Arka hanya tersenyum. Yuga pun bangkit dari duduknya. Dia berbuat sejauh ini. Entahlah dia di pihak siapa, tetapi dia hanya ingin menyatukan kembali Arka dan Lisa."Semangat!" ujar Yuga, tersenyum."Gue bakal bikin Lisa mau balik lagi sama gue.""Oke. Jangan menyerah!""Ya. Gue yakin nggak akan gagal, Yuga.""Kalau gagal?"Arka tak menjawab. Yuga pun pergi karena telah menjalankan tugasnya dengan baik. Arka tertegun sambil menatap tabung obat di tangannya."Kalau gagal ... sebaiknya aku akan singkirkan Arka-mu yang bodoh ini, Lisa. Arka nggak punya tempat selain di samping Lisa. Dan kalau Lisa nggak menyediakan tempat lagi untuk Arka ...."Tangan Arka gemetar. Apa yang akan terjadi jika benar Lisa tak menginginkannya lagi?"Arka ... harus benar-benar pergi." Arka segera tersenyum. Dia menyimpan tabung pil itu di sakunya. Semua sudah terjadi. Arka tak ingin menyesali yang berlalu."Nggak, jangan dipikirkan dulu. Aku harus berusaha sebaik mungkin. Nggak pernah ada batasan untuk cinta,
Lisa menyisir rambutnya di depan meja rias untuk bercermin. Seorang baby sitter sedang duduk di kasur sambil menyusun tumpukan pakaian baby yang baru dicuci."Mbak yakin? Biar aku aja yang ke market, Mbak.""Nggak usah, Rin. Nggak banyak yang harus kubeli. Lagian Ariel boboknya pules banget. Kalau dia bangun, langsung telepon aja, ya. Untung marketnya nggak jauh.""Tapi kayaknya udah mau hujan."Lisa bangkit dan mendekati baby box berwarna biru itu. Si baby mungil sedang tidur di balik jaring kelambu. Lisa sangat bahagia."Sayang, mama nggak akan lama, kok. Ariel baik-baik, ya!" Lisa mengambil flatshoes di sudut meja dan memakainya."Aku pergi ya, Rin!""Iya, Mbak. Hati-hati."Lisa pun meninggalkan rumah dan memesan ojek online. Dia menunggu beberapa menit sesuai aplikasi karena si driver berada 3 blok dari rumahnya."Udah mau hujan. Apa aku cancel, ya? Trus pesan taksi online aja."Arka menatap di kejauhan. Dia menurunkan kaca helm-nya dan segera tancap gas, lalu berhenti tepat di de
Tak bisa bermain lagi, Arka pun membuka helm-nya. Senyum itu mengingatkan Lisa pada masa lalu. Tampilan Arka terlihat seperti pria muda yang dulu selalu membuatnya gila. Rambut pirang dan anting hitamnya, serta jaket kulit itu. Jantung Lisa berdegup kencang. Dia sangat mencintai Arka. Si bad boy yang membuatnya jatuh cinta."Maaf. Aku nggak bermaksud nakutin kamu. Aku ..."Lisa bungkam, Arka terlihat menahan sedih meski terus tersenyum tipis. Cara tersenyum Arka yang dulunya menjadi alasan Lisa jatuh cinta."Aku udah dengar semuanya dari Yuga. Aku tau kamu nggak ingat aku. Nggak apa-apa, Lisa.""Maaf, tapi sepertinya kamu salah orang."Saat hendak pergi, tangan Lisa ditahan oleh Arka. Senyum dan tatapannya sangat teduh."Aku suami kamu. Aku Arka milik kamu. Mungkin kamu lupa, tapi—""Kamu suamiku? Kamu yakin? Berandalan gini? Kamu bercanda?"Arka tersenyum. Lisa sangat cantik saat marah. Dia menepis tangan Arka dengan kasar. Suaminya ini tentu takkan mundur secepat itu. Betapa keras k
Hanya beberapa detik setelahnya, Lisa mendorong dada Arka agar menjauh. Dia tak menyangka bisa terjebak secepat ini.'Nggak, aku nggak boleh lemah. Harusnya nggak semudah ini. Aku masih sakit, Arka,' batinnya sambil terus berusaha melepaskan diri dari Arka.Lisa melepaskan pegangan Arka. Dia menangis lirih. Arka mematung melihat air mata itu. Wanitanya berlari masuk ke rumah, meninggalkan suami yang masih sangat dicintainya. Meski sedih, Arka tersenyum sambil memegang dada kirinya."Nggak apa-apa, Sayang. Aku nggak akan paksa kamu maafin aku secepat ini. Aku akan lakukan apa pun sampai aku pantas untuk balik lagi sama kamu. Aku berharap masih punya waktu untuk kemarahan kamu. Bisa tolong jangan keras kepala? Jangan terlalu lama, Lisa. Aku takut obat itu ...."Semua tentang waktu. Detik cinta yang akan diisi Arka dengan perjuangan mendapatkan hati Lisa lagi, membuat wanita itu jatuh cinta lagi padanya.*Papa Frans mendekati Arka di sofa ruang tengah dan melihat putranya itu hening beb
Tak ada lagi tawa dan bisik mesra Lisa yang terdengar di kamar ini. Semua terasa hening. Arka beralih ke meja di sisi kasur dan menarik laci. Tabung pil itu diraihnya. Hanya tinggal dua butir saja. Walaupun tahu bahaya dan selalu diperingatkan, Arka mengambil dua butir tiap konsumsi. Kadar obat depresi itu memang terhitung rendah, tapi jika diminum dalam dosis tinggi, tentu saja bisa berdampak buruk.'Harusnya jadwal ngambilnya dua minggu lagi. Kalau besok aku minta sama Rizwar, mau pakai alasan apa, ya?' Arka ingat lagi kemarahan Lisa tadi. Berpikir kemarin Lisa luluh, yang dia dengar tadi justru Lisa semakin marah padanya."Arrrhhh!"Arka melempar botol itu ke dinding. Bahkan sehari saja sulit dia lalui lagi tanpa Lisa. Entah sampai kapan Lisa mau membuka maaf untuknya.'Aku nggak akan ganggu kamu hari ini, Sayang. Tapi maafin aku kalau besok aku datang lagi. Aku bisa tahan rasa sakit apa pun kecuali sakit karena kangen sama kamu.' Arka tersenyum lagi. Dia mengambil ponsel dan men
Lisa tak peduli, membiarkan sampai baby Ariel tertidur. Dia lebih dulu mengurus si kecil mungil itu ke dalam baby box-nya dan enggan membalas Arka."Kalau aku bukan suami kamu, lalu siapa ayah bayi ini? Dia mirip denganku, kamu tau?" goda Arka, lagi.Keduanya kini tepat berhadapan. Saat tangan Arka hendak menyentuh kepalanya, dengan cepat Lisa menepis kasar."Kamu bicara apa? Aku udah tau semua ceritanya dari pacarku. Sampai kapan kamu ngikutin aku terus? Atau kamu bermimpi ini anak kamu?""Lisa ....""Coba katakan! Kalau aku istri kamu, kenapa kita hidup terpisah? Kenapa aku di sini dan kamu di tempat lain? Pasti aku ini perempuan buruk, kan? Perempuan j*lang, sampah. Mungkin itu alasan kenapa aku terpisah dari keluargaku, karena aku perempuan mu*rahan, istri pengkhianat."Arka bungkam. Mundur selangkah saat dihardik tajam oleh istrinya itu. Tak sanggup dia berdiri hingga kembali duduk di tepi kasur."Jadi sekarang, pergilah dari sini dan jangan ganggu hidupku lagi! Aku akan urus dan
Lisa terdiam. Dia mencium bau sesuatu yang harum. Sangat dia kenali. "Siapa di dapur?""dr. Arka belum pulang, Mbak. Dia lagi masak di dapur. Nasi timnya harum banget. Jadi pengen nyicip."Arka memang sangat ahli di dapur, Lisa tahu itu. Bahkan suaminya itu lebih jago dan masakannya lebih enak daripada dirinya.Di dapur, Arka menunggu nasi timnya matang, sementara dia menyiapkan wadah untuk membuat omelette. Beberapa telur sudah dikocok, irisan cabai, bawang, dan daun sop juga selesai di talenan. Arka mengambil kubis besar dan membelahnya jadi empat bagian. Dia mulai mengirisnya tipis-tipis. Senyum tak henti di wajahnya.Tanpa Arka sadari, Lisa berjalan ke arah counter dapur sambil bersidekap. Lisa pun sadar Arka berusaha keras memperbaiki rumah tangga mereka. Hanya saja, kemarahan masih mengakar di hatinya saat Arka menghinanya sebagai istri pengkhianat, perempuan rendahan."Ngapain kamu masih di sini?"Tak! Terdengar suara hentakan pisau pada talenan kayu. Lisa terkejut. Arka segera
Lisa bungkam, pelan-pelan mengkhawatirkan dan mengobati luka suaminya itu."Kamu masih sayang aku, kan?" tanya Arka sambil terus menatap wajah cantik sang istri."Diamlah! Ini harus cepat disembuhkan supaya kamu juga bisa cepat pergi dari sini.""Aku cinta sama kamu, Lisa.""Tapi aku benci sama kamu."Arka terkejut mendengar suara dingin Lisa. Lantas, dia segera menarik tangannya dan berbalik mendekati kompor. Mengambil piring untuk mengambil nasi tim itu dan juga irisan ayamnya."Makan dulu sebelum pergi, Lisa. Kamu baru melahirkan, harus banyak makan yang bergizi."Tak ada senyuman lagi di bibir Arka. Lisa takut akankah perkataannya itu begitu menyakiti sang suami. Ekspresi kecewa yang dilihatnya sepuluh tahun ini saat Arka sedang sedih dan tertekan."Aku pergi dulu, nggak bisa lama-lama untuk sekarang. Aku akan kembali jadi Arka-mu yang manis itu. Jadi tolong, bersabar sebentar.""Aku nggak pernah minta kamu datang dalam hidupku.""Kalau gitu, berdoa aja agar aku menghilang selaman
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b