Postingan Mas Aris di instagramnya benar-benar membuatku kesal. Bagaimana tidak? Aku ajak dia mudik untuk menengok ibu, jawabannya nggak ada libur plus nggak ada duit. Tapi nyatanya baru empat hari kutinggal mudik dia justru piknik dengan teman-teman kantornya di pantai.
Bahkan saat kukirimkan pesan soal ibu yang masuk klinik pun dia hanya mengucapkan doa kesembuhan tanpa inisiatif mencari dana untuk membayar perawatan. Beruntung sakit ibu nggak parah, hanya dua hari saja di klinik, itu pun bisa pakai bp*s yang gratis lalu diizinkan pulang.
|Piknik tipis-tipis, mantai dan weekend sembari menikmati indahnya debur ombak ramai-ramai|
Dia upload beberapa foto dengan caption mengesalkan. Caption yang mengundang banyak komentar teman-temannya. Begitu pula komentar Mbak Yuli dan Mbak Heny.
|Keren ya pantainya, Mas. Seru tuh, mertua sakit bukannya ditengok malah asyik piknik. Bini minta duit buat mudik disuruh ngutang, eh duit dipakai buat liburan dong. Astaghfirullah, jangan terlalu perhitungan sama bini sendiri, Mas. Hati-hati azabNya pedih|
Kukirimkan komentar di sana. Biar saja semakin riuh seperti di grup w******p keluarga besar tempo hari. Aku tahu aku salah menyebar aib suami. Tapi kuperingatkan baik-baik dia selalu tak peduli bahkan nasehatku hanya dianggap angin lalu. Mungkin memang benar kata orang, sesekali dipermalukan biar sadar daripada keterusan pingsan.
"Wit!" Panggilan ibu mengagetkanku. Aku menoleh cepat ke arahnya.
"Kamu dapat uang darimana buat bayar rawat inap ibu, Wita?" tanya ibu saat kusuapi sup ayam dan bubur untuk sarapan. Aku tersenyum menatap ibu yang mulai menua.
"Kemarin kamu bilang nggak ada uang, kan?" tanya ibu lagi.
"Ada, Bu. Wita sudah gajian," balasku singkat. Ibu semakin mengerutkan alis, mungkin bingung aku mendapat gaji darimana sementara ibu tahu aku nggak bekerja.
"Gaji darimana? Bukannya kamu nggak kerja?" tanya ibu kemudian, tepat seperti dugaanku.
"Wita gajiannya dollar ibu, bulan ini dapat 170 dollar jadi lumayan dua juta lebih, bisa buat bayar klinik dan belanja. Wita mau beliin Zahra tas, sepatu, sandal sama baju baru. Ibu sama bapak nanti juga Wita beliin sekalian, ya? Atau ibu mau ikut ke pasar?"
Ibu berpikir sejenak lalu kembali mendongak. Sepertinya masih belum mengerti dengan penjelasanku.
"Ini loh, Bu. Wita bikin youtube dengan nama Lasdafoo Handmade(Cek yuk, Kak heheh). Isinya tentang cara membuat kerajinan tangan. Sudah banyak video di sini, kalau banyak yang nonton nanti Wita dapat duit, Bu. Hitungannya dollar, 1 dollarnya sekitar empat belas ribu rupiah," ucapku menjelaskan cukup detail agar ibu mengerti dan tak salah paham. Terlihat ibu manggut-manggut paham.
"Alhamdulillah ya, Wit. Kamu punya penghasilan sendiri, nggak hanya menunggu gajian suami seperti yang tetangga-tetangga bilang," ucap ibu lirih.
"Maksud ibu gimana? Tetangga bilang apa?"
"Itu si Desy sama Bella katanya sering lihat status kakak ipar kamu, selalu bilang kalau punya ipar benalu yang cuma bisa menghabiskan gaji suami. Ipar yang dia maksud pasti kamu, kan? Cuma kamu ipar Si Yuli itu," ucap ibu lagi.
Mungkin berita yang ibu dengar benar adanya. Beberapa tetanggaku memang berteman dengan Mbak Yuli di media sosial, sepertinya Mbak Yuli sengaja mengirim pertemanan dengan mereka. Sengaja pula bikin status-status panas supaya para tetangga membaca statusnya dan lapor pada bapak dan ibu. Tak hanya iri dengki tapi dia memang jahat dan licik!
"Tapi beruntung kata mereka Aris nggak pernah bikin status aneh-aneh. Biarlah kalau cuma ipar, nggak perlu diambil hati. Nanti juga diam sendiri kalau lihat kamu mandiri," ucap ibu lagi dengan senyum tipisnya.
Aku hanya menghembuskan napas panjang. Aku jadi curiga, jangan-jangan ibu sakit-sakitan karena mendengar berita tak enak dari postingan Mbak Yuli itu? Ah, kalau saja ibu sudah lebih sehat, akan aku perlihatkan sekalian screenshotanku kemarin pada ibu, tapi untuk saat ini masih kusimpan sendiri.
Aku tak ingin ibu kembali drop dan kembali masuk klinik jika mendengar kenyataan dan melihat bukti menantunya memang sudah tak seperti dulu lagi.
"Kamu kenapa melamun, Wit?" Pertanyaan ibu cukup mengagetkanku.
"Nggak, Bu. Pokoknya sekarang ibu tenang saja, ya? Tiap bulan Wita akan kirim uang buat ibu. Ibu pengin beli makanan apa, InsyaAllah Wita belikan. Sekarang ibu sama bapak sudah tua, kalau ada kabar aneh-aneh jangan diambil pusing. Wita nggak mau ibu banyak pikiran dan jatuh sakit lagi," ucapku panjang. Ibu pun mengangguk pelan kembali, dengan senyumnya yang menenangkan.
💕💕💕
Saat ke pasar, banyak sekali pesan masuk ke ponsel. Termasuk panggilan Mas Aris berulang kali namun kuhiraukan saja. Aku masih asyik memilihkan sepatu buat Zahra. Aku bahagia sekali melihat anak perempuanku itu tersenyum senang bahkan lompat-lompat kegirangan saat kami sudah sampai di rumah.
Beberapa belanjaan ada di atas kasur. Tas sekolah, sepatu dua pasang, sandal dan gamis untuk Zahra. Aku juga membelikan ibu mukena dan daster baru sedangkan bapak kubelikan sarung, koko dan sajadah baru. Untukku sendiri cukup membeli satu gamis dengan merk tertentu, sedikit mahal tak apa lah sesekali memberi reward diri sendiri. Aku juga ingin bahagia.
Kedua orang tuaku tersenyum senang melihat tingkah lucu cucu kesayangannya. Mereka tak kalah bahagianya seperti Zahra bahkan ibu sudah sempat menceritakan pekerjaanku sekarang pada tetangga saking bahagianya.
"Bu, Zahra foto dulu ya belanjaannya sebelum dicuci," ucap Zahra kemudian setelah mencoba sepatu di kaki mungilnya. Aku iyakan saja, tak ingin menggoreskan kebahagiaan yang baru saja datang jika melarangnya.
"Buat apa difoto segala?" tanyaku iseng.
"Nggak apa-apa, Bu. Zahra mau tunjukkan ke Nissa kalau ibu hebat. Bisa dapat uang banyak tanpa harus meninggalkan Zahra sendirian," ucap Zahra lagi dengan senyum manisnya.
Ide g1laku muncul juga. Foto dari Zahra dengan belanjaan lengkap sekalian punya bapak dan ibu sengaja kubuat status w******p aku setting khusus untuk keluarga besar dan Mas Aris saja. Biar mereka saja yang melihat dan bertanya-tanya darimana aku mendapatkan uang untuk membeli semuanya.
|Alhamdulillah, akhirnya bisa juga membeli semua ini dengan gaji sendiri. Senang banget pokoknya bisa membuat ibu, bapak dan Zahra tersenyum bahagia. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya padaku|
Klik. Status muncul sudah dengan belanjaan di atas ranjang. Senyumku mulai mengembang saat beberapa orang yang kutuju mulai melihat statusku. Bahkan Mbak Yuli membuat status tandingan.
|Duit dari ngutang saja pamer. Sok-sok an bilang duit sendiri. Caper banget jadi perempuan. Paling juga barang murahan, sudah kayak branded an semua|
Aku hanya tersenyum sinis membaca status Mbak Yuli. Dia mulai kepanasan atau iri dengki? Ya ... mungkin memang lebih pas disebut iri! Senang jika melihat orang lain susah dan susah jika melihat orang lain bahagia.
Tunggu tanggal mainnya, Mbak. Kamu pasti akan semakin kepanasan nanti. Makanya jangan iri melihat kebahagiaan orang lain agar hidupmu tak banyak drama!
💕💕💕
Hari ini jalan-jalan ke pantai Ngrenehan Jogjakarta untuk menikmati pemandangan menyejukkan mata. Saat lapar mulai melanda, bisa menyewa tempat makan untuk sekalian dimasakkan ikan segar sesuai menu yang kita minta, karena di sana banyak sekali perahu nelayan yang setiap pagi mendarat membawa berbagai jenis ikan segar. Setelah agak siang, kami ke Pasar Beringharjo untuk membeli beberapa jilbab buat ibu dan kaos dan celana pendek bapak. Tak lupa membeli perabot memasak dan aneka camilan. Agak sore kami ke Malioboro. Menikmati suasana malam kota Jogjakarta yang selalu dirindukan banyak orang. Aku sengaja menyewa rental milik tetangga dan mengajak Zahra, ibu dan bapak piknik bersama. Bahagia sekali rasanya melihat mereka tersenyum dan tertawa menikmati piknik sederhana hari ini. Jarang sekali aku bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini bersama mereka. |Alhamdulillah, gajian bulan ini bisa untuk piknik sederhana bersama keluarga. Bahagianya melihat
Masa libur Zahra masih seminggu lagi, tapi tak apa lah. Aku harus pulang karena besok ada family gathering di kantor Mas Aris. Tahun lalu aku nggak ikut karena kurang fit, tapi kali ini entah mengapa ada perasaan lain yang mendorongku untuk ikut. Jam tujuh pagi aku dan Zahra sampai terminal Pulo Gadung, segera turun dari bus untuk naik angkot menuju rumah. Zahra masih terlihat begitu mengantuk saat kubangunkan dari bus, namun senyumnya kembali mengembang saat tahu sudah sampai Jakarta, yang artinya sebentar lagi sampai rumah. Bisa istirahat dan selonjoran sepuasnya. Turun dari angkot, kulihat suasana rumah cukup ramai. Ada motor Mbak Arum dan Mbak Aruna di sana. Suara Mbak Yuli pun terdengar di dalam rumah. Mereka tertawa bersama seolah begitu bahagia. Entah ada acara apa sampai mereka sudah berkumpul sepagi ini. Aku dan Zahra perlahan memasuki halaman. Baru saja melangkah ke teras, kudengar Mbak Yuli mulai menyebut namaku. Kuurungkan memasuki teras bah
"Zahra, kemarin saat di rumah nenekmu kamu jalan-jalan terus, ya?" tanya Annisa pelan. Sepertinya dia ingin mendengarkan cerita Zahra saat di rumah neneknya. "Jalan-jalan sehari doang, Nis. Cuma ke beberapa tempat, ke pantai, ke pasar sama ke Malioboro," ucap Zahra senang. "Kata mama, kamu beli baju, sepatu sama sandal baru, ya?" "Iya, Nisa. Beli di pasar sama ibu sekalian beliin nenek dan kakek juga," ucap Zahra lagi. Dua anak itu berbincang-bincang di depan teras rumah mbak yuli. Tiba-tiba kulihat Mbak Yuli ikut menimpali. "Baju sama sandal murahan, Nisa. Kamu nggak usah iri. Tuh lihat sandalnya paling harga tiga puluh ribuan, namanya juga di pasar bukan sandal branded kayak punya kamu. Dipakai dua bulan juga udah rusak itu nanti," ucap Mbak Yuli tiba-tiba. Aku masih di samping rumah Mbak Yuli, tepatnya di counter Mas Adit saat kudengar Mbak Yuli tiba-tiba nimbrung obrolan dua bocah itu. Suaranya cukup keras hingga aku bi
"Kamu nggak mau pakai gamis yang aku beli?" tanya Mas Aris tiba-tiba saat aku masih mematut diri di depan kaca. Zahra sudah tampil cantik dan sederhana dengan balutan gamis yang kubeli beberapa waktu lalu serta sandal berwarna senada. Meski murah tetap saja cantik untuk anakku, yang penting dia bahagia. Tak dihitung berapa nominalnya. "Aku sudah beli gamis sendiri, Mas. Terima kasih," balasku singkat sembari membenarkan hijab yang sedikit kurang pas di dahi. Mas Aris menatapku beberapa saat lamanya lalu menghembuskan napas panjang. "Terserah. Yang penting aku sudah berusaha membelikannya," balasnya singkat. Aku hanya mengangkat alis cepat lalu kembali ke depan kaca dengan memoles sedikit lip blam ke bibir. 'Kamu cantik, Wita. Hanya saja nasibmu yang belum secantik wajahmu' Batinku memuji diri sendiri. Tak apalah, daripada nggak ada yang memuji sama sekali. "Ibu, hari ini ibu terlihat sangat cantik dengan gam
Jam lima sore aku dan Mas Aris juga Zahra sudah sampai di halaman rumah setelah seharian bermain pasir di Ancol. Sejak pertemuan dengan Mas Hanan tadi siang, Mas Aris mendadak diam. Apalagi saat Mas Hanan bilang sangat bersyukur bisa bertemu denganku lagi di kota ini setelah sepuluh tahun tak bertemu karena suatu hal, wajah Mas Aris berubah seketika. Dia benar-benar tak suka. Tampak jelas dari sorot mata dan aura wajahnya yang tak bersahabat, meski Mas Hanan sering kali mengajaknya bicara dan bercanda layaknya karyawan yang lain. Namun Mas Aris terlalu menjaga jarak bahkan begitu terlihat malas saat Mas Hanan memperkenalkan pada semua karyawan bahwa dia lah direktur baru di kantor dan akan membuat terobosan baru untuk memajukan perusahaan. Tepuk tangan terdengar riuh, namun Mas Aris seolah enggan untuk ikut bertepuk tangan apalagi melayangkan sebuah senyuman. Aku pun tak tahu mengapa Mas Aris mendadak tak ingin kuajak bicara juga. Selalu
"Assalamu'alaikum, Bu. Gimana kabarnya? Ibu sudah sehat, kan?" tanyaku pada ibu via telepon. Sejak mudik tiga minggu lalu aku memang sering menelepon ibu, menanyakan kabarnya sudah membaik atau belum. Rasanya aku sudah cukup lelah, menunggu perubahan Mas Aris, namun nyatanya sia-sia belaka. Akhir-akhir ini dia justru semakin beringas, nggak jelas. Dia selalu menyindir hubunganku dengan Mas Hanan. Padahal pasca family gathering waktu itu sampai sekarang pun aku nggak pernah bertemu dengannya. Jangankan bertemu, sekadar berhubungan via maya aja nggak pernah. Namun sepertinya Mas Aris tak percaya, sering kali curi-curi pandang saat aku menelepon atau kirim pesan dengan seseorang. "W*'alaikumsalam, Wit. Alhamdulillah ibu sudah sehat. Justru ibu mengkhawatirkan kamu," jawab ibu lirih. Seperti ada beban yang dia pikirkan, entah apa. "Khawatir soal apa, Bu? Wita baik-baik saja kok. Zahra juga," ucapku lagi. Kudengar hembusan
"Kamu nelepon siapa, Wit? Ibu? Ngomong apa kamu sama ibu?" tanya Mas Aris tiba-tiba dari ambang pintu. Dia menatapku begitu tajam dengan tatapan tak bersahabat. Aku hanya menghembuskan napas panjang lalu menggelengkan kepala. Tak mungkin aku jujur pada Mas Aris tentang obrolanku dengan ibu. Biar saja menjadi kejutan buat dia nanti jika tiba-tiba ada panggilan sidang atas namanya. "Wita! Ngobrol apa kamu sama ibu?" tanya Mas Aris lagi. Sepertinya dia begitu ingin tahu atau justru hanya ingin mengorek kejujuranku? Aku tak tahu sejak kapan dia berada di ambang pintu.Sejak aku menelepon ibu atau baru saja dia ke luar saat aku sudah mengakhiri obrolan dengan ibu. Ah entah lah. "Ngobrol seperti biasanya, Mas. Memangnya kenapa? Kamu juga nggak pernah mau ngobrol dengan ibu, kan?" tanyaku asal. Mas Aris hanya menatapku beberapa saat lalu kembali masuk ke kamar. Gegas kusiapkan makan untuk Zahra, tadi dia minta dibikinkan orak-arik telur pada
Adzan subuh sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Gegas kulakukan kewajiban untuk sujud padaNya, tak lupa membangunkan Zahra untuk ikut serta. Dia memang terbiasa bangun subuh seperti yang kulakukan, lebih tepatnya memaksakan dan membiasakan hingga dia menjadi terbiasa tanpa paksaan. Setelah selesai salat subuh, dia membaca buku-buku pelajaran di kamar, sedangkan aku mulai sibuk di dapur sembari memutar pakaian di mesin cuci. Ada banyak agenda yang harus kukerjakan hari ini, jadi sebisa mungkin urusan rumah selesai sebelum mengantar Zahra sekolah.Sudah kusiapkan beberapa berkas untuk gugatan ke pengadilan. Surat nikah asli dan kartu keluarga sudah kusimpan rapi. Aku nggak akan membiarkan Mbak Yuli mengambilnya dariku, apalagi menggagalkan rencanaku ini. Beruntung aku mendengar percakapan Mbak Yuli dan Mas Aris via telepon kemarin. Jadi aku bisa gerak cepat sebelum terlambat. "Ngapain sih kamu bucin b
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin