Seorang laki-laki usia dua puluh tahun terlihat tengah berbaring di atas kasurnya sambil memandangi poto gadis di ponselnya.
Waktu sudah menunjukkan jam 10.00 waktu Cambridge. Dia adalah Reza. Entah kenapa dia tampak sangat gelisah memikirkan gadis pemilik hatinya, KANIA.
"Kania, kamu lagi ngapain sekarang? Lagi sama siapa sekarang? Masihkah kamu menungguku? Masihkan kamu ingat janji kita?" Reza bertanya pada dirinya sendiri.
Dia terus berfikir keras. Kenapa Kania tidak bisa dihubungi? Apakah Kania sudah bersama laki-laki lain?
Tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Cepat-cepat dia usap air mata itu.
Baru satu tahun dia berada di negara dengan umat muslim yang minoritas, namun kerinduannya terhadap Kania seperti sudah tak terbendung lagi. Sedangkan masih tersisa satu tahun lagi untuk Reza menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas di negara itu.
"Astaghfirullahal adziim ... Kenapa perasaanku bisa secemas ini? Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Apalagi aku tahu penyakit psikologi yang dideritanya," gumam Reza seraya mengucapkan Istighfar berkali kali.
Perubahan sikap Kania itu sudah terlihat sejak sebelum dirinya menjalin hubungan dengan Reza.
Awalnya Reza kaget sekaligus takut, bahkan sempat menghindar. Tapi akhirnya Reza berpikir untuk membantu Kania. Dia mencari informasi dari berbagai sumber, hingga Kania sering merasa tenang dan bisa mengendalikan diri ketika berada di dekat Reza.
"Makasih, Kak. Aku gak tahu kalau gak ada kakak."
"Kamu harus bisa, Kania. Aku gak mungkin selalu berada dekat kamu," ujar Reza di taman belakang kala itu.
"Akan aku coba, Kak."
Reza melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Dia mengambil air wudhu. Kemudian melaksanakan sholat sunat dua rakaat dengan harapan bisa menghilangkan kegelisahannya.
Reza berdo'a dalam sujud lamanya. Menumpahkan segala kegelisahan hatinya pada Sang Kholik.
"Ya Allah Ya Robby … Hamba mencintainya karena-Mu. Hamba hanya berharap Engkau berkenan mempertemukan kami lagi. Jaga dia ketika hamba jauh darinya. Jaga hati kami agar senantiasa saling memegang teguh janji kami hari itu. Namun sepenuhnya hamba menyerahkan keputusan terakhir dalam tangan-Mu, Ya Allah. Hamba berpasrah hanya kepada-Mu. Aamiin Yaa Robbal Alaamiin …."
Begitulah kira-kira do'a Reza dalam sujudnya. Selesai sholat malam dia membaca Al-Qur'an. Lantunan suaranya benar-benar membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.
Selesai membaca Al-Qur'an, Reza kembali merebahkan badannya di atas kasur. Dia kembali menatap poto gadis cantik itu.
"Kania, aku merindukanmu!"
Kecemasan Reza sebenarnya bukan tanpa alasan. Nyatanya gadis yang sedang diingatnya dalam kecemasannya sedang berada dalam bahaya.
"Mulus sekali kulitmu. Sudah lama aku tidak menikmati indah surga dunia," ujar Fero setelah berhasil menyeret Kania ke r∆n-j∆ng. "Lagian aku yakin kalau kamu bukan anak kandungku. Sudah saatnya kamu membalas budi padaku, Kania. Puaskan aku sekarang juga!"
Dia yang dalam keadaan setengah mabuk, sudah berhasil mendesak Kania sambil mengelus betis dan paha Kania.
"Jangan, Pak! Aku ini anakmu!" Kania terus meronta dan berteriak sambil menamgis. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan Fero, bapaknya sendiri.
Fero yang sudah dikuasai naf-s√ b€-j∆t, sudah tidak bisa mengontrol dirinya. Setelah kalah berjudi, Fero pun meminum minuman keras.
Langkahnya gontai pulang menuju rumahnya yang agak jauh dari pemukiman warga. Dia melewati kamar Kania dan terbersit untuk menikmati Kania.
"Dia pasti masih pe-r∆-w∆n. Dulu aku dapat ibunya yang sudah bekas. Sebagai gantinya, anaknya yang harus kupe-r∆-w∆ni. Ini namanya impas. Hehehe ...," Pikiran me-s√m seketika menguasai otaknya.
Fero terus mengetuk pintu kamar Kania. Begitu pintu terbuka, padahal Kania sedang memakai daster batik remaja sepanjang lutut.
Fero menatap betis mulus Kania hingga membuat naf-s√ bi∆-d∆bnya bangkit.
Hasrat kelelakiannya pun muncul. Miliknya seketika menegang. Dengan langkah lebar dia langsung menerkam tubuh molek itu. Akal sehatnya sudah hilang.
"Tidak! Lepasin aku, Pak." Kania terus menjerit dan meronta sambil menangis. Dia sedang berusaha melepaskan cengkraman tangan bapaknya.
"Layani aku sekarang. Hahaha … Tenang saja, nanti aku pasti bakal nikahin kamu dan membuang si Ranti yang mulai peot itu," ucapnya sambil berusaha mencium wajah Kania.
Sekuat tenaga Kiranna berusaha melawan. "Lepaskan Aku biadab! Tolooong!"
Kedua mata Kania tampak melotot. Bola matanya bergulir ke kiri dan ke kanan. Jari-jari di kedua tangannya sudah saling berjarak, seperti hendak men-c∆-k∆r.
Fero yang tak menyadari perubahan Kania, terus berusaha melepaskan pakaian gadis itu.
Hanya dengan sekali tarikan saja, daster motof batik itu sudah robek depannya.
Tampak dua gundukan sintal dalam balutan br∆ warna biru. Fero semakin bernafsu melihat gundukan itu. Sedikit lagi mulutnya hendak melahap gundukan itu.
BUKK!
Sepuluh menit sebelumnya."Jam segini baru pulang sekolah, Tiana?" tanya Bu Tita. Tetangga di lingkungan tempat Tiana dan keluarganya tinggal."Iya nih, Bu. Kebetulan setelah beres jam sekola, aku langsung ikutan ekskul basket," jawab Tiana."Enggak kerasa ya, sekarang kamu sudah pake seragam putih abu. Dulu kakak kamu yang pake putih abu, sekarang adiknya. Masuk SMA yang sama juga sama kakak kamu?" tanya Ibu itu lagi."Enggak, Bu. Nilai ujianku enggak cukup buat masuk ke situ. Aku masuk SMU Negri yang bukan favorite, Bu," jawab Tiana."Ya udah enggak apa-apa, Tiana. Mau SMA favorite mau SMA bukan favorite, keduanya sama saja kok. Yang penting belajar
Suara adzan subuh berkumandang keras bersahutan. Dinginnya udara pagi buta itu membuat siapa saja yang merasakannya akan sangat enggan untuk melepaskan selimut tebalnya. Udara dingin itu terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.Tampak sesosok tubuh tengah tergeletak di teras rumah tak berpenghuni. Bola matanya mulai bergerak. Bulu matanya yang lentik pun ikut bergerak seiring dengan pergerakan kedua bola matanya.Perlahan namun pasti, mata itu terbuka. Tatapannya sendu. Dia melihat sekitarnya, hanya gelap dan dingin. Dia meraba-raba apa saja yang bisa dirabanya."Rumput lagi?" tanya sosok itu pada dirinya sendiri.Sudah kesekian kalinya sosok itu menemukan dirinya sendiri di sebuah tempat yg sama. Dinginnya udara pagi itu membuat kedua tangannya bert
"Kakak yakin dengan keputusan kakak? Aku gimana, Kak? Aku takut sendirian di rumah," tiana bertanya tapi juga merajuk. "Harusnya 'kan bagus Tiana. Kakak jadi enggak nyusahin Ibu terus. Sudah saatnya kakak bantu Ibu. Nanti Kakak juga bisa nambahin uang sakumu juga 'kan," ujar Kiranna membujuk adiknya. "Tapi Tiana sendirian di rumah. Tiana takut, Kak," "Kan ada Ibu sama …," Kiranna tiba-tiba merasa tidak suka memanggil laki-laki bernama Ridwan itu dengan sebutan Ayah. Bu Rahma yang sedari tadi diam sambil mendengar percakapan kedua putrinya itu pun akhirnya ikut Bicara. "Kamu tuh harusnya senang kakakmu punya pekerjaan dan penghasilan sendiri. Udah
Jovan masih duduk termangu di dalam kamarnya. Tangan kanannya memainkan dan membolak balikan sebuah ponsel. Ya, itu ponsel milik Kiranna. Ponsel yang dulu ketika masih mengenyam pendidikan SMA telah diambil dari dalam tas biru langit sekitar satu tahun lebih yang lalu. Jovan teringat reaksi Kiranna saat menggeledah tas sekolahnya waktu itu. Wajah Kirana terlihat sangat sedih dan kecewa. Sebenarnya Jovan merasa bersalah saat itu, namun tak membuatnya mengembalikan ponsel itu pada Kirana. Tindakannya memang sangat jahat sekali. Demi keinginannya untuk memiliki dan menjadikan Kirana sebagai kekasihnya. Dia rela menggunakan cara-cara tidak terpuji. Karena hanya ponsel itulah yang jadi media penghubung antara Kiranna dengan laki-laki yang bernama Shirojuddin Al-abbas itu. Tebakannya benar. Kiranna memang benar-benar langsung dengan laki-laki bernama Shiroj waktu itu. Itu artinya rencana Jovan
Keringat dingin menetes di dahi Jovan. Perasaannya seketika gelisah. Sesuatu di balik tiba-tiba celananya menegang. 'Torpedoku kenapa bangun gini ya? Nonton blue film juga gak. Apa karena lihat Kania pake nightgown gitu ya? Masa iya mesti ngacir dulu ke kamar mandi. Iya kalau sebentar langsung tuntas. Kalau lama? Yang ada si Kania nanti malah curiga," Jovan berujar dalam hatinya. Kania yang tau dengan reaksi Jovan hanya bisa tersenyum tipis nyaris tak terlihat. Sebenarnya Kania telah mencampurkan obat perangsang dosis tinggi dalam minuman es jeruk yang diminum Jovan. Kania sendiri ikut meminumnya agar gairahnya nanti bisa meledak bersama Jovan. Kania senyum-senyum sendiri membayangkan sebentar lagi dia akan terbang ke langit ke tujuh bersama laki-laki yang selama ini di cintainya. Kania yakin kalau
Kania terbangun dari tidur nya. Setelah pergumulan penuh hasrat itu, dia langsung tertidur dengan lelap. Ingatan terakhirnya adalah ketika pelepasan terakhirnya bersama Jovan. Laki-laki yang dicintai sejak masih duduk di bangku kelas satu SMU. Belum juga penyatuan mereka terlepas, Kania sudah langsung masuk ke alam mimpi. Berharap dalam mimpi sekalipun dia mengulang lagi pergumulan indah itu dengan Jovan. Kania benar-benar kecewa mendapati Jovan yang sudah tidak ada di apartementnya. Padahal rencananya dia akan menggoda Jovan lagi untuk melakukannya kembali. Meskipun pemula,Jovan benar-benar hebat. Dia ternyata mampu membuat Kania melayang. Meskipun tingkat kepuasannya masih di bawah Bram. Pelepasan demi pelepasan yang didapatnya terus terbayang di benak Kania. Matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding kamarnya. Jam itu men
Kenapa kamu lebih memilih Kirana, Jo? Padahal aku yang sangat mencintaimu melebihi cinta Kirana padamu," ujar Kania menumpahkan kesedihan hatinya.Kania mengentikan tangis pilunya sejenak. Telinganya menangkap suara orang yang sedang menangis sambil mengucapkan sumpah serapah dari tempat yang cukup jauh dari tempatnya terduduk. Kania pun beranjak lalu berjalan ke arah suara meski dengan langkah gontai.Kania berhenti tepat beberapa meter lagi di depan pintu ruangan pemilik agency yang terbuka sedikitPerlahan namun pasti, Kania mendorong pintu yang terbuka sedikit itu. Bau Alkohol menguar dari dalam ruangan itu. Dilihatnya Bos dari agency tempatnya bernaung sedang menangis. Sedangkan rambut dan bajunya acak-acakan. Posisi sofa yang menghadap ke arah pintu, membuat Bram dengan mudah bisa mengetahui siapa orang yang datang. Kesadarannya masih ada saat itu. Dia tau kalau orang yang datang itu adala
Mobil sedan berwarna biru elektrik itu terlihat bergerak mendekati sebuah tangga berbentuk spiral. Dari tangga itu terlihat seorang gadis yang berjalan perlahan sambil memegang area sensitifnya yang terasa ngilu. Seorang laki-laki keluar dari sedan biru elektrik tersebut lalu berjalan mendekati tangga. "Cepetan turunnya, Kania. Nanti ada yang lihat," Kania menekuk wajahnya sambil mempercepat langkahnya. Begitu dirinya sampai di ujung tangga, Bram segera menggendong Kania dan memasukannya ke dalam mobil. Mobil sedan milik Bram pun segera keluar dari baseman gedung agency. "Di mana letak gedung apartemen tempat kamu tinggal?" tanya Bram tanpa menoleh ke arah Kania. Kania segera memberi tahu arah menuju apatement miliknya. Tak sampai berapa lama, mobil itu tiba di halaman sebuah gedung apartemen yang cukup elegan. Bram membantu Kania berjalan dengan
Kiranna mendengar pintu depan kamar kost-annya ada yang mengetuk. Dia beranjak keluar dari kamarnya dan bergegas mendekati pintu. Kiranna cukup terkejut melihat seseorang yang dikenalnya tengah berdiri di depannya sambil tersenyum."Jovan!""Hi, Kirana!""Kamu kok bisa tau kost-anku?" tanya Kirana yang masih terkejut."Aku pernah ngikutin kamu,""Ooh ....""Gak disuruh masuk nih?""Tapi Kamu gak bakal berbuat macam-macam 'kan?""Ya Allaah ... Tega banget sih fikiranmu? Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu kok. Aku gak seburuk itu Kirana," tegas Jovan dengan hati yang sedikit kesal.Kirana mempersilahkan Jovan masu
Suasana asri di tempat pengambilan gambar itu berubah Kaku. Kirana sempat terhenyak ketika Kania berteriak padanya.Beberapa orang sempat menoleh ke arah Kania yang berteriak pada Kirana meski tanpa sadar. Kania langsung menenangkan diri melihat reaksi orang-orang di sekitarnya."Justru karena aku asprimu jadi aku harus tau detail terkecil sekalipun tentang dirimu, Kania. Kamu gak bisa nutupin apapun dariku!" Kirana bicara dengan tegas.Kania menatap Kirana dengan berbagai macam perasaan yang kini makin berkecamuk dalam dadanya. Kania segera beranjak dari duduknya lalu berjalan menjauhi orang-orang. Kirana segera mengikuti langkah Kania. Mereka sampai di satu spot yang cukup rindang dan jauh dari orang-orang.Kania terdiam beberapa saat. Namun setelahnya dia menangis merasakan kegetiran hati yang selama beberapa bul
Semingu telah berlalu sejak kabar kematian seorang manager produksi hingga beritanya menjadi timeline di beberapa surat kabar dan acara info gosip di televisi.Di dalam unit apartement milik Kania, tampak Kirana sedang menyiapkan beberapa barang yang akan dibawa dan digunakan Kania ke sebuah spot pemotretan dengan tema lingkungan hidup"Fiuh ... beres juga," gumam Kirana.Krucuk ... Krucuk ...Kirana segera mengusap perutnya."Kalau gak salah, di kulkas yang ada di dapur itu ada pasta fetuccini sisa kemarin. aku angetin itu aja deh," gumam Kirana lagi.Selesai mengahangatkan pasta fetuccini Kirana segera kembali ke ruang tamu sambil menyalakan televisi.Tiba-tiba Kirana mengernyit mendengar suara tombol pasword unit apartement yang sedang ditekan dari luar
"Arght!"Jeritan penuh keterkejutan itu membuyarkan konsentrasi Jovan yang sedang dalam mode melayang. Dia sedang bercinta dengan Kania. Meskipun suara musik di dalam kamar itu cukup keras, namun keduanya masih bisa mendengar teriakan seorang wanita yang masuk ke dalam kamar Kania."Brengsek! Kok bisa-bisanya ada orang masuk tanpa permisi dan bikin mood-ku berantakan. Siapa sih dia?" tanya Jovan pada Kania namun dengan mata yang menatap ke arah wanita yang kini sedang berdiri di ambang pintu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Dia asisten pribadiku. Aku lupa kalau tadi aku nyuruh dia beliin gado-gado buat makan siang. Maaf ya, Sayang," ujar Kania menenangkan emosi Jovan.Jovan menjawab pernyataan Kania dengan dengusan kesal saja."Kir, kamu tunggu aku di ruang tamu dan tolong tutup pintunya," ucap Kania lirih namum setengah b
Pagi itu seorang gadis cantik terlihat sedang rebahan di sofa dalam apartement-nya. Ditangannya ada ponsel yang sedang dia gunakan untuk berboncang dengan seseorang lewat aplikasi chatting.~Dari pagi sampe sore ini aku gak ada jadwal syuting. Aku tunggu kamu di Apartemen~ Kania.~Ok! Jam sepuluh aku ke situ. Aku udah gak tahan banget~ Jovan.~Aku selalu siap untukmu~ Kania.Percakapan itu cukup sarkas. Yang dibahas di dalamnya hanya seputar rencana percintaan mereka.*Jam menunjukan angka 08.30. Kirana masih meringkuk di atas kasurnya. Fikirannya kacau mendapati pakaiannya kembali berlumuran darah dan kali ini tidak sedikit. Sejak masih tinggal di kota kelahirannya, Kirana sudah mulai menerka-nerka tentang hal-hal yang tidak masuk akal yang set
"Kirana Kamu gak apa-apa 'kan? Ada yang bawa minyak angin gak?" tanya Kania.Kirana mulai membuka matanya ketika hidungnya mencium bau minyak angin. Dia melihat satu-persatu orang-orang di sekitarnya."Kamu kok bisa pingsan gini sih, Kir?" tanya Kania."Seingatku tadi kaya kepeleset gitu pas udah deket toilet,""Makanya kalau jalan itu hati-hati," ketus Kania.Kirana hanya terdiam. Cara bicara Kania terdengar ketus. Sejak menginjakan kaki di jakarta, baru kali ini Kania bersikap seperti ini.'Sepertinya syutingnya terganggu gara-gara aku pingsan. Makanya dia bersikap seperti itu," Kirana membatin."Kita take lagi ya! Semua udah siap buat lanjut syuting 'kan?" tanya sutradara
Tiga bulan berlalu sejak Kania keguguran. Selama tiga bulan itu pun hubungan Bram dan Kania terasa dingin dan hambar. Mereka masih tinggal di apartemen yang sama, namun sudah tidak tidur seranjang. Bram yang sangat kecewa pada Kania memilih untuk tidur di ruang tamu. Mereka jarang bertegur sapa. Bahka ketika di agency pun, Bram lebih memilih menghindar dari Kania.Meski Kania sudah berusaha menjelaskan, namun Bram tetap tidak percaya. Bukti hasil laboratorium dari rumah sakit sangat akurat. Kania memang kecewa dengan sikap suami sirinya itu. Tapi dia berusaha tetap tenang dan ceria.Malam hari sekitar pukul 21:45, Kania terlihat memasuki unit apartementnya. Setelah menutup pintu, dia berjalan menuju kamarnya. Kania berpapasan dengan Bram di ambang pintu kamar. Kania melihat koper besar di belakang Bram."Mas mau kemana?" tanya Kania dengan kening yang mengernyit."Amerika. Aku yang memenangkan tender
Sore itu, pernikahan sederhana dan tertutup itu telah selesai digelar. Bram dan Kania telah menikah secara siri. Selesai mengantar Kania ke apartemen, Bram segera pergi menuju sebuah cafe untuk menemui seseorang.Sesampainya di cafe, Bram melihat Maya sudah duduk di meja yang memang telah dia reservasi. Bram pun berjalan mendekat dan duduk di kursi yang bersebelahan dengan Maya. Maya mendekat hendak memeluk Bram, namun Bram menghindar."Tiak usah berbasa-basi. Aku memintamu untuk menemui karena aku ingin menyampaikan sesuatu. Aku sudah menghubungi pengacaraku. Berkas gugatannya akan segera diproses dalam waktu dekat ini," ujar Bram tegas."Jadi pernikahan kita tetap akan berakhir Bram?" tanya Maya dengan mimik wajah sedih."Iya. Jangan bilang kalau kamu menyesal. Kamu yang memulai konflik dan menghinaku sebagai laki-laki tidak berguna.
Mobil sedan berwarna biru elektrik itu terlihat bergerak mendekati sebuah tangga berbentuk spiral. Dari tangga itu terlihat seorang gadis yang berjalan perlahan sambil memegang area sensitifnya yang terasa ngilu. Seorang laki-laki keluar dari sedan biru elektrik tersebut lalu berjalan mendekati tangga. "Cepetan turunnya, Kania. Nanti ada yang lihat," Kania menekuk wajahnya sambil mempercepat langkahnya. Begitu dirinya sampai di ujung tangga, Bram segera menggendong Kania dan memasukannya ke dalam mobil. Mobil sedan milik Bram pun segera keluar dari baseman gedung agency. "Di mana letak gedung apartemen tempat kamu tinggal?" tanya Bram tanpa menoleh ke arah Kania. Kania segera memberi tahu arah menuju apatement miliknya. Tak sampai berapa lama, mobil itu tiba di halaman sebuah gedung apartemen yang cukup elegan. Bram membantu Kania berjalan dengan