"Cintya anakku!"
Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Bahkan seperti kaset yang diputar berulang. Namun bukan bosan yang aku rasakan, melainkan luka yang tak mampu aku jelaskan.Denting jam berbentuk hellokitty terdengar jelas di tengah keheningan malam. Namun jarum jam seolah berjalan lambat. Biar saja malam bejalan lebih lama, toh aku tak mengharapkan pagi segera datang. Aku enggan bertatap muka Mas Arif apalagi anak itu.Aku mengubah posisi, sedikit miring menghadap Talita. Bulir demi bulir jatuh saat melihat wajah polos putri kecilku. Sesak jika mengingat kenyataan ini."Cintya anakku!""Cukup!"Cukup menghantui diriku. Cukup membuatku tersiksa dengan kenyataan pahit ini. Jangan lagi kamu siksa aku dengan ucapan itu.Aku beranjak, berjalan keluar meninggalkan Talita yang masih terlelap di atas ranjang. Ya, aku memilih tidur dengan Talita. Rasanya tak sudi jika tidur satu kamar bahkan satu ranjang dengan lelaki pembohong.Pintu kamar kubuka perlahan. Gelap, hanya sinar lampu dari kamar Talita yang menerangi ruang keluarga. Kamar Talita berada di depan ruang keluarga. Di sisi sebelah ada mushola kecil, tempat kami shalat berjamaah.Lampu ruang keluarga kunyalakan sebelum pintu kamar tertutup rapat. Aku berjalan perlahan agar tak membangunkan Talita.Dinginnya air tak menurunkan keinginanku untuk berwudhu. Aku ingin mengadu pada sang pemberi kehidupan. Kenapa badai tiba-tiba datang hingga meluluhlantahkan istanaku.Bulir demi bulir jatuh saat aku menjalankan shalat. Sesak kembali hadir tanpa kuminta. Aku diam seraya menengadahkan tangan. Tak ada kata yang mampu aku ucapkan, hanya air mata yang mengalir membasahi pipi hingga mukena yang kukenakan.Ya Robb...Entah rencana apa yang Engkau berikan padaku? Kenapa rasanya begitu sesak? Seolah tak ada pasokan oksigen yang mampu kuhirup. Aku rapuh ... aku hancur."Karina."Aku menoleh, Mas Arif sudah berdiri di depan pintu. Netranya menatap lekat padaku. Tak lama cairan bening terjun dari sudut mata itu.Kenapa dia harus menangis? Bukankah dia yang menancapkan belati di hati ini? Lalu untuk apa air mata itu? Sandiwara semata. Maaf, Mas ... aku sudah tak bisa mempercayaimu lagi.Buru-buru aku lipat mukena dan meletakkan di atas lemari kecil. Tanpa berkata-kata, aku berjalan melewati Mas Arif. Namun langkah ini terhenti saat sebuah tangan menarik tanganku."Mas pengen bicara, Dek.""Apa lagi yang mau Mas bicarakan? Bukankah sudah jelas, Cintya anak kamu. Entah dari wanita mana?'"Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Rin.""Apa? Cintya anak kamu, kan?""Iya."Aku tepis tangan kekar yang menarik tangan ini. Segera aku berjalan masuk ke kamar Talita. Aku tinggalkan Mas Arif yang masih mematung di pintu mushola.Sempat aku berharap ucapan Mas Arif hanya gurauan semata. Seperti yang terjadi di media sosial. Namun salah, Mas Arif tak pernah bercanda dengan ucapannya. Termasuk soal Cintya.***Azan subuh telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Namun badan masih enggan beranjak dari ranjang. Kepala terasa pusing karena semalam tak dapat tidur nyanyak. jangankan terlelap, justru kalimat Mas Arif terus saja terngiang di telinga.Aku paksa tubuh melangkah keluar untuk melaksanakan ibadah wajib dua rakaat. Lagi-lagi bulir bening jatuh saat aku menengadahkan tangan, berdoa kepada Illahi Robbi. Sungguh berat jalan yang Allah berikan padaku.Pukul 06.15 semua sudah berkumpul di meja makan. Hening tak ada percakapan di antara kami. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring."Talita udah selesai? Mama anter, ya?"Aku mengambil piring kotor Talita dan meletakkannya di wastafel. Mas Arif dan anak itu masih menikmati sarapan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Entah terbuat dari apa hati mereka?Talita masih diam, tak menjawab ucapanku. Dia sibuk meremas tangan di atas meja. Tidak ada senyum yang nampak seperti biasanya. Putri kecilku memilih menundukkan kepala. Tak lama air bening jatuh hingga menempel di atas meja."Talita gak mau sekolah, Ma! Talita malu karena pesta ulang tahun kemarin. Talita takut diledek teman-teman."Diam, tak ada kata yang mampu aku ucapkan. Perkataan Talita kembali menghantam hati yang hancur ini."Papa antar, ya, Nak. Pakai mobil deh!""Cintya ikut ya, Pa!"Ingin aku tampar mulut anak itu. Disaat seperti ini, kenapa ia ikut berkomentar. Tak bisakah dia diam sesaat saja?"Gak mau! Aku gak mau pergi ke sekolah!"Talita berlari menuju kamar. Tangisnya semakin menjadi, bahkan terdengar hingga ke ruang makan."Puas kamu menyakiti hati anak kamu, Mas!"Sambil menghentakkan kaki, kutinggalkan Mas Arif dan Cintya di ruang makan."Talita ...."Pintu kubuka perlahan, Talita tidur tengkurap dengan wajah menempel di bantal. Dia masih menangis sesenggukan. Tanpa sadar bulir demi bulir jatuh membasahi pipi, sakit saat melihat putri kecilku menjatuhkan air mata."Aku gak mau sekolah, Ma! Gak mau! Aku malu!"Menjatuhkan bobot di samping Talita, perlahan aku elus punggungnya yang masih bergetar."Hari ini Talita boleh gak masuk sekolah. Tapi besok harus berangkat sekolah, ya, Nak.""Tapi, Ma ...."Talita membalikkan badan, menatap lekat netra ini. Seolah memohon agar aku mengabulkan keinginannya. Namun tak mungkin ia terus menerus membolos. Sekolah adalah kewajiban, semua untuk masa depannya."Aku gak mau sekolah, Ma. Aku takut diejek teman-teman."Putri kecilku menundukkan kepala, tangisnya kembali pecah. Dia terisak hingga wajahnya basah oleh air mata."Talita mau pergi jalan-jalan?"Talita diam, tak lama sebuah anggukan ia berikan. Aku paksa diri ini tersenyum, meski hati tercabik tak berbentuk. Semua demi Talita.Seorang ibu harus terlihat baik-baik saja meski hati remuk tak berbentuk. Karena kesedihan seorang ibu akan menjadi luka bagi anak.Tidak butuh waktu lama Talita sudah berganti pakaian, begitu pula diriku. Saat ini biarlah dia kami menenangkan diri. Talita butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit ini, sama sepertiku."Mau ke mana, Dek?"Mas Arif berjalan mendekat, ia menelisik penampilanku. Tatapannya membuatku semakin risih. Entah kenapa aku enggan ditatap oleh suamiku sendiri."Mau cari udara segar. Aku dan Talita butuh kewarasan untuk menjalani kenyataan pahit seperti ini."Aku sambar kunci mobil dan tas yang tergeletak di atas nakas. Tanpa berpamitan aku melangkah pergi. Tidak sopan memang, tapi lukaku terlalu dalam untuk sebuah kebohongan yang ia tutupi delapan tahun, bahkan lebih."Ayo, Ma!"Suara Talita terdengar jelas meski dia duduk di teras. Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju pintu depan. Ternyata Talita sudah masuk mobil terlebih dahulu."Kita ke taman dulu, baru ke mall, Ma?" tanyanya seraya memasang sabuk pengaman."Iya, Sayang. Mall belum buka kalau pagi begini."Talita mengangguk tanda mengerti. Mobil kunyalakan, tak lupa sabuk pengaman kupasang."Karina! Karina!"Ketukan di kaca mobil menyita perhatianku. Mas Arif sudah berdiri di samping kanan mobil. Sedikit kesal kubuka kaca mobil tersebut."Apa?""Kamu mau ke mana?""Jalan-jalan.""Cintya boleh ikut, Dek?""Urus saja anak kamu sendiri!"Mobil segera kujalankan meninggalkan halaman rumah. Aku abaikan wajah mengiba Mas Arif. Lelaki itu kenapa memikirkan perasaannya sendiri, tak tahukan betapa hancur hatiku ini. Hening, tak satu kata yang mampu keluar dari mulutku. Talita sendiri asyik dengan ponsel. Seolah tak ada masalah yang menimpanya. Sejujurnya aku ingin kembali seperti anak kecil. Mereka bisa tersenyum meski kenyataan tak seindah khayalan. Mereka mudah menangis, namun dalam sekejap dapat tertawa hanya karena hal konyol. Dewasa menyakitkan, apalagi jika takdir mempermainkan hidup dan hati. Ingin memaki, tapi tidak tahu pada siapa? Menjerit pun percuma. Nyatanya berdamai dengan keadaan tak semudah mengomentari kehidupan orang lain. Taman terbilang sepi saat kami tiba. Mungkin karena ini hari kerja sehingga tak banyak orang yang bermain di sini. "Talita mau main apa?""Prosotan sama ayunan, Ma.""Mama tunggu di sini, ya."Talita mengangguk, lalu berlari menuju tempat bermain. Aku
Aku menghela napas beberapa kali. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Ingin rasanya memaki, namun memilih diam karena keputusan Mas Arif tak bisa diganggu gugat. Hening, mobil ini berjalan lambat. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Bahkan tak ada alunan lagu yang terdengar. Tegang, itu yang kami rasakan saat ini. Ingin rasanya lari, atau mungkin menghilang dalam sekejap. Namun lagi-lagi tubuh terpatri. Sungguh, aku benci keadaan ini. Pernikahan adalah menyatukan dua orang untuk hidup bersama dalam istana yang dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan. Mulanya aku percaya penuh jika istanaku akan berdiri kokoh. Namun rupanya aku salah, istana kami dibangun dengan pondasi kebohongan, perlahan bangunan itu mulai rapuh bahkan nyaris roboh. Semenjak kedatangan Cintya, rumahku bak neraka. Amarah dan kebencian justru semakin kuat mengakar. Tuhan, apa yang harus aku lakukan saat rasa percaya nyaris hilang? Aku duduk tepat di samping Mas Arif, namun tak sediki
"Bagaimana, Bu. Syarat untuk mendaftarkan sudah ada, kan?"Ibu kepala sekolah kembali bertanya setelah kami diam untuk beberapa saat. Lebih tepatnya aku mengabaikan kepanikan Mas Arif. Biar saja dia bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Toh dia tega menghancurkan kebahagiaan kami. "Bu Karina.""Itu urusan suami saya, Bu. Saya tidak mau ikut campur."Seketika Mas Arif menatapku tajam, namun aku pura-pura tak melihat. Biar dia mengurus sendiri urusannya dengan Cintya. "Ini rapot dari sekolahnya terdahulu, Bu. Kartu keluarga menyusul. Apakah boleh?" Mas Arif meletakkan dokumen penting di atas meja. "Maaf, Bu. Saya permisi, biar suami saya yang mengurus semuanya."Aku beranjak sebelum ibu kepala sekolah menjawab ucapanku. Jujur saja aku tak sanggup berada di tempat itu terlalu lama. Ada rasa sesak yang kian terasa di dada. Aku takut menangis di depan wanita nomor satu di sekolah ini. Aku melangkah perlahan menuju mobil. Semilir angin memainkan rambut yang kubiarkan tergerai. Sesek
"Apa maksud kamu, Mas? Mengangkat anak? Cintya bukan anak kamu!"Mas Arif terdiam, wajahnya menjadi tegang kala aku berbalik dan menatap tajam netranya. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, pura-pura mencari ponsel padahal benda itu ada di tangan. Sungguh tak masuk akal. "Kamu ngelantur, ya, Dek? Mana ada aku bilang angkat anak?"Aku menggeleng pelan, kecewa dengan sikap Mas Arif yang tak mau berkata jujur. Jelas aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Apa dia pikir aku tuli? Jangan membohongiku, Mas! "Siapa ibunya Cintya? Di mana rumahnya? Aku mau tahu asal usul Cintya.""Mas udah bilang dia anakku, kan!""Aku minta Mas jujur! Kalau tidak, jangan salahkan aku jika rumah tangga kita menjadi taruhannya!""Kok ngomongnya gitu? Jangan ngomong sembarangan, Dek!"Mas Arif menyentuh pergelangan tangan kananku. Namun kutepis kasar tangan itu. Melangkah dengan kesal menuju kamar. Akan kucari tahu sendiri, Mas!Suara ketukan pintu kamar menyentak lamunanku. "Ma ...."Suara Cintya
"Apa-apaan kamu, Rin? Tas saja dipermasalahkan.""Bukan masalah tasnya, Mas. Cara kamu yang salah, harusnya kamu izin pada Talita terlebih dahulu. Bukan justru mengambilnya begitu saja."Mas Arif membisu, tak mampu menjawab ucapanku. Lelaki itu justru kembali masuk ke rumah. Dia tinggalkan rasa kesal yang bersemayam dalam rongga dada. "Maaf, ya, Ma."Cintya menunduk, bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku mengelus dada yang terasa sesak. Baru beberapa hari Cintya berada di sini. Namun rumah ini bak di dalam neraka. "Tas Talita, Ma ...."Talita terus merengek sambil menangis. Kepalaku mendadak mau pecah. Tuhan, bagaimana ini? "Sudah, Ta. Kasihan Kak Cintya gak punya tas."Aku elus pucuk kepala Talita. Namun ia semakin menangis sesenggukan. "Tapi Ma ....""Talita masih punya tas yang lain. Kalau mama punya uang, kita beli lagi."Aku terus membujuk Talita agar diam. Dengan wajah ditekuk Talita masuk ke dalam mobil, disusul Cintya dan aku. Aku fokus mengendarai mobil, mengesampin
[Tolong jemput Cintya, Mas.]Aku segera mengajak Talita untuk pulang setelah pihak sekolah menyelesaikan biaya administrasi. Empat jahitan untuk menutup luka di keningnya. "Talita udah makan?" "Belum, Ma.""Mau makan apa?" "Steak, Ma."Kami menuju sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Sebuah restoran yang menghidangkan berbagai jenis steak. Ini adalah salah satu restoran yang sering kami kunjungi. Selain tempatnya yang nyaman, rasa masakan pas di lidah kami. Talita memesan steak udang, menu kesukaannya. Aku sendiri memilih memesan minuman dingin. Kenyang karena sempat makan pizza bersama Cantika, meski hanya satu potong. Entah kenapa sejak kedatangan Cintya, nafsu makanku menghilang. "Kenapa bisa jatuh dan dijahit, Ta?" tanyaku pelan. Talita menyeruput es teh lalu menatap lekat netra ini. Bibir yang semula mengembang seketika redup. Senyum itu hilang, diganti sebuh kekecewaan yang nampak jelas di sana. "Katakan pada mama, Ta."Aku genggam jemarinya, memberi sebuah kekuata
Suara ketukan pintu terdengar jelas sampai ke kamar. Aku beranjak, melangkah gontai menuju sumber suara. Cintya dan Pak Didik sudah berdiri di terasa saat pintu kubuka. Perasaan lega hadir tanpa diminta, meski tak bisa menampik jika amarah dan kebencian masih bertahta di tempat yang sama. "Maaf, Pak jadi merepotkan," ucapku tak enak hati. Sebenarnya ini salah Mas Arif, tapi justru aku yang menanggung malu. Ah, bukan hanya malu tapi menjadi tempat melampiaskan amarahnya. Sebenarnya aku ini harus bagaimana? Cintya segera masuk setelah guru matematika itu pulang. Aku hanya diam, membiarkan anak kecil itu berada dalam tempat aman, kamar. Sebenarnya jiwa ini meronta, ingin bertanya tentang masalah Talita. Namun kembali aku urungkan. [ Cintya sudah pulang.]Aku mengirimkan sebuah pesan pada Mas Arif. Tak lama pesan tersebut berubah warna menjadi centang biru. Namun tak ada balasan dari lelaki itu. Duduk di ruang keluarga seraya menunggu kedatangan Mas Arif. Kamar Cintya berada persisi
Tubuhku luruh di lantai. Ponsel Mas Arif pun terlepas dari genggaman. Baru saja aku bernapas lega, bahkan mulai berdamai dengan kenyataan, namun kenapa Tuhan memberiku sebuah kejutan baru. Makasih udah mau jaga anak aku, Yang. Kalimat itu bak syair lagu yang terus terngiang di telinga. Namun bukan lagu cinta dan kebahagiaan, melainkan lagu kematian. Tuhan, misteri apa yang Engkau hadirkan untukku? Kenapa rasanya menyesakkan dada? Beberapa menit aku duduk di lantai dengan tubuh menempel di tembok. Tangisku kembali pecah, bahkan kini semakin menyesakkan dada. Mas Arif membohongiku lagi. Moya Zaya ... siapa pemilik nama itu? Kenapa dia memanggil sayang kepada Mas Arif? Tunggu ... anak mana yang ia maksud? Ibukah ibu Cintya Sri Sari Ningsih, bukan Moya Zaya. Tuhan, teka-teki macam apa ini? Aku hembuskan napas perlahan, mengatur sesak yang masih bersemayam dalam rongga dada. Sesakit ini menerima kenyataan. Setelah cukup tenang aku pun beranjak lalu melangkah menuju kamar. Aku s
Pov Arif"Kenapa kamu bohongi aku, Rif? Katanya motret ... gak taunya mau kawin lagi. Apa aku kurang?"Aku diam, tak lagi menjawab ucapan Sasa. Pikiranku justru melayang, membayangkan wajah Karina.Bodoh, satu kata yang pantas menggambarkan diriku. Melepas berlian hanya untuk perak semata. Ingin kembali tapi nyatanya tak bisa. "Diem terus! Diem terus! Ngomong, Rif!" hardik Sasa. "Maaf, Sa ... maaf."Dari ribuan kata, hanya itu yang terlintas di kepala. Maaf ... maaf karena aku membuka pintu hingga kisah lama kembali berseru. Berharap rangakaiannya akan indah dan sempurna, tapi nyatanya berbeda. Sasa mendengus kesal, memiih diam sepanjang perjalanan Boyolali sampai Jakarta. Aku sendiri tenggelam dalam bayangan penyesalan yang tak bertepi. Sasa duduk di samping Cintya, tepat berhadapan denganku. Beruntung anak itu terlelap saat perdebatan terjadi di antara kami. Kini aku memilih memejamkan mata, menikmati jalannya kereta hingga sampai kota tujuan. ***"Aku berangkat dulu, Rin!" uca
"Sa--Sasa...," panggilnya terbata. Mas Arif gelagapan, wajahnya seketika menegang. Ada gurat ketakutan di sana. Entah ke mana tampang penuh percaya diri itu? Sasa mendekat, tanpa diminta dia duduk tepat di samping Mas Arif. Kedatangan Sasa membuat bapak dan ibu kebingungan. Sementara Talita meremas pakaianku dengan kencang. “Ini siapa, Nak Arif?”Bapak menatap tanda tanya pada perempuan yang duduk di samping mantan suamiku. Aku diam, memberi ruang dua orang itu untuk bicara. Saatnya menyaksikan pertunjukan.“Jelaskan, Nak Arif.” Ibu ikut menanyakan hal yang sama. Mereka sangat penasaran.“I-Ini ....”“Saya Sasa, istri Mas Arif. Lebih tepatnya istri di bawah tangan.”Spontan kedua mata mereka melotot. Wajah bapak pun menegang dengan mata menatap tajam dua insan di hadapan kami. Kaget kan, pak? Ya, seperti itu sikap menantu kesayangan kalian.“Istri Arif?”“Iya, Tante. Saya istri baru Arif. Kemarin dia bilang akan melakukan pemotretan, tapi malah datang kemari untuk melamar Karina.
"Bapak bicara dengan siapa?" "Bukan dengan siapa-siapa." Bapak pun mematikan sambungan teleponnya. "Sudah beli baksonya? Enak, to?"Aku mengangguk. Tidak lama bapak pergi menjauh. Meninggalkan tanda tanya yang kucoba tutupi. Lebih tepatnya menepis prasangka yang ada. Dering ponsel membangunkan diriku dari lelapnya tidur siang. Sudut bibir tertarik ke atas kala melihat gambar Talita di layar ponsel. "Kamu baik-baik saja, Rin?" tanya Fajar dari sambungan telepon. Entah kenapa kali ini ada bunga yang bermekaran. Padahal lelaki itu hanya menanyakan kabar. Apa sudah ada rasa untuknya? "Baik, Jar. Maaf, aku belum menjelaskan kepada orang tuaku. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Setidaknya hingga marahnya mereda.""Aku menanyakan kabarmu, bukan masalah itu."Kami mulai mengobrol, tak hanya masalah pernikahan ... hal kocak lainnya menjadi topik pembicaraan. Bersama dia aku seperti memilki sahabat. Bukan sekedar calon suami. Benar kata orang, menikah itu sepenuhnya mengobrol. Bukan ha
“Kamu yakin, Jar?”Lelaki di hadapanku menoleh, meletakkan koper kemudian menatapku lekat. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa ragu dia mengatakan iya. Fajar akan melamarku di hadapan kedua orang tuaku.Sejenak aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Dalam diam hatiku bergejolak. Benarkah apa yang aku lakukan saat ini? Benarkah keputusan untuk menerima lamaran Fajar?“Semua akan baik-baik saja,Rin.” Fajar mengelus pelan pundakku. Dia seolah tahu apa yang tengah kupikirkan saat ini.Semua barang sudah kami masukkan ke mobil. Talita pun sudah anteng duduk di jok belakang. Kami siap berangkat ke Boyolali, kota kelahiranku.Perjalanan menuju kota kelahiran membutuhkan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Perjalanan panjang untuk kami dalam kecanggungan. Jujur saja ... hatiku belum sepenuhnya terbuka untuk Fajar. Masih ada luka masa lalu yang membekas. Entah kapan sakit itu akan hilang sepenuhnya.Belum setengah perjalanan kami berhenti d
"Benar itu, Rin?, Kalian akan segera menikah?""Iya, Mas. Kami akan segera menikah, secepatnya."Mas Arif mengusap wajah kasar. Tanpa berpamitan ia pergi meninggalkan ruang rawat inapku. Sebongkah batu yang memenuhi dadaku seketika hilang. Bersamaan dengan perginya lelaki bergelar mantan suami. Lega karena dia tak muncul di hadapanku lagi. Denting jam terdengar begitu keras. Seolah mengisi keheningan karena kami memilih saling diam. Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa, bingung. "Fajar ....""Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Rin. Kamu tak sungguh-sungguh dengan perkataanmu, kan? Kamu lakukan untuk mengusir Arif."Kata-kata itu menampar telak diriku. Menciptakan rasa malu. Andai bisa berlari, ingin kutenggelamkan muka ini ke dasar bumi. "Maafkan aku, Jar."Aku menunduk, meremas jemari, menghilangkan perasaan bersalah. Nyatanya semakin besar aku mencoba menghilangkan, rasa itu kian jauh dalam tertanam. "Kenapa diam sih, Rin? Aku lho gak mempermasalahkan itu."Aku mendonga
"Bagaimana nasib Talita, Jar?"Aku kian khawatir. Menunggu lelaki itu bicara, tapi tak sepatah kata keluar dari mulutnya. "Talita gak kenapa-kenapa, Rin. Dia baik-baik saja.""Tapi tadi ....""Talita bersama Cantika di rumahnya. Ada yang usil sama kamu. Dia bilang Talita kecelakaan, kan? Padahal putri kamu baik-baik saja."Perkataan Fajar benar. Kalau dipikir ulang memang ada kejanggalan tentang kejadian tadi. Panik membuat aku tak sadar jika Talita masih berada di sekolah. Logika kalah dengan kecemasan. Kabar yang kudengar bak nyata. Sehingga kepala tak bisa berpikir dengan benar. "Kenapa kamu bisa sampai seperti ini, Rin?"Aku menggeleng, tak bisa berkata apa pun. Kejadian ini terlalu cepat. Sehingga aku tak tahu apa yang terjadi. "Aku harus pulang, Jar. Kasihan Talita sendirian di rumah."Aku hendak bergerak tapi sebuah tangan menahan gerakanku. Disusul tatapan tajam dengan gelengan kepala dari lelaki itu. Fajar melarang aku bergerak, apalagi meninggalkan ruangan ini. "Lalu T
"Memang Talita mau jadi anak Om?"Mata membola, mulut terbuka lebar, nyaris es krim salah masuk jalur. Apa lagi yang Fajar inginkan? Haruskah secepat ini, saat luka dalam dada masih menganga. Meminta Talita memanggil papa di saat keadaan seperti ini bukan hal yang bagus. Fajar seolah memaksakan kehendaknya sendiri. Apa semua lelaki seperti itu? "Talita masih punya papa, Om."Talita membisu, wajah yang berseri kini menjadi sendu. Ya, sejak kejadian itu dia selalu sedih tiap kali mendengar atau mengingat papanya. Sebesar itukah luka hatinya? "Buat Talita besok minggu Om ajarkan deh!""Asyik!" Talita memeluk Fajar. Senyum itu kembali tercipta. Aku trauma. Menatap Fajar dan Talita kembali menggoreskan 3. Aku takut dia sama dengan Mas Arif, hanya pura-pura cinta. Nyatanya ada hati lain yang dijaga. Lagi-lagi aku kebingungan. Mulut seketika membisu, seolah ada lem yang menempel hingga di setiap sudut. Apa yang harus kujawab ketika Fajar kembali mengungkapkan rasa. Sedang hati meronta k
Malam kian larut, tapi rasa kantuk tak jua datang. Bayangan Mas Arif datang membawa paksa Talita kian menari dalam angan. Aku takut, ucapannya akan menjadi nyata. Bagaimana jika ia benar-benar mengambil Talita dariku? Denting jam memecah keheningan malam. Memaksa tubuhku terbangun lalu melangkah menuju kamar mandi. Berwudhu, melaksanakan ibadah sunah di sepertiga malam terakhir. Sesak dalam dada tumpah, menangis seorang diri di sepinya malam. Mengadu pada Illahi Robbi, karena hanya Dia tempat untukku berbagi. Hingga aku lelah dan terlelap di atas sajadah. ***"Boleh mama tanya sesuatu, Ta?"Talita mengangguk, kemudian meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja. Dia diam, menatap lekat netra ini. Talita menunggu kata yang terucap dari mulutku, tapi justru sesak kembali memenuhi rongga dada. "Tanya apa sih, Ma? Kenapa jadi diam? Keburu berangkat sekolah ini.""Apa Talita ingin tinggal bersama papa?""Memang boleh, Ma?"Aku mengangguk meski terasa begitu berat. Sadar, Talita jug
"Iya ini, Ma. Mbak Karina yang dicintai Bang Fajar."Aku menelan ludah dengan susah payah, seolah ada batu besar yang menghalangi setetes air masuk. Terpaku, mendadak mulut ini kelu. Apa yang harus kujelaskan? Heran, kenapa calon istri Fajar mengetahui segalanya. Bahkan dengan santai mengatakan hal tersebut. Pasangan macam apa mereka ini? "Maaf, Mbak Salwa. Saya dan Fajar tidak memiliki hubungan apa pun. Itu sudah menjadi bagian masa lalu kami. Saya tidak mungkin menjadi perusak hubungan Mbak Salwa dan Fajar. Tolong jangan salah paham."Seketika Mbak Salwa dan ibunya tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu dari ucapanku? Perkataanku benar ... aku dan Fajar tidak memiliki hubungan apa pun. Lalu apa yang mereka tertawakan? "Ya Allah, Mbak. Bang Fajar itu kakak kandungku. Dia bukan calon suamiku. Jadi Mbak Karina menghindari Bang Fajar karena ini?""Kakak kandung? Lalu kenapa dia yang mengantarkan kamu mengurus pernikahan, Mbak? Bukankah harusnya pasangan, Mbak?""Calon suami saya bera