Grace hanya tak ingin Arka hancur seperti pria bodoh. Setelah orang itu pergi, Grace menyapu pipi hangat Arka. "Kamu nggak bisa lakukan apa pun agar dia kembali, 'kan? Kalau gitu ... biar aku aja, Arka. Lisa pasti akan kembali sama kamu. Percayalah!"Tak lama, beberapa petugas medis masuk dan mengangkat Arka agar dibaringkan ke atas brankar untuk dibawa pergi. Grace masih mematung, menatap ponsel saat ada pesan chat yang masuk. Foto yang diabadikan beberapa menit lalu. Dia membuka kontak Lisa untuk mengirim foto itu. Apa yang akan dipikirkan Lisa nanti?Suaminya bermesraan dengan seorang wanita lain. Kecemburuan pasti menyerangnya bertubi. Foto itu terkirim beriring pesan ancaman Grace. Pesan terikirim. [Dia milikmu? Nggak, sebentar lagi dia akan jadi milikku. Jangan salah paham! Dia cinta banget sama kamu, tapi aku nggak bisa liat dia sakit terus. Aku punya banyak cara untuk bisa menjebak dia agar jadi milikku. Kamu terlalu percaya diri dengan cinta kalian, kan? Nggak. Arka sangat
Grace tak ingin membantah. Arka meraih ponsel di atas nakas, mengirimkan pesan pada seseorang untuk menjalankan perintahnya. Tak lama, dr. Rizwar datang bersama dr. Farhan dan perawat. Mereka sudah dengar bahwa Arka ingin pergi meninggalkan rumah sakit. "Kamu yakin?" tanya dr. Farhan."Iya, Dok. Aku harus pergi sekarang.""Ka, apa nggak sore nanti aja?" ujar Grace, memberi saran. "Kita perlu tes lanjutan untuk persiapan operasi. Kita nggak tau gimana pertumbuhan tumor itu. Tingkat stres bisa aja memicunya lebih parah."Arka menghela napas pelan, mengurai senyum pada mereka yang sejak tadi begitu mengkhawatirkannya."Karena itu, aku harus selesaikan dulu secepat mungkin. Tadi papaku nge-chat kalau aku harus ajak Lisa untuk datang ke resepsi nikahan kakak sepupuku. Pake ngancem segala, nggak boleh nawar-nawar lagi," gusarnya.Tak ada yang bisa membantah Arka. Mereka melaksanakan keinginan pemilik saham terbesar di Raztan Hospital itu. *Mobil Arka terparkir tepat di halaman rumah Lisa
Lisa terkejut mendengar tudingan Arka. Plak! Arka menahan diri saat Lisa menamparnya. Rasa malu dan amarah mengalir deras di aluran darahnya."Jadi selama ini kamu tau? Selama ini kamu tau semuanya dan kamu pura-pura nggak tau? Kamu anggap ini permainan? Perasaanku ini lelucon?""Lisa, please ...," mohon Arka, setengah menunduk."Kenapa kamu nggak ngerti? Aku ngelakuin ini supaya kamu sadar apa yang kamu lakukan selama ini sama aku dan Ariel."Tiba-tiba kepala Arka mulai sakit lagi dan pandangannya kabur. Sedari tadi dia menahan diri karena takut perubahan ekspresinya akan membuat Lisa khawatir."Kamu bilang apa, Ka? Menantu? Apa aku masih dianggap menantu? Dulu kamu ngusir aku pergi dan melemparku ke jalanan! Kamu pikir rasa sakit penghinaan itu bisa dihapus cuma dalam dua bulan ini? Kamu egois, Arka!"Arka berbalik hanya untuk merapat ke dinding. Harus menyanggah dirinya agar tak jatuh. Pelan-pelan pandangannya stabil. Air mata Arka akhirnya jatuh karena menyadari penyakitnya ini bu
Lisa menaikkan pandangannya untuk menelusuri jejak darah yang terus mengucur. Arka melukai tangannya untuk membubuhkan darah pada tandatangan di kertas. Kertas itu disodorkan pada Lisa. Arka hanya tersenyum meski sedikit kesakitan. "Aku bersumpah dengan taruhan nyawaku, Lisa. Kalau sampai aku melanggar janji, aku akan mati."Lisa terkejut dan gemetar. Sumpah apa yang dikatakan oleh Arka? Nyatanya, begitu besar keyakinkan Arka. Pria itu berbalik dan menarik tissu dari atas meja rias. "Kamu ke mobil aja, nanti aku nyusul. Dan juga, selama ini kamu bisa bersandiwara, kan? Kamu harus temani aku di sana dan pastikan mereka percaya kalau kita udah baik-baik aja."Lisa menjatuhkan kertas itu, pergi meninggalkan kamar. Arka mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Rizwar. [Jangan pernah bicara sama siapa pun tentang penyakit gue! Gue perlu waktu untuk nenangin diri! Kalau sampai ada yang tau, lo akan dengar kabar kematian gue. Jangan cemas! Ada seseorang di samping gue.]Arka segera masuk
Arka melepaskan jas, membuka dasi dan kemeja, lalu meletakkan di atas meja belajar. Dia meraih pijama yang tergantung di dekat rak buku, lalu masuk ke toilet.Sepanjang itu, Lisa mengamati setiap sudut kamar. Dia membuka lemari. Bajunya masih tersusun rapi di sana. Bahkan banyak gaun baru yang baru saja diisi di antara susunan baju lama. Dia mendekati meja rias. Lisa tak membawa apa-apa saat pergi, termasuk kosmetiknya. Sekarang, berbagai produk skincare dan kosmetik lainnya ada di atas meja.Arka pun tahu merk dan variasi kosmetik istrinya itu. Lemari biru di sudut juga mengundang perhatian Lisa. Semua pakaian dan perlengkapan Ariel ada di sana. Tak ada satu pun yang terlupa. Di sudut kamar ada mainan dan pojok bermain di mana nantinya Ariel akan tumbuh besar di sana. Mengisi kamar ini dengan tawa cerianya. "Sejak kapan dia desain ulang kamar ini?"Rumah Keluarga Wijaya akan memudarkan kemarahan Lisa dan membangkitkan kerinduan lamanya sebagai seorang istri dan menantu. Saat membuka
Meski tersenyum, ada bias rasa sakit di mata Arka. Lisa tertegun saat Arka mulai menciumnya lagi. Arka hanya bisa menikmati detik-detik kebersamaan mereka. "Arka ..."Saat Lisa menikmati sentuhan, Arka justru merekam semua ingatan dan tampilan yang dia lihat saat ini. Arka mengernyitkan dahi karena kepalanya mulai sakit lagi.Perlahan, dirinya mulai kehilangan ekspresi Lisa saat ini. Wajah Lisa terlihat kabur. Bukan karena pelupuk mata Arka yang penuh dengan genangan air mata, tapi karena memang penglihatannya mulai berkurang. Tak ada lagi kenikmatan yang bisa dirasakan Arka, semua berubah menjadi rasa sakit karena tak hanya kehilangan keluarga kecilnya, perlahan takdir juga menghukumnya dengan penyakit itu.Arka meletakkan lengannya di sisi dahi, berharap Lisa tak melihat ekspresi kesedihan dan rasa sakitnya saat ini. Arka hanya tak ingin wanita yang dicintainya ini ikut menderita dan bersedih saat harus menemaninya yang kehilangan cahaya penglihatannya. "Aku mencintaimu, Lisa."
Di sisi lain, Arka memandang jendela luar saat kereta api itu melintasi rel menjauhi kota. Di sampingnya, Grace hanya melihat wajah sedih Arka. Arka tak bisa menahannya lagi. Air matanya akhirnya jatuh. Dia sudah menyerah setelah sebulan lebih menaklukkan sang istri. Hati Lisa telanjur sakit, dan Arka justru terperosok dalam jurang kematian karena takdir. "Aku nggak tau apa ini keputusan terbaik. Aku cuma berharap kamu sembuh, Arka.""Aku juga mau sembuh. Tapi Lisa bilang, ini satu-satunya hukuman yang pantas untuk menebus dosaku. Tolong jangan biarkan siapa pun mencariku. Kasih alasan apa pun supaya mereka percaya dan nggak cari aku untuk sementara ini.""Arka, kondisi kamu akan lebih berbahaya. Kenapa kamu keras kepala?" pinta Grace, lirih."Aku benar-benar nggak sanggup lagi, Grace. Tolong jangan ikut campur lagi."Arka menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Grace bisa melihat air mata Arka menetes meskipun dia menutupi wajahnya dengan lengan.'Aku menyerah, Sayang. Maafin aku
Grace masuk dan duduk di sofa yang berada di sudut, masih menatap Arka yang sedang menyusun pakaian ke dalam lemari. Ada beberapa buku di atas meja sebagai penghilang kejenuhan saat Arka sedang mengambil cuti. "Ini buku buat apa? Takutnya sayang nggak kebaca.""Kenapa? Butuh buku yang lain?" tanya Grace."Hm. Mau main ke toko buku. Besok pagi kamu langsung balik aja, nanti kamu malah diskors karena ikutan cuti. Lagian anak kamu nggak ada yang jagain.""Aku udah urus surat cuti, Ka. Setahun ini aku belum ada ambil jatah libur, kan?""Jadi maunya gimana? Kamu nginep di sini juga?""Kalau nggak keberatan, sih. Lagian ada Mang Karim dan istrinya juga. Andreas bentar lagi juga bawa istri sama anaknya pindah ke sini. Aku tinggal di kamar sebelah, nggak usah takut. Aku cuma mau jaga kamu sampai kamu mau untuk perawatan.""Aku juga mau sembuh. Aku kasih waktu dua minggu ini apa Lisa bakalan nelepon aku atau nggak. Eh tapi, hp ku mati, ya?"Arka meraih ponsel di atas tempat tidur. Ponselnya t
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b