Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
[Bang, kapan kau akan jujur pada Kak Zia?] [Beri pengertian secepatnya, agar dia bisa menerimaku. Aku tak ingin terus-terusan begini, punya suami tapi seolah hidup sendiri.] [Dua bulan Abang tak membagi waktu secara adil. Abang bahkan hanya menemuiku seminggu dua atau hanya sekali saja.] Deretan pesan di ponsel suaminya membuat lutut Zia terasa lemas, seakan tak mampu menopang berat badannya yang tak seberapa. Hatinya terasa perih, bahkan sangat perih. [Kumohon, bersabarlah. Percayalah, Abang akan melakukannya.] Balas Aiman. Chat dari nomor yang diberi nama Sintia di ponsel suaminya mampu membuat persendian di tubuhnya terasa lunglai. Ponsel yang tak pernah terkunci sejak awal mereka menikah itu lolos dari cengkraman tangannya, terjatuh menghantam lantai. Tubuh Zia merosot, kedua tungkai tak kuat menahan beban seiring kalimat-kalimat yang baru saja ia baca seolah memutar di kepalanya. Sintia. Perempuan pertama yang diinginkan Aiman untuk mendampinginya sebelum Zia. Apak
Flash backHari itu, saat dalam perjalanan ke kantor. Seorang pria paruh baya hendak menyebrang, dari arah kiri jalan menuju arah warung yang berada di seberang jalan. tanpa menoleh terlebih dahulu. Aiman yang berjarak kurang dari sepuluh meter tak mampu lagi mengelak, menginjak tuas rem sekuat apapun rasanya tak kan membuahkan hasil. Hingga mobil yang ia kendalikan menabrak tubuh pria paruh baya itu, hingga terpental cukup jauh. Tubuhnya lemas dengan wajah pucat pasi. Perlahan ia membuka pintu mobil dan keluar menghampiri tubuh yang baru saja membentur mobilnya. Suara riuh rendah terdengar di sekelilingnya. "Pak Bahri nyebrangnya gak noleh kanan kiri, sih. Jadinya kan begini." suara lelaki berkaos hitam tak jauh darinya berdiri berujar. "Iya, maklumlah, semenjak istrinya meninggal, Pak Bahri jadi linglung," jawab seorang ibu berjilbab biru tua di sebelahnya. Rasa bersalah di hatinya semakin menjadi-jadi setelah mendengarnya. Dalam waktu sebentar puluhan orang sudah mengerumuni
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti