Beranda / Pernikahan / AKU (BUKAN) WANITA KEDUA / Bab 2 Dia Suami Saya!

Share

Bab 2 Dia Suami Saya!

Penulis: Buluh Perindu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Syukurlah jika memang begitu. Ibu bertanya, ada masalah dengan saya?"

Wanita itu menyunggingkan senyum sinisnya. Tatapannya jelas menyiratkan ejekan pada Wulan. 

"Bu Wulan akan sangat menyesal menanyakan itu pada saya."

Hati Wulan tiba-tiba bergemuruh. Wanita yang duduk di hadapannya saat ini bukanlah sosok yang biasa. Sedari tadi kata-katanya begitu tajam. Wulan merasakan ada sesuatu yang akan terjadi setelah ini. Entah apa itu. Hanya saja firasatnya kembali mengatakan jika kehadiran wanita ini bukanlah sesuatu yang baik untuknya. 

"Oke! Mungkin sudah saatnya saya mengenalkan diri. Saya seorang wanita yang mempunyai dua orang anak  dari seorang suami. Sampai beberapa minggu yang lalu, saya pun sama seperti Ibu. Merasa rumah tangga yang saya dan suami saya jalani sangat bahagia. Pernikahan kami sempurna di mata saya. Hanya saja ... semua itu sampai beberapa minggu yang lalu. Setelah itu saya merasakan dunia yang tiba-tiba runtuh, membuat saya tak mampu lagi berpijak pada bumi ini. " 

Kali ini wanita itu tampak merendahkan nada suaranya. Wulan dapat melihat sepasang manik itu mengembun tiba-tiba. Bingkai wajah itu tak lagi menunjukkan ketegasannya. Raut wajah itu berubah rupa tanpa diduga. Sedih membingkai rahang angkuh itu. 

Mengapa wanita ini hanya merasa bahagia sampai beberapa minggu yang lalu saja? Apa yang telah terjadi pada rumah tangganya? Apakah suaminya meninggal dunia dengan tiba-tiba? Lantas mengapa pula wanita ini harus mengadu kepadanya? Bukankah dirinya tak ada hubungan sama sekali dengan keluarga mereka? 

"Sama seperti yang dirasakan Anda saat ini, Bu Wulan. Saya pikir mahligai rumah tangga kami begitu sempurna. Bahkan saya cenderung merasa bangga dan sedikit menyombongkan diri. Suami tampan, mapan, dua gadis cantik buah hati kami. Saya seolah membayangkan, banyak orang yang iri dengan kehidupan keluarga kami. Kebahagiaan itu sempurna milik saya. Saya lupa jika kesempurnaan itu sejatinya hanya milik Allah."

Wanita itu menyeka bulir bening yang mengalir dari ujung netranya dengan ujung kerudung berwarna biru muda yang dikenakannya. Sangat serasi berpadu dengan gamis bermotif bunga kecil dengan warna yang sama. Paripurna dengan keayuan wajahnya meskipun Wulan yakin usianya tak lagi muda. 

"Maaf, saya tak akan meneruskan pembicaraan ini jika saya tak tahu nama Ibu. Ibu tahu nama saya, tapi saya bahkan tak mengenal Ibu sama sekali. Ini tak adil rasanya. Bukankah seharusnya kita saling mengenal satu sama lain?"

Wulan menegakkan tubuhnya. Mengambil posisi akan melangkah pergi dari hadapan wanita yang masih duduk di kursi berbahan jati dengan dudukan berwarna hitam itu.

"Nama saya Hanum Khoirunnisa."

Wulan mengurungkan niatnya saat mendengar wanita itu menyebutkan namanya. Kembali memutar tubuhnya dan duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya.

Hanum Khoirunnisa? Bukankah nama itu pernah ada di memori Wulan sebelumnya? Wanita yang pernah memiliki hubungan sangat dekat dengan suaminya. Jauh sebelum Wulan mengenal lelaki yang menjadi imamnya saat ini. 

"Anak Ibu bernama Raya Putri Kirana?" tanya Wulan untuk memastikan memorinya tak salah merekam nama. 

Dua tahun berlalu, namun entah mengapa dua nama itu seolah melekat di ingatannya.

"Bu Wulan tahu nama anak saya?"

Sekarang giliran wanita yang bernama Hanum ini yang merasa bingung dengan ucapan Wulan. Tampak wanita itu mengernyitkan dahinya. Keheranan jelas tak dapat ditutupinya. 

"Kalian masih berkerabat dekat dengan suami saya. Tentu saya pernah mendengar nama Ibu dan anak Ibu tentunya. Hanya saja ... baru kali ini kita punya kesempatan untuk berjumpa. Alhamdulillah," ujar Wulan sembari melebarkan lengkungan bibirnya. Bahagia karena kali pertama bersua dengan kerabat suaminya. 

Jelas sekali raut wajah bingung bercampur terkejut terlihat pada wajah Hanum. Wulan jelas menangkap perubahan raut wajah wanita yang tadinya sendu menjadi terkejut luar biasa.

"Kerabat suami Bu Wulan?" 

Lagi-lagi wanita yang bernama Hanum ini menegaskan ucapan Wulan yang baru saja didengarnya.

"Suami saya sudah menceritakan semuanya. Dan saya harap, kehadiran Ibu bukan untuk membuat kehidupan rumah tangga kami menjadi retak. Saya tak ingin, Ibu berusaha menjadikan Mas Damar, suami saya bak sebuah barang yang setelah dicampakkan, Ibu harapkan kembali kehadirannya."

Hening. Tak ada suara yang terjadi di antara mereka. Mungkin saja mereka sedang berusaha menjabarkan isi hati masing-masing. 

"Mas Damar pernah bercerita tentang sosok kami kepada Bu Wulan?" tanya Hanum dengan nada lirih.

Wulan menganggukkan kepalanya. Tentu saja dengan senyuman kecil yang tak lepas di bibirnya. Wanita ini harus tahu bahwa Wulan tahu apa yang telah dilakukannya pada suaminya di masa dulu. Mengapa wanita ini masih juga nekat untuk menemuinya setelah semua yang terjadi antara dirinya dan suami Wulan dulu?

"Semuanya. Termasuk keputusan Bu Hanum meninggalkan Mas Damar kala itu. Membatalkan pertunangan kalian dan justru menikah dengan laki-laki lain," ujar Wulan dengan nada tegas.

Gantian Hanum yang terkekeh saat mendengar ucapan Wulan itu. Wajah sendu itu berganti rupa. 

"Jadi itu yang disampaikan Mas Damar kepada Bu Wulan? Dan Bu Wulan bahagia dengan semua kebohongan yang telah diciptakan suami Ibu itu?"

Kali ini jelas sekali senyuman sinis kembali tersungging di bibir Hanum. Wulan mulai terpancing emosi.  Merasa wanita ini hendak mempermainkan perasaannya, mengaduk-aduk emosinya.

"Maksudnya?" tanya Wulan dengan nada bingung sekaligus cemas. 

Tampak sekali ketenangan kembali menguasai Hanum. Berbeda dengan Wulan yang merasa gelisah saat menyadari situasi yang dihadapinya saat ini sangat jauh dari dugaannya. Harusnya wanita ini malu dengan semua kenyataan yang diungkapkan Wulan tadi. Namun mengapa rasa itu tak tampak sama sekali tergambar di wajah yang cukup terawat ini? 

"Suami Bu Wulan  yang bernama Damar itu, lengkapnya Damar Prawira itu tak lebih dari seorang pembohong ulung. Pernikahan Bu Wulan selama ini dipenuhi dengan kebohongan saja. Kebahagiaan yang Bu Wulan rasakan hanyalah semu belaka," ujar Hanum dengan lembut.Tak nampak lagi senyuman sinis itu tercetak di ujung lengkungan bibirnya. 

Namun tetap saja, Wulan melihat senyum kemenangan seolah terlukis di wajah Hanum. Matanya masih meneteskan bulir bening, namun Wulan tahu wanita seolah sedang bahagia. Bukan merasakan kesedihan seperti yang diharapkannya. 

"Ibu tak berhak menghina suami saya! Tahu apa Ibu tentang sosok suami saya!"

Kali ini Wulan menunjukkan keberaniannya. Jika sedari tadi melemah, itu hanya demi alasan menghormati sosok tamunya saja. Namun sepertinya Wulan harus mengubah sikapnya ini. Harus menunjukkan taringnya. Mempertegas statusnya. 

Lagi-lagi Hanum tertawa. Meraih sehelai tisu yang ada di atas meja, lantas menyeka wajahnya dengan lembar tipis putih itu. 

"Saya sangat mengenal siapa suami Bu Wulan itu. Bahkan jauh lebih lama dari Ibu, karena Damar Prawira ... merupakan suami saya. Dia yang Bu Wulan sebut sebagai suami sejak tadi merupakan suami saya sejak lima belas tahun yang lalu."

Ucapan tegas Hanum itu membuat Wulan harus membelalakkan matanya. Suami? Tak salahkah wanita ini berbicara? Damar Prawira merupakan suami Hanum Khoirunnisa?

Bab terkait

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bab 3 Harga Diri Yang Runtuh

    Lantai yang dipijak Wulan seolah tenggelam ke dasar bumi tiba-tiba. Tubuh Wulan ikut terpuruk ke dasarnya.  Apakah telinganya tak salah menangkap gelombang suara itu?"Apa maksud ucapan Ibu barusan?" tanya Wulan sembari menahan sesak di dadanya. Dadanya bergerak naik turun, menahan emosi yang mulai menguasainya.Hanum menyunggingkan senyum sinisnya kembali. Walaupun jelas mata wanita itu menahan kesedihan yang coba ditutupinya."Bu Wulan belum jelas dengan ucapan saya tadi? Damar Prawira itu merupakan suami saya sejak lima belas tahun yang lalu. Suami sekaligus imam saya, Bu. Dan Raya Putri Kirana itu merupakan putri sulung kami. Artinya lelaki yang bernama Damar Prawira itu berstatus sebagai ayah dari dua orang anak sebelum mengikat janji dan menghalalkan Ibu. Bahkan sampai sekarang, ikatan itu masih terjalin di antara kami."Tampak sekali Hanum berusaha mempertegas statusnya di hadapan Wulan. Sepasang manik itu taja

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bab 4 Pembelaan Diri

    Wanita yang hadir di hadapan Wulan saat ini tak mengada-ada. Wanita yang selama ini diakui sebagai kerabat jauh oleh suaminya ternyata sosok yang menjadi kakak madunya. Wulan tak menyangka jika ternyata sosok wanita yang hadir dalam kehidupannya hari ini akan menjadi pengubah  jalan hidupnya sejak saat ini. Wulan menggugam perlahan. Wanita ini bukanlah kerabat suaminya. Dia merupakan wanita yang lebih dulu hadir dan dihalalkan lelaki yang menjadi imam kehidupannya saat ini. Bahkan sampai saat ini, ikatan mereka masih ada dan terjalin dengan kuatnya. Tak terputus. Hanum Khoirunnisa, wanita yang berstatus sebagai istri pertama seorang Damar Prawira. Dan itu artinya Wulan hanyalah seorang wanita kedua. Wanita yang akan dicap sebagai perusak dan pengganggu rumah tangga wanita lainnya. Laki-laki yang selama ini dibanggakan Wulan ternyata seorang pembohong dan pendusta. Dua tahun mengabdi sebagai istri seorang Damar Prawira bukanlah waktu yang

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bab 5 Haruskah Menggugat Takdir?

    Wulan menghela napasnya. Ada rasa tak tega di hatinya saat melihat air mata dari sosok yang berjenis kelamin yang sama dengannya ini. Sejatinya mereka berada pada posisi yang sama. Terluka karena telah didustai oleh lelaki yang sama. Tanpa mereka tahu jika telah dibohongi selama ini. Apalagi Wulan yang artinya sudah terikat pernikahan dengan landasan dusta dari lelaki pujaan hatinya itu. Melihat detail informasi yang disampaikan Hanum, Wulan yakin wanita ini bukan baru kemarin menemukan kenyataan pahit ini. Jelas informasi yang dikantongi Hanum sangat jelas dan rinci.Hanum jelas sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan secara langsung dengannya hari ini. Mempersiapkan mental dan juga emosi untuk bertatap muka langsung dengan dirinya, wanita yang berstatus sebagai adik madu seorang Hanum Khoirunnisa. Wulan menggumam perlahan dalam kecemasan hatinya. Wanita kedua. Suka atau tidak, status itu melekat dengan dirinya sejak saat

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Akad

    "Saya terima nikahnya dan kawinnya Wulandari Purnama binti Ahmad Wiryawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”"Bagaimana saksi?" tanya laki-laki dengan jas berwarna hitam dan peci warna yang sama sembari menolehkan kepalanya pada dua orang saksi yang duduk di dekat meja yang sama."Sah."Kompak kedua laki-laki itu berkata yang disambut lafaz hamdalah dari setiap bibir orang-orang yang memenuhi ruangan itu. Raut wajah bahagia tergambar dari setiap orang yang hadir menyaksikan momen sakral dalam kehidupan putri bungsu keluarga Wiryawan itu. Wulan menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Damar Prawira, laki-laki yang baru menghalalkannya itu. Laki-laki pujaan hati yang menjadikan dirinya sebagai pasangan tulang rusuk. Nama mereka tertulis di Lauhul Mahfuz sejak akad tadi terucapkan, lancar tanpa pengulangan. Lega, bahagia. Perasaan itu yang bercampur aduk dalam hat

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kecewa

    "Pengantin perempuan silahkan untuk menciumi tangan suaminya."Sontak saja lamunan Wulan menjadi buyar seketika. Mungkin sudah sejak tadi Kak Ana, sang MC memberikan arahan itu kepadanya. Mengingat perjuangannya untuk bersanding dengan lelaki pujaannya ini membuat Wulan lupa akan keadaannya sekarang.Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Butuh kegigihan menunjukkan niat baik sang calon imam untuk menghalalkannya. Wulan tak berjuang sendiri. Damar pun berusaha sekuat tenaga menunjukkan keseriusannya. Dengan rasa gugup dan malu, Wulan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Berhadapan dengan lelaki yang telah mengambil alih tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah. Ketika akad itu terucap, banyak hal yang berubah atas dirinya. Perlahan Wulan mengangkat tangan kanannya. Meraih tangan kanan lelaki yang sudah bergelar suaminya yang sudah terulur lebih dulu. Menciumi dengan takzim tangan yang akan

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kepergian Yanga Mendadak

    Wulan duduk di tepi tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar yang tampak mewah dengan berbagai dekorasi selayak kamar pengantin umumnya. Hiasan bunga imitasi mendominasi ornamen kamarnya. Ditambah satu vas mawar merah segar dengan aroma khasnya. Harum menguar memenuhi indera penciumannya. Ada beberapa tangkai melati segar yang diselipkan di bagian atas tempat tidur. Harumnya berpadu menciptakan sebuah sensasi. Harusnya malam ini merupakan malam kebahagiaannya. Harusnya malam ini dirinya tak sendiri di kamar indah ini. Harusnya malam ini dirinya memadu kasih dengan sang pujangga hati yang didambakannya selama ini. Angan Wulan membayang kelebat kisah tadi sore."Mas, apa Wulan ikut saja?" Tiba-tiba Wulan menawarkan ide yang menurutnya terbaik untuk mereka. Terlalu sesak rasanya dada jika harus berpisah hingga beberapa hari ke depan nantinya.Bagaimana tidak, baru tadi pagi akad itu diucapkan. Ti

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Meragu

    "Mas mau salat Asar, setelah itu bersiap pergi. Mau salat sama-sama?" tanya Damar sembari melangkah meraih sarung yang ada di ujung tempat tidur mereka."Mas duluan saja, Wulan nanti mau mandi dulu. Badan gerah dan kotor rasanya jika tak dibersihkan dulu."Damar tersenyum dan mulai mengenakan sarungnya. Sementara Wulan meraih gawai yang sejak pagi tadi tak tersentuh jemarinya sama sekali. Banyak pesan yang masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Semuanya berisi ucapan yang senada, selamat atas pernikahannya. Juga doa agar pernikahannya sakinah, mawaddah warahmah. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir Wulan. Sebahagia ini rasanya menikah? Mungkin usianya  saat ini tergolong masih wajar saja belum menikah. Baru dua puluh tujuh tahun. Belum pantas dijuluki perawan tua. Sedangkan Damar akan berusia tiga puluh enam tahun, enam bulan lagi. Nyaris menyandang gelar sebagai bujang lapuk tentunya menurut istilah orang di

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Merindu

    Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Wulan. Mengusap matanya yang sempat mengembun, Wulan lantas melangkahkan kaki menuju pintu dan menarik gagangnya."Ibu?" ucap Wulan saat melihat sosok yang ada di hadapannya saat pintu terbuka. "Ibu hanya ingin melihat keadaanmu, Lan. Sejak Magrib tadi kamu masuk kamar tapi tak keluar-keluar lagi setelah itu. Kamu sakit?" tanya Bu Yayuk sembari menatap wajah putrinya.Wulan menggelengkan kepalanya. Tak berbohong. Memang dirinya tak sakit. Hanya saja hatinya merasa kosong saat ini. Ada sesuatu di lubuk hatinya yang dirinya sendiri tak tahu apa namanya. Entahlah, tak nyaman pokoknya."Lantas mengapa mengurung diri di kamar? Damar juga kan tak ada di kamar."Bu Yayuk memang tahu jika menantunya itu pergi. Laki-laki itu sendiri yang berpamitan pada Bu Yayuk dan suaminya saat hendak berangkat tadi. Bahkan laki-laki itu sempat  berpesan,  menitipkan istrinya pada kedua mertuanya.

Bab terbaru

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kesempatan Untuk Hanif

    "Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Godaan

    Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bukalah Pintu Hatimu

    "Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Talak

    "Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Di Depan Pusara Ayah

    Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Kepergian Ayah

    "Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun  tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Bukan Wanita Kedua

    Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Pengakuan Wulan

    Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."

  • AKU (BUKAN) WANITA KEDUA   Naluri Seorang Ibu

    [Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m

DMCA.com Protection Status