."Papa lagi di jalan, Nak. Sabar, ya."Hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan. Aku sendiri tak tahu di mana Mas Arif. Sejak kemarin nomornya tak bisa dihubungi."Mbak Rin."Aku menoleh, Eka sudah berdiri di depan pintu. Tangan perempuan itu melambai, memintaku untuk mendekat ke arahnya."Anak-anak udah pada dateng, Mbak.""Suruh masuk dulu, Ka. Aku segera ke depan."Setelah Eka pergi, aku pun membujuk Talita. Mencoba meyakinkan dia, jika papanya akan segera pulang. Meski dengan wajah ditekuk, Talita pun mengangguk.Ruang tamu sudah dipenuhi teman-teman Talita. Ada beberapa orang tua yang ikut mendampingi putra-putrinya. Mereka duduk berjajar menghadap meja dengan kue di atasnya."Nunggu Papa, Ma."Aku pun meminta maaf pada tamu undangan karena pesta harus diundur beberapa menit. Ada kekecewaan yang terlihat di mata anak-anak. Namun tak ada pilihan selain menunggu, meski sampai kapan.Sudah tiga puluh menit kami menunggu kedatangan Mas Arif, namun ia tak jua datang. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya, namun nihil ... nomor Mas Arif tak dapat dihubungi. Ya Allah ... bagaimana ini?"Kita mulai, ya, Mbak."Aku mengangguk, tak tega melihat para undangan yang menunggu lama. Dipandu Eka semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun."Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga.""Tunggu!"Seketika semua berhenti bernyanyi. Mereka sontak menatap ke arah sumber suara. Mas Arif melangkah mendekat ke arah kami."Papa!" teriak Talita kemudian memeluk tubuh Mas Arif."Dia juga anak Papa?"Seorang anak perempuan muncul dari balik pintu. Dia memanggil suamiku dengan sebutan papa. Apa-apaan ini?"Papa?"Mas Arif terdiam, keringat sebesar biji jagung memenuhi sekujur tubuhnya. "Siapa dia, Mas? Kenapa anak itu memanggil kamu papa?"Suaraku bergetar, namun sekuat tenaga kutahan bulir bening yang terus memaksa untuk keluar. Aku tak boleh menangis di hadapan Talita dan semua orang, meski tak dapat kupungkiri hatiku hancur. Sangat hancur. "Akan aku jelaskan, tapi tidak sekarang Rin," bisiknya namun masih dapat kudengar dengan jelas. "Dia adik aku, Pa?"Anak perempuan itu mendekat, menggenggam erat tangan suamiku. Kedekatan mereka membuat Talita mundur beberapa langkah. Dia pun bersembunyi di belakang punggungku. Tangannya mencengkeram kuat ujung tunik yang aku kenakan. Dalam kurasakan Talita marah dan kecewa. Bisik-bisik para ibu-ibu tak dapat terelakkan. Bahkan ada teman Talita yang lantang menanyakan siapa anak yang dibawa suamiku. Ya Tuhan ... apa ini? "Em ... acaranya akan saya mulai lagi, ya."Eka kembali mengalihkan perhatian. Dia mencoba mencairkan ketegangan yang melan
"Cintya anakku!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Bahkan seperti kaset yang diputar berulang. Namun bukan bosan yang aku rasakan, melainkan luka yang tak mampu aku jelaskan. Denting jam berbentuk hellokitty terdengar jelas di tengah keheningan malam. Namun jarum jam seolah berjalan lambat. Biar saja malam bejalan lebih lama, toh aku tak mengharapkan pagi segera datang. Aku enggan bertatap muka Mas Arif apalagi anak itu. Aku mengubah posisi, sedikit miring menghadap Talita. Bulir demi bulir jatuh saat melihat wajah polos putri kecilku. Sesak jika mengingat kenyataan ini. "Cintya anakku!""Cukup!"Cukup menghantui diriku. Cukup membuatku tersiksa dengan kenyataan pahit ini. Jangan lagi kamu siksa aku dengan ucapan itu. Aku beranjak, berjalan keluar meninggalkan Talita yang masih terlelap di atas ranjang. Ya, aku memilih tidur dengan Talita. Rasanya tak sudi jika tidur satu kamar bahkan satu ranjang dengan lelaki pembohong.Pintu kamar kubuka perlahan. Gelap, hanya sinar
"Urus saja anak kamu sendiri!"Mobil segera kujalankan meninggalkan halaman rumah. Aku abaikan wajah mengiba Mas Arif. Lelaki itu kenapa memikirkan perasaannya sendiri, tak tahukan betapa hancur hatiku ini. Hening, tak satu kata yang mampu keluar dari mulutku. Talita sendiri asyik dengan ponsel. Seolah tak ada masalah yang menimpanya. Sejujurnya aku ingin kembali seperti anak kecil. Mereka bisa tersenyum meski kenyataan tak seindah khayalan. Mereka mudah menangis, namun dalam sekejap dapat tertawa hanya karena hal konyol. Dewasa menyakitkan, apalagi jika takdir mempermainkan hidup dan hati. Ingin memaki, tapi tidak tahu pada siapa? Menjerit pun percuma. Nyatanya berdamai dengan keadaan tak semudah mengomentari kehidupan orang lain. Taman terbilang sepi saat kami tiba. Mungkin karena ini hari kerja sehingga tak banyak orang yang bermain di sini. "Talita mau main apa?""Prosotan sama ayunan, Ma.""Mama tunggu di sini, ya."Talita mengangguk, lalu berlari menuju tempat bermain. Aku
Aku menghela napas beberapa kali. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Ingin rasanya memaki, namun memilih diam karena keputusan Mas Arif tak bisa diganggu gugat. Hening, mobil ini berjalan lambat. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Bahkan tak ada alunan lagu yang terdengar. Tegang, itu yang kami rasakan saat ini. Ingin rasanya lari, atau mungkin menghilang dalam sekejap. Namun lagi-lagi tubuh terpatri. Sungguh, aku benci keadaan ini. Pernikahan adalah menyatukan dua orang untuk hidup bersama dalam istana yang dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan. Mulanya aku percaya penuh jika istanaku akan berdiri kokoh. Namun rupanya aku salah, istana kami dibangun dengan pondasi kebohongan, perlahan bangunan itu mulai rapuh bahkan nyaris roboh. Semenjak kedatangan Cintya, rumahku bak neraka. Amarah dan kebencian justru semakin kuat mengakar. Tuhan, apa yang harus aku lakukan saat rasa percaya nyaris hilang? Aku duduk tepat di samping Mas Arif, namun tak sediki
"Bagaimana, Bu. Syarat untuk mendaftarkan sudah ada, kan?"Ibu kepala sekolah kembali bertanya setelah kami diam untuk beberapa saat. Lebih tepatnya aku mengabaikan kepanikan Mas Arif. Biar saja dia bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Toh dia tega menghancurkan kebahagiaan kami. "Bu Karina.""Itu urusan suami saya, Bu. Saya tidak mau ikut campur."Seketika Mas Arif menatapku tajam, namun aku pura-pura tak melihat. Biar dia mengurus sendiri urusannya dengan Cintya. "Ini rapot dari sekolahnya terdahulu, Bu. Kartu keluarga menyusul. Apakah boleh?" Mas Arif meletakkan dokumen penting di atas meja. "Maaf, Bu. Saya permisi, biar suami saya yang mengurus semuanya."Aku beranjak sebelum ibu kepala sekolah menjawab ucapanku. Jujur saja aku tak sanggup berada di tempat itu terlalu lama. Ada rasa sesak yang kian terasa di dada. Aku takut menangis di depan wanita nomor satu di sekolah ini. Aku melangkah perlahan menuju mobil. Semilir angin memainkan rambut yang kubiarkan tergerai. Sesek
"Apa maksud kamu, Mas? Mengangkat anak? Cintya bukan anak kamu!"Mas Arif terdiam, wajahnya menjadi tegang kala aku berbalik dan menatap tajam netranya. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, pura-pura mencari ponsel padahal benda itu ada di tangan. Sungguh tak masuk akal. "Kamu ngelantur, ya, Dek? Mana ada aku bilang angkat anak?"Aku menggeleng pelan, kecewa dengan sikap Mas Arif yang tak mau berkata jujur. Jelas aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Apa dia pikir aku tuli? Jangan membohongiku, Mas! "Siapa ibunya Cintya? Di mana rumahnya? Aku mau tahu asal usul Cintya.""Mas udah bilang dia anakku, kan!""Aku minta Mas jujur! Kalau tidak, jangan salahkan aku jika rumah tangga kita menjadi taruhannya!""Kok ngomongnya gitu? Jangan ngomong sembarangan, Dek!"Mas Arif menyentuh pergelangan tangan kananku. Namun kutepis kasar tangan itu. Melangkah dengan kesal menuju kamar. Akan kucari tahu sendiri, Mas!Suara ketukan pintu kamar menyentak lamunanku. "Ma ...."Suara Cintya
"Apa-apaan kamu, Rin? Tas saja dipermasalahkan.""Bukan masalah tasnya, Mas. Cara kamu yang salah, harusnya kamu izin pada Talita terlebih dahulu. Bukan justru mengambilnya begitu saja."Mas Arif membisu, tak mampu menjawab ucapanku. Lelaki itu justru kembali masuk ke rumah. Dia tinggalkan rasa kesal yang bersemayam dalam rongga dada. "Maaf, ya, Ma."Cintya menunduk, bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku mengelus dada yang terasa sesak. Baru beberapa hari Cintya berada di sini. Namun rumah ini bak di dalam neraka. "Tas Talita, Ma ...."Talita terus merengek sambil menangis. Kepalaku mendadak mau pecah. Tuhan, bagaimana ini? "Sudah, Ta. Kasihan Kak Cintya gak punya tas."Aku elus pucuk kepala Talita. Namun ia semakin menangis sesenggukan. "Tapi Ma ....""Talita masih punya tas yang lain. Kalau mama punya uang, kita beli lagi."Aku terus membujuk Talita agar diam. Dengan wajah ditekuk Talita masuk ke dalam mobil, disusul Cintya dan aku. Aku fokus mengendarai mobil, mengesampin
[Tolong jemput Cintya, Mas.]Aku segera mengajak Talita untuk pulang setelah pihak sekolah menyelesaikan biaya administrasi. Empat jahitan untuk menutup luka di keningnya. "Talita udah makan?" "Belum, Ma.""Mau makan apa?" "Steak, Ma."Kami menuju sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Sebuah restoran yang menghidangkan berbagai jenis steak. Ini adalah salah satu restoran yang sering kami kunjungi. Selain tempatnya yang nyaman, rasa masakan pas di lidah kami. Talita memesan steak udang, menu kesukaannya. Aku sendiri memilih memesan minuman dingin. Kenyang karena sempat makan pizza bersama Cantika, meski hanya satu potong. Entah kenapa sejak kedatangan Cintya, nafsu makanku menghilang. "Kenapa bisa jatuh dan dijahit, Ta?" tanyaku pelan. Talita menyeruput es teh lalu menatap lekat netra ini. Bibir yang semula mengembang seketika redup. Senyum itu hilang, diganti sebuh kekecewaan yang nampak jelas di sana. "Katakan pada mama, Ta."Aku genggam jemarinya, memberi sebuah kekuata
Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca
"Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.
"Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha
“Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d
"Benar itu, Rin?, Kalian akan segera menikah?""Iya, Mas. Kami akan segera menikah, secepatnya."Mas Arif mengusap wajah kasar. Tanpa berpamitan ia pergi meninggalkan ruang rawat inapku. Sebongkah batu yang memenuhi dadaku seketika hilang. Bersamaan dengan perginya lelaki bergelar mantan suami. Lega karena dia tak muncul di hadapanku lagi. Denting jam terdengar begitu keras. Seolah mengisi keheningan karena kami memilih saling diam. Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa, bingung. "Fajar ....""Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Rin. Kamu tak sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kan? Kamu lakukan untuk mengusir Arif."Kata-kata itu menampar telak diriku. Menciptakan rasa malu. Andai bisa berlari, ingin kutenggelamkan muka ini ke dasar bumi. "Maafkan aku, Jar."Aku menunduk, meremas jemari, menghilangkan perasaan bersalah. Nyatanya semakin besar aku mencoba menghilangkan, rasa itu kian jauh dalam tertanam. "Kenapa diam sih, Rin? Aku lho gak mempermasalahkan itu."Aku mendonga
"Bagaimana nasib Talita, Jar?"Aku kian khawatir. Menunggu lelaki itu bicara, tapi tak sepatah kata keluar dari mulutnya. "Talita gak kenapa-kenapa, Rin. Dia baik-baik saja.""Tapi tadi ....""Talita bersama Cantika di rumahnya. Ada yang usil sama kamu. Dia bilang Talita kecelakaan, kan? Padahal putri kamu baik-baik saja."Perkataan Fajar benar. Kalau dipikir ulang memang ada kejanggalan tentang kejadian tadi. Panik membuat aku tak sadar jika Talita masih berada di sekolah. Logika kalah dengan kecemasan. Kabar yang kudengar bak nyata. Sehingga kepala tak bisa berpikir dengan benar. "Kenapa kamu bisa sampai seperti ini, Rin?"Aku menggeleng, tak bisa berkata apa pun. Kejadian ini terlalu cepat. Sehingga aku tak tahu apa yang terjadi. "Aku harus pulang, Jar. Kasihan Talita sendirian di rumah."Aku hendak bergerak tapi sebuah tangan menahan gerakanku. Disusul tatapan tajam dengan gelengan kepala dari lelaki itu. Fajar melarang aku bergerak, apalagi meninggalkan ruangan ini. "Lalu T
"Memang Talita mau jadi anak Om?"Mata membola, mulut terbuka lebar, nyaris es krim salah masuk jalur. Apa lagi yang Fajar inginkan? Haruskah secepat ini, saat luka dalam dada masih menganga. Meminta Talita memanggil papa di saat keadaan seperti ini bukan hal yang bagus. Fajar seolah memaksakan kehendaknya sendiri. Apa semua lelaki seperti itu? "Talita masih punya papa, Om."Talita membisu, wajah yang berseri kini menjadi sendu. Ya, sejak kejadian itu dia selalu sedih tiap kali mendengar atau mengingat papanya. Sebesar itukah luka hatinya? "Buat Talita besok minggu Om ajarkan deh!""Asyik!" Talita memeluk Fajar. Senyum itu kembali tercipta. Aku trauma. Menatap Fajar dan Talita kembali menggoreskan 3. Aku takut dia sama dengan Mas Arif, hanya pura-pura cinta. Nyatanya ada hati lain yang dijaga. Lagi-lagi aku kebingungan. Mulut seketika membisu, seolah ada lem yang menempel hingga di setiap sudut. Apa yang harus kujawab ketika Fajar kembali mengungkapkan rasa. Sedang hati meronta k
Malam kian larut, tapi rasa kantuk tak jua datang. Bayangan Mas Arif datang membawa paksa Talita kian menari dalam angan. Aku takut, ucapannya akan menjadi nyata. Bagaimana jika ia benar-benar mengambil Talita dariku? Denting jam memecah keheningan malam. Memaksa tubuhku terbangun lalu melangkah menuju kamar mandi. Berwudhu, melaksanakan ibadah sunah di sepertiga malam terakhir. Sesak dalam dada tumpah, menangis seorang diri di sepinya malam. Mengadu pada Illahi Robbi, karena hanya Dia tempat untukku berbagi. Hingga aku lelah dan terlelap di atas sajadah. ***"Boleh mama tanya sesuatu, Ta?"Talita mengangguk, kemudian meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja. Dia diam, menatap lekat netra ini. Talita menunggu kata yang terucap dari mulutku, tapi justru sesak kembali memenuhi rongga dada. "Tanya apa sih, Ma? Kenapa jadi diam? Keburu berangkat sekolah ini.""Apa Talita ingin tinggal bersama papa?""Memang boleh, Ma?"Aku mengangguk meski terasa begitu berat. Sadar, Talita jug
"Iya ini, Ma. Mbak Karina yang dicintai Bang Fajar."Aku menelan ludah dengan susah payah, seolah ada batu besar yang menghalangi setetes air masuk. Terpaku, mendadak mulut ini kelu. Apa yang harus kujelaskan? Heran, kenapa calon istri Fajar mengetahui segalanya. Bahkan dengan santai mengatakan hal tersebut. Pasangan macam apa mereka ini? "Maaf, Mbak Salwa. Saya dan Fajar tidak memiliki hubungan apa pun. Itu sudah menjadi bagian masa lalu kami. Saya tidak mungkin menjadi perusak hubungan Mbak Salwa dan Fajar. Tolong jangan salah paham."Seketika Mbak Salwa dan ibunya tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu dari ucapanku? Perkataanku benar ... aku dan Fajar tidak memiliki hubungan apa pun. Lalu apa yang mereka tertawakan? "Ya Allah, Mbak. Bang Fajar itu kakak kandungku. Dia bukan calon suamiku. Jadi Mbak Karina menghindari Bang Fajar karena ini?""Kakak kandung? Lalu kenapa dia yang mengantarkan kamu mengurus pernikahan, Mbak? Bukankah harusnya pasangan, Mbak?""Calon suami saya bera