Mas Rama."Lov, kamu susul Kasih." Mas Rama menggoyangkan kepalanya menyuruhku mengejar saudariku."Lov, kamu susul Kasih. Biar aku yang tangani cowok ini." Mas Rama menggerakkan kepalanya sedikit, memintaku menyusul saudariku itu."Iya, Mas." Jam tangan Kasih yang kupegang kini kusimpan dalam tas Hermes-ku. Enak saja dikembalikan ke Rinaldi, yang namanya pemberian tak boleh diminta lagi.Aku berbalik dan mengejar Kasih. Sampai di depan gedung, Rindu bertanya, "Ada apa sih, Mbak?""Nanti aja ceritanya, Mbak mau ngejar Mbak Kasih." Rindu paham."Rindu ikut." Rindu berlari kecil di belakangku."Kasih, tunggu!" teriakku pada Kasih yang berjalan cepat menuju toilet wanita. Ia kemudian memasuki toilet yang mirip toilet hotel atau bandara itu. Aku dan Rindu menyusul."Aaaarghh!" teriak Kasih sekuat tenaga di depan cermin. "Aaaaarh!" Langkahku berhenti satu meter di sebelahnya. Ia memandangi cermin dan menatap wajahnya sendiri lamat-lamat."Kasih," ujarku "maaf aku yang membuat semua kekaca
"Rendra, berhenti!" pintaku dengan suara agak lantang.Kuperhatikan dari dalam mobil dengan jendela yang terbuka. Kasih tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan di depan sebuah restoran. Tangannya menutupi wajah, seraya terisak-isak. Ia tampak tak peduli pada beberapa orang yang lewat menoleh padanya.Sementara di depannya seorang pemuda yang tak lain adalah Rinaldi berdiri seperti berteriak memaki-maki. Hatiku terenyuh.Di samping Rinaldi, berdiri pula seorang wanita lain yang berwajah angkuh. Tangannya bersilang sombong di dadanya. Gaun merah marun membuat ia tampak lebih memuakkan.Aku tanpa pikir panjang turun dari mobil dan menghampiri mereka."Jadi kamu udah tahu maksud aku yang sebenarnya, 'kan?" jerit Rinaldi dengan mata nyalang di depan Kasih."Kenapa, Di, kenapa kamu sejahat ini?""Jahat? Siapa yang jahat, Kasih." Rinaldi tersenyum sinis. "Ini hanya bisnis. Jangan tersinggung.""Kurang ajar kamu, Di." Kasih terus tersedu-sedu, air matanya berurai."Hentikan tangisanmu itu,
"Mbak?" Aku mengeraskan suara, karena samar dihapus hujan. Tubuhku, juga tubuh Kasih, sudah sepenuhnya basah dan tak peduli lagi petir menggelegar mengamuk di sudut langit sana."Mau apa kamu, Cin?" Suara Kasih terdengar pelan.Aku ikut berlutut di sampingnya. Kupegang tangannya. Ia menepis, tapi aku tetap kuat memegang tangannya."Dasar bodoh!" ujarku."Kan, cuma mau bilang aku bodoh."Aku langsung mendekap Kasih erat. Erat sekali. Ia agak meronta untuk melepaskan dekapanku. Tapi semakin ia meronta, semakin aku kuatkan dekapanku padanya hingga ia tak dapat bergerak lagi dan pasrah."Bodoh," lanjutku, "kenapa harus lari dariku, kamu itu butuh pelukan seperti ini. Jangan pura-pura kuat. Jangan menanggung semua luka sendirian." Hujan agak melambat. "Cinta?" Suara Kasih serak."Selama ini sebenarnya kamu capek, 'kan?"Kasih terus terisak dalam pelukanku."Kamu selalu terbebani untuk membuat Ibu bangga, 'kan? Kamu pura-pura kuat dan terus belajar untuk berprestasi, kamu lulus kuliah cep
Esok paginya kami hendak menjenguk Kasih ke rumah sakit. Di sebuah lorong menuju ruang perawatan, seorang anak kecil lelaki, barangkali tiga atau empat tahun sedang menangis sendirian.Melihat anak kecil itu, melas rasanya hatiku. Kutarik lengan Mas Rama untuk mendekatinya."Adek, kenapa nangis?" tanyaku halus.Anak itu malah melempariku dengan jajanan yang tadi ia genggam. Aku memungut jajanan itu dan menyosorkan padanya. Ia menepis, masih sambil menangis.Beberapa saat setelah itu, seorang wanita paruh baya dengan baju hijau zamrud menghampiri. "Maaf, anak saya nakal ya?" Wanita itu matanya sembab. hidungnya memerah dan matanya berair. Jelas sekali ia habis menangis.Anak itu meronta-ronta tak terkendali, membuat Ibunya yang menghampirinya kembali meneteskan air mata."Mbak, Mas, bisa titip anak saya ini. Dia memang agak hiperaktif. Saya harus ngurus Papanya yang lagi kritis. Tolong ya Mas, Mbak," mohon wanita itu pada kami."I-iya." Wanita itu bergegas pergi, sambil menutupi hidu
Puasa kesekian. Langit kota Jambi cerah biru membentang. Suara hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang terdengar harmoni.Mobil kami sudah berada di ruang parkir Aurora Corps jam 9.00 pagi itu. Seperi biasa, Mas Rama membukakan pintu untukku sebelum turun. Aku turun perlahan lalu menggamit tangannya mesra. Kami bersama-sama menuju ruangan direktur. "Selamat pagi, Pak Panorama," sapa petugas keamanan perusahaan yang berjaga di pintu masuk.Ah, satpam saja tahu Mas Rama, masa Rinaldi yang manajer keuangan tak tahu. Batinku.Aku dan Mas Rama mengangguk pelan dengan senyum tipis di bibir. Setelah memasuki kantor itu, beberapa karyawan menunduk dan menyapa kami tiap berpapasan. Kami pun membalas dengan anggukan dan senyum pula.Ceklek. Kami memasuki ruangan direktur."Mas, Mbak?" tegur Tara melihat kami masuk. Dua orang lain berada di ruangan itu sedang berbincang-bincang dengan Tara.Tara tampak elegan dengan blezer dan celana hitam. Ia berjalan anggun mendekati kami. "Duduk, Mas, Mbak Ci
"Tidak, apa yang anda akan lakukan pada saya, Pak Rama?" rengek Rinaldi. Namun dua orang lelaki itu langsung memegang lengannya dan menariknya hingga berdiri. Tangan Rinaldi kemudian dicekal dan dikunci dengan borgol plastik. "Ini barang buktinya, Mas." Tara menyerahkan dokumen merah, Mas Rama membuka dan ia langsung tersenyum. "Transfer uang perusahaan senilai 1,3 milyar ke sejumlah orang yang dilaporkan sebagai client, tapi nyatanya client fiktif. proyek fiktif, pesanan fiktif. Ini jelas kasus pencucian uang, suadara Rinaldi!" "A-apa? Dari mana anda tahu?" "Ah, jangan bodoh Rinaldi. Aku? Hal seperti ini saja tidak tahu?" Mas Rama menunjuk dirinya sendiri, lalu menghempaskan map itu ke atas meja. "Si*lan kamu Rama! Kamu pura-pura miskin dan jadi orang lain hanya untuk mencari tahu semua ini, 'kan?" "Memang sih." Aku menjawab, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ini semua rencana Mas Rama." Rinaldi tak berkutik dalam penjagaan dua anak buah Mas Rama. Matanya menatap taja
Aku terjebak dalam ruangan dekan genit, buaya cap kelinci hutan yang sudah diujung syah**tnya saat menatapku. Jantungku berdegup tiada hentinya setelah kulayangkan tamparan sekeras padanya. Ia meringis sebentar, tapi kemudian matanya nyalang dan bengis.Tuhan, apa yang akan ia perbuat padaku? Selamatkan aku, Tuhan. Tanganku perlahan meraih ponsel untuk menelepon Mas Rama. Namun tangan Pak Dekan langsung menyambar ponsel yang kukeluarkan dari tas. Aku menarik tangan sehingga sambarannya tak mengenai ponselku."Mau hubungi siapa, hah?" Lelaki berambut tipis itu menyeringai."Kamu cuma saya minta pegangan tangan gak mau, kalau begitu sekarang saya terpaksa memaksa kamu untuk ciu-"" terusnya."Sadar, Pak! Bapak orang terhormat." "Hahaha. Kita nikmati saja."Tok tok tok. Suara pintu diketuk.Tok tok tok! Lebih keras.Semoga seseorang masuk dan aku selamat. Semoga. Tuhan, kirimkan orang lain untuk mengeluarkanku dari sarang buaya ini.Tok tok tok! Sekali kagi. "Kamu masih beruntung, Cinta
"Lov!?" panggil Mas Rama.Jangan cuma panggil Mas. Nggak bakal aku toleh sampai suaramu kering pun. Kejar, Mas, kejar aku.Mas Rama mengejarku yang sudah lima meter di depannya. Seiring terus berjalan, mobil putih berlogo Honda itu pun berlalu, dan Ulya sempat menyapa Mas Rama pula dari dalam mobil."Lov? Kamu marah ya?"Aku diam saja dan terus berjalan di trotoar. Mas Rama meraih tanganku, kutepis. Aku duduk di sebuah bangku pinggir trotoar tepat dibawah pohon yang agak rindang. Beberapa kendaraan berseliweran di depanku.Mas Rama menghampiriku dan mencoba memegang tanganku lagi. Kutarik tanganku yang tadi kuletakkan di atas paha.Pandang kubuang jauh menerawang. Bibit kugigit."Hei, cewek?" goda Mas Rama sambio tersenyum. Rupanya ia sudah mengambil setangkai bunga yang mungkin ditanam di samping trotoar. Bunga daisy. Aku masih tak acuh pada Mas Rama. Kesalku bertalu-talu riuh dalam dada. Liar seperti genderang perang bangsa Troy melawan Spartan."Ya udah kalau gitu aku nyanyi," kat
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y