Asmar tersenyum sambil memandangi Zidan. “Itu adalah bahan untuk membuat pil pengendali tenaga dalam. Aku harap setelah ini kau juga bisa berlatih bela diri.”Hans mengerutkan kening, tampak penasaran. “Memang ada pil seperti itu? Aku belum pernah mendengarnya.”“Tentu saja ada,” jawab Asmar penuh keyakinan. “Aku sendiri yang mengembangkannya. Sayangnya, aku tak lagi mampu membuat pil itu sendiri.”Raja Aldrian, yang masih terbaring lemah namun penuh perhatian pada percakapan mereka, tersenyum tipis. “Aku mengenalmu, Asmar. Kau adalah alkemis terhebat dari Arzan. Aku bahkan mengingatmu dan Suma dengan jelas.”Asmar menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. “Saya merasa tersanjung, Yang Mulia. Ternyata Raja dari Arventia masih mengingat saya.”Raja membalas dengan senyuman hangat. Meskipun belum pulih sepenuhnya, ia merasa tertarik dengan pembicaraan antara Hans dan Asmar. Ada rasa harapan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.Di sisi lain, Zidan hanya diam, mengamati orang-ora
“Dia menemukan lokasi persembunyian Laskar Hitam dan indikasi kerja sama mereka dengan Raja Arzan,” jawab Zidan, suaranya campuran antara kekaguman dan kekhawatiran. “Tapi dia juga menulis bahwa dia belum bisa kembali sekarang. Ada sesuatu yang harus dia pastikan terlebih dahulu.”“Hmm…” gumam Asmar sambil mengelus janggutnya. “Berarti dia sedang menyusup lebih dalam. Berbahaya, tapi itu memang gaya Suma.”Hans mengangguk. “Kalau Kakek Suma sudah memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh, artinya informasi itu sangat penting. Tapi aku tetap khawatir, apa dia butuh bantuan?”Zidan menggeleng. “Dia menulis agar kita tetap fokus di sini, menjaga Raja dan menyelesaikan semua persiapan. Dia tidak ingin kita terbagi fokus.”Asmar tersenyum kecil. “Tentu saja. Suma selalu percaya pada kita. Sekarang tugas kita adalah memastikan kita siap untuk apapun yang akan datang.”Zidan meremas surat itu di tangannya. Kekhawatirannya sedikit mereda, tapi tidak sepenuhnya hilang. “Kalau begitu, aku akan te
Asmar memandang pil kecil berwarna kehijauan yang baru saja selesai dibuat oleh Zidan. Pil itu tampak sederhana, tetapi proses pembuatannya sangat kompleks. Ini adalah salah satu pil baru yang dirancang untuk membantu memperkuat energi dalam sambil menyembunyikan jejak kekuatan dari pengintai yang terlatih. Pil semacam ini sangat penting jika mereka ingin tetap aman dari Laskar Hitam dan pasukan Raja Arzan.“Sudah siap diuji?” tanya Asmar sambil menyerahkan pil itu kepada Zidan.Zidan mengangguk, meskipun ada sedikit keraguan di matanya. “Aku sudah mengikuti semua langkah yang kau ajarkan, Guru. Tapi ini pertama kalinya aku membuat pil sekompleks ini. Aku tidak yakin hasilnya akan sempurna.”Hans yang berdiri di dekat mereka mendekat dengan ekspresi serius. “Kalau pil ini gagal, apa dampaknya?”Asmar menjelaskan dengan tenang, “Jika pilnya gagal, dampaknya hanya energi dalam Zidan akan sedikit terganggu untuk sementara. Tidak ada risiko fatal. Tapi kalau berhasil… ini akan menjadi sal
Zidan terus berlatih dengan tekun, memusatkan pikirannya pada teknik-teknik yang diajarkan oleh Asmar. Namun, di tengah konsentrasinya, rasa penasaran mulai mengusik pikirannya. Ia teringat momen ketika mereka pertama kali dibawa ke tempat ini—persembunyian yang dirahasiakan, bahkan untuk dirinya sendiri.Ia mengingat jelas bagaimana ia dibawa dengan mata tertutup, hanya bisa merasakan jalan yang berliku dan suasana yang sunyi. "Kenapa mereka merahasiakan tempat ini dariku?" pikir Zidan sambil menghentikan latihannya sejenak. Asmar, yang mengamati dari kejauhan, mendekatinya. "Kau terlihat tidak fokus, Zidan," katanya sambil duduk di atas sebuah batu besar di dekatnya. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"Zidan menghela napas pelan. "Guru, aku hanya penasaran... kenapa persembunyian ini dirahasiakan dariku? Bahkan aku dibawa ke sini dengan mata tertutup. Apakah mereka tidak mempercayaiku?"Asmar tersenyum kecil, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Bukan soal kepercayaan, Zi
Hans berjalan mantap di lorong-lorong benteng, sesekali menoleh ke belakang memastikan Zidan tetap mengikutinya. Di sepanjang perjalanan, ia menunjuk ke arah berbagai struktur dan menjelaskan dengan detail yang membuat Zidan terkagum-kagum."Zidan, perhatikan baik-baik," ujar Hans sambil menunjuk pintu baja besar di depan mereka. "Benteng ini memiliki tiga lapisan pertahanan utama. Lapisan pertama adalah gerbang luar. Di sinilah para penjaga kita berjaga sepanjang waktu. Meski terlihat sederhana, sistemnya sangat kuat. Setiap pintu dirancang untuk menahan serangan besar-besaran."Zidan mengangguk sambil mencatat penjelasan itu dalam ingatannya. "Apa yang membuatnya begitu kuat, Hans?"Hans tersenyum kecil, merasa bangga bisa memberikan penjelasan. "Gerbang ini terbuat dari baja hitam yang dilapisi dengan sihir pelindung yang dirancang oleh salah satu alkemis sebelum mereka diburu habis oleh Arzan. Jika musuh mencoba menyerang langsung, mereka akan menghadapi jebakan dan serangan otoma
“Terakhir, kau akan mengenali mereka dari cara mereka berbicara,” kata Hans sambil tersenyum. “Alkemis biasanya memiliki cara berpikir yang dalam dan penuh perhitungan. Mereka bisa menganalisis situasi dengan cepat dan sering kali memberikan solusi yang orang lain bahkan tidak terpikirkan.”Zidan terdiam sejenak, merenungi apa yang baru saja ia dengar. Ia mulai menyadari bahwa menjadi seorang alkemis bukan hanya tentang kekuatan atau kemampuan, tapi juga tentang bagaimana mereka membawa diri di tengah dunia yang penuh bahaya.“Tapi,” tambah Hans sambil menatap Zidan dengan serius, “kau juga harus hati-hati. Tidak semua alkemis adalah teman. Beberapa mungkin telah berpihak pada kekaisaran Arzan karena janji kekayaan atau kekuasaan.”Mata Zidan menyipit, rasa penasaran bercampur dengan kekhawatiran. “Jadi, kita tidak bisa mempercayai semua alkemis begitu saja?”“Benar,” kata Hans tegas. “Kau harus belajar mengenali siapa yang benar-benar di pihakmu dan siapa yang hanya berpura-pura. Tap
“Itu sebabnya kami mengandalkan informasi intelijen, seperti dari Kakek Suma. Jika ada tanda-tanda ancaman dari musuh, kita akan mengetahuinya lebih awal,” jawab Hans sambil berjalan lebih jauh ke arah pintu gerbang luar. Mereka berhenti di depan barikade yang tampak kokoh. “Di sinilah titik terakhir sebelum keluar dari lapisan luar benteng,” kata Hans. “Tapi untuk saat ini, kami tidak akan keluar. Aku hanya ingin kau mengerti bagaimana perlindungan di sini bekerja.”Zidan mengangguk. “Aku tidak menyangka bahwa strategi dan keamanan di benteng ini begitu rumit.”Hans tertawa kecil. “Seharusnya memang begitu. Kami tahu siapa yang kami hadapi. Kekaisaran Arzan dan Laskar Hitam tidak akan mudah menyerah. Tapi ingat, sekuat apa pun benteng ini, pada akhirnya, kekuatan individu seperti kau, Asmar, dan Kakek Suma juga sangat penting.”“Kenapa ada prajurit Arzan di sana?” tanya Zidan panik, matanya membulat saat melihat seseorang dengan seragam khas pasukan Arzan sedang berjalan di area lap
Hans sampai di perbatasan antara Kerajaan Arzan dan Arventia saat matahari mulai condong ke barat. Udara terasa tegang, seolah mengetahui betapa pentingnya perbatasan ini dalam menjaga kedamaian rapuh yang tersisa. Pasukan perbatasan Arventia tampak siaga di setiap sudut, memegang senjata mereka dengan erat. Di kejauhan, terlihat penjaga dari pihak Arzan, berdiri tegap dengan sorotan mata dingin dan waspada.Hans melangkah perlahan, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Ia mendekati salah satu pos penjaga Arventia, seorang perwira dengan seragam kebiruan yang dikenalnya. “Bagaimana situasi di sini, Kapten Rivon?” tanya Hans sambil menatap pemandangan di seberang perbatasan.Kapten Rivon menghela napas panjang sebelum menjawab, “Cukup tenang untuk saat ini, tapi kami tahu ini hanya sementara. Pasukan Arzan telah meningkatkan patroli mereka. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.”Hans mengangguk pelan. Ia tahu betul bahwa ketenangan di perbatasan ini hanya ilusi—Arzan terkenal
Dengan Asmar kini berada di sisi mereka, ketegangan semakin memuncak. Zidan tahu bahwa mereka sudah berada di ujung jurang—hanya dengan pergerakan cepat dan strategi yang cermat mereka bisa selamat. Namun, tantangan yang dihadapi tidak hanya fisik, tetapi juga banyak rahasia yang harus diungkap.Setelah mendiskusikan rencana mereka dengan Asmar, Zidan merasa seluruh beban tanggung jawab terletak di pundaknya. Kerajaan yang sudah begitu kuat dan pengkhianatan yang terjalin rapat membuat setiap langkah yang mereka ambil berpotensi menjadi jalan menuju kehancuran.Asmar mengisyaratkan agar mereka bergerak lebih cepat. "Pintu belakang sudah pasti telah dibuka. Kerajaan tidak akan lama lagi menyadari kita telah memasuki ruang bawah tanah ini. Kita harus menuju pusat kekuatan mereka—dan menemukan cara untuk menghentikan pertempuran alkemis yang telah mereka rencanakan."Zidan mengangguk dan dengan sigap memimpin kelompok menuju jalur yang lebih sempit dan
Baik! Saya akan melanjutkan cerita dengan lebih banyak ketegangan dan intrik. Berikut kelanjutannya:Zidan mengatur napasnya dengan hati-hati saat ia dan teman-temannya bersembunyi di balik bayangan dinding benteng Arzan. Mereka tahu bahwa setiap gerakan ceroboh bisa menarik perhatian pengawal yang berjaga ketat. Elric melirik ke arah Zidan, matanya penuh tanda tanya."Apa rencanamu sekarang?" bisik Elric.Zidan menghela napas, berpikir cepat. "Kita harus menciptakan gangguan. Jika kita hanya menunggu, kita akan terjebak di sini selamanya."Kyro mengangguk, matanya berbinar penuh keberanian. "Aku bisa membuat suara ledakan kecil dengan batu api dan bubuk mesiu yang kubawa. Itu bisa mengalihkan perhatian mereka cukup lama."Daren tersenyum tipis. "Baiklah, begitu mereka terpancing, kita harus bergerak cepat. Tapi bagaimana kita tahu jalur mana yang paling aman?"Zidan merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan secarik kertas peta yang ia dapatkan dari seorang informan sebelumnya. "Ada jalu
Zidan melangkah dengan hati-hati, matanya menyapu sekeliling lorong gelap yang dipenuhi bayangan. Nafasnya ditahan, mendengar langkah-langkah kaki yang mendekat. Ia merapat ke dinding, menunggu hingga suara itu menjauh sebelum melanjutkan perjalanan. Harzan telah mencurigainya, dan setiap gerak-geriknya kini dalam pengawasan. Namun, ia tak bisa mundur sekarang.Setelah bertemu Kakek Suma dan mendapatkan petunjuk penting, ia tahu bahwa keberadaannya di Akademi Arzan bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang melibatkan kekuatan tersembunyi yang bisa mengancam keseimbangan kekaisaran. Namun, sebelum ia bisa bertindak, ia harus memastikan keselamatan Daren, Kyro, dan Elric. Mereka bertiga mungkin belum tahu sepenuhnya bahaya yang mengintai, tetapi mereka adalah orang-orang yang bisa ia percayai.Di dalam kamar mereka, keheningan menggantung saat Zidan menceritakan apa yang ia ketahui. Daren duduk dengan ekspresi serius, sementara Kyro berkacak ping
Mereka berjalan mengikuti para prajurit dengan hati-hati. Meskipun berhasil lolos dari reruntuhan, Zidan merasa bahwa bahaya yang mengintai mereka belum selesai. Setiap langkah yang mereka ambil semakin terasa berat, seakan ada sesuatu yang menunggu di ujung lorong.Elric melirik ke arah Zidan. “Apa kau yakin mereka tidak mencurigai kita?” bisiknya pelan.Zidan menggeleng tanpa menjawab. Ia tidak bisa memastikan. Para prajurit ini mungkin terlihat netral, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa mereka bukan bagian dari rencana yang lebih besar?Saat mereka semakin dekat dengan pintu keluar, salah satu prajurit berhenti dan menoleh ke arah mereka. “Sebelum kalian pergi, aku harus melaporkan keberadaan kalian kepada atasan. Tidak ada murid yang seharusnya berada di sini.”Kyro mengepalkan tangannya. “Kami hanya tersesat, apakah itu benar-benar perlu?”Prajurit itu menatap Kyro dengan dingin. “Aturan tetap aturan.”Zidan bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika mereka dilaporkan
Zidan merasakan ketegangan memenuhi udara. Pria berjubah hitam itu, yang entah siapa namanya, berdiri dengan senyum menakutkan. Aura gelap yang mengelilinginya seakan menekan mereka semua, membuat napas menjadi lebih berat."Pergi sekarang!" bisik Zidan lagi, matanya masih terpaku pada lawannya.Namun, sebelum teman-temannya bisa bergerak, pria itu mengangkat satu tangannya. Energi hitam berputar di telapak tangannya, menciptakan pusaran angin yang menyedot udara di sekitar mereka."Kalian tidak akan ke mana-mana."Tiba-tiba, dorongan kekuatan besar menghantam mereka. Daren dan Kyro terhempas ke belakang, menabrak dinding batu dengan keras. Elric nyaris terkena serangan, tetapi ia sempat melompat mundur."Zidan, kita tidak bisa meninggalkanmu sendirian!" teriak Elric."Kalau kalian tetap di sini, kita semua mati!" Zidan berteriak balik. Ia merogoh kantongnya dan menggenggam pil yang telah ia siapkan.Pria berjubah hitam melangkah mendekat, matanya menatap tajam ke arah Zidan. "Aku bis
Ledakan itu semakin mendekat, mengguncang tanah di bawah pondok kecil Kakek Suma. Zidan meraih bahunya yang masih terasa nyeri dari pertarungan sebelumnya."Kakek, apa mereka sudah menemukan kita?" tanya Zidan dengan napas yang mulai tidak teratur.Kakek Suma mengangguk perlahan, wajahnya tegang. "Mereka pasti telah melacak jejak energimu. Waktu kita tidak banyak."Tanpa berpikir panjang, Kakek Suma menarik sebuah tuas yang tersembunyi di lantai kayu pondok. Sebuah lorong gelap terbuka ke bawah, memancarkan udara dingin yang mengalir dari dalamnya."Masuk ke sana, Zidan," kata Kakek Suma tegas. "Aku akan mengulur waktu."Zidan membelalak, menatap Kakek Suma dengan gelisah. "Tidak mungkin! Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian! Harzan tidak akan mengampuni siapa pun yang menghalangi jalannya!"Kakek Suma menepuk bahu Zidan dengan keras, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. "Dengar, bocah. Hidupku sudah lama aku korbankan untuk hal ini. Tapi kau—kau masih memiliki tujuan. Ja
Malam itu, hutan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin yang berhembus membawa desiran aneh, seolah-olah sesuatu sedang mengintai mereka dari kejauhan.Zidan, Elric, Kyro, dan Daren duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat untuk menghangatkan diri. Wajah mereka masih dipenuhi debu dan sisa-sisa pertempuran di dalam gua."Aku masih belum percaya kita berhasil keluar," kata Daren sambil menghela napas. "Tempat itu... bukan sesuatu yang seharusnya ada di dunia ini."Elric mengangguk. "Dan kita baru saja menghancurkannya. Harzan pasti tidak akan tinggal diam. Kita harus bersiap."Zidan menggenggam bola kristalnya yang kini bersinar lebih terang dari sebelumnya. Ia tahu bahwa setelah apa yang mereka lakukan, Harzan akan segera bergerak."Aku akan pergi menemui Kakek Suma lagi," kata Zidan tiba-tiba.Kyro menoleh dengan kaget. "Sendirian? Itu terlalu berbahaya!""Aku tidak punya pilihan," jawab Zidan. "Kakek Suma mungkin satu-satunya orang yang bisa memberi kita jawaban tentang a
Malam di hutan itu terasa lebih gelap dari biasanya, meskipun bulan purnama menggantung di langit. Angin dingin berhembus, membawa bisikan samar yang seolah memperingatkan mereka tentang sesuatu yang akan datang. Zidan, Elric, Daren, dan Kyro beristirahat di bawah naungan pohon besar, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah pelarian yang mendebarkan dari markas Harzan.Namun, istirahat mereka tidak berlangsung lama."Zidan," bisik Kyro, matanya memandang ke arah gelap di kejauhan. "Kau merasakan itu? Rasanya seperti... ada sesuatu yang mengawasi kita."Zidan mengangguk pelan. "Aku merasakannya. Energi gelap ini... tidak salah lagi. Harzan sudah mulai bergerak."Daren, yang sedang memeriksa luka kecil di lengannya, menoleh dengan cemas. "Kalau begitu, kita tidak punya banyak waktu. Apa rencana kita selanjutnya?"Zidan menggenggam bola kristal yang mereka bawa dengan erat. "Kita harus kembali ke akademi. Kakek Suma mungkin bisa membantu kita memahami kekuatan bola ini. Tapi perjalanan
Zidan, Elric, Kyro, dan Daren berdiri di tengah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Empat jalan di hadapan mereka terasa seperti perangkap, masing-masing membawa ancaman tak terlihat. Suara gema misterius dari dinding batu terus terdengar, seakan menguji nyali mereka.“Kita harus memilih dengan bijak,” kata Zidan sambil memeriksa setiap jalan. “Kakek Suma pernah berkata bahwa ujian di Kuil Bayangan selalu menguji hati seseorang. Ini bukan hanya soal kekuatan.”Kyro menyentuh dinding batu yang dingin. “Bagaimana kita tahu jalan mana yang benar? Semuanya terlihat sama.”Daren, yang lebih peka terhadap energi magis, memejamkan mata. “Aku bisa merasakan sesuatu dari jalan kedua,” katanya. “Ada aura yang menarikku ke sana, tetapi… itu juga terasa berbahaya.”Elric mengamati simbol-simbol di atas masing-masing jalan. “Simbol ini… mereka mewakili empat elemen: tanah, air, api, dan angin. Mungkin ada hubungannya dengan ujian yang akan kita hadapi.”“Kal