"Jadi Ibu yang bernama Wulandari Purnama? Cantik juga ternyata. Tak jauh beda dengan foto yang ada di media sosial Anda."
Mengurungkan gerakan tangannya, Wulan menarik kembali tangan kanan yang hampir digerakkannya tadi. Tatapan mata wanita ini tak layak disebut bersahabat. Lebih pada tatapan sinis jika tak boleh disebut mengejek. Wulan mengernyitkan dahinya saat mendengar ucapan sinis yang sungguh membuatnya terkejut bukan kepalang. Tak paham dengan arah pembicaraan yang akan dilakukan wanita yang berhadapan dengannya ini. Rasanya mereka belum pernah berjumpa sebelum hari ini. "Ibu siapa? Kenal saya darimana?" Wulan menyampaikan rasa penasarannya. Mereka tak saling mengenal sebelumnya. Mengapa wanita ini meminta bertemu dengannya?Wulan terpaksa menghentikan aktivitasnya mengajarnya di kelas tadi saat Indri, rekannya yang bertugas sebagai guru piket hari ini mengetuk pintu kelas mengajarnya. Soal-soal persilangan tanaman yang sedang dibahas Wulan bersama murid-muridnya itu terpaksa dihentikan. Padahal murid-murid itu sedang sangat antusias membahas soal-soal tersebut. "Ada tamu, Wulan. Sedang menunggu di ruang tamu," ujar Indri sembari melangkah mendekati Wulan yang masih berdiri di samping papan tulis berwarna putih itu.“Tamu saya? Siapa? Keluarga saya?" tanya Wulan dengan nada bingung. Jarang sekali Wulan menerima tamu di sekolah, kecuali orang tua atau wali murid yang memang dipanggil karena ada masalah. Keluarganya pun sejauh ini tak pernah menemui Wulan secara langsung di sekolah tempatnya mengabdi ini. Kalaupun ada pihak keluarga yang ingin menemuinya, tentu mereka akan mengabarkan terlebih dahulu."Aku pun tak kenal. Hanya saja katanya ingin bertemu dengan guru yang bernama Wulandari Purnama. Itu kan dirimu? Tak menjelaskan tujuannya."Indri berusaha menjelaskan maksud sang tamu, sesuai yang disampaikan sang empunya tadi. Sementara Wulan semakin bertambah bingung."Bukan orang tua murid ya, Ndri?" tanya Wulan untuk memastikan kembali sosok tamu tersebut.Indri tampak menggelengkan kepalanya. Rasanya gaya wanita tadi sungguh jauh berbeda dengan gaya orang tua murid yang sering dijumpainya. Sedikit angkuh jika tak ingin disebut sombong. Gaya wanita kelas sosial tinggi jika boleh Indri menilainya. “Sepertinya bukan. Dan kelihatannya tak ada sangkut pautnya dengan urusan sekolah."Lagi-lagi ucapan Indri itu membuat Wulan mengernyitkan dahinya."Aku kembali ke meja piket dulu, Lan! Tak enak kelamaan meninggalkan tamunya," ujar Indri seraya melangkah meninggalkan Wulan yang masih diliputi kebingungan dan rasa penasaran."Aku ke sana sebentar lagi, Ndri. Mau memberikan tugas dulu kepada anak-anak biar tak ribut saat aku tinggal nanti. Nanti tolong lihat-lihat mereka ya!" pinta Wulan sembari kembali menuju mejanya yang terletak di samping papan tulis berbahan kaca itu.Dengan sigap Wulan membolak-balikkan buku pegangannya lantas menandai beberapa nomor soal yang berkaitan dengan materi persilangan tanaman yang sedang mereka bahas. Gerakan cepat jemari tangan kanan Wulan menuliskan beberapa halaman dan nomor soal yang ditandai tersebut di papan tulis. Tujuannya agar murid-murid yang ditinggalkannya nanti mempunyai aktivitas. Tak menimbulkan keributan yang akan mengganggu kelas sebelahnya. Setelah meminta murid-muridnya untuk mengerjakan soal-soal tersebut dengan tetap menjaga ketenangan ruangan kelas, Wulan pun melangkah dengan degup jantung yang tak karuan rasanya. Firasatnya mengatakan jika akan ada sesuatu yang dihadapinya nanti. Entah apa itu. Tapi batinnya gelisah. Seolah mengatakan ada hal buruk yang akan dihadapinya sesaat nanti. Langkahnya setengah memburu. Jika tak ingin disebut setengah berlari. Benar saja, firasatnya tak salah. Tamu yang tak dikenalnya ini hadir dengan wajah yang kaku. Tak ada senyum yang terlihat di wajah mulus khas perawatan klinik kecantikan itu. Dan Wulan merasakan aroma ketidaknyamanan tiba-tiba terjadi di ruang tamu ini."Bu Wulan mungkin tidak mengenal saya. Tetapi saya tahu siapa Bu Wulan," sahut wanita dengan senyum sinis yang seolah tak lepas dari bibirnya itu. Irama jantung Wulan mendadak tak beraturan. Ada sesak yang seakan menghimpit dadanya tiba-tiba. Gaya bicara wanita ini jelas-jelas mengisyaratkan hal buruk. Apa yang akan dihadapinya kali ini? "Kita pernah bertemu?" tanya Wulan untuk memastikan sosok wanita yang ada di hadapannya ini."Belum. Ini pertemuan kita yang pertama."Wanita itu menegakkan posisi tubuhnya yang duduk di kursi. Menghujam Wulan yang ikut mengambil posisi akan duduk dengan tatapan tajamnya."Lantas apa hubungan kita jika memang tak pernah bertemu sebelumnya?" tanya Wulan sembari menyinggungkan senyumnya. Mencoba menunjukkan keramahan meskipun hatinya diliputi kegelisahan. Terlepas dari bagaimanapun sikap wanita ini kepadanya, Wulan ingin bersikap sopan kepada tamu yang tak dikenalnya sama sekali ini."Bu Wulan sudah menikah?"Wanita ini memang berkata dengan lembut. Namun tetap saja, nada suaranya tak nyaman di gendang telinga Wulan.Untung saja, ruang tamu berdinding cokelat muda yang memang disediakan khusus untuk menerima tamu ini terletak terpisah dari ruang guru dan ruang tata usaha. Tak banyak orang yang biasa melintas di depan ruangan ini. Faktor kenyamanan memang sengaja dijadikan alasan saat pembangunan bangunan ini. "Alhamdulillah sudah, Bu."Wajah Wulan berseri saat mengucapkan kalimat itu. Bahagia yang dirasakan Wulan tak mampu disembunyikannya di hadapan wanita ini."Mohon maaf, Ibu! Sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini, apakah boleh saya mengetahui nama Ibu? Tak mungkin kita berbicara panjang lebar, jika kita tak saling mengenal bukan? Ibu mengenal saya, tapi saya tak mengenal Ibu," ujar Wulan sembari terus berusaha menghiasi bingkai wajahnya dengan senyuman. Senyum sinis terlihat di bibir wanita itu. Wulan merasa pembicaraan ini akan berlangsung sangat panjang dan lama. Semoga saja dugaannya salah. "Nanti Bu Wulan akan mengenal saya. Belum sekarang."Dengan penuh ketegasan wanita itu mengucapkan kalimatnya."Sudah punya anak kan?" Kembali wanita yang ada di hadapan Wulan melemparkan pertanyaan yang membuat Wulan sungguh sangat terkejut. Sejauh itu wanita ini mengenal sosoknya? Darimana wanita ini bahkan tahu jika dirinya sudah mempunyai anak?Hanya anggukan yang diberikan Wulan sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Untuk apa menjawabnya sementara wanita ini sudah mengetahui jawabannya?"Bu Wulan bahagia dengan kehidupan rumah tangga yang sedang Ibu jalani saat ini?"Lagi-lagu Wulan merasa bingung. Mengapa wanita ini harus mempertanyakan tentang kebahagiaan rumah tangganya? Haruskah? Apa hubungan kebahagiaan rumah tangganya dengan wanita ini?"Sejauh ini saya patut merasakan bersyukur, Bu. Rumah tangga kami cukup bahagia untuk kami, setidaknya itu yang kami rasakan. Tapi saya tak tahu jika orang lain memandang kehidupan rumah tangga kami seperti apa. Dan bagi saya, terpenting menurut saya, suami saya, bukan penilaian orang lain."Tak kalah tegasnya, Wulan mencoba menyampaikan apa yang dirasakannya kepada wanita yang duduk di hadapannya."Bu Wulan mencintai suami Ibu?" Sontak saja pertanyaan itu membuat Wulan terkejut. Mengapa wanita ini kembali harus mempertanyakan perasaannya? Tak cukupkah kata bahagia atas pernikahan dan rumah tangga yang diungkapkannya tadi?"Sangat! Apakah Ibu tak melihat kebahagiaan itu pada saya? Saya bahagia karena suami saya sangat mencintai saya. Ada masalah dengan Ibu?"Akhirnya tak tahan juga Wulan meluncurkan pertanyaan yang menggelitik hatinya sejak tadi. Siapakah sebenarnya wanita ini? Mengapa harus mempertanyakan tentang kebahagiaan rumah tangganya? Apa urusannya rasa bahagia mereka dengan wanita ini?"Syukurlah jika memang begitu. Ibu bertanya, ada masalah dengan saya?"Wanita itu menyunggingkan senyum sinisnya. Tatapannya jelas menyiratkan ejekan pada Wulan. "Bu Wulan akan sangat menyesal menanyakan itu pada saya."Hati Wulan tiba-tiba bergemuruh. Wanita yang duduk di hadapannya saat ini bukanlah sosok yang biasa. Sedari tadi kata-katanya begitu tajam. Wulan merasakan ada sesuatu yang akan terjadi setelah ini. Entah apa itu. Hanya saja firasatnya kembali mengatakan jika kehadiran wanita ini bukanlah sesuatu yang baik untuknya. "Oke! Mungkin sudah saatnya saya mengenalkan diri. Saya seorang wanita yang mempunyai dua orang anak dari seorang suami. Sampai beberapa minggu yang lalu, saya pun sama seperti Ibu. Merasa rumah tangga yang saya dan suami saya jalani sangat bahagia. Pernikahan kami sempurna di mata saya. Hanya saja ... semua itu sampai beberapa minggu yang lalu. Setelah itu saya merasakan dunia yang tiba
Lantai yang dipijak Wulan seolah tenggelam ke dasar bumi tiba-tiba. Tubuh Wulan ikut terpuruk ke dasarnya. Apakah telinganya tak salah menangkap gelombang suara itu?"Apa maksud ucapan Ibu barusan?" tanya Wulan sembari menahan sesak di dadanya. Dadanya bergerak naik turun, menahan emosi yang mulai menguasainya.Hanum menyunggingkan senyum sinisnya kembali. Walaupun jelas mata wanita itu menahan kesedihan yang coba ditutupinya."Bu Wulan belum jelas dengan ucapan saya tadi? Damar Prawira itu merupakan suami saya sejak lima belas tahun yang lalu. Suami sekaligus imam saya, Bu. Dan Raya Putri Kirana itu merupakan putri sulung kami. Artinya lelaki yang bernama Damar Prawira itu berstatus sebagai ayah dari dua orang anak sebelum mengikat janji dan menghalalkan Ibu. Bahkan sampai sekarang, ikatan itu masih terjalin di antara kami."Tampak sekali Hanum berusaha mempertegas statusnya di hadapan Wulan. Sepasang manik itu taja
Wanita yang hadir di hadapan Wulan saat ini tak mengada-ada. Wanita yang selama ini diakui sebagai kerabat jauh oleh suaminya ternyata sosok yang menjadi kakak madunya. Wulan tak menyangka jika ternyata sosok wanita yang hadir dalam kehidupannya hari ini akan menjadi pengubah jalan hidupnya sejak saat ini. Wulan menggugam perlahan. Wanita ini bukanlah kerabat suaminya. Dia merupakan wanita yang lebih dulu hadir dan dihalalkan lelaki yang menjadi imam kehidupannya saat ini. Bahkan sampai saat ini, ikatan mereka masih ada dan terjalin dengan kuatnya. Tak terputus. Hanum Khoirunnisa, wanita yang berstatus sebagai istri pertama seorang Damar Prawira. Dan itu artinya Wulan hanyalah seorang wanita kedua. Wanita yang akan dicap sebagai perusak dan pengganggu rumah tangga wanita lainnya. Laki-laki yang selama ini dibanggakan Wulan ternyata seorang pembohong dan pendusta. Dua tahun mengabdi sebagai istri seorang Damar Prawira bukanlah waktu yang
Wulan menghela napasnya. Ada rasa tak tega di hatinya saat melihat air mata dari sosok yang berjenis kelamin yang sama dengannya ini. Sejatinya mereka berada pada posisi yang sama. Terluka karena telah didustai oleh lelaki yang sama. Tanpa mereka tahu jika telah dibohongi selama ini. Apalagi Wulan yang artinya sudah terikat pernikahan dengan landasan dusta dari lelaki pujaan hatinya itu. Melihat detail informasi yang disampaikan Hanum, Wulan yakin wanita ini bukan baru kemarin menemukan kenyataan pahit ini. Jelas informasi yang dikantongi Hanum sangat jelas dan rinci.Hanum jelas sudah mempersiapkan diri untuk berhadapan secara langsung dengannya hari ini. Mempersiapkan mental dan juga emosi untuk bertatap muka langsung dengan dirinya, wanita yang berstatus sebagai adik madu seorang Hanum Khoirunnisa. Wulan menggumam perlahan dalam kecemasan hatinya. Wanita kedua. Suka atau tidak, status itu melekat dengan dirinya sejak saat
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Wulandari Purnama binti Ahmad Wiryawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai.”"Bagaimana saksi?" tanya laki-laki dengan jas berwarna hitam dan peci warna yang sama sembari menolehkan kepalanya pada dua orang saksi yang duduk di dekat meja yang sama."Sah."Kompak kedua laki-laki itu berkata yang disambut lafaz hamdalah dari setiap bibir orang-orang yang memenuhi ruangan itu. Raut wajah bahagia tergambar dari setiap orang yang hadir menyaksikan momen sakral dalam kehidupan putri bungsu keluarga Wiryawan itu. Wulan menyapu wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Damar Prawira, laki-laki yang baru menghalalkannya itu. Laki-laki pujaan hati yang menjadikan dirinya sebagai pasangan tulang rusuk. Nama mereka tertulis di Lauhul Mahfuz sejak akad tadi terucapkan, lancar tanpa pengulangan. Lega, bahagia. Perasaan itu yang bercampur aduk dalam hat
"Pengantin perempuan silahkan untuk menciumi tangan suaminya."Sontak saja lamunan Wulan menjadi buyar seketika. Mungkin sudah sejak tadi Kak Ana, sang MC memberikan arahan itu kepadanya. Mengingat perjuangannya untuk bersanding dengan lelaki pujaannya ini membuat Wulan lupa akan keadaannya sekarang.Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Butuh kegigihan menunjukkan niat baik sang calon imam untuk menghalalkannya. Wulan tak berjuang sendiri. Damar pun berusaha sekuat tenaga menunjukkan keseriusannya. Dengan rasa gugup dan malu, Wulan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Berhadapan dengan lelaki yang telah mengambil alih tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah. Ketika akad itu terucap, banyak hal yang berubah atas dirinya. Perlahan Wulan mengangkat tangan kanannya. Meraih tangan kanan lelaki yang sudah bergelar suaminya yang sudah terulur lebih dulu. Menciumi dengan takzim tangan yang akan
Wulan duduk di tepi tempat tidur. Mengarahkan pandangannya ke sekeliling kamar yang tampak mewah dengan berbagai dekorasi selayak kamar pengantin umumnya. Hiasan bunga imitasi mendominasi ornamen kamarnya. Ditambah satu vas mawar merah segar dengan aroma khasnya. Harum menguar memenuhi indera penciumannya. Ada beberapa tangkai melati segar yang diselipkan di bagian atas tempat tidur. Harumnya berpadu menciptakan sebuah sensasi. Harusnya malam ini merupakan malam kebahagiaannya. Harusnya malam ini dirinya tak sendiri di kamar indah ini. Harusnya malam ini dirinya memadu kasih dengan sang pujangga hati yang didambakannya selama ini. Angan Wulan membayang kelebat kisah tadi sore."Mas, apa Wulan ikut saja?" Tiba-tiba Wulan menawarkan ide yang menurutnya terbaik untuk mereka. Terlalu sesak rasanya dada jika harus berpisah hingga beberapa hari ke depan nantinya.Bagaimana tidak, baru tadi pagi akad itu diucapkan. Ti
"Mas mau salat Asar, setelah itu bersiap pergi. Mau salat sama-sama?" tanya Damar sembari melangkah meraih sarung yang ada di ujung tempat tidur mereka."Mas duluan saja, Wulan nanti mau mandi dulu. Badan gerah dan kotor rasanya jika tak dibersihkan dulu."Damar tersenyum dan mulai mengenakan sarungnya. Sementara Wulan meraih gawai yang sejak pagi tadi tak tersentuh jemarinya sama sekali. Banyak pesan yang masuk melalui aplikasi berlogo hijau. Semuanya berisi ucapan yang senada, selamat atas pernikahannya. Juga doa agar pernikahannya sakinah, mawaddah warahmah. Senyum bahagia kembali tersungging di bibir Wulan. Sebahagia ini rasanya menikah? Mungkin usianya saat ini tergolong masih wajar saja belum menikah. Baru dua puluh tujuh tahun. Belum pantas dijuluki perawan tua. Sedangkan Damar akan berusia tiga puluh enam tahun, enam bulan lagi. Nyaris menyandang gelar sebagai bujang lapuk tentunya menurut istilah orang di
"Apa maksud Bapak? Boncengan? Mau kemana?" balas Wulan sembari mengernyitkan dahinya. "Ibu belum tahu kalau kita berdua ditugaskan untuk mengikuti Technical Meeting Kabupaten?"Dengan santainya Hanif memasang tampang lugu dan polos di hadapan Wulan. "Kita? Saya saja, Pak. Tidak Bapak."Dengan tegas Wulan membantah ucapan Hanif itu. Dirinya tak mungkin salah mendengar kalimat yang disampaikan Bu Lidia tadi pagi. Hanya namanya. Tak ada nama guru laki-laki ini."Di surat tugas ini tertera nama kita berdua, Bu. Saya dan Ibu."Tak kalah tegasnya Hanif pun menunjukkan bukti atas ucapannya tadi. Tak ingin dianggap bercanda apalagi berbohong oleh wanita yang memang sedang ditaksirnya ini. Dengan gerakan tangan yang cepat Wulan meraih kertas yang disodorkan Hanif itu. Memindainya dengan cepat. Air wajahnya berubah seketika. Benar saja. Nama mereka berdua tertera di sana. Perint
Wulan baru saja tiba di parkiran. Ketika tangannya bergerak hendak membuka helm yang menutupi kepala, sebuah sepeda motor berhenti tepat di sampingnya. "Bu Wulan, mengapa pesan saya tak dibalas? Padahal saya beberapa kali mengirimkan pesan. Dan semuanya centang dua biru. Dibaca Bu Wulan bukan?"Lidah Wulan mendadak kelu. Mengapa sepagi ini dirinya harus bertemu dengan lelaki ini? "Anak saya yang membukanya barangkali, Pak. Maklumlah kalau di rumah, HP ini menjadi milik berdua."Wulan terpaksa berbohong. Jika tidak, entah apa alasan yang harus dikatakannya kepada lelaki ini. "Oh begitu. Nanti siang ada acara? Sepulang sekolah maksud saya."Meletakkan helm pada spion sepeda motornya, Wulan ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. "Memangnya ada apa, Pak? Ada kegiatan tambahan ya kita hari ini? Kok saya tak tahu infonya?"Wulan mengernyitkan dahi. Seingatnya tak ada in
"Lan, kamu melamun?"Wulan menolehkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan wanita yang telah menghadirkannya ke dunia. Wanita yang senantiasa mendukungnya menjalani masa-masa sulit satu tahun terakhir ini. Mereka saling menguatkan setelah sama-sama kehilangan. Kehilangan lelaki yang sama-sama mereka cintai. Kepergian selamanya, tak akan pernah kembali lagi. Tak selesai begitu saja. Bahkan belum lagi kering air mata akibat kehilangan cinta pertamanya, pipi Wulan masih harus terus membasah. Perpisahan, meskipun dirinya yang meminta tetap saja menyakitkan rasanya. Bukan sakit karena perpisahan itu sendiri sebenarnya. Sakit yang terbesar adalah ketika menyadari dirinya telah dibohongi selama ini. Menghabiskan waktu dengan lelaki yang salah. Melabuhkan cinta kepada lelaki yang tak sepatutnya. "Tak ada. Menikmati malam saja. Kebetulan purnama begitu sempurna. Ibu belum tidur?" tanya Wulan sembari menggeser posisi duduknya, memberi
"Apa???"Jelas sekali Bu Yayuk tak dapat menutupi keterkejutannya. Bahkan suara wanita itu yang tadinya lirih berubah lebih tinggi tiba-tiba. "Jangan bercanda, Lan! Ibu tak suka!" ucap Bu Ayu dengan nada tegas. "Bu, Wulan tak bercanda. Memang demikian fakta yang sebenarnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah kenyataan yang ada."Akhirnya Wahyu ikut berbicara. Sebagai sulung keluarga Wiryawan, masalah ini jelas menjadi tanggung jawabnya. "Tapi bagaimana bisa? Bukankah pada saat Wulan dan Damar menikah jelas status keduanya sebagai gadis dan perjaka? Ibu tak mengerti. Sungguh-sungguh tak mengerti."Bu Yayuk semakin bingung. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan putranya. "Kalau untuk hal itu, Ibu jangan menanyakannya kepada Wulan. Damar tentu akan lebih dapat memberikan penjelasan."Tatapan mata Bu Yayuk berpindah ke arah Damar, menantu yang selama ini menjadi ke
Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy
"Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang
Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.
Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."
[Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m