“Anita, tunggu!”Lelaki itu menghentikan motornya tepat di hadapanku.“Anita, ini aku Doni,” ucapnya lagi sambil membuka helmnya.“Loh, Pak Doni!” Aku menunjuknya.“Doni tanpa Pak, kamu dari mana atau mau kemana? Kok jalan kaki?” “Dari kedai es krim mau pulang. Kenapa kamu enggak buka helm dari tadi, sih! Jadi aku kan enggak perlu ketakutan. Aku kira orang jahat tadi,” makiku pada Pak Doni.Selama ini aku memang jarang sekali melihat Pak Doni mengendarai sepeda motor karena setiap hari dia selalu mengendarai mobil ke tempat kerja. Makanya aku tak langsung mengenalinya tadi.“Soalnya tadi aku juga enggak yakin itu kamu. Lagian ngapain kamu jalan kaki sambil gendong Miko?”“Mana Om Rafi, Ma?” tanya Miko yang baru saja aku turunkan.“Kamu habis jalan sama Rafi? Terus dia membiarkanmu pulang sendiri berjalan kaki? Benar-benar keterlaluan,” tanya Pak Doni.“Bukan begitu, aku sendiri yang memutuskan pulang sendiri,” jelasku.“Kenapa?”Aku hanya menggeleng karena tak mungkin menceritakan se
"Ada apa ini, Mbak Nita?" tanya seorang lelaki yang ternyata Pak Sugeng---salah satu warga sini. Ia dan beberapa warga yang lain kebetulan lewat setelah mengikuti pengajian di salah satu rumah warga."Enggak ada apa-apa, Pak?" jawabku sambil menunjukkan deretan gigi."Lelaki ini siapa?" "Saya Rafi, Pak. Calon suami Nita." Mas Rafi memperkenalkan diri sambil menjabat tangan semua orang yang datang."Oh, begitu. Mohon maaf nak Rafi, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, saya selalu salah satu warga di sini menghimbau agar Nak Rafi segera pulang. Mengingat ini sudah lewat jam bertamu," ujar Pak Sugeng menasihati.Walaupun tidak menjabat sebagai RT atau semacamnya, Pak Sugeng adalah salah satu tetua di kampung ini. Dia juga salah satu ustadz yang sangat dihormati di kampung ini.“Kalo begitu saya pamit dulu, Pak,” pamit Mas Rafi.“Aku pulang dulu, Nit.” Pamitnya padaku juga.Aku hanya menangguk. Mas Rafi segera berbalik dan pergi mengendarai mobilnya. Setelah Mas Rafi benar-benar
“Aku bilang diam...” Seketika dua lelaki itu menoleh ke arahku. “Ngapain kalian ribut-ribut di sini?” tanyaku kemudian.“Tapi, Nit, dia yang mulai duluan,” ujar Rendi tak terima.“Alah, kamu juga sama aja. Kalian Cuma bikin aku pusing tau enggak?”“Maaf, Nit,” lirih Mas Rafi.“Mas Rafi sekarang masuk, di dalam ada Ari. Aku mau ngomong sama Rendi bentar.”“Tapi, Nit!”“Aku bilang masuk!” perintahku.“Suruh dia pergi aja,” sahut Rendi.“Diam kamu!” Aku menunjuk wajah Rendi.Akhirnya Mas Rafi menurut dan segera masuk ke dalam meninggalkan aku dan Rendi.“Kemarin wanita bernama Rania menemuiku.” Aku membuka pembicaraan.“Ra-Rania?” Wajah Rendi seketika berubah pias.“Iya, calon tunangan kamu.”“Dia bicara apa saja?”“Semua, dia bicara semuanya. Kenapa kamu tak menikahinya saja? Bukankah kalian sudah ..., apa kamu mau jadi lelaki pengecut?” tanyaku serius.“Bu-bukan begitu, Nit. Aku tak pernah mencintainya.”“Tapi kamu sudah merusaknya, Rendi!”“Iya, aku memang salah. Tapi kalo kamu sejak
Pov RafiAku menggenggam erat amplop putih yang baru saja kuterima dari salah satu temanku yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Kubuka perlahan amplop tersebut, dengan hati berdebar kubaca satu persatu kata yang ada. Aku menahan nafas saat melihat bagian akhir surat tersebut. Aku bernafas lega saat dokter menyatakan aku sehat dan tak ada masalah di bagian reproduksiku. Jadi selama ini masalah yang membuat aku tak kunjung punya anak berada di Silvi, wanita yang lima tahun yang lalu terpaksa aku nikahi.Di tahun pertama pernikahanku dengan Silvi semua berjalan baik-baik saja. Walaupun kami menikah melalui perjodohan, nyatanya kami bisa hidup berdampingan. Aku yang saat itu belum mencintai Silvi sama sekali perlahan belajar membuka hati untuknya.Memang di hubungan kami tak ada yang spesial seperti pasangan pada umumnya. Aku menjalani semua ini hanya karena jika aku memang tak bisa menentang kemauan orang tuaku.Memang tak ada kesulitan yang berarti dalam kehidupan rumah tanggaku.
“Tidak salah lagi dia anakku.”Perlahan kubuka jendela mobil untuk melihatnya lebih jelas. Matanya, hidungnya persis dengan pantulan wajahku di kaca spion. Tanpa pikir panjang aku segera turun berniat menyapa mereka.“Anita,” panggilku ragu. Dia yang sedang memakaikan helm pada anak itu menoleh. Dia terlihat kaget saat pandangan mata kami bertemu, namun dengan cepat ia berbalik dan segera pergi. Kuusap wajahku kasar saat ia hilang dari pandangan. “Maaf, Bu. Apa yang barusan jalan itu Bu Anita?” tanyaku pada seorang Ibu yang juga sedang menjemput anaknya.“Iya, Pak. Dia Bu Anita mamanya Miko.”**Aku memutuskan untuk tidak langsung menemui Anita dan harus memikirkan cara agar ia mau menerimaku lagi.Ada rasa yang membuncah sejak aku tahu Anita ternyata tak pernah menggugurkan kandungannya. Ia juga terlihat sangat menyayangi Miko, anak kami. Hari-hariku yang biasanya datar kini terasa memiliki tantangan. Anak yang aku dambakan selama ini sudah ada di depan mata.Seminggu berlalu, aku
PoV Anita“Pergi saja, Mas,” kataku sambil membawa Miko ke dalam.“Om Rafi mau ke mana, Ma? Katanya kalo udah nikah sama mama dia jadi Ayah Miko. Kenapa pergi lagi? Aku mau sama Ayah, Ma!” Miko terus meracau menanyakan Mas Rafi.“Miko sama mama dulu, ya. Ayah ada urusan penting.”“Tapi, Ma...”“Coba Miko bilang sendiri sama Ayah.” Aku membiarkan Miko menghampiri Mas Rafi.Benar saja Mas Rafi yang sudah bersiap pergi langsung mengurungkan niatnya saat Miko memanggilnya. Wajahnya terlihat bimbang, ia menggendong Miko sambil memberinya pengertian, tapi Miko tetap saja tak memperbolehkan ia pergi.Aku tersenyum penuh kemenangan saat Mas Rafi akhirnya tak jadi pergi dan kembali masuk kembali ke dalam rumah setelah menyuruh Desi pulang terlebih dahulu.“Sini sama Mama, Sayang. Ayah mau pergi sebentar, besok pasti Ayah balik,” ucapku pura-pura memberi pengertian.Miko terus menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya pada Mas Rafi.“Biar seperti ini dulu, toh di sana ada Mama dan Desi seb
“Mulai sekarang Ayah bobo bareng Mama, kan?” Aku terperanjat mendengar pertanyaan Miko. Mas Rafi yang tadinya santai juga langsung berdiri memandangku dan Miko. Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa bertanya hal seperti itu.“Ma-maksudnya bobo sama Miko? Ayah bobo sama Miko?” tanyaku hati-hati.Ia mengangguk namun masih enggan beranjak masuk. Aku mengedipkan mata sebagai isyarat pada Mas Rafi untuk memberi alasan pada Miko.“Ayah ngerjain tugas dulu sebentar ya, sayang. Nanti Ayah nyusul,” ucap Mas Rafi sambil menunjukkan ponselnya.Untung saja Mas Rafi cepat paham saat kuberi kode. Jadi tak perlu ada drama di antara kami bertiga. Akhirnya Miko mau masuk ke kamar dan segera tidur.Ternyata hampir dua jam aku tertidur di samping Miko. Aku terbangun saat mengingat sesuatu. Segera aku berdiri perlahan agar tak mengganggu Miko lalu berjalan mengendap-endap meninggalkan kamar untuk mengecek Mas Rafi pergi atau tidak.Aku tersenyum senang saat melihat Mas Rafi tengah berbaring di kursi
"Udah di kunci belum?" tanya Mas Rafi dari balik pintu.Bukannya menjawab aku malam menjatuhkan tubuhku dalam keadaan telungkup di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke bantal dalam-dalam sambil membayangkan bagaimana jadinya kalo tadi Mas Rafi benar-benar ikut masuk ke dalam kamar. “Arghh...!” Bisa-bisanya aku berpikiran kotor seperti itu. "Ma, Ayah mana?" tanya Miko yang baru saja membuka matanya."Emm... A-Ayah sudah bangun dari tadi," jawabku sekenanya.Miko turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Ia berbalik saat tak bisa membuka pintu yang masih terkunci."Kok pintunya di kunci, sih!" Katanya sambil menggerak-gerakan handle pintu.Tanpa menjawab aku segera bangun dan membukakannya. Aku kembali untuk mengambil ikat rambut, lalu berjalan mengikuti Miko.Ada pemandangan tak biasa saat kulihat Miko tengah berbaring di samping Mas membenamkan kepalanya di dada Mas Rafi yang tidur dalam posisi menyamping. Tak ingin mengganggu akhirnya aku melewatinya begitu saja dan bergeg