Adzan subuh sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Gegas kulakukan kewajiban untuk sujud padaNya, tak lupa membangunkan Zahra untuk ikut serta.
Dia memang terbiasa bangun subuh seperti yang kulakukan, lebih tepatnya memaksakan dan membiasakan hingga dia menjadi terbiasa tanpa paksaan.
Setelah selesai salat subuh, dia membaca buku-buku pelajaran di kamar, sedangkan aku mulai sibuk di dapur sembari memutar pakaian di mesin cuci.
Ada banyak agenda yang harus kukerjakan hari ini, jadi sebisa mungkin urusan rumah selesai sebelum mengantar Zahra sekolah.
Sudah kusiapkan beberapa berkas untuk gugatan ke pengadilan.Surat nikah asli dan kartu keluarga sudah kusimpan rapi. Aku nggak akan membiarkan Mbak Yuli mengambilnya dariku, apalagi menggagalkan rencanaku ini.
Beruntung aku mendengar percakapan Mbak Yuli dan Mas Aris via telepon kemarin. Jadi aku bisa gerak cepat sebelum terlambat.
"Ngapain sih kamu bucin b
Aku menjemput Zahra di sekolahnya beberapa menit sebelum jam pulang. Kulihat Mbak Yuli bersungut-sungut kesal sembari memarkirkan motor maticnya.Aku pura-pura tak melihat saat dia sibuk ngobrol dengan Bu Indah dan Bu Sila di tempat parkir, sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang mereka gunjingkan."Ada loh Bu-Ibu yang suaminya sakit tapi malah mau gugat cerai."Suara seseorang membuatku sedikit tersentak. Aku masih diam saja pura-pura tak mendengar.Biar si julid itu puas berteriak terlebih dahulu baru nanti kubalas dengan sindiran tajam. Setajam silet pokoknya!"Masa sih, Jeng? Siapa memangnya tega banget suami lagi sakit malah urus gugatan," ucap Bu Indah sedikit keras sembari melirikku.Sindiran dan lirikan mereka jelas-jelas tertuju padaku. Aku tahu itu tapi masih pura-pura tak mendengar pun tak melihat.Biar saja. Masih mencoba untuk santai, sejauh mana mereka terus menyindirku."Beneran ada kok perempuan b
Mulutku ternganga saat melihat fotoku bersama Zahra dan Mas Hanan di depan tempat parkir rumah sakit tadi sudah mampir di grup whatsapp keluarga besar, menjadi topik pembahasan yang seru sepertinya. Tak peduli benar atau tidak yang penting ghibah aja dulu.Foto yang seharusnya bertiga dengan Zahra entah mengapa hanya tinggal aku dan Mas Hanan saja. Iya, berdua!Sengaja dipotong sedemikian rupa dengan menghilangkan jejak Zahra di sana. Seolah-olah memang hanya ada aku dan Mas Hanan sengaja meluangkan waktu untuk bertemu tanpa ada yang mengganggu.Mereka memang kurang kerjaan. Setelah aku telusuri sampai chat teratas, Mbak Aruna lah yang mengirimkan fotoku di depan rumah sakit itu dengan pesan yang menyakitkan.|Apa gara-gara laki-laki ini si Wita melakukan gugatan? Emang ganteng sih dan sepertinya berduit. Tapi harusnya ngerti sikon lah ya, suami masih rawat inap bisa-bisanya kencan dengan laki-laki lain. Minta cerai pula, entah di
|Wit, kalau kamu sama Aris jadi pisah, nanti pulang ke Solo saja, ya? Daripada di sana nanti gimana hidup kamu sama Zahra? Ibu nggak tega lihat kalian menderita|Kulihat pesan dari ibu yang terkirim beberapa menit lalu. Ibu pasti sangat mengkhawatirkanku dan Zahra saat ini.Takut jika kami terlantar atau kekurangan. Tapi aku sudah pikirkan dan putuskan untuk tetap tinggal di sini setelah perceraian nanti.Entah mengapa aku yakin akan sukses di kota ini nanti. Sekalian membuktikan pada Mas Aris, Mbak Yuli dan keluarga besarnya bahwa aku bisa mandiri dan tak mati terlantar hanya karena pisah dengan Mas Aris!Sudah tiga minggu belakangan aku mulai menjual kerajinan tangan yang aku buat, membuat contoh satu biji untuk konten youtube lalu memotretnya guna promosi di media sosial.Tak menyangka jika responnya benar-benar positif bahkan sudah seminggu ini aku dikejar-kejar orderan online, bros hijab atau tuspin hijab puluhan lusin.Usah
"Kamu masih di sini, Wit?" tanya Mbak Yuli saat memarkirkan motornya di halaman. Aku masih sibuk mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman pot di teras."Maksudmu apa, Mbak?" tanyaku singkat tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya."Kalau kamu gugat Aris, harusnya kamu tahu diri dong, Wit!" Bentak Mbak Yuli tiba-tiba.Astaghfirullah itu orang, pagi-pagi sudah cari gara-gara aja. Maunya apa coba?Aku berdiri tegak menghadapnya yang mulai melangkah ke teras sembari membawa sekantong kresek entah apa."Maksudmu apalagi nih, Mbak? Pagi-pagi mau cari gara-gara, ya?" balasku cepat.Mbak Yuli tampak bersungut kesal sembari menjatuhkan bobotnya ke kursi kayu yang tertata di teras rumah. Dia letakkan kantong kresek di atas meja."Kalau kamu sudah nggak cinta sama adikku, harusnya tahu diri. Pergi dari sini. Bukannya enak-enakan di sini!" Bentaknya lagi.Gegas kucuci tangan lalu sengaja meladeni dia, maunya apa
Pagi-pagi sekali aku sudah siap-siap pindah kontrakan. Sederhana nggak apa-apa asalkan aku dan Zahra bahagia. Nggak tertekan seperti ini, apalagi dua hari lagi sidang perdana dimulai.Berulang kali Mas Aris memintaku untuk memikirkan lagi dan lagi soal gugatan itu. Tapi aku tak peduli. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah. Tak tahan hidup berdampingan dengan orang-orang toxic macam mereka.Sudah cukup lama aku memberinya waktu. Berulang kali pula aku memberinya kesempatan. Namun diabaikan. Jikalaupun sekarang aku menunda, yang ada aku justru semakin diremehkan keluarga besarnya. Aku tak sudi.Belum tentu juga Mas Aris berubah jika kuberi kesempatan lagi. Iya, kan? Sudahlah. Jika memang nanti ditakdirkan kembali itu urusan lain. Yang penting sekarang keputusanku sudah bulat untuk bercerai.Baru jam delapan pagi, Mbak Yuli dan Annisa sudah datang. Aku yakin, mereka pasti mau merecoki lagi.Apa dia sengaja ingin memanas-manasiku so
"Kalau bapak nggak mau kasih tahu ini kiriman dari siapa, saya juga nggak mau menerima walaupun gratis, Pak. karena saya nggak pesan, jadi nggak mungkin saya terima begitu saja, kan?" ucapku pada bapak itu yang mengangguk-angguk pelan."Benar juga, ya, Bu," balasnya singkat lalu menelepon seseorang entah siapa.Dia pergi sedikit menjauh dari pintu kontrakanku yang terbuka. Beberapa tetangga sampai keluar kontrakan karena mungkin cukup berisik.Mobil bak terbuka itu pun masih parkir tak jauh dari tempatku sekarang berdiri, menunggu Si Bapak kembali.Tak selang lama, Si Bapak melangkah tergesa ke arahku sembari memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Dia tersenyum tipis setelah sampai di sampingku."Bagaimana, Pak? Dari siapa ini? Atau mungkin Bapak salah kirim?" tanyaku serius."Nggak salah kirim, Bu. Kata pengirimnya, ini sengaja buat ibu karena dia pengagum rahasia ibu gitu, katanya. Dia juga tahu kok nama lengkap ibu
Sejak pesan pertama beberapa hari lalu, Mas Hanan sering kali menghubungiku. Dia minta waktu untuk bertemu, akan menjelaskan dan menceritakan alasannya sepuluh tahun lalu kenapa menghilang begitu saja.Ah, tapi sepertinya aku sudah mati rasa. Kecewa dan benci yang dulu terpatri dalam dada rasanya begitu sulit terobati. Dia mengecewakan aku, di saat aku mulai mempercayai semua janji-janjinya.Perih dan sakit. Bahkan mungkin seperti tersayat sembilu. Saat para tetangga tahu kapan dia akan menikah denganku, bukan aku yang cerita.Namun dia sendiri yang menceritakan keinginannya untuk mempersuntingku dengan segera. Tapi apa buktinya?Dia justru menghilang begitu saja tanpa segores kabar berita. Hati perempuan mana yang tak sakit? Hati wanita mana yang tak terluka?Bukannya diberi setitik penjelasan, dia justru lenyap seolah tak ada beban. Sementara aku harus terus mendapatkan beraneka macam cibiran dan gunjingan.Berulang kali dia me
Pesanan aksesoris hijab lima gross dengan harga 35.000/pics menjadi agendaku minggu ini.Aku buat aksesoris hijab ini menggunakan kristal dan dijahit satu-satu, berukuran mini tapi elegan dan cantik sangat cocok buat dipajang di toko muslimah apalagi butik.Untuk sementara aku tutup toko online karena ingin fokus mengejar pesanan ini sampai kelar.Pesanan sebelumnya sudah aku kerjakan dan kirim semua. Kini bisa lebih fokus untuk mengerjakan pesanan spesial ini beberapa minggu ke depan.Beberapa hari belakangan aku pun mulai sibuk mengajari tiga orang ibu muda yang niat untuk membantuku menggarap pesanan.Mereka cukup sabar dan telaten meski hasilnya belum sebagus bikinanku. Tapi setidaknya aku lihat ada usaha maksimal yang mereka lakukan."Punya Mbak Mayang sama Mbak Uni sudah cukup rapi ini. Kita bikin lima model dengan sepuluh warna yang berbeda ya, Mbak," ucapku kemudian. Mereka pun mengangguk nyaris bersamaan.Ak
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin