Tebakan itu bukan tanpa alasan. Melihat sesal yang ditampilkan Aiman dulu serta tanggapan keluarga laki-laki itu membuat Tiara menyimpulkan jika semua terjadi karena Zia begitu spesial di hati mereka, termasuk Aiman. "Begitulah. Awalnya Ibu bahkan sempat mogok makan beberapa hari saking marahnya terhadap keputusan sepihakku. Bahkan sehari setelah Zia menikah Ibu terlihat murung seharian. Aku menjadi merasa sangat berdosa melihatnya."Aiman lagi-lagi terlihat menghela napas panjang. Ia tengah berusaha mengenyahkan rasa tak nyaman yang semakin kentara di relung sana."Aku berharap kau tak berkecil hati. Sekarang Ibu sudah terbiasa tanpa Zia. Dan aku berharap kau bisa menggantikan posisi Zia di hati Ibu."Aiman melirik sekilas ke arah Tiara dengan senyum lembut. Harapannya begitu besar terhadap Tiara, meski jauh di relung sana ia paham jika Tiara bukanlah Zia. Tiara tersenyum getir. Ia sendiri merasa jika dirinya begitu jauh berbeda dengan Zia. Hanya saja sudut hatinya begitu kuat memi
Beberapa saat ketiganya berbincang hangat hingga akhirnya Aiman izin ke kamar dengan alasan ingin mengambil laptop miliknya untuk dimasukan ke mobil karena takut ketinggalan. Kini tinggallah Tiara dan ibu Ana. Tiara masih terlihat sedikit canggung. Namun, ibu Ana dengan keramahannya berusaha membuat Tiara senyaman mungkin. "Kenal Aiman sejak kapan?" tanya ibu Ana lembut. "Kurang lebih tiga bulan lalu, Bu," jawab Tiara dengan senyum masih terus mengembang. Ibu Ana mengangguk pelan. Detik ini ia membenarkan kalimat Aiman semalam. Menurutnya Tiara tak memiliki kesan buruk pada pertemuan pertama mereka. Tiara bahkan nampak begitu santun. "Apa kau tau jika Aiman sudah pernah 2 kali menikah?" tanya ibu Ana lagi. Beliau tak ingin ada yang ditutupi dari Aiman. Dan hanya ingin Tiara menerima Aiman setelah mengetahui kurang dan lebih anak sulungnya itu. "Sudah, Bu. Bahkan aku lebih dulu mengenal kisahnya daripada orangnya," aku Tiara jujur. Ibu Ana menatap heran pada Tiara. "Maksudmu?""
Rindu itu kian terasa, rindu pada perempuan yang dulu selalu menghadiahinya pelukan hangat serta kecupan lembut saat akan dan setelah bangun dari tidurnya. "Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah sedemikian baik pada Tiara meski kita baru pertama kali bertemu." Tiara berucap dengan suara bergetar. Sesaat kemudian bulir bening menitik lembut di pipinya, menghangat di wajahnya, hingga Tiara harus menundukkan kepalanya demi menghalau air matanya dari pandangan ibu Ana. Suasana haru begitu pekat terasa di hati keduanya. Ibu Ana bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Tiara. Lembut tangannya mengusap bahu hingga punggung Tiara. Rindunya pada kehadiran anak perempuan membuat ibu Ana merasa ingin dekat dengan sosok Tiara. "Maaf jika Ibu membuatmu bersedih. Yang pasti pada akhirnya kita pun akan mengalami hal serupa cepat atau lambat. Cukup tunjukkan bakti sebagai anak, insya Allah hati akan menemukan ketenangan."Kalimat ibu Ana semakin membuat Tiara terharu. Kedua tangannya menangkup di w
"Iya, dan keseringan yang ngalah pasti kita yang perempuan. Kalau nggak mau seleranya yang ngalah berarti harus tubuh yang ngalah, dalam artian harus siap capek buat masak menu lebih banyak." Ibu Ana terkekeh, tangannya sibuk memisahkan sayuran yang akan ia masak menjadi menu makan siang kali ini. "Itulah yang sejak dulu hingga sekarang Ibu lakukan, Ti. Tapi lama kelamaan selera kita jadi menyesuaikan. Pelan-pelan Ibu jadi ikut makan makanan kesukaan Ayahnya Aiman, dan beliau pun begitu."Nampak rona bahagia terpancar dari wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda lagi. "Intinya menyatukan segalanya, ya, Bu. Tanpa terkcuali." Tiara tersenyum kecut. "Iya, Ti. Tenang, pelan-pelan akan terbiasa." Ibu Ana kembali terkekeh. Kerinduan Ibu Ana untuk memiliki anak perempuan sedikit terobati, pun dengan Tiara yang merindukan kasih sayang seorang ibu kini terbayarkan. *Matahari mulai menguning. Menggantikan sinar putih menyilaukan mata menjadi kuning keemasan. Pertanda sia
"Apa sekarang kau sudah bisa menerima lamaranku?" tanya Aiman dengan wajah serius. Bersamaan dengan itu ia kembali mengeluarkan kotak kecil yang beberapa hari lalu sempat ia bawa saat bertemu Tiara. Aiman menatap dalam wajah perempuan di hadapannya yang kini menatapnya lekat. Ada desir yang sama menjalar perlahan. Sesaat kemudian Tiara membenarkan posisi duduknya. Berusaha mengurai degub jantung yang kini bekerjaran. "Apa aku harus menjawabnya sekarang?" tanya Tiara. Ada restu yang masih belum ia peroleh dari seseorang yang ia anggap penting. "Jujur, aku tak ingin lebih lama lagi menunggu, Ti. Tapi jika memang kau tak bisa sekarang, aku akan berusaha sabar. Semoga hatimu segera mantap untuk menerima lamaranku."Tiara tersenyum lembut. Melihat Aiman dengan mudah memberi kebebasan padanya membuat hati Tiara luluh. "Kau bisa menyematkan cincin itu di jari manisku jika khawatir aku akan menjauh," ucap Tiara ringan. Aiman menampakkan rona bahagia. Akhirnya ia menemukan jawaban yang
"Eh, iya, Mik. Sama siapa ke sini?" tanya Tiara sekedar basa-basi. Ia dan Miko sebenarnya tidaklah saling bermusuhan. Keduanya berteman sebelumnya, hanya saja Miko yang kerap cemburu saat Tiara terlihat dekat dengan lawan jenisnya membuat Tiara kurang suka pada laki-laki itu. "Sendiri. Kebetulan di suruh Ibu buat beli beberapa barang karena istri almarhum Abang yang mau datang. Kamu sendiri?" "Sama temen, Mik, bentar lagi mungkin sampai," jawab Tiara seraya melirik meja di hadapannya yang sudah penuh pesanan. Miko melirik sekilas jumlah pesanan di atas meja, menebak jumlah pemesan. "Oke, lah, Ti. Semoga menyenangkan. Aku ke sana dulu, ya."Miko sedikit lega, setidaknya Tiara bertemu dengan dua orang, meski ia sendiri tak tahu dengan siapa Tiara akan bertemu? Apakah dengan laki-laki atau perempuan? Sejak kejadian di taman waktu itu Miko memang menjaga jarak dengan Tiara. Bukan karena Tiara dekat dengan Aiman, melainkan dirinya yang sibuk dengan study S2-nya di kota sebelah. Meliha
"Jangan-jangan kau di lamar duren, Ti?" tebak Zia dengan tawa pelan, memamerkan gigi-gigi putih bersihnya. "Begitulah, Kak. Tiara masih bingung. Orang tuanya begitu baik menurut Tiara. Sejauh ini dia pun sama. Aku tak pernah menemukan sesuatu yang membuatku tak menyukainya. Hanya saja kegagalannya dalam berumah tangga sebelumnya membuatku sedikit ragu." Tiara terlihat serius. Dengan membaginya pada Zia ia berharap menemukan jawaban atas rasa penasarannya tentang sosok Aiman yang sebenarnya. "Istikhoroh, Ti. Terkadang apa yang menurut pandangan kita baik, belum tentu sama dengan pandangan Allah. Namun sebaliknya, jika baik menurut Allah maka sudah pasti baik untuk kita. Kalau menurut Kakak, selagi kamu yakin tak ada masalah dengan status. Toh kegagalan sebelumnya bisa jadi bukan sebab darinya, kan?" Tiara mengangguk pelan. Ia merasa berbagi cerita dengan Zia mampu membuatnya lebih tenang. Detik ini Ia merasa semakin cocok dengan kepribadian Zia. "Akan Tiara coba, Kak. Sejauh ini Ti
Zia berusaha bijak. Dan memang itu yang ia yakini selama ini. Bohong rasanya jika ia mampu bersikap biasa-biasa pada laki-laki yang telah menoreh luka dalam dalam kisahnya itu secepat ini. Namun, ia beranggapan, luka itu selamanya tak akan sembuh jika ia terus mengingatnya dan menanam benih dendam pada laki-laki itu. "Nyatanya Sintia sangat licik, Kak. Aku pun tak tahu akan seperti apa kemarahan Sintia jika tau Aiman melamarku," lirih Tiara sendu. Bayangan kemarahan Sintia membuatnya getir. Zia menarik napas dalam. Jika itu sudah menyangkut Sintia rasanya begitu sulit untuk mencari jalan ke luar. Perempuan itu seolah tak lagi memiliki akal untuk berpikir sehat. "Kalau menurut Kakak, melangkahlah jika kau memang yakin Bang Aiman mampu menjadi imam yang baik untukmu. Masalah Sintia, lama kelamaan ia akan terbiasa dan akan mengikhlaskan semuanya. Semoga saja setelah ini Sintia benar-benar bisa lebih dewasa lagi."Tiara bergeming. Jauh di sudut hatinya ia tak begitu yakin jika Sintia ak
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti