"Kenapa saya di sini Bu?"
Kania yang baru tersadar dari pingsannya, langsung bertanya pada seorang wanita yang memakai jas putih yang merupakan dokter di SMU tempat Kania bersekolah.
"Tadi katanya kamu tiba-tiba pingsan. Untung ada temen kamu yang lihat. Jadi Pak Usman langsung membawa kamu ke sini," jawab dokter itu sambil tersenyum. "Sekarang apa yang kamu rasakan?"
Dahi Kania sedikit berkerut, mengingat-ingat kenapa dirinya bisa pingsan. Ingatan terakhirnya, dia baru sampai di depan pintu gerbang sekolah sambil menangis. Tiba-tiba sekarang dirinya ada di ruang UKS.
Kania menggelengkan kepalanya pelan, lalu berfikir kalau dia pingsan di depan gerbang sekolahnya.
"Kania!"
Kania dan dokter sekolah itu melihat Jovan muncul dan masuk begitu saja. Memang sudah beberapa bulan ini Jovan selalu ada di sekitar Kania.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Kania.
"Kok nanya?" Jovan balik bertanya. "Karena aku khawati sama kamu. Kalau gak khawatir, ngapain aku bela-belain ninggalin kelas coba?"
"Ehem!" Dokter sekolah itu terdengar berdehem. Jovan dan Kania menoleh. "Kamu main masuk aja tanpa izin dulu dari saya."
Jovan cengengesan sambil garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Hehehe ... Maaf, dok. Saking khawatirnya sama Beib Kania."
Refleks Kania memukul tangan Jovan meski tak kencang. "Kamu ngomong apaan sih?"
Jovan makin cengengesan, sementara dokter sekolah hanya bisa menghela nafas dengan percintaan masa SMA seperti yang dilihatnya saat ini.
Padahal tidak ada hubungan apapun diantara Jovan dan Kania.
"Kamu yakin kalau gak merasa apapun, Kania?" tanya dokter sekolah.
"Enggak ada, Bu. Sepertinya saya baik-baik saja," jawab Kania. "Saya mau kembali ke kelas saja."
"Baiklah."
Kania dengan ditemani Jovan kembali ke kelas.
Bu Ayumi yang sedang duduk di kursi pengawas dan beberapa siswa pun menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar.
"Akhirnya kamu kembali. Kamu baik-baik aja, kania?" tanya Bu Ayumi.
"Saya gak apa-apa kok, Bu" jawab Kiranna sambil menggelengkan kepala. "Saya izin ikut ujian, Bu."
"Tapi waktunya tinggal dua puluh menit lagi loh. Ibu takut kamu gak sanggup."
"Saya coba dulu, Bu."
"Kasih izin saja, Bu. Kania kan pinter. Apa lagi ini mapel ujian kesukaannya dia," sahut Heru. Kania tersenyum manis ke arah Heru sambil mengangkat kedua jempolnya.
"Yasudah, silahkan duduk kalau begitu."
Matanya bergulir ke arah Jovan ynag berdiri di belakang Kania. "Kamu yang tadi kabur gitu aja, kan?"
Jovan kembali cengengesan, lalu menganggukkan kepalanya.
"Kembali ke meja kamu!"
Jovan dan Kania pun akhirnya kembali ke meja mereka.
Dari mejanya Jovan agak kesal melihat Kania tersenyum manis ke arah Heru. Sudah jadi rahasia umum dengan kedekatan Jovan dan Kania.
Tiga bulan yang lalu Jovan menyatakan sukanya pada Kania, namun belum Kania belum memberikan jawaban apapun pada Jovan.
Namun hal itu tidak membuat Jovan menghentikan niatnya mengejar cinta Kania.
Kania masih tetap mengingat janji terakhirnya dengan Reza. Delapan bulan pertama sejak Reza mengenyam pendidikan lanjutan di Cambridge, mereka masih menjalin komunikasi.
Ponsel Kania yang hilang jadi kendala bagi mereka untuk bisa saling berkomunikasi. Mustahil Kania merengek pada orang tuanya, apalagi pada bapaknya, untuk dibelikan ponsel baru.
Baru mengetahui ponsel Kania hilang saja, bapaknya sudah sebegitu murkanya. Lagi-lagi siksaan fisik diterimanya.
Suasana kembali hening. Semua siswa sibuk mengerjakan kertas ujian dengan sedikit kacau mengingat waktu semakin mepet.
Berbeda dengan Kania yang tampak tenang.
***
Kania dan Kamila terlihat berjalan bersama menuju kantin. Saat jam istirahat seperti ini, Kania dan Kamila kerap menghabiskan waktu di kantin sekolah.
"Keren kamu, Kania. Bisa ngerjain soal ujian sesulit itu hanya dalam waktu dua puluh menit.
Kania terkekeh. "Itu karena efek kepepet."
"Kalau aku, jangankan dua puluh menit, dikasih waktu empat puluh lima menit aja pasti ngebul otakku."
Kania hanya tersenyum mendengar ocehan Kamila. Lalu menoleh ke arah Kamila. "Berkat Kak Reza juga ini. Dulu dia yang selalu membimbingku belajar. Jadi aku gak mau ngecewain dia, Mil. Aku pengen buat dia bangga."
"Nah loh … Bakal ada yang nangis darah nih kayanya," ucap Kamila sambil melirik ke arah Jovan yang sedang bicara dengan temannya di meja yang berbeda.
Saat ini Kania sedang memakan roti, sedangkan Kamila memesan semangkuk mie ayam.
Kania harus pandai mengatur uang sakunya yang diberikan Ranti setiap seminggu sekali.
"Kami cuma temenan kok, Mil. Dia baik dan selalu bantu aku," ujar Kania lirih.
"Padahal dia udah nembak kamu pake acara romantis. Memangnya hati kamu gak tergugah?"
"Aku dah janji mau nunggu kak Reza. Meskipun sekarang kami lose contact, tapi aku percaya dengan janji kami," ucap Kania sambil tersenyum membayangkan wajah Reza.
Kania pun ikut memutar kepalanya mengikuti arah pandang Kamila.
"Aku yakin dia tulus," ucap Kamila.
"Aku dengar Kayla suka banget sama Jovan. Biarlah Jovan sama Kayla aja," jawab Kania.
Kamila memutar bola mata malas. Jengah dengan perkataan Kania.
Semua siswa pun tahu kalau Kayla menyukai Jovan. Dia remaja berparas cantik. Dia juga seorang poto model untuk majalah remaja. Bahkan sudah pernah menjadi pemeran pembantu di beberapa ftv.
"Semoga kamu gak nyesel udah abaikan perasaan Jovan, Kania. Kalau aku jadi kamu, aku gak bakal banyak mikir deh. Aku iyain aja buat jadi pacar dia," keluh Kamila.
Kania hanya tersenyum saja.
***
Ujian Nasional pun telah usai. Dan kelulusan pun telah diumumkan. Semua sudah menduga kalau Kania lah yang jadi juara umum dengan perolehan nilai terbesar.
"Selamat, Kania."
"Aku udah duga sih kalau kamu yang bakal dapat nilai tertinggi."
"Einstein versi cewek nih."
Banyak siswa yang memberikan ucapan selamat pada Kania. Kania begitu senang.
Hari ini hari yang ditunggu-tunghu seluruh siswa kelas tiga. Mereka berencana membuat perpisahan dengan coret-coret seragam menggunakan pylox dan akan saling membubuhkan tanda tangan di seragam mereka masing-masing.
Tawa lepas dari para siswa terdengar sangat renyah. Bahagia karena akhirnya mereka bisa menyelesaikan pendidikan mereka selama tiga tahun hingga lulus.
***
Ting...
Ponsel Kania berbunyi tanda ada notif chat dari seseorang. Kania yang sudah mode rebahan, segera meraih ponselnya yang diletakan di atas nakas.
Sebenarnya sudah dua bulan sejak sebelum ujian nasional dilaksanakan, Jovan meminjamkan ponsel pada Kania, dengan dalih kalau itu ponsel lamanya. Sementara Jovan sudah dibelikan ponsel baru oleh mamanya.
Karena butuh untuk belajar, terpaksa Kania menerima pinjaman ponsel itu. Nanti kalau Kania sudah bekerja dan bisa beli ponsel sendiri, Kania akan mengembalikan ponsel yang dipinjamkan Jovan padanya.
Jovan: Lagian ngapain?
Kania: Rebahan aja. Kamu?
Jovan: Lagi mikirin seseorang, tapi orang yang lagi aku fikirin, entah lagi inget sama aku aap gak.
Kania: Oh.
Jovan: Oh doang? Singkat amat sih? Gak pengen tau gitu siapa yang lagi aku fikirin?
Kania: Gak aja deh. Aku 'kan gak kepoan orangnya. Biar itu jadi privasi kamu aja.
Jovan: Ih dasar nyebelin.
Hening sejenak tidak ada yg saling memulai chat lagi.
Jovan: Kania, kamu lanjut kuliah kan? Ke kampus mana?
Kania: Gak, Jo. Aku kayanya nyari kerja aja deh. Orang tuaku gak ada biaya buatku ngelanjutin kuliah. Kalau udah dapet kerja, kan nanti aku bisa nabung buat biaya kuliahku.
"Kania! Buka pintu!"
Kania: Jo, chattingnya udah dulu ya. Aku dipanggil bapak.
Jovan: Oke.
Kania meletakkan ponselnya di atas nakas lalu melangkah ke arah pintu kamarnya yang terus saja diketuk oleh Fero.
Begitu pintu dibuka. "Ada apa, Pak? Eh, bapak mau ngapain? Jangan, Pak!"
Seorang laki-laki usia dua puluh tahun terlihat tengah berbaring di atas kasurnya sambil memandangi poto gadis di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan jam 10.00 waktu Cambridge. Dia adalah Reza. Entah kenapa dia tampak sangat gelisah memikirkan gadis pemilik hatinya, KANIA. "Kania, kamu lagi ngapain sekarang? Lagi sama siapa sekarang? Masihkah kamu menungguku? Masihkan kamu ingat janji kita?" Reza bertanya pada dirinya sendiri. Dia terus berfikir keras. Kenapa Kania tidak bisa dihubungi? Apakah Kania sudah bersama laki-laki lain? Tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Cepat-cepat dia usap air mata itu. Baru satu tahun dia berada di negara dengan umat muslim yang minoritas, namun kerinduannya terhadap Kania seperti sudah tak terbendung lagi. Sedangkan masih tersisa satu tahun lagi untuk Reza menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas di negara itu. "Astaghfirullahal adziim ... Kenapa perasaanku bisa secemas ini? Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Apal
Sepuluh menit sebelumnya."Jam segini baru pulang sekolah, Tiana?" tanya Bu Tita. Tetangga di lingkungan tempat Tiana dan keluarganya tinggal."Iya nih, Bu. Kebetulan setelah beres jam sekola, aku langsung ikutan ekskul basket," jawab Tiana."Enggak kerasa ya, sekarang kamu sudah pake seragam putih abu. Dulu kakak kamu yang pake putih abu, sekarang adiknya. Masuk SMA yang sama juga sama kakak kamu?" tanya Ibu itu lagi."Enggak, Bu. Nilai ujianku enggak cukup buat masuk ke situ. Aku masuk SMU Negri yang bukan favorite, Bu," jawab Tiana."Ya udah enggak apa-apa, Tiana. Mau SMA favorite mau SMA bukan favorite, keduanya sama saja kok. Yang penting belajar
Suara adzan subuh berkumandang keras bersahutan. Dinginnya udara pagi buta itu membuat siapa saja yang merasakannya akan sangat enggan untuk melepaskan selimut tebalnya. Udara dingin itu terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.Tampak sesosok tubuh tengah tergeletak di teras rumah tak berpenghuni. Bola matanya mulai bergerak. Bulu matanya yang lentik pun ikut bergerak seiring dengan pergerakan kedua bola matanya.Perlahan namun pasti, mata itu terbuka. Tatapannya sendu. Dia melihat sekitarnya, hanya gelap dan dingin. Dia meraba-raba apa saja yang bisa dirabanya."Rumput lagi?" tanya sosok itu pada dirinya sendiri.Sudah kesekian kalinya sosok itu menemukan dirinya sendiri di sebuah tempat yg sama. Dinginnya udara pagi itu membuat kedua tangannya bert
"Kakak yakin dengan keputusan kakak? Aku gimana, Kak? Aku takut sendirian di rumah," tiana bertanya tapi juga merajuk. "Harusnya 'kan bagus Tiana. Kakak jadi enggak nyusahin Ibu terus. Sudah saatnya kakak bantu Ibu. Nanti Kakak juga bisa nambahin uang sakumu juga 'kan," ujar Kiranna membujuk adiknya. "Tapi Tiana sendirian di rumah. Tiana takut, Kak," "Kan ada Ibu sama …," Kiranna tiba-tiba merasa tidak suka memanggil laki-laki bernama Ridwan itu dengan sebutan Ayah. Bu Rahma yang sedari tadi diam sambil mendengar percakapan kedua putrinya itu pun akhirnya ikut Bicara. "Kamu tuh harusnya senang kakakmu punya pekerjaan dan penghasilan sendiri. Udah
Jovan masih duduk termangu di dalam kamarnya. Tangan kanannya memainkan dan membolak balikan sebuah ponsel. Ya, itu ponsel milik Kiranna. Ponsel yang dulu ketika masih mengenyam pendidikan SMA telah diambil dari dalam tas biru langit sekitar satu tahun lebih yang lalu. Jovan teringat reaksi Kiranna saat menggeledah tas sekolahnya waktu itu. Wajah Kirana terlihat sangat sedih dan kecewa. Sebenarnya Jovan merasa bersalah saat itu, namun tak membuatnya mengembalikan ponsel itu pada Kirana. Tindakannya memang sangat jahat sekali. Demi keinginannya untuk memiliki dan menjadikan Kirana sebagai kekasihnya. Dia rela menggunakan cara-cara tidak terpuji. Karena hanya ponsel itulah yang jadi media penghubung antara Kiranna dengan laki-laki yang bernama Shirojuddin Al-abbas itu. Tebakannya benar. Kiranna memang benar-benar langsung dengan laki-laki bernama Shiroj waktu itu. Itu artinya rencana Jovan
Keringat dingin menetes di dahi Jovan. Perasaannya seketika gelisah. Sesuatu di balik tiba-tiba celananya menegang. 'Torpedoku kenapa bangun gini ya? Nonton blue film juga gak. Apa karena lihat Kania pake nightgown gitu ya? Masa iya mesti ngacir dulu ke kamar mandi. Iya kalau sebentar langsung tuntas. Kalau lama? Yang ada si Kania nanti malah curiga," Jovan berujar dalam hatinya. Kania yang tau dengan reaksi Jovan hanya bisa tersenyum tipis nyaris tak terlihat. Sebenarnya Kania telah mencampurkan obat perangsang dosis tinggi dalam minuman es jeruk yang diminum Jovan. Kania sendiri ikut meminumnya agar gairahnya nanti bisa meledak bersama Jovan. Kania senyum-senyum sendiri membayangkan sebentar lagi dia akan terbang ke langit ke tujuh bersama laki-laki yang selama ini di cintainya. Kania yakin kalau
Kania terbangun dari tidur nya. Setelah pergumulan penuh hasrat itu, dia langsung tertidur dengan lelap. Ingatan terakhirnya adalah ketika pelepasan terakhirnya bersama Jovan. Laki-laki yang dicintai sejak masih duduk di bangku kelas satu SMU. Belum juga penyatuan mereka terlepas, Kania sudah langsung masuk ke alam mimpi. Berharap dalam mimpi sekalipun dia mengulang lagi pergumulan indah itu dengan Jovan. Kania benar-benar kecewa mendapati Jovan yang sudah tidak ada di apartementnya. Padahal rencananya dia akan menggoda Jovan lagi untuk melakukannya kembali. Meskipun pemula,Jovan benar-benar hebat. Dia ternyata mampu membuat Kania melayang. Meskipun tingkat kepuasannya masih di bawah Bram. Pelepasan demi pelepasan yang didapatnya terus terbayang di benak Kania. Matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding kamarnya. Jam itu men
Kenapa kamu lebih memilih Kirana, Jo? Padahal aku yang sangat mencintaimu melebihi cinta Kirana padamu," ujar Kania menumpahkan kesedihan hatinya.Kania mengentikan tangis pilunya sejenak. Telinganya menangkap suara orang yang sedang menangis sambil mengucapkan sumpah serapah dari tempat yang cukup jauh dari tempatnya terduduk. Kania pun beranjak lalu berjalan ke arah suara meski dengan langkah gontai.Kania berhenti tepat beberapa meter lagi di depan pintu ruangan pemilik agency yang terbuka sedikitPerlahan namun pasti, Kania mendorong pintu yang terbuka sedikit itu. Bau Alkohol menguar dari dalam ruangan itu. Dilihatnya Bos dari agency tempatnya bernaung sedang menangis. Sedangkan rambut dan bajunya acak-acakan. Posisi sofa yang menghadap ke arah pintu, membuat Bram dengan mudah bisa mengetahui siapa orang yang datang. Kesadarannya masih ada saat itu. Dia tau kalau orang yang datang itu adala
Kiranna mendengar pintu depan kamar kost-annya ada yang mengetuk. Dia beranjak keluar dari kamarnya dan bergegas mendekati pintu. Kiranna cukup terkejut melihat seseorang yang dikenalnya tengah berdiri di depannya sambil tersenyum."Jovan!""Hi, Kirana!""Kamu kok bisa tau kost-anku?" tanya Kirana yang masih terkejut."Aku pernah ngikutin kamu,""Ooh ....""Gak disuruh masuk nih?""Tapi Kamu gak bakal berbuat macam-macam 'kan?""Ya Allaah ... Tega banget sih fikiranmu? Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu kok. Aku gak seburuk itu Kirana," tegas Jovan dengan hati yang sedikit kesal.Kirana mempersilahkan Jovan masu
Suasana asri di tempat pengambilan gambar itu berubah Kaku. Kirana sempat terhenyak ketika Kania berteriak padanya.Beberapa orang sempat menoleh ke arah Kania yang berteriak pada Kirana meski tanpa sadar. Kania langsung menenangkan diri melihat reaksi orang-orang di sekitarnya."Justru karena aku asprimu jadi aku harus tau detail terkecil sekalipun tentang dirimu, Kania. Kamu gak bisa nutupin apapun dariku!" Kirana bicara dengan tegas.Kania menatap Kirana dengan berbagai macam perasaan yang kini makin berkecamuk dalam dadanya. Kania segera beranjak dari duduknya lalu berjalan menjauhi orang-orang. Kirana segera mengikuti langkah Kania. Mereka sampai di satu spot yang cukup rindang dan jauh dari orang-orang.Kania terdiam beberapa saat. Namun setelahnya dia menangis merasakan kegetiran hati yang selama beberapa bul
Semingu telah berlalu sejak kabar kematian seorang manager produksi hingga beritanya menjadi timeline di beberapa surat kabar dan acara info gosip di televisi.Di dalam unit apartement milik Kania, tampak Kirana sedang menyiapkan beberapa barang yang akan dibawa dan digunakan Kania ke sebuah spot pemotretan dengan tema lingkungan hidup"Fiuh ... beres juga," gumam Kirana.Krucuk ... Krucuk ...Kirana segera mengusap perutnya."Kalau gak salah, di kulkas yang ada di dapur itu ada pasta fetuccini sisa kemarin. aku angetin itu aja deh," gumam Kirana lagi.Selesai mengahangatkan pasta fetuccini Kirana segera kembali ke ruang tamu sambil menyalakan televisi.Tiba-tiba Kirana mengernyit mendengar suara tombol pasword unit apartement yang sedang ditekan dari luar
"Arght!"Jeritan penuh keterkejutan itu membuyarkan konsentrasi Jovan yang sedang dalam mode melayang. Dia sedang bercinta dengan Kania. Meskipun suara musik di dalam kamar itu cukup keras, namun keduanya masih bisa mendengar teriakan seorang wanita yang masuk ke dalam kamar Kania."Brengsek! Kok bisa-bisanya ada orang masuk tanpa permisi dan bikin mood-ku berantakan. Siapa sih dia?" tanya Jovan pada Kania namun dengan mata yang menatap ke arah wanita yang kini sedang berdiri di ambang pintu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Dia asisten pribadiku. Aku lupa kalau tadi aku nyuruh dia beliin gado-gado buat makan siang. Maaf ya, Sayang," ujar Kania menenangkan emosi Jovan.Jovan menjawab pernyataan Kania dengan dengusan kesal saja."Kir, kamu tunggu aku di ruang tamu dan tolong tutup pintunya," ucap Kania lirih namum setengah b
Pagi itu seorang gadis cantik terlihat sedang rebahan di sofa dalam apartement-nya. Ditangannya ada ponsel yang sedang dia gunakan untuk berboncang dengan seseorang lewat aplikasi chatting.~Dari pagi sampe sore ini aku gak ada jadwal syuting. Aku tunggu kamu di Apartemen~ Kania.~Ok! Jam sepuluh aku ke situ. Aku udah gak tahan banget~ Jovan.~Aku selalu siap untukmu~ Kania.Percakapan itu cukup sarkas. Yang dibahas di dalamnya hanya seputar rencana percintaan mereka.*Jam menunjukan angka 08.30. Kirana masih meringkuk di atas kasurnya. Fikirannya kacau mendapati pakaiannya kembali berlumuran darah dan kali ini tidak sedikit. Sejak masih tinggal di kota kelahirannya, Kirana sudah mulai menerka-nerka tentang hal-hal yang tidak masuk akal yang set
"Kirana Kamu gak apa-apa 'kan? Ada yang bawa minyak angin gak?" tanya Kania.Kirana mulai membuka matanya ketika hidungnya mencium bau minyak angin. Dia melihat satu-persatu orang-orang di sekitarnya."Kamu kok bisa pingsan gini sih, Kir?" tanya Kania."Seingatku tadi kaya kepeleset gitu pas udah deket toilet,""Makanya kalau jalan itu hati-hati," ketus Kania.Kirana hanya terdiam. Cara bicara Kania terdengar ketus. Sejak menginjakan kaki di jakarta, baru kali ini Kania bersikap seperti ini.'Sepertinya syutingnya terganggu gara-gara aku pingsan. Makanya dia bersikap seperti itu," Kirana membatin."Kita take lagi ya! Semua udah siap buat lanjut syuting 'kan?" tanya sutradara
Tiga bulan berlalu sejak Kania keguguran. Selama tiga bulan itu pun hubungan Bram dan Kania terasa dingin dan hambar. Mereka masih tinggal di apartemen yang sama, namun sudah tidak tidur seranjang. Bram yang sangat kecewa pada Kania memilih untuk tidur di ruang tamu. Mereka jarang bertegur sapa. Bahka ketika di agency pun, Bram lebih memilih menghindar dari Kania.Meski Kania sudah berusaha menjelaskan, namun Bram tetap tidak percaya. Bukti hasil laboratorium dari rumah sakit sangat akurat. Kania memang kecewa dengan sikap suami sirinya itu. Tapi dia berusaha tetap tenang dan ceria.Malam hari sekitar pukul 21:45, Kania terlihat memasuki unit apartementnya. Setelah menutup pintu, dia berjalan menuju kamarnya. Kania berpapasan dengan Bram di ambang pintu kamar. Kania melihat koper besar di belakang Bram."Mas mau kemana?" tanya Kania dengan kening yang mengernyit."Amerika. Aku yang memenangkan tender
Sore itu, pernikahan sederhana dan tertutup itu telah selesai digelar. Bram dan Kania telah menikah secara siri. Selesai mengantar Kania ke apartemen, Bram segera pergi menuju sebuah cafe untuk menemui seseorang.Sesampainya di cafe, Bram melihat Maya sudah duduk di meja yang memang telah dia reservasi. Bram pun berjalan mendekat dan duduk di kursi yang bersebelahan dengan Maya. Maya mendekat hendak memeluk Bram, namun Bram menghindar."Tiak usah berbasa-basi. Aku memintamu untuk menemui karena aku ingin menyampaikan sesuatu. Aku sudah menghubungi pengacaraku. Berkas gugatannya akan segera diproses dalam waktu dekat ini," ujar Bram tegas."Jadi pernikahan kita tetap akan berakhir Bram?" tanya Maya dengan mimik wajah sedih."Iya. Jangan bilang kalau kamu menyesal. Kamu yang memulai konflik dan menghinaku sebagai laki-laki tidak berguna.
Mobil sedan berwarna biru elektrik itu terlihat bergerak mendekati sebuah tangga berbentuk spiral. Dari tangga itu terlihat seorang gadis yang berjalan perlahan sambil memegang area sensitifnya yang terasa ngilu. Seorang laki-laki keluar dari sedan biru elektrik tersebut lalu berjalan mendekati tangga. "Cepetan turunnya, Kania. Nanti ada yang lihat," Kania menekuk wajahnya sambil mempercepat langkahnya. Begitu dirinya sampai di ujung tangga, Bram segera menggendong Kania dan memasukannya ke dalam mobil. Mobil sedan milik Bram pun segera keluar dari baseman gedung agency. "Di mana letak gedung apartemen tempat kamu tinggal?" tanya Bram tanpa menoleh ke arah Kania. Kania segera memberi tahu arah menuju apatement miliknya. Tak sampai berapa lama, mobil itu tiba di halaman sebuah gedung apartemen yang cukup elegan. Bram membantu Kania berjalan dengan