"Udah di kunci belum?" tanya Mas Rafi dari balik pintu.Bukannya menjawab aku malam menjatuhkan tubuhku dalam keadaan telungkup di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke bantal dalam-dalam sambil membayangkan bagaimana jadinya kalo tadi Mas Rafi benar-benar ikut masuk ke dalam kamar. “Arghh...!” Bisa-bisanya aku berpikiran kotor seperti itu. "Ma, Ayah mana?" tanya Miko yang baru saja membuka matanya."Emm... A-Ayah sudah bangun dari tadi," jawabku sekenanya.Miko turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Ia berbalik saat tak bisa membuka pintu yang masih terkunci."Kok pintunya di kunci, sih!" Katanya sambil menggerak-gerakan handle pintu.Tanpa menjawab aku segera bangun dan membukakannya. Aku kembali untuk mengambil ikat rambut, lalu berjalan mengikuti Miko.Ada pemandangan tak biasa saat kulihat Miko tengah berbaring di samping Mas membenamkan kepalanya di dada Mas Rafi yang tidur dalam posisi menyamping. Tak ingin mengganggu akhirnya aku melewatinya begitu saja dan bergeg
"Rania, kamu kenapa?" Aku berdiri dan menuntunnya agar duduk di kursi."Mas Rendi mengamuk, Mbak! Dia hampir saja memukuliku," jelasnya."Sebentar aku ambil minum dulu, ya!"Gegas aku berlari kedapur dan kembali dengan membawa segelas air putih. Aku segera menyodorkannya pada Rania dan langsung ia teguk hingga tandas. "Udah sedikit tenang, kan?""I-iya, Mbak!" Rania mengangguk pelan."Udah bisa cerita sekarang?""Mas Rendi mengamuk, Mbak! Dia mabuk sejak semalam dan sekarang dia sedang mengamuk di rumah.""Terus kenapa kamu ke sini?" tanyaku sedikit heran."Dia meracau manggil nama Mbak terus, mungkin dia begitu karena Mbak menikah.""Terus keluarganya gimana?"Rania menggeleng, "Mereka semua sudah angkat tangan. Aku ke sini cuma mau bilang agar Mbak berhati-hati. Takut sewaktu-waktu dia datang ke sini," ungkap Rania.Aku mengusap wajahku kasar. Separah itukah Rendi saat marah. Padahal selama ini aku tak pernah sekalipun melihat ia berbuat nakal seperti laki-laki pada umumnya. Jang
“Miko, badan kamu panas banget, Nak.” Aku meraba dahi Miko berkali-kali. Walaupun telah meminum obat turun panas dua jam yang lalu, panas di badan Miko tak kunjung turun. “Miko mau minum, Ma,” ucapnya dengan mata yang masih terpejam.Aku membangunkan Miko dan meletakkan beberapa bantal di punggungnya agar ia bisa duduk. Aku sodor kan segelas air yang langsung di minumnya separuh. Kemudian Miko berbaring dan kembali memejamkan mata.Jam menunjukkan pukul dua dini hari tapi mataku masih saja enggan terpejam. Berkali-kali aku bangun untuk mengecek dan mengompres Miko. Aku mengambil ponsel di atas nakas berharap ada balasan atau telepon dari Mas Rafi. Tapi nihil, jangankan membalas, pesan yang kukirimkan semalam juga masih centang abu-abu, itu tandanya ia belum membacanya. Aku beralih mengecek status dari beberapa temanku. Tanganku berhenti mengusap layar ponsel saat melihat status Mbak Silvi lima jam yang lalu. Ia mengunggah sebuah gambar yang menunjukkan Ia dan Mas Rafi sedang berad
“Mas, ada Ari,”Aku menunjuk ke arah pintu sambil mendorong Mas Rafi. “Tunggu nanti malam kau, Anita!” pekik Mas Rafi yang baru menyadari jika telah dibohongi.Aku berdiri di balik pintu kamar sambil meraba dada yang sejak tadi tak berhenti berdebar. Entah mengapa aku selalu terbuai dengan perlakuan Mas Rafi. Tak bisa dipungkiri, dihatiku masih ada sedikit rasa untuk Mas Rafi, berkali-kali kucoba menepis semua rasa itu, tapi tak juga hilang.Setelah kejadian itu aku selalu berusaha menghindar jika berpapasan dengan Mas Rafi. Aku takut merasakan debaran itu lagi saat memandangnya.“Apakah aku jatuh cinta lagi?”**“Hey wanita pelakor! Udah puas kamu bisa merebut Mas Rafi dari aku, ya!” ucap Mbak Silvi sambil berkacak pinggang. Aku baru saja keluar dari tempat kerja saat seseorang menyeretku ke sebuah tanah kosong di belakang gudang. Di sana Mbak Silvi telah menunggu bersama beberapa temannya. “Oh, jadi ini istri kedua Rafi. Benar-benar kampungan.” Salah seorang teman Mbak Silvi maju
“Kok kamu beda?” tanya Mas Rafi menarik kembali tangannya.“Kenapa penampilan kamu jadi begini?” Ia menyentuh rambutku.“Apa ada yang salah?” Aku menyentuh wajah dan mengecek baju yang kukenakan.Perasaan saat bercermin tadi tidak ada yang salah dengan penampilanku, tapi kenapa Mas Rafi melihatku dengan tatapan aneh?“Kalo mau menggoda, enggak harus berubah seperti ini. Tanpa kamu mengubah penampilan aku juga sudah tergoda, tapi sayang kamunya aja yang enggak peka.” Mas Rafi menyentil wajahku lalu berjalan masuk melewatiku. Aku terbengong mendengar tanggapan Mas Rafi. Gagal sudah semua rencanaku, niatnya mau kasih Mas Rafi kejutan. Eh, malah aku yang terkejut. Aku bergegas masuk ke kamar untuk mengecek kembali penampilanku. Aku berputar-putar di depan kaca melihat penampilanku, aku kira Mas Rafi akan terpana melihat perubahanku tapi nyatanya ia malah terlihat tak suka. "Kok ganti?" tanya Mas Rafi yang mungkin heran melihat penampilanku yang sudah tak seperi tadi. Aku memang sengaja
"Aku kemarin ketemu Rendy lagi jalan sama cewek, loh," ucap Vera yang tiba-tiba duduk di hadapanku.Mendengar kata Rendi, seketika ku hentikan pekerjaanku. Sejak kejadian berdarah itu, aku sama sekali belum pernah melihatnya. Apa dia sudah menikah sekarang?"Terus gimana?" Aku bertanya sambil kembali fokus pada kertas di depanku."Ya enggak gimana-gimana, namanya juga liat doang," ungkap Vera menunjukkan wajah tak bersalah."Ish...""Kenapa kamu enggak laporin dia, sih? Mau aja di suruh damai.""Mungkin dia cuma khilaf. Kamu tahu kan pengorbanan Rendi buat aku selama ini."Setelah kejadian itu, memang Rendi sempat akan di bawa ke polisi. Tapi saat keluarganya minta maaf, aku menjadi tak tega dan menyetujui untuk mengakhiri masalah ini dengan kekeluargaan. "Tapi kan perbuatannya membahayakan banget, coba aja Ari enggak datang waktu itu, pasti kamu yang ditusuk sama Rendi.""Semoga dia sudah sadar. Lagi pula sebentar lagi dia menikah, apa jadinya kalo kemarin Rendi dipenjara."Vera ha
“Dengar ya, Nak! Mama Miko cuma Mama Nita. Enggak ada yang lain,” tekanku.Walaupun Mbak Silvi berstatus Ibu tiri untuk Miko tapi aku tak pernah rela ia menyebut mama pada wanita selain aku. “Nenek enggak mampir?” ucap Miko pada Bu Fitri.“Besok nenek ke sini lagi ya, sayang.” Bu Fitri berjongkok lalu mencium kedua pipi Miko.“Hati-hati di jalan, Mas!” Aku mencium tangan Mas Rafi dan Bu Fitri bergantian. Sejenak Mas Rafi terpaku melihat tingkahku, mungkin ia bingung karena aku jarang sekali bersikap manis seperti itu. “Ayo, Fi,” panggil Bu Fitri yang telah duduk di dalam mobil.Mas Rafi berbalik dan segera berjalan, namun baru beberapa langkah dia berhenti lalu berbalik kembali.“Apa ada yang ketinggalan?”Bukannya menjawab Mas Rafi terus saja mendekat dan langsung mencium pipiku.“Jangan sampai Ibu tahu kalo menantunya enggak peka sama suaminya,” bisik Mas Rafi sebelum melengang pergi.Aku memegang pipi yang baru saja di cium Mas Rafi. Seperti biasanya hatiku selalu meleleh oleh s
“Aku enggak mau pindah, kamu tahu kan kalo Ibu enggak suka sama aku?” “Kalian enggak aman di sini. Rendi pasti akan terus datang kalo kalian belum pindah,” cerocos Mas Rafi sambil terus memasukkan baju Miko ke dalam koper.“Tapi, Mas!”“Stt... nurut aja.”Setelah mengemasi beberapa barang, akhirnya Aku dan Miko mengikuti Mas Rafi pergi. Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam akhirnya kami sampai di sebuah pusat pertokoan yang sebenarnya biasa aku kunjungi. Mas Rafi memelankan laju mobilnya saat kami memasuki deretan ruko yang suasananya cukup ramai.Kami berhenti di salah satu bangunan ruko berlantai tiga dengan nuansa cat warna ungu memenuhi dinding depannya. “Ayo turun,” perintah Mas Rafi mengambil alih Miko yang tertidur di pangkuanku.Dengan ragu aku turun dan mengikuti Mas Rafi yang sudah jalan terlebih dahulu. Kami bertiga berhenti saat lelaki berpakaian satpam tengah membuka pintu besi yang berada tepat di hadapan kami. Setelah menerima kunci, Mas Rafi segera masuk saat