"Ada apa ini, Mbak Nita?" tanya seorang lelaki yang ternyata Pak Sugeng---salah satu warga sini. Ia dan beberapa warga yang lain kebetulan lewat setelah mengikuti pengajian di salah satu rumah warga."Enggak ada apa-apa, Pak?" jawabku sambil menunjukkan deretan gigi."Lelaki ini siapa?" "Saya Rafi, Pak. Calon suami Nita." Mas Rafi memperkenalkan diri sambil menjabat tangan semua orang yang datang."Oh, begitu. Mohon maaf nak Rafi, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, saya selalu salah satu warga di sini menghimbau agar Nak Rafi segera pulang. Mengingat ini sudah lewat jam bertamu," ujar Pak Sugeng menasihati.Walaupun tidak menjabat sebagai RT atau semacamnya, Pak Sugeng adalah salah satu tetua di kampung ini. Dia juga salah satu ustadz yang sangat dihormati di kampung ini.“Kalo begitu saya pamit dulu, Pak,” pamit Mas Rafi.“Aku pulang dulu, Nit.” Pamitnya padaku juga.Aku hanya menangguk. Mas Rafi segera berbalik dan pergi mengendarai mobilnya. Setelah Mas Rafi benar-benar
“Aku bilang diam...” Seketika dua lelaki itu menoleh ke arahku. “Ngapain kalian ribut-ribut di sini?” tanyaku kemudian.“Tapi, Nit, dia yang mulai duluan,” ujar Rendi tak terima.“Alah, kamu juga sama aja. Kalian Cuma bikin aku pusing tau enggak?”“Maaf, Nit,” lirih Mas Rafi.“Mas Rafi sekarang masuk, di dalam ada Ari. Aku mau ngomong sama Rendi bentar.”“Tapi, Nit!”“Aku bilang masuk!” perintahku.“Suruh dia pergi aja,” sahut Rendi.“Diam kamu!” Aku menunjuk wajah Rendi.Akhirnya Mas Rafi menurut dan segera masuk ke dalam meninggalkan aku dan Rendi.“Kemarin wanita bernama Rania menemuiku.” Aku membuka pembicaraan.“Ra-Rania?” Wajah Rendi seketika berubah pias.“Iya, calon tunangan kamu.”“Dia bicara apa saja?”“Semua, dia bicara semuanya. Kenapa kamu tak menikahinya saja? Bukankah kalian sudah ..., apa kamu mau jadi lelaki pengecut?” tanyaku serius.“Bu-bukan begitu, Nit. Aku tak pernah mencintainya.”“Tapi kamu sudah merusaknya, Rendi!”“Iya, aku memang salah. Tapi kalo kamu sejak
Pov RafiAku menggenggam erat amplop putih yang baru saja kuterima dari salah satu temanku yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Kubuka perlahan amplop tersebut, dengan hati berdebar kubaca satu persatu kata yang ada. Aku menahan nafas saat melihat bagian akhir surat tersebut. Aku bernafas lega saat dokter menyatakan aku sehat dan tak ada masalah di bagian reproduksiku. Jadi selama ini masalah yang membuat aku tak kunjung punya anak berada di Silvi, wanita yang lima tahun yang lalu terpaksa aku nikahi.Di tahun pertama pernikahanku dengan Silvi semua berjalan baik-baik saja. Walaupun kami menikah melalui perjodohan, nyatanya kami bisa hidup berdampingan. Aku yang saat itu belum mencintai Silvi sama sekali perlahan belajar membuka hati untuknya.Memang di hubungan kami tak ada yang spesial seperti pasangan pada umumnya. Aku menjalani semua ini hanya karena jika aku memang tak bisa menentang kemauan orang tuaku.Memang tak ada kesulitan yang berarti dalam kehidupan rumah tanggaku.
“Tidak salah lagi dia anakku.”Perlahan kubuka jendela mobil untuk melihatnya lebih jelas. Matanya, hidungnya persis dengan pantulan wajahku di kaca spion. Tanpa pikir panjang aku segera turun berniat menyapa mereka.“Anita,” panggilku ragu. Dia yang sedang memakaikan helm pada anak itu menoleh. Dia terlihat kaget saat pandangan mata kami bertemu, namun dengan cepat ia berbalik dan segera pergi. Kuusap wajahku kasar saat ia hilang dari pandangan. “Maaf, Bu. Apa yang barusan jalan itu Bu Anita?” tanyaku pada seorang Ibu yang juga sedang menjemput anaknya.“Iya, Pak. Dia Bu Anita mamanya Miko.”**Aku memutuskan untuk tidak langsung menemui Anita dan harus memikirkan cara agar ia mau menerimaku lagi.Ada rasa yang membuncah sejak aku tahu Anita ternyata tak pernah menggugurkan kandungannya. Ia juga terlihat sangat menyayangi Miko, anak kami. Hari-hariku yang biasanya datar kini terasa memiliki tantangan. Anak yang aku dambakan selama ini sudah ada di depan mata.Seminggu berlalu, aku
PoV Anita“Pergi saja, Mas,” kataku sambil membawa Miko ke dalam.“Om Rafi mau ke mana, Ma? Katanya kalo udah nikah sama mama dia jadi Ayah Miko. Kenapa pergi lagi? Aku mau sama Ayah, Ma!” Miko terus meracau menanyakan Mas Rafi.“Miko sama mama dulu, ya. Ayah ada urusan penting.”“Tapi, Ma...”“Coba Miko bilang sendiri sama Ayah.” Aku membiarkan Miko menghampiri Mas Rafi.Benar saja Mas Rafi yang sudah bersiap pergi langsung mengurungkan niatnya saat Miko memanggilnya. Wajahnya terlihat bimbang, ia menggendong Miko sambil memberinya pengertian, tapi Miko tetap saja tak memperbolehkan ia pergi.Aku tersenyum penuh kemenangan saat Mas Rafi akhirnya tak jadi pergi dan kembali masuk kembali ke dalam rumah setelah menyuruh Desi pulang terlebih dahulu.“Sini sama Mama, Sayang. Ayah mau pergi sebentar, besok pasti Ayah balik,” ucapku pura-pura memberi pengertian.Miko terus menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya pada Mas Rafi.“Biar seperti ini dulu, toh di sana ada Mama dan Desi seb
“Mulai sekarang Ayah bobo bareng Mama, kan?” Aku terperanjat mendengar pertanyaan Miko. Mas Rafi yang tadinya santai juga langsung berdiri memandangku dan Miko. Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa bertanya hal seperti itu.“Ma-maksudnya bobo sama Miko? Ayah bobo sama Miko?” tanyaku hati-hati.Ia mengangguk namun masih enggan beranjak masuk. Aku mengedipkan mata sebagai isyarat pada Mas Rafi untuk memberi alasan pada Miko.“Ayah ngerjain tugas dulu sebentar ya, sayang. Nanti Ayah nyusul,” ucap Mas Rafi sambil menunjukkan ponselnya.Untung saja Mas Rafi cepat paham saat kuberi kode. Jadi tak perlu ada drama di antara kami bertiga. Akhirnya Miko mau masuk ke kamar dan segera tidur.Ternyata hampir dua jam aku tertidur di samping Miko. Aku terbangun saat mengingat sesuatu. Segera aku berdiri perlahan agar tak mengganggu Miko lalu berjalan mengendap-endap meninggalkan kamar untuk mengecek Mas Rafi pergi atau tidak.Aku tersenyum senang saat melihat Mas Rafi tengah berbaring di kursi
"Udah di kunci belum?" tanya Mas Rafi dari balik pintu.Bukannya menjawab aku malam menjatuhkan tubuhku dalam keadaan telungkup di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke bantal dalam-dalam sambil membayangkan bagaimana jadinya kalo tadi Mas Rafi benar-benar ikut masuk ke dalam kamar. “Arghh...!” Bisa-bisanya aku berpikiran kotor seperti itu. "Ma, Ayah mana?" tanya Miko yang baru saja membuka matanya."Emm... A-Ayah sudah bangun dari tadi," jawabku sekenanya.Miko turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Ia berbalik saat tak bisa membuka pintu yang masih terkunci."Kok pintunya di kunci, sih!" Katanya sambil menggerak-gerakan handle pintu.Tanpa menjawab aku segera bangun dan membukakannya. Aku kembali untuk mengambil ikat rambut, lalu berjalan mengikuti Miko.Ada pemandangan tak biasa saat kulihat Miko tengah berbaring di samping Mas membenamkan kepalanya di dada Mas Rafi yang tidur dalam posisi menyamping. Tak ingin mengganggu akhirnya aku melewatinya begitu saja dan bergeg
"Rania, kamu kenapa?" Aku berdiri dan menuntunnya agar duduk di kursi."Mas Rendi mengamuk, Mbak! Dia hampir saja memukuliku," jelasnya."Sebentar aku ambil minum dulu, ya!"Gegas aku berlari kedapur dan kembali dengan membawa segelas air putih. Aku segera menyodorkannya pada Rania dan langsung ia teguk hingga tandas. "Udah sedikit tenang, kan?""I-iya, Mbak!" Rania mengangguk pelan."Udah bisa cerita sekarang?""Mas Rendi mengamuk, Mbak! Dia mabuk sejak semalam dan sekarang dia sedang mengamuk di rumah.""Terus kenapa kamu ke sini?" tanyaku sedikit heran."Dia meracau manggil nama Mbak terus, mungkin dia begitu karena Mbak menikah.""Terus keluarganya gimana?"Rania menggeleng, "Mereka semua sudah angkat tangan. Aku ke sini cuma mau bilang agar Mbak berhati-hati. Takut sewaktu-waktu dia datang ke sini," ungkap Rania.Aku mengusap wajahku kasar. Separah itukah Rendi saat marah. Padahal selama ini aku tak pernah sekalipun melihat ia berbuat nakal seperti laki-laki pada umumnya. Jang
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan