"Saya terima nikahnya dan kawinnya Wulandari Purnama binti Ahmad Wiryawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”
"Bagaimana saksi?" tanya laki-laki dengan jas berwarna hitam dan peci warna yang sama sembari menolehkan kepalanya pada dua orang saksi yang duduk di dekat meja yang sama."Sah."Kompak kedua laki-laki itu berkata yang disambut lafaz hamdalah dari setiap bibir orang-orang yang memenuhi ruangan itu. Raut wajah bahagia tergambar dari setiap orang yang hadir menyaksikan momen sakral dalam kehidupan putri bungsu keluarga Wiryawan itu. Wulan menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Damar Prawira, laki-laki yang baru menghalalkannya itu. Laki-laki pujaan hati yang menjadikan dirinya sebagai pasangan tulang rusuk. Nama mereka tertulis di Lauhul Mahfuz sejak akad tadi terucapkan, lancar tanpa pengulangan. Lega, bahagia. Perasaan itu yang bercampur aduk dalam hati Wulan saat ini. Akhirnya status lajangnya berakhir. Menikah dengan laki-laki yang dicintainya merupakan impiannya sejak dulu. Bertahan dengan kesendiriannya selama ini. Bertahun-tahun sabar menunggu sampai jodoh. Akhirnya penantian itu tak sia-sia. Penggenap agamanya itu akhirnya dikirimkan Sang Maha Kuasa, tanpa dapat diduga waktunya. Damar Prawira, laki-laki tampan dan gagah yang akhirnya menjadi jodoh yang dipilihkan Allah untuknya. Hanya Damar, laki-laki yang membuat Wulan benar-benar merasakan jatuh cinta. Menerima pinangan laki-laki yang usianya cukup terpaut jauh itu hanya setelah perkenalan mereka selama tiga bulan. Tak lama untuk menunjukkan niat seriusnya. Waktu yang singkat di mata banyak orang, bahkan di mata ibu kandungnya sendiri. Wanita yang telah melahirkan Wulan itu sempat merasa sangsi atas niat Damar untuk mempersunting Wulan saat itu. Bagaimana tidak? Wulan anak bungsu mereka. Satu-satunya putri dalam keluarga mereka. Ada kecemasan yang berlebih masih terasa untuk gadis yang sudah dewasa itu. "Lan, bukan Ibu melarang ataupun tak setuju. Apa tidak terlalu cepat kamu memutuskan untuk menikah dengan Damar?" tanya Bu Yayuk, sang ibu kandungnya. Nada kalimatnya hati-hati. Tak ingin ucapannya disalahartikan oleh si bungsu itu. Helaan napas panjang tak mampu tertutupi. Pertanyaan itu meluncur saat Wulan baru saja mengatakan tentang niat Damar untuk melamarnya secepat mungkin. Lelaki itu tak ingin menunda lebih lama lagi niat baiknya dengan alasan umur yang sudah cukup dewasa untuk mulai membina bahtera rumah tangga."Bukan masalah cepat atau lambatnya, Bu. Tapi tentang keyakinan hati kami berdua. Wulan sudah merasa yakin jika Mas Damar itu jodohnya Wulan. Sebaliknya juga begitu, Bu. Ibu ingat kan pengalaman Wulan sebelum-sebelumnya? Apakah waktu perkenalan yang lama akan menjamin segalanya?" tanya Wulan sembari merapatkan tubuhnya lebih dekat ke arah sang ibu.Tubuh pasangan ibu dan anak itu saling berdampingan. Menempel satu sama lain dengan rangkulan tangan Wulan ke pinggang ibunya. Sifat manja itu masih terlihat meskipun tak lagi separah sebelumnya. "Wulan tak akan lupa kisah pahit itu selamanya. Tiga tahun Wulan berhubungan dengan Bang Agus saat itu. Apa yang Wulan dapatkan? Pengkhianatan, Bu. Tiga tahun waktu Wulan terbuang sia-sia hanya demi lelaki busuk itu. Lelaki yang harusnya tak pernah mendapatkan tempat di hati Wulan. Lantas jika sekarang waktunya lebih singkat, bukankah itu lebih baik, Bu? Kami akan lebih saling mengenal setelah terikat jalinan cinta yang halal."Bu Yayuk tampak menatap lurus ke arah jendela di hadapannya yang memang terbuka. Memang benar kata orang. Menasehati manusia yang sedang jatuh cinta itu sangat sulit sekali. Bukan hanya akan masuk telinga kanan keluar telinga kiri saja, semua ucapannya tak masuk sama sekali ke telinga Wulan, putri bungsu mereka yang satu-satunya belum menikah. "Kamu kenal keluarga Damar? Sudah pernah bertemu mereka? Apakah mereka menerima kehadiranmu sebagai bagian keluarga mereka?" tanya Bu Yayuk dengan nada gusar.Akhirnya wanita yang rahimnya pernah menjadi tempat berlindung Wulan selama sembilan bulan itu mengutarakan kegelisahannya. Bukan karena tak ingin memberi restu, namun ingin memastikan pilihan anak gadisnya. Tak ingin putrinya salah memilih, apalagi membuat keputusan. Bukankah menikah sekali dalam seumur hidup menjadi impian setiap orang? Wulan menggelengkan kepalanya. Namun tetap saja, lengkungan bibir itu mencetak seukir senyum yang sempurna bahagianya. Tak peduli dengan perasaan ibunya yang sedang berkecamuk saat ini. "Nah itu. Damar itu pendatang. Hanya kebetulan di sini karena pekerjaannya. Kita tak tahu asal usul keluarganya, latar belakang lelaki itu. Bagaimana perangai keluarga mereka? Bagaimana sikap calon mertuamu itu dalam kesehariannya?" ucap Bu Yayuk dengan nada gusar. Kembali Wulan mengulas senyum tipis di bibirnya. Binar cinta jelas terpendar dari sepasang manik indah itu. Rona bahagia benar-benar terpancar dari wajah ayu kuning langsat itu. "Mas Damar itu yatim piatu, Bu. Anak tunggal pula, tak ada saudara. Suatu saat Mas Damar sudah berjanji akan membawa Wulan ke Bandung, bertemu dengan kerabatnya. Berjumpa dengan keluarga besarnya. Tentu saja setelah hubungan kami dihalalkan. Tidak sekarang."Wulan mengusap lengan ibunya, mencoba memberi pengertian pada wanita itu tentang kehidupan laki-laki yang akan meminangnya. Latar belakang calon suaminya sudah sangat gamblang dipaparkan lelaki itu sejak sebulan mereka saling berkenalan. "Kalau begitu mengapa kamu tak memintanya sekarang saja untuk mengenalkanmu pada kerabatnya itu, Lan?" timpal Bu Yayuk kembali. Hatinya merasa belum ikhlas sepenuhnya untuk menerima sosok Damar sebagai pendamping putrinya.Bukan karena memandang bibit, bebet, ataupun bobot. Tidak sama sekali. Bukan itu yang menjadi kriteria dirinya saat merasa yakin dengan pasangan hidup anak-anaknya. Hanya saja tak ada keyakinan dalam hati Bu Yayuk atas diri Damar, sang calon menantunya. Laki-laki itu memang cukup tampan. Raut khas sukunya jelas terlihat dari bingkai wajah lelaki itu. Usianya pun sudah lebih dari tiga puluh lima tahun. Ibarat kata orang, dari usia jelas laki-laki itu sudah sangat matang sekali. Untuk urusan kemapanan, jelas sekali. Tak perlu diragukan lagi. Jabatannya jelas sebagai kepala cabang perusahaan perkreditan kendaraan yang cukup terkenal di ibu kota provinsi mereka ini. Tak usah dipertanyakan lagi secara ekonomi. "Mas Damar tak bisa, Bu. Sekarang ini pekerjaannya sedang banyak. Ditambah lagi Mas Damar tak ingin kami pergi ke sana nantinya dalam kondisi yang belum halal. Takut jika terjadi hal-hal yang di luar kendali kami nantinya. Ibu paham kan?"Bu Yayuk memijat kepalanya. Apakah Wulan sudah mantap dengan pilihannya ini? Baru sekali ini Wulan dengan tegas sekali dengan pilihannya. Belum pernah putrinya seyakin ini. Apalagi sejak hubungannya yang kandas secara mendadak oleh lelaki yang cukup lama menjalin hubungan dengan putrinya ini. "Ibu akan berbicara dengan Ayah. Katakan pada Damar untuk datang besok malam! Kami butuh kepastian dan ketegasannya." Akhirnya Bu Yayuk mengambil keputusan.Benar kata orang. Jika dua manusia yang berlainan jenis sudah yakin untuk menyatukan hati, tak mungkin mereka sebagai orang tua akan mencegahnya. Lagi pula Bu Yayuk tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan mereka nantinya. Wulan anak perempuan satu-satunya. Tak terbayangkan jika sesuatu terjadi di luar kendali mereka nantinya. Harus mencegah sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi nantinya. Haruskah restu itu mereka berikan pada putrinya? Mengapa naluri seorang ibu seolah ragu atas permintaan putrinya ini?"Pengantin perempuan silahkan untuk menciumi tangan suaminya."Sontak saja lamunan Wulan menjadi buyar seketika. Mungkin sudah sejak tadi Kak Ana, sang MC memberikan arahan itu kepadanya. Mengingat perjuangannya untuk bersanding dengan lelaki pujaannya ini membuat Wulan lupa akan keadaannya sekarang.Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Butuh kegigihan menunjukkan niat baik sang calon imam untuk menghalalkannya. Wulan tak berjuang sendiri. Damar pun berusaha sekuat tenaga menunjukkan keseriusannya. Dengan rasa gugup dan malu, Wulan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Berhadapan dengan lelaki yang telah mengambil alih tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah. Ketika akad itu terucap, banyak hal yang berubah atas dirinya. Perlahan Wulan mengangkat tangan kanannya. Meraih tangan kanan lelaki yang sudah bergelar suaminya yang sudah terulur lebih dulu. Menciumi dengan takzim tangan yang akan
Wulan duduk di tepi tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar yang tampak mewah dengan berbagai dekorasi selayak kamar pengantin umumnya. Hiasan bunga imitasi mendominasi ornamen kamarnya. Ditambah satu vas mawar merah segar dengan aroma khasnya. Harum menguar memenuhi indera penciumannya. Ada beberapa tangkai melati segar yang diselipkan di bagian atas tempat tidur. Harumnya berpadu menciptakan sebuah sensasi. Harusnya malam ini merupakan malam kebahagiaannya. Harusnya malam ini dirinya tak sendiri di kamar indah ini. Harusnya malam ini dirinya memadu kasih dengan sang pujangga hati yang didambakannya selama ini. Angan Wulan membayang kelebat kisah tadi sore."Mas, apa Wulan ikut saja?" Tiba-tiba Wulan menawarkan ide yang menurutnya terbaik untuk mereka. Terlalu sesak rasanya dada jika harus berpisah hingga beberapa hari ke depan nantinya.Bagaimana tidak, baru tadi pagi akad itu diucapkan. Ti
"Mas mau salat Asar, setelah itu bersiap pergi. Mau salat sama-sama?" tanya Damar sembari melangkah meraih sarung yang ada di ujung tempat tidur mereka."Mas duluan saja, Wulan nanti mau mandi dulu. Badan gerah dan kotor rasanya jika tak dibersihkan dulu."Damar tersenyum dan mulai mengenakan sarungnya. Sementara Wulan meraih gawai yang sejak pagi tadi tak tersentuh jemarinya sama sekali. Banyak pesan yang masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Semuanya berisi ucapan yang senada, selamat atas pernikahannya. Juga doa agar pernikahannya sakinah, mawaddah warahmah. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir Wulan. Sebahagia ini rasanya menikah? Mungkin usianya saat ini tergolong masih wajar saja belum menikah. Baru dua puluh tujuh tahun. Belum pantas dijuluki perawan tua. Sedangkan Damar akan berusia tiga puluh enam tahun, enam bulan lagi. Nyaris menyandang gelar sebagai bujang lapuk tentunya menurut istilah orang di
Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Wulan. Mengusap matanya yang sempat mengembun, Wulan lantas melangkahkan kaki menuju pintu dan menarik gagangnya."Ibu?" ucap Wulan saat melihat sosok yang ada di hadapannya saat pintu terbuka. "Ibu hanya ingin melihat keadaanmu, Lan. Sejak Magrib tadi kamu masuk kamar tapi tak keluar-keluar lagi setelah itu. Kamu sakit?" tanya Bu Yayuk sembari menatap wajah putrinya.Wulan menggelengkan kepalanya. Tak berbohong. Memang dirinya tak sakit. Hanya saja hatinya merasa kosong saat ini. Ada sesuatu di lubuk hatinya yang dirinya sendiri tak tahu apa namanya. Entahlah, tak nyaman pokoknya."Lantas mengapa mengurung diri di kamar? Damar juga kan tak ada di kamar."Bu Yayuk memang tahu jika menantunya itu pergi. Laki-laki itu sendiri yang berpamitan pada Bu Yayuk dan suaminya saat hendak berangkat tadi. Bahkan laki-laki itu sempat berpesan, menitipkan istrinya pada kedua mertuanya.
Inikah rasanya nikmat menikah? Merindui dan dirindukan sebagai pasangan halal tentunya. Wulan menyandarkan tubuhnya pada kepala tempat tidur saat sudah lelah menghubungi Damar tanpa hasil. Ingatannya membayang saat laki-laki itu meminta kesediaannya sebagai pendamping hidup hingga menua."Dek, Mas ingin menjadikan Adek sebagai pasangan hidup. Mas merasa Adek merupakan sosok wanita yang selama ini Mas cari," ujar Damar sembari menatap mata Wulan yang terkejut dengan ucapannya.Wulan memang sungguh terkejut. Baru dua bulan lebih mereka saling mengenal dan Damar langsung mengutarakan keseriusannya.Suasana di sekeliling mereka memang cukup ramai. Apalagi saat malam Minggu seperti ini. Rumah makan Aroma Laut yang dipilih Damar sebagai tempat makan malam mereka berada di tepi pantai Pasir Padi. Pantai yang menjadi ikon kota yang menjadi ibu kota provinsi Serumpun Sebalai ini. Suasana malam Minggu akan dipenuhi para muda-m
[Maaf, Mas semalam diajak teman kumpul-kumpul sebelum besok mulai bergelut dengan rapat. Kembali ke kamar sudah larut. Pas mau telepon Adek, HP Mas habis dayanya. Mas rindu dan cinta Adek]Pesan yang diakhiri dengan emotikon hati itu masuk ke aplikasi pesan berlogo hijau saat Wulan menghidupkan gawai miliknya. Gawai yang baru diaktifkan kembali sejak semalam. Karena kesal tak dapat berbicara dengan suaminya itu, Wulan memutuskan menonaktifkan gawainya. Kesal, sedih, marah. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam hati Wulan. Bahkan air mata sempat membasahi pipinya tadi malam.Apakah dirinya tak penting bagi Damar? Apakah akad yang baru terucap tak bermakna sama sekali bagi lelaki itu? Tak seharusnya lelaki itu mengabaikannya di saat malam pertama yang seharusnya menjadi milik mereka. Harusnya lelaki itu mengingat dirinya. Apakah tak ada sosoknya di dalam ingatan lelaki itu? Pesan itu dikirimkan pukul dua dini h
"Satu hal lagi yang harus kamu pahami, Lan. Selama ini Damar itu sendiri. Mau bekerja sesibuk apa pun, Ibu yakin dia tak peduli. Tak ada anak ataupun istri yang dipikirkannya. Nah, merubah pola pikir jika sekarang dirinya sudah memiliki tanggung jawab pada seorang wanita itu tak mudah.""Ibu membela Mas Damar?" tanya Wulan dengan tatapan tajam pada ibunya. Tak lagi berusaha menutupi kekecewaannya, Wulan memilih mengungkapkannya secara terang-terangan. Ibunya yang dulu sempat sulit memberi restu berbalik arah membela lelaki itu. Lelaki yang telah membuat hatinya terombang-ambing dalam gelisah saat ini. Bu Yayuk menggelengkan kepalanya. Tabiat merajuk putri bungsunya masih tak berubah."Bukan membela, Lan. Hanya mencoba menjelaskan posisi Damar menurut Ibu. Mungkin sekarang, Damar belum menyadari bahwa saat ini statusnya adalah seorang suami. Terlalu lama sendiri membuat suamimu itu lengah dan lupa, jika ada istri yang menunggu
"Mas ... Mas sedang dimana sekarang?" tanya Wulan sembari mengernyitkan dahinya kembali. Pikirannya mulai mengembara kemana-mana. Siapa sosok yang ada di dekat suaminya? Seorang wanita, menawari minuman sepagi ini, tentu bukan hal yang biasa. Meskipun tak melihat secara langsung, telinganya tak mungkin salah. Gendang telinganya masih mampu membedakan suara seseorang untuk menentukan jenis kelaminnya. Jelas sekali, suara wanita dan laki-laki akan berbeda intonasinya. Dan baru saja, indra pendengarannya itu menangkap kalimat tanya untuk suaminya dari seorang wanita. Tak mungkin salah. "Sedang di hotel. Ada apa, Dek? Ada masalah?" Wulan semakin tak mengerti apa yang sedang dialaminya tadi. Tak mungkin dirinya berhalusinasi. Suara itu nyata. Bukan khayalan semata. "Tapi ... bukannya tadi ada suara wanita di dekat Mas? Aku tak mungkin salah mendengar. Suaranya jelas sekali."Akhirnya
"Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint
Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in
"Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi
"Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke
Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy
"Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang
Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.
Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."
[Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m