Luka. Perih sakitnya.Barulah dirasakan oleh bibi Hilda dan paman Bahar. Selama ini mereka berdua yang mencipta luka pada gadis yatim piatu seperti Iriani. Terutama bibi Hilda. Rasanya tak puas hati, bila dalam sehari tak mengguris perih di hati keponakan suaminya itu. Ada-ada saja yang harus diucapkan mulutnya. Hanya untuk melihat Iriani malu dan tersisih.Dan sekarang,Malu itu akhirnya dirasakan juga. Dulu senang betul mencemooh Iriani yang tak bisa sekolah tinggi, mencemooh pula pekerjaan kasar yang digeluti gadis itu.Pekerjaan kasar yang Iriani harus lakukan demi mengisi perut mereka. Namun bibi Hilda tak membuat semua itu luput dari cibiran bibirnya yang senantiasa bergincu tebal.Namun sekarang, semua cibiran dan hinaan itu kembali pada mereka. Lihat, bagaimana orang-orang di desa membicarakan aib yang telah Yuni coreng di wajah keduanya.Dulu senang memfitnah anak gadis orang, sekarang anak perempuannya sendiri yang membawa arang aib itu.Dan bibi Hilda hanya mampu tertunduk
“Tolong, Mas. Aku hamil anak kamu!”Laksana petir di siang bolong. Kalimat itu seolah ratusan anak panah yang dihunjamkan kedalam palung hati Iriani.Kabar ini memang pernah terlintas di pikirannya, sebab hubungan suaminya bersama perempuan itu jelas terbaca bagaimana keintiman mereka.Sebak itu hadir menggumpal-gumpal seiring dengan genangan di pelupuk mata yang hampir tumpah keluar.Bu Namira pun sama terkejutnya. Namun wanita paruh baya ini tak bisa percaya begitu saja. Lalu juragan Darsa?“Simpan omong kosongmu itu, Diani!”“Tapi aku beneran hamil, Mas. Ini buktinya!”Lalu Diani mengeluarkan alat tes berwarna putih sebesar lidi itu.Iriani memejam sebentar lalu mengerjabkan mata berbulu lentik itu.Hatinya benar-benar terluka dengan pernyataan wanita ini.Wanita yang akan membuat dirinya disingkirkan setelah ini."Simpan omong kosongmu itu, Diani!"Suara geram juragan Darsa seolah balik menyerang Diani. Perempuan yang telah ditidurinya berkali-kali. "Kau bukan sedang hamil anakku,
Haidar terkekeh pelan lalu berbalik, merasa dirinya sudah menang. Lalu kekehan di bibir coklatnya itu terhapus seiring matanya yang membelalak dan wajah yang tiba-tiba pucat saat melihat siapa yang sedang menunggunya di belakang sana. “ANGKAT TANGAN!” Tiga orang polisi berpakaian preman menodongkan senjata ke arah Haidar yang sedari tadi memerintahkan anak buahnya untuk membakar ruko milik juragan Darsa yang disewakan pada pedagang. Tiga orang anak buahnya yang sudah ia bayar mahal-mahal, malah tak ada yang menolongnya sama sekali. Ketiganya sudah melarikan diri, lari berpencar tanpa memperdulikan sang bos yang sudah tertangkap basah. Entah bagaimana rupa dan perasaan Haidar sekarang. Sebab bukan hanya tiga polisi tadi yang berdiri dihadapannya. Namun, lelaki yang sangat ia benci dan ingin ia kuasai hartanya separuh juga berdiri bersama ibunya. Juragan Darsa menatap dengan murka pada wajah tak tahu malu milik Haidar. Lelaki yang statusnya hanya anak angkat dari man
[Mas, hari ini pulang jam berapa? Makanan dan kue ulang tahunnya udah siap] [Mas, aku nunggu kamu. Aku nggak makan kalau kamu belum datang] Netra elang Gavin memicing saat menangkap pesan dari Kania-istrinya. Rupanya pesan itu dikirim dari jam tujuh malam. Waktu dimana Gavin memilih-milih hotel mana yang akan ia booking untuk menghabiskan waktu bersama Aline. Dan sekarang sudah pukul tiga subuh. Tak terhitung juga jumlah panggilan tak terjawab dari istrinya. Puluhan. Bahkan mungkin ratusan kali Kania melakukan panggilan setelah pesan yang ia kirimkan tak berbalas sama sekali. Bagaimana mungkin Gavin bisa membalas pesan itu, bila dirinya tengah sibuk merayakan ulang tahunnya yang ke tiga puluh lima bersama wanita masa lalu yang pernah ia janjikan kebahagiaan. Disaat Kania menunggu di rumah dengan sibuknya memasak bermacam makanan kesukaan lelakinya ini, yang ditunggu dengan penuh kesabaran dan kesetiaan malah sibuk menunggu wanita lain. Gavin sibuk menun
Bukan uang sedikit yang telah Gavin hamburkan untuk perempuan simpanannya ini. Banyak. Bahkan jauh lebih banyak yang ia keluarkan untuk kebutuhan Aline daripada yang ia berikan untuk Kania.Uang yang ia berikan pada Aline, jelas untuk perempuan itu gunakan sendiri. Merawat badan, membeli aset impian dan juga berlian sebagai simpanan di hari kemudian menjadi muara uang-uang yang ia berikan untuk gundiknya itu.Sementara uang lima juta jatah yang ia berikan untuk Kani, digunakan oleh istrinya itu untuk kebutuhan rumah tangga.Bayar listrik, air dan uang lauk pauk hari-hari Kania ambil dari jatah yang Gavin berikan. Untuk gaji bibi yang membantu di rumah, Gavin langsung berikan sendiri. Bakan Kania hanya menggunakan skincare yang sangat murah untuk merawat wajah ayu alami miliknya.Tentu jauh berbeda dengan apa yang Gavin berikan untuk Aline. Perempuan simpanannya itu sekali sebulan harus ke klinik kecantikan untuk melakukan perawatan mahal pada wajah dan tubuhnya. Terutama pada bagian
Ada yang benar-benar berda-rah dalam hati Kania. Bukan ia tak pernah mendengar selentingan kabar tentang sepak terjang suaminya di luar sana. Namun, selagi Gavin masih pulang ke rumah, ia berusaha tak percayai semua itu.“Aku sudah pernah ingetin kamu. Selidiki dululah suamimu itu, sebab bukan hanya mas Rahmat yang pernah melihat mas Gavin makan siang dengan wanita yang sama, tapi sudah cukup banyak orang, Nia.”“Apa iya dia berubah karna perempuan itu?”Dengan menahan sebak di dada, akhirnya Kania nekat bertamu ke rumah Sita. Satu-satunya kawan akrab yang ia punya. Bukan sekali dua kali sita memberi kode tentang suami sahabatnya ini. Sudah sering. Namun Kania benar-benar naif.Atau mungkin juga Kania merasa tak punya tempat pulang, makanya ia bertahan dalam penjara pernikahannya bersama Gavin. Penjara yang betul-betul mengurungnya dalam jeruji dingin dan kepahitan.Ada yang sebenarnya ingin Sita sampaikan, tapi ia juga menjaga perasaan kawannya ini. Beberapa hari yang lalu bahkan m
"Wangi.""Kan udah dibayarin salonnya." Gavin menghirup dalam-dalam aroma shampo salon dari rambut sebahu kekasihnya. ia memeluk tubuh sintal itu. Merasakan kulit mulus itu dan menghirupi aroma yang membangkitkan gai-rahnya. Perawatan rambut dan badan yang Aline lakukan hari ini semua Gavin yang bayarkan. Rasa marahnya yang tak beralasan pada Kania membuat pikirannya dihantui rasa bersalah. Namun ia sembunyikan itu. Baginya hanya kepuasan Aline dan kelanjutan hubungan keduanya. Meski ia tahu aral menghadang dari ibunya tak mudah ia patahkan nanti. "Tumben, ngajak ketemu. Padahal aku masih pegel," Aline bersandar manja di dada bidang Gavin. Sungguh ia tak ingin posisinya digantikan oleh istri sah pria ini. Melihat secara langsung kesederhaan istri sah kekasihnya ini, rasanya tak terlalu susah untuk merampas lelaki ini kedalam pelukannya. gavin pernah menunjukkan sekali foto Kania pada Aline sebelum wanita ini meminta Gavin untuk menghapus semu
"TEGA KAMU, YA!!!" Raungan bu Helena setelah menampar putranya membuat Gavin hanya tersungkur, tertunduk dan tak berani menatap wajah murka dan terluka ibunya. Kecewa betul bu Helena dengan kelakuan anak satu-satunya ini. Sengaja bu Helena berkunjung ke kediaman anak dan menantunya. Bukan apa-apa, tapi wanita paruh baya ini mendapat banyak laporan dari luar tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh putranya. Kania tak bercerita. Belum. Kania belum ingin bercerita sebab ia belum melihat dengan mata kepala sendiri. Namun kahadiran mertuanya hari ini, memaksa bibir Kania untuk mengungkap kemarahan Gavin padanya beberapa hari yang lalu. Termasuk saat suaminya itu melemparkan kue ulang tahun itu ke atas lantai. Kania mungkin belum melihat dengan perempuan siapa suaminya bermain gila. Namun ibu mertuanya sudah melihat potongan-potongan gambar antara Gavin dan kekasih gelapnya itu. "Kenapa kamu setega ini, Gavin?" Geraman kemarahan bu Helena disertai isak
Hujan di luar semakin deras, membasahi genting tua rumah ini. Winda berdiri di hadapan Gavin dengan wajah memerah karena amarah yang tertahan. Matanya berkilat penuh luka.Jemarinya menyentuh layar, memutar video yang Winda maksud. Suara itu... suara dirinya sendiri yang sedang mengigau dalam tidur.“Kania …, Kania, … maafkan aku, Kania.”Gavin terpaku. Tubuhnya kaku mendengar betapa pilunya ia menyebut nama almarhum istrinya. Suara yang penuh sesal, penuh rindu, namun tak pantas diucapkan ketika ada Winda di sisinya.“Apa ini, Winda?” Gavin berusaha mempertahankan kendali, tapi nada suaranya bergetar jelas disesaki oleh rasa bersalah.“Ini yang aku dengar hampir setiap malam, Mas,” balas Winda dingin. “Dan lebih parahnya lagi, Mas pernah...” Winda menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata.“Pernah apa?” Gavin mendesak.Winda mengalihkan pandangan, tapi bibirnya meluncurkan kebenaran yang menghantam Gavin tanpa ampun. “Mas pernah menyebut nama Kania saat kita.
Gemuruh di langit semakin nyaring, hujan kini turun dengan deras. Gavin duduk di kursi makan. Sendok di tangan kirinya mengetuk-ngetuk piring, tanda pikirannya sedang tidak fokus. Uap dari mie instan di hadapannya mengepul, tetapi selera makannya sudah lebih dulu lenyap, terkalahkan oleh perasaan jengah yang tiba-tiba menyeruak di dada.Ada yang Gavin tak lihat, tapi itu terjadi. Sama halnya saat Kania dulu tak melihat apa-apa yang dilakukannya bersama Aline di belakang istri pertamanya itu.Bahkan Kania sudah pergi pada alam yang berbeda. Namun, rasa sakitnya masih terngiang pada semesta yang memberi balas.Namun, Gavin mungkin tak sadari itu, seperti tak sadarnya dulu saat terlena dalam bara zina yang ditawarkan oleh selingkuhnannya.Lelaki bermata tajam ini menatap jendela yang mengembun oleh hujan. Matanya terasa berat, seperti menanggung beban dari kenangan-kenangan yang kini melintas tanpa diundang. Kania. Nama itu terlintas begitu saja. Istrinya yang dulu. Almarhumah yang dia
Kilas Hidup yang Kedua**Seberapa kuat Gavin melangkah sendiri di antara umurnya yang masih ingin ditemani. Seberapa kuat ia menahan diri dalam sesalan, tapi hidup memang terus berjalan dan lelaki empat puluh delapan tahun ini memang butuh teman.Usia yang makin banyak, benar-benar membuatnya tak hanya bisa menyesali kesalahannya di masa lalu. Gavin butuh kawan. Bukan hanya sekadar tentang pelampiasan hasratnya di atas ranjang, tapi ia butuhkan kawan berbagi cerita.Rasanya waktu terus meneror kesendiriannya. Seolah masa inginkan ada kehidupan kedua yang harus ia jalani setelah kehidupan menyakitkan telah ia berikan untuk Kania di masa lalu.Tok! Tok!“Masuk!”Hujan turun rintik-rintik di sore itu, membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Di rumah peninggalan orang tua Gavin, bayangan masa lalu terasa begitu pekat. Ruang tamu yang dipenuhi perabotan mulai menuai menjadi saksi bisu kesepian seorang pria yang pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu. Seorang wanita yang ma
Dua minggu sudah berlalu sejak pertemuan tak terduga antara Gavin dan Kania. Juga pertemuannya dengan pak RT yang dating menyampaikan keluhan warga akan pembayaran tanah yang belum selesai. Gavin bahkan tak menyangka bila ruko yang dibelinya ada hubungannya dengan Doni. Mantan suami Hera yang diam-diam juga menjalin affair Bersama wanita yang pernah menjadi kekasih gelapnya. Bahkan ungkapan pertanyaannya pada Winda hari itu seolah angin lalu yang sudah terlupakan. Gavin pun sekarang lebih banyak menghabiskan waktu sebagai sopir taksi online daripada mengunjungi tokonya. Laporan penjualan oli akan ia terima lewat emailnya. Winda sudah sangat cekatan mengirim laporan melalui email. Sementara untuk pembelian, Gavin akan langsung menelpon supplier oli yang telah menjadi langganannya. Pembayaran pun dilakukan melalui transfer. Tak ada yang tahu balasan takdir apa yang akan diterima setelah melakukan kesalahan-kesalahan di masa lalu. Bertaubat mungkin sudah dilakukan, tapi balas
"Sudah dua tahun kamu hidup sendiri, apa nggak ada niatan untuk kamu buka hati, Nia?" "Luka yang lama rasanya susah betul sembuhnya, aku takut mengulang cerita yang akan memberikan rasa sakit di ujungnya, Ta." Kania tahu kemana arah pembicaraan Sita. Ini bukan kali pertama ibu satu anak ini menyampaikan makna tersurat tentang perasaan seseorang padanya. "Mas Daksa itu suka sama kamu, ibunya juga berharap kamu ada perasaan yang sama." Kania tersenyum miris setipis mungkin. Sebagai Perempuan dewasa, Kania juga tahu tentang perasaan pria itu.Mas Daksa pria yang baik, hanya saja Kania rasanya masih takut memulai hubungan yang baru, apalagi statusnya hanya sebagai pembantu di rumah pria itu.Ada kenangan yang membekas dan mungkin tak mampu dihapus waktu. Kenangan akan statusnya Bersama Gavin.“Aku ini orang susah, Ta. Aku hanya pekerja di rumah orang tua mas Daksa.”“Nggak ada masalah. Problemnya dimana. Mas Daksa serius ingin membangun rumah tangga. Dia juga pernah gagal,
"Tanah ini pembayarannya belum diselesaikan, Pak Gavin." Seorang pria tua berpeci yang sedari tadi menunggu Gavin, langsung membeberkan inti persoalan yang menyebabkan beliau harus datang menemui pemilik ruko ini. Rupanya beliau ketua RT di daerah ini. "Gimana maksudnya, Pak? Saya juga tidak tahu menahu dengan pembayaran tanah yang bapak maksud." Gavin tentu menerima dengan baik tamu yang tak diharapkan kehadirannya siang ini. Belum lagi tadi pertemuan tak sengaja antara dirinya dan Kania membuat perasaannya jelas terusik. "Pihak developer belum menyelesaikan pembayaran tanah ini, Pak. Dan warga tidak mau tahu, mereka meminta saya untuk menemui pemilik ruko satu persatu." "Tapi saya sudah membayar lunas pembelian ruko ini, Pak. Entah dengan yang lainnya." Raut wajah pak RT terlihat cemas. Lelaki berkacamata ini menarik napas panjang lalu menghembuskan dengan berat. "Pak Gavin bukan pemilik ruko yang pertama yang saya datangi, tapi jawaban mereka ham
Sejenak keduanya tertegun. Ada kenangan yang tiba-tiba hadir di benak keduanya. Kenangan manis yang lebih dulu hadir di kepala Gavin. Kenangan yang ternyata tak bisa ia lupakan begitu saja. "Kania, ayo mas, antar!" Gavin terlalu bahagia hanya dengan melihat Kania sedekat ini. Namun, kenangan yang menyibak ingatan lelaki ini, ternyata tak sama dengan yang Kania rasakan. Kenangan pahit dan p3rih yang muncul dalam ingatan Wanita baik ini.“Oh, Maaf, Mas. Saya nggak tahu kalau kamu.” Terburu Kania mengeluarkan lembaran rupiah dari dompetnya ia ambil senilai harga taksi yang tertera di aplikasi tadi. “saya bayar, Mas. Maaf saya nggak jadi pakai taksinya!”Kania memaksa memberikan uang itu. Namun Gavin yang melongo karna terkejut dengan penolakan yang diberikan penumpangnya ini membuat Kania meletakkan uang itu di atas kursi penumpang lalu gegas berlalu sambil mengucap lagi kata maaf.“Kania!” Gavin berseru lalu gegas membuka pintu dan turun menghampiri Kania yang ter
Dua tahun berlalu, …*** Keheningan dan sunyi melanda. Ini hari-hari yang Gavin lalui setelah badai besar yang ia cipta dalam rumah tangganya.Perselingkuhannya Bersama Aline dua tahun lalu telah membuatnya kehilangan segalanya. Kejayaan ekonomi yang ia raih saat Bersama Kania dulu, pupus satu persatu bersamaan dengan kepergian Kania melepaskan diri.Mulai dari rumah tangganya yang hancur, kepergian ibunya untuk selamanya, juga keuangan Perusahaan yang tiba-tiba bangkrut dan pembayaran pelanggan yang macet telah membuatnya berada pada titik terendah dalam hidupnya.Dan bukannya menikahi selingkuhan yang telah membuatnya berpaling dari istri sahnya, tapi ia tinggalkan pula kekasih gelapnya itu dalam keadaan tak berdaya.Hari Dimana Gavin mengunjungi Aline di rumah sakit untuk melampiaskan amarah dan kecewanya, adalah hari terakhir mereka bertemu.Aline meninggal membawa sesalnya juga rahasianya. Tak ada yang tahu, ancaman apa yang telah diterima dari Doni hingga nekat menipu dan mengk
*** Sia-sia sudah pernikahan yang dibangun dengan cinta dan keikhlasan di awalnya.Tiga tahun berakhir dengan rasa sakit dan kecewa. Kisah indah antara Gavin dan Kania berakhir di siang yang gerimis ini.“Aku minta maaf, Mas bila selama Bersama telah membuatmu tersiksa dalam pernikahan kita. Mungkin aku yang banyak kurangnya sehingga kamu cari kenyamanan di luar sana.”Ikhlas sekali Kania membalas uluran salam dari Gavin. Bagaimana pun mereka pernah begitu Bahagia dan ia akui selama pernikahan kebutuhan lahir batinnya terpenuhi cukup baik.Meski luka jelas belumlah sembuh, tapi Kania siap menjalani hidupnya yang baru. Hidup tanpa suami dan mengusahakan apa-apa dalam hidupnya seorang diri.“Kania, …”“Aku pamit, Mas.”Kania tak biarkan Gavin mendestruksi lagi perasaannya. Luka yang kemarin sungguh begitu susah sembuhnya. Jadi, biarlah seperti ini.Gemuruh Kembali menghampiri bumi saat Kania melangkah meninggalkan ruang siding itu.“Nia, kamu oke?” Sita berdiri mengamit pergelangan K