Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 10***Hari mulai gelap, tapi Mas Zidan dan Laura belum juga kembali.Sepertinya keadaan Laura cukup parah. Aku menunggu dengan gelisah, bukan mencemaskannya. Namun, aku gundah untuk diriku sendiri. Jangan sampai Mas Zidan mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Bisa-bisa aku terusir sebelum membalaskan dendam dengan tuntas.Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Mas Zidan.Panggilanku berdering, dan dijawabnya dengan cepat."Halo, Ma! Papa belum bisa pulang. Laura dirawat, kata dokter perut Laura terluka dibagian dalam. Keadaannya cukup memprihatinkan, Ma. Laura diinfus, dan belum bisa bicara banyak. Papa tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi," ujar suamiku.Aku menarik napas panjang. Saat ini aku masih aman. Laura belum mengatakan apa-apa pada Mas Zidan.Menjelang ia sembuh, aku harus mencari alasan untuk berkilah. "Kok bisa ya, Pa? Dokter bilang apa lagi Pa? Tentang perut itu kenapa sampai begitu?" tanyaku seolah tak mengerti apa-
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 11***Sehari sebelum pernikahan Mas Zidan dan Laura akan digelar. Aku sudah mempersiapkan semuanya."Ma, apa persyaratan yang Mama ajukan? Besok tanggal pernikahan sudah kami tetapkan. Namun, prosesnya tak mungkin tekejar, sedangkan tanda tangan Mama, surat izin dari Mama belum Papa dapatkan," ujar Mas Zidan.Laura yang berada di sebelah suamiku tersenyum penuh kebanggaan."Mama akan beritahu nanti malam. Di hadapan Ibu dan Mas Adrian. Kalian tentunya akan meminta restu pada mereka juga, bukan?" "Mbak terlalu bertele-tele. Katakan saja apa syarat yang Mbak inginkan itu! Masalah restu dari keluarga Mas Zidan, kami bisa mengaturnya sendiri," sambung Laura."Jangan ribut! Mas akan menunggu sampai nanti malam. Jika pun proses pernikahan tak bisa selesai besok, kita akan melangsungkan pernikahan sirih dulu. Setelah itu baru kita resmikan pula," papar Mas Zidan."Itu lebih baik, Mas. Aku tak mau menundanya lagi," sahut Laura.Aku hanya ters
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 12***Malam ini sepasang kekasih itu ditahan di kantor polisi.Sedangkan aku tersungkur lemah menerima kenyataan yang harus aku hadapi kini."Ning, bagaimana bisa hasil visum kemarin menyatakan luka dibagian perut Monika hanya dengan satu tusukan saja? Sedangkan dari pengakuan Laura, dia menusuk sebanyak tiga kali?" tanya Mas Adrian dengan bingung."Aku juga tidak mengerti, Mas. Saat itu aku tak sadarkan diri. Dan prosesnya sangat cepat, seperti ada permainan," sahutku."Ya sudah, yang penting sekarang Laura telah mendapatkan hukuman," sambung Ibu.Aku bergeming. Dalam benakku berpikir, aku akan segera menggugat cerai Mas Zidan. Namun, aku juga merasa kesepian. Putriku sudah tak ada, aku sebatang kara sekarang.--Waktu berjalan, aku memenuhi panggilan sidang atas tuntutanku terhadap Mas Zidan. Ibu dan Mas Adrian juga hadir menemani."Berdasarkan segala bukti yang ada, dengan ini kami menyatakan, bahwa pihak tergugat, Zidan Anggara te
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 13***Hampir dua jam aku berada di rumah Ibu. Akhirnya aku berpamitan pulang.Namun, ketika aku melewati pintu keluar. Mas Adrian menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Mas," lirihku menyapanya.Mas Adrian bergeming. Detik berikutnya ia masuk begitu saja.Aku membuang napasku dengan gusar, dan bergegas melangkah ke dalam mobil.Aku menuju butik besar yang aku bangun. Karyawatiku ada empat orang. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengurusnya. Hanya sesekali mengontrol saja.--Waktu terus berjalan, enam bulan terasa bagai enam hari saja.Mantan Ibu mertuaku membarikan kabar tadi, katanya hari ini Mas Zidan akan keluar dari penjara.Aku ingin ikut menyambutnya. Selama dia berada dalam sel tahanan, aku tak pernah bertemu lagi.[Bu, biar aku jemput pakai mobilku saja. Boleh kan kalau aku juga ikut ke sana?]Pesanku terkirim dan dibaca dengan cepat.[Tentu saja, Ning. Kami sudah siap. Cepatlah ke sini!]Aku meraih kunci mobil yan
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 14***Tiba hari yang ditunggu-tunggu oleh Mas Zidan. Di rumah ibu acara pesta sudah dipersiapkan dengan meriah.Semua uang yang dimiliki Mas Zidan terkuras habis untuk biaya pesta.Rencananya setelah ijab qabul diucapkan, acara akan langsung beralih ke pesta besar-besaran.Aku sengaja berkata untuk berhias di rumah saja. Namun, saat aku sampai. Semua mata keluarga Mas Zidan menatapku heran.Ya, tentu saja. Karena aku memakai baju biasa dengan wajah tanpa polesan."Ning, kenapa belum siap-siap? Bukannya kamu bilang semuanya akan kau urus di rumahmu?" tanya Mas Zidan."Tenang dong, Mas! Aku ke sini untuk mengatakan sesuatu," ujarku.Mas Adrian dan Ibu menatapku serius. Aku terlupa, bahwa pembalasanku ini juga melibatkan keluarga Mas Zidan. Mereka bisa ikut malu.Sekarang aku mulai ciut dan gusar."Ning, jangan bercanda. Semua sudah berkumpul di sini. Cepatlah berganti baju di dalam, dan aku akan segera meminta tukang rias datang ke sini,
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 15***Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Hingga saat membuka mata, ternyata aku telah berada di dalam kamar Ibu."Ning, syukurlah kau sudah siuman, Nak." Ibu membelai lembut wajahku.Mataku berkaca-kaca, sungguh darinya aku merasa mendapat kasih sayang seorang Ibu."Ibu tidak marah padaku?" Aku bertanya dengan suara yang bergetar."Mana mungkin Ibu marah, Nak. Kau di sini yang paling terluka. Ibu merasa malu atas kelakukan putra Ibu," tuturnya.Aku menggenggam tangan Ibu penuh cinta. "Sekarang di mana dia, Bu?""Dia sudah pergi, Ning. Kamu tak perlu khawatir! Jika Zidan berani menyakitimu lagi, maka Mas yang akan memberinya pelajaran," sambung Mas Adrian yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar.Aku menjatuhkan air mata penuh haru. Mereka adalah keluarga Mas Zidan, tapi mereka malah membelaku."Terima kasih, Mas."--Waktu berjalan, aku duduk di ruang tengah berkumpul dengan Ibu dan Mas Adrian.Aku menceritakan semuanya deng
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 16***Lagi-lagi aku terkejut saat melangkah ke depan pintu.Ada tulisan bewarna merah. Aku mencoba membacanya.KEMBALIKAN SEMUA HAK-KU JIKA KAU INGIN SELAMAT!Aku tersenyum getir, detik berikutnya aku memutar gagang pintu.Setelah di dalam, aku mengambil air dan alat pel. Tulisan ancaman itu aku siram dan aku hapuskan.Mas Zidan pikir aku akan gentar karena gertakannya konyolnya tersebut?Oh, tidak sama sekali.Kini pintu rumahku sudah bersih, aku yakin Mas Zidan masih ada di sekitar sini untuk mengintaiku.--Hari berikutnya, aku bersiap ke kantor. Saat berada di dalam mobil, terlihat Mas Zidan berdiri di tengah jalan hendak menghalangiku.Klakson aku bunyikan berulang-ulang kali. Namun, ia tetap tak mau menepi.Kaca mobil aku turunkan dengan posisi kepala yang mendongak ke depan. "Minggir, atau mau kutabrak?""Silakan! Kau tidak akan punya nyali, Ning!" tantangnya."Minggir!""Tidak! Kembalikan dulu semua hartaku!" teriaknya.Aku ke
Judul: Pelakor yang menghancurkan hidupku.Part: 17***Namun, baru setengah perjalanan, teleponku berdering dan panggilan suara dari Arman."Hallo, Man. Ada apa?" tanyaku sambil mengaktifkan mode pengeras suara."Gawat, Nyonya. Orang yang Nyonya maksud ada di sini dan mengamuk."Aku langsung menghentikan laju mobilku. Detik berikutnya aku memutar kembali arah tujuanku.Panggilan aku tutup, dan dengan cepat aku meluncur kembali ke rumah..Sampai di depan halaman. Terlihat Arman, dan Arif sedang berusaha menghalangi Mas Zidan.Pos jaga di depan rumahku sudah ambruk. Entah dengan apa Mas Zidan menghancurkannya.Dibagian kepala Arif juga terdapat luka. Sepertinya mereka sudah terlibat perkelahian."Mas Zidan!" teriakku.Sontak ia beralih menatapku. Wajah itu penuh dengan lebam.Ya, tentu saja, karena penjaga di rumahku ada dua orang. Dia pastinya kalah tenaga."Akhirnya kau kembali juga, Ning." Langkah Mas Zidan perlahan mendekat ke arahku.Arif hendak mengambil tindakan, tapi aku deng
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 11.***POV Dinda.Seminggu setelah Mbak Mawar tiada. Aku semakin besar memberikan perhatian untuk si kembar. Namun, aku tak lagi tinggal serumah dengan mereka. Karena aku segan.Sehabis isya aku pulang ke kontrakan yang letaknya bersebelahan dengan rumah Almarhumah Mbak Mawar. Seperti malam ini, aku berpamitan pada Mas Ridwan."Saya ingin bicara sesuatu, Din. Bisakah kamu menunda sebentar lagi kepulanganmu?" tanya-nya.Aku mengangguk sembari duduk kembali ke sofa."Ingin bicara soal apa, Mas?" "Sebenarnya ini sangat berat. Saya sendiri tak mampu mengatakannya. Namun, amanah ini tetap harus saya sampaikan," ujar Mas Ridwan.Aku sedikit gugup menunggu kalimat apa yang akan diucapkan Mas Ridwan."Din, Almarhumah istri saya menginginkan kamu untuk terus menemani Anak-anak," lanjutnya.Aku mengukir senyum tulus. Sejujurnya aku sangat menyayangi Tika dan Cika. Menjaganya menurutku tugas yang paling membahagiakan."Aku berjanji, Mas. Mbak Mawar pun
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 10.***POV Ridwan.Istriku mawar menyusul aku ke kamar. Ia menjelaskan perkataannya yang tadi sempat aku dengar."Mas, tolong jangan marah. Aku hanya berani bicara seperti itu pada Dinda saja. Karena aku sangat mempercayainya.""Tetap saja aku tidak suka. Masalah kesepian ataupun kesedihan diriku tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sayang. Kamu juga tahu, aku sangat mengupayakan kesembuhanmu," paparku.Istriku bergeming. Air matanya mengalir deras. Detik berikutnya aku memeluk penuh cinta.Tubuh indah itu kini mulai lemah. Namun, sedikitpun rasa cintaku tak pernah sirna.Ia adalah cinta pertama dalam hidupku, dan akan menjadi cinta terakhir..Hari berganti, keadaan Mawar semakin memburuk. Aku dan yang lain mengantarkan ke rumah sakit. Namun, kondisinya terus saja melemah. Hingga aku meminta Dinda membawa Anak-anak keluar. Tak tega jika Tika dan Cika melihat kesakitan Mamanya."Mas, sepertinya aku tidak akan bisa mendampingimu lebih l
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 9.***Hari berganti. Harusnya saat ini adalah menjadi momen terindahku. Namun, pernikahan telah aku batalkan, walau undangan pada kerabat dekat sudah disebarkan.Mas Andi juga masih berusaha membujukku agar mau kembali rujuk. Akan tetapi hatiku sudah bulat menolaknya.Lelaki seperti Mas Andi tidak akan pernah berubah. Ia hanya bisa lembut ketika merasa sepi dan sendiri. Namun, disaat ada pilihan lain, maka dia pun akan mulai bertingkah."Din, aku mohon kali ini saja! Ayolah berikan aku kesempatan itu," ujarnya melalui panggilan suara."Tidak, Mas. Keputusanku tidak bisa lagi diganggu gugat," sahutku dengan intonasi suara menekan.Deheman keras terdengar bagai orang yang putus asa. Detik berikutnya aku langsung memutuskan panggilan telepon dengannya.Cukup sudah hatiku dipermainkan. Aku tak mau lagi ada kesakitan yang tercipta oleh lelaki yang sama..Seperti biasa, aku mengurus Tika dan Cika. Setelah selesai, aku pun segera memberikan obat ruti