“Mas, aku berangkat kerja dulu ya. Nggak enak juga ninggalin kerjaan lama-lama,” ujar Za berpamitan. “Jangan lupa minum obatnya.”
Al hanya mengangguk dan menerima uluran tangan sang istri yang mencium punggung tangannya sebelum berangkat.
“Za,” panggil Al. wanita berpakaian formal itu berhenti dan berbalik.
“Ya?”
“Hati-hati,” ucapnya. Al seakan berat ditinggalkan sang istri pergi. Za lalu tersenyum dan mengangguk. Rasa bahagia meliputi hati keduanya.
“Ani, nanti aku minta tolong masakin buat yang kerja pasang pompa air, ya?” pinta Za saat melihat gadis itu sedang menyapu di halaman rumahnya. Za mendekati gadis yang memegang sapu lidi itu.
“Oh, iya Teh.”
“Masakin juga buat Ibu dan Mas Al. ini uangnya kamu pegang, ya.” Za meny
“Za, kamu comblangin aku sama si Al, ya. please,” rengek Ayu sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.Kalau boleh jujur, demi apapun, saat ini Za ingin sekali tertawa. Berasa sangat lucu, saat seorang wanita minta dijodohin dengan suaminya sendiri. Apa kata dunia? Namun, hatinya merasa kasihan juga dengan Ayu.‘Bagaimana cara jelasinnya ya?’ bisik hati Za, bingung.Dia mengembus napas kasar dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.“Yu, bisa lain kali nggak kamu curhatnya? Aku cape banget, swear. Lemes banget badanku. Mana kerjaan numpuk pula abis ditinggalin seminggu,” keluh Za. Sinar wajahnya memang terlihat lelah.“Eh, iya. Kamu cape banget ya? Keliatan sih, kayak abis begadang,” timpal Ayu nggak enak hati.‘Gimana nggak, dua jam nonstop,’ bisik hati Za tapi tak kuasa mengucapkan.
“Kamu udah mandi, Mas?” tanya Za menatap heran pada suaminya yang sudah terlihat segar.“Iya. Hari ini aku mau ambil barang-barang sekalian pamitan.”“Kita berangkat bareng aja,” ucap Za. Namun, Albany menggeleng.“Jangan. Aku tidak mau membuat keributan dengan pergi bersamamu.”Za menautkan alisnya tak mengerti.“Aku tidak ingin hubungan kita mempengaruhi pandangan orang-orang padamu.” Albany mendekat pada Za dan membelai rambutnya pelan.“AKu tidak peduli dengan pendapat mereka, Mas. yang menjalani itu kita, bukan orang lain.” Za menatap lekat suaminya.“Baiklah, kalau itu memang maumu,” jawab Albany.Za merasa takjub dengan suaminya. Dia sama sekali tak menyangka jika lelaki yang selama ini keras dan angkuh itu justru memiliki
“Wow, wow … berani sekali wanita sok cantik ini. Kamu pikir akan mudah memasukanku ke penjara?” lalu terdengar suara derai tawa dari mulut Ronald. Cengkeramannya semakin kuat. Za bahkan hampir kehabisan napasnya. Namun, dengan sigap, dia berpura-pura menyenggol teleponnya dan menekan angka 1 sebanyak 3 kali. Tentu saja, karena itu yang kini angka yang bisa diraihnya.Telepon di ruang pantry berbunyi nyaring, Marni langsung mengangkatnya.“Halo?” tanyanya beberapa kali seperti orang bingung karena tak ada jawaban dari seberang sana.“LEpaskan, keparat! Pergi kau dari sini!” terdengar suara Za yang tersengal karena cengkeraman Ronald yang kuat.“Siapa, Marni?” tanya Bu Narti.“Emh, dari suaranya sepertinya Bu Zanna. Dan sepertinya Bu Zanna sedang dalam bahaya,” ucap Marni gugup.Mendengar itu, Albany langsung
“I’m sorry for all those things happened. Semua bermula gara-gara aku melakukan kesalahan itu dan menyeretmu ke dalam semua masalah ini. Apa kamu menyesal telah menikah denganku?” tanya Za dengan mata berkaca-kaca.Albany tidak menjawab. Dia melirik ke arah pintu sekilas, setelah merasa aman, dia lalu menarik lengan mungil itu hingga Za berdiri dan menempel di dadanya. Tatapan mereka beradu. Albany tak ingin menjawab pertanyaan sang istri dengan kata-kata. Dia menarik tengkuk yang berada cukup jauh di bawahnya. Tentu saja, tinggi Albany yang lebih dari 180 senti meter harus berhadapan dengan Za yang hanya 165 senti. Lelaki itu mencium Za dengan rakus.“Aku pulang duluan ya,” desahnya dengan napas tersengal. “Aku tidak mau membuat keributan. Tidak etis rasanya jika mereka menemukanku sedang meniduri bos mereka di kantornya.” Albany menyapu bibir Za yang terlihat merah dengan ibu jarinya.
“Bisa nggak sih jangan selama itu?” tanya Za polos. Albany menaikan sebelah alisnya.“Ok, aku korting lima menit,” jawab Albany dengan wajah serius sambil menyuap.“Iish, sama aja boong.” Za langsung memanyunkan bibirnya dan mengambil sebuah kerupuk dan menimpukannya ke dada sang suami.“Nggak sama, dong. Beda lima menit.” Albany tetap dengan wajah seriusnya.Obrolan mereka buyar saat berulang kali ponsel mililk Za dan juga Albany berdering berkali-kali.“Siapa ya?” tanya Za. Mereka saling melempar pandangan. Albany mengedikan bahunya.“UDah biarin aja.” Lelaki itu kembali fokus menyuap. Namun, Za tampaknya merasa sangat terganggu dengan dering ponsel yang terus saja menjerit-jerit.“Udah, deh, aku angkat aja dulu, takutnya ada yang penting.” Za bangkit dan melang
“Apaan sih? Dia kan emang satu bagian sama aku. Bukan cuman Marni, aku juga punya nomor Bu Narti juga Deni.” Albany terlihat kesal dan langsung menyambar ponsel itu dan melemparnya ke atas meja.“Lho, kok marah?” tanya Za yang berniat bercanda.“Kamu seolah menuduh aku ada apa-apa sama Marni, dan aku tidak suka itu,” ucap Albany ketus. Dia terlihat benar-benar marah.Tubuh besarnya langsung berbaring tanpa ada kata terucap. Za benar-benar tidak menyangka jika candaannya akan dianggap serius oleh suaminya. Dia tahu jika Albany itu tipe lelaki setia, jangankan selingkkuh dengan Marni, dengan Ayu saja yang jauh lebih cantik, Albany tidak tertarik.“Mas, jangan marah, dong. Aku kan, cuman becanda,” bisik Za seraya menggoyang-goyangkan tubuh besar itu. Albany bergeming.“Maas, iiih. Sungguh, aku cuman becanda,” ucap Za dan mu
Alunan musik mengiringi suara merdu seorang biduan dengan gaun panjang tanpa lengan. Lagu yang dibawakannya begitu mendayu dan menyayat hati bagi yang tengah berputus asa.Za memainkan minuman di gelas berkaki tinggi di tangannya. Hatinya masih merasa bingung.“Hai, Za. Di sini kamu rupanya. Masih BT sama suami kamu yang kismin itu?” tanya Celine menyunggingkan senyuman mencibir.“Apaan sih, kamu. Aku nggak suka kamu bilang begitu tentang Albany.” Za meneguk minuman dari gelasnya.“Halaah, laki pengeretan itu. Aku masih inget saat kamu curhat, nangis-nangis karena dia selalu bersikap angkuh. Hiih, miskin aja sombong, gimana kalau jadi orrang kaya.” Celine kembali menggerutu.“Dia anak Om Hendro, kamu ingat, kan? Kalau dia mau, dia bisa mendapatkan kekayaan yang banyak dari bapaknya. Tapi dia nggak mau,” jawab Za.
“Oh, iya, baik, Pak. Terima kasih.”Za, lalu meminta Marni untuk menyiapkan kopi dan cemilan untuk tamu itu.“Apa mau makan siang di sini, Bu? Biar sama saya disiapkan mau makan siang apa?” tanya Marni.“Emh, itu nanti saya tanyakan dulu sama Pak Bambang. Barangkali dia ingin makan di luar sekalian jalan-jalan melihat kota ini,” jawab Za, lalu bangkit dan menuju ruang meeting. Tersungging seulas senyum miris saat wanita itu membayangkan ketika Albany masih bekerja di sana. seringkali terlewati saat lelaki itu tengah membersihkan kaca, atau sekedar membawa makanan pesanan para staff.Kini, Za tidak lagi bisa melihat pemandangan itu. Ada rasa rindu yang menelusp ke dalam kalbu, tetapi sekuat tenaga dia tepis agar tidak lagi berlarut-larut dalam kesedihan. Za bahkan lupa sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Albany bahkan tidak ada usaha untuk menelponnya. Seb