Dengan langkah terburu-buru Kinar melenggang menuju rumah, begitu turun dari bis. Berjalan sendirian karena Linda tidak masuk kerja. Rasa lelah dan lapar yang mendera membuat Kinar ngin segera sampai rumah. Ia begitu kelelahan di kantor karena banyak berkas proposal yang harus diperiksanya sebelum dilaporkan pada pimpinan.
"Oalah ... Mbak Kinar baru pulang? Ada tamu cowok di rumahnya, lho, Mbak!" seru seorang tetangga, saat Kinar sampai di depan rumah tetangga tersebut, yang berselang tiga rumah dari rumahnya. Kinar lantas menanggapinya hanya dengan tersenyum tipis. "Siapa sih?" batin Kinar sambil berjalan menuju rumah.Rasa penasaran seketika menelusup dalam dada Kinar, menggantikan rasa lapar yang menderanya.Kendaraan roda dua model sport telah terparkir di halaman rumah dan sepasang sendal juga terlihat di depan teras."Dia lagi, dia lagi! Nyebelin banget nih orang. Mau apa sih, dia?" gerutu Kinar dalam batin karena tahu jika yang bertamu di rumahnya adalah Galang. Laki-laki yang begitu nekat menurut Kinar."Assalaamu'alaikum ...," sapa Kinar begitu memasuki rumah."Wa'alaikumsalam, Nar!" Bukan ibunya atau sang adik yang membalas salam Kinar, melainkan Galang."Iya!" sahut Kinar ketus seraya melangkah menuju kamar dan mengabaikan Galang yang duduk di ruang tamu.Kinar melepas lelah dengan merebahkan diri di kasur, walau perutnya terasa melilit minta diisi. Maklum, tadi di kantor ia tidak sempat makan di kantin saat jam istirahat."Kinar!" panggil Widya begitu memasuki kamar anak gadisnya tersebut. "Galang tadi minta ijin sama Ibu, mau ngajak kamu jalan-jalan, katanya," lanjut Widya membuat Kinar terkejut."Maleslah, Bu. Dia itu dari kemarin nyamperin Kinar di kantor, Bu. Nyebelin tau, Bu.""Gak boleh, gitu sama laki-laki. Jangan kasar! Kalau hari ini gak mau, tolak dengan cara yang halus. Banyak cowok kalau merasa dikasari bisa berbuat nekat, Kinar. Apalagi sama kamu yang judes gitu." Widya berusaha menasihati Kinar. "Ibu mau temui dia dulu. Kamu cepetan nyusul keluar," omel Widya lagi membuat Kinar merasa kesal.Kinar berdiri di depan cermin, mengikat rambut agar terlihat rapi setelah berantakan karena rebahan. Ia bergegas keluar kamar menemui Galang di ruang tamu yang sejak tadi ngobrol dengan Widya."Aku udah ijin sama Ibu. Mau gak nemenin jalan-jalan, Nar?" ujar Galang begitu Kinar menemuinya di ruang tamu. Gadis itu duduk di samping sang ibu."Maaf ya, Mas ... lain kali aja. Hari ini aku capek banget," tolak Kinar sambil tersenyum kecut."Gak papa, kalau kamu hari ini capek. Semoga besok-besok kamu gak nolak ajakanku. Ya udah aku pamit dulu kalau gitu. Soalnya aku udah dari tadi nungguin kamu pulang." Ada gurat rasa kecewa di wajah Galang, saat berpamitan pulang.Kinar lantas mengantar Galang hingga jalan depan halaman rumah, begitu laki-laki itu berpamitan pada sang ibu. Kinar menyaksikan punggung Galang yang perlahan menghilang.***"Kinar! Kamu kemarin nyuruh Galang ngambil fotomu, ya?" tanya ayahnya saat mereka berkumpul di ruang keluarga sambil nonton TV."Foto apa, Pak?" jawab Kinar sambil bertanya karena bingung akan pertanyaan sang ayah."Ya, fotomu, lah!""Kinar gak ngerasa dimintai foto sama Galang, Pak.""Bener, kan? Bapak udah ngerasa kalau ini cuma akal-akalannya Galang aja ngomong sama adikmu. Tau, deh, nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu, Nar," gerutu Ridwan saat ia merasakan firasat buruk yang akan terjadi pada anak gadisnya tersebut."Maksud, Bapak?""Bapak tuh ngerasa ada yang gak beres sama Galang itu, meskipun Bapak baru dua kali bertemu. Moga aja apa yang Bapak rasakan salah, Nar. Waktu adikmu cerita, Bapak juga udah nyangkal, gak mungkin kamu ngasih foto sembarangan sama laki-laki."Kinar tampak termenung, mendadak memikirkan ucapan sang ayah tentang Galang. Rasa takut seketika menyergap dalam dadanya."Dasar kurang ajar banget, memang. Berani-beraninya nyuri foto orang. Mana pura-pura udah izin sama aku, lagi. Dasar! Gak mungkinlah, aku ngasih foto sembarangan, apalagi baru kenal." Kinar menggerutu sekaligus mengumpat dalam batin.***Sejak kejadian Galang mengambil foto tanpa sepengetahuannya, Kinar makin kesal saja. Apalagi ucapan ayahnya masih terngiang di telinganya. Kinar merasa sang ayah seolah-olah cemas dan takut jika hal buruk terjadi padanya.Kinar merasa lega, telah tiga hari Galang tak menampakkan batang hidungnya. Kinar mengira kalau Galang saat ini tengah merasakan kecewa karena tawarannya menjemput di kantor hingga ajakan jalan-jalan juga ditolak."Tumben, Galang kok gak main ke sini lagi, ya, Nar?" tanya Widya ketika masuk ke kamar anak gadisnya itu dengan membawa setumpuk baju yang telah terlipat rapi. Kinar terdiam, tak segera menjawab tanya sang ibu."Bakalan panjang nih, kalau Ibu udah tanya tentang mahkluk menyebalkan itu." gumam Kinar dalam batin."Nar ...!""I-iya, Bu. Kinar gak tau juga, mungkin dia sibuk.""Mungkin juga, kali, ya?"Sejenak Kinar menatap sang ibu yang merapikan keranjang baju di samping lemari. Tak berapa lama, wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu keluar, setelah suara sang suami terdengar memanggilnya.Hari ini Kinar libur dari kantor. Ia sengaja mengurung diri di rumah, melepas lelah."Mbak Kinar! Dicari Mas Galang, tuh!" panggil Dayu yang berdiri di pintu kamar Kinar yang dalam keadaan terbuka. Padahal, Kinar tampak sedang santai rebahan."Siapa?""Dih, pura-pura gak denger, nih! Mas Galang, Mbak!""Ih ... ngapain lagi sih, itu orang nyariin aku mulu. Sebel, deh!""Tau!" ujar sang adik seraya membuka kedua tangan dan tatapannya seolah-olah meledek Kinar yang memasang muka sebal itu.Kinar bangun dari rebahan, kemudian keluar kamar setelah memastikan tampilannya di depan cermin. Ia terpaksa untuk menemui Galang."Sengaja ke sini atau mampir?" tanya Kinar mencoba basa-basi sekenanya."Sengaja ke sini, pengen ketemu kamu, Nar. Kangen, dah berapa hari gak ketemu rasanya udah kayak setahun," sahut Galang, kemudian menutup mulut dengan tangannya, menahan tawa. Laki-laki itu seolah tak peduli, meskipun Kinar telah bersikap jutek."Idih! Orang jelek gini kok dikangenin?""Kamu yang bilang, ya? Menurutku kamu manis kok, Nar. Hari ini libur, kan? Jalan-jalan, yuk!""Jalan-jalan?"Galang mengangguk. Berkali-kali dia menampilkan senyumnya yang menawan."Sialan! Meskipun udah ditolak berkali-kali nih orang, masih aja ngajakin jalan." Kinar mengumpat dalam hati laki-laki di hadapannya itu."Mau, kan? Mau ya!""Ya udah, aku ganti baju dulu. Tapi eit ... tunggu dulu! Kamu harus janji kalau jalan-jalannya hanya sebentar. Sebelum maghrib, kamu harus udah nganterin aku sampai rumah dan aku gak mau jauh-jauh. Oke!""Siap, Cantik!"Kinar selalu berpikir kotor mengenai laki-laki setelah berulang kali tersakiti, bahkan ia trauma. Makanya ajakan jalan Galang kali ini, memaksanya untuk waspada. Pikiran takut Galang berbuat macam-macam di jalan seketika berkelebat di benaknya.Dengan mengenakan kaus berbalut jaket berbahan jeans dan bawahan celana panjang berbahan yang sama dengan jaket, Kinar mematut di depan cermin. Rambut lurusnya ia biarkan tergerai, tak lupa bedak warna nude menghias wajah, serta lipstik warna soft juga menghiasi bibirnya."Nah, gitu dong! Sesekali jalan sama cowok. Liburan kok cuma ngurung di rumah," canda Widya ketika anak gadisnya meminta izin, berpamitan.Widya tersenyum, kemudian mengantar Kinar hingga teras. Wanita itu menyaksikan sang anak gadis dan Galang jalan berdua mengendarai motor. Saat dalam perjalanan, sesekali Kinar merenggangkan letak duduk agar tidak menempel di punggung Galang. Tangannya pun berusaha berpegangan pada besi di belakang jok. Ia harus mawas diri, pikirnya."Mau Mas ajak ke mana, aku ini?" tanya Kinar sambil menepuk bahu Galang pelan. "Tenang aja! Aku akan mengajakmu ke tempat yang indah," balas Galang sambil menoleh. "Tempat indah gimana maksudnya?!" gertak Kinar yang mulai sewot."Ada deh!"Deg. Jan
Kinar seketika merasa kecewa dan menyesal, tetapi ia terlanjur memberi tantangan, dan Galang telah menerima tantangan tersebut."Ya udah, soal status gak masalah. Yang penting, kan, jadi laki-laki itu harus bisa bertanggung jawab kalau sudah jadi suami," jawab Kinar kemudian, setelah terdiam beberapa saat.Kali ini Kinar benar-benar hilang akal. Dia yang selama ini tidak mudah takluk dengan seorang laki-laki, tiba-tiba luluh di hadapan seorang duda bernama Galang."Ya udah pulang, yok!" ajak Galang sambil berdiri menyodorkan tangan menggapai Kinar agar bangkit dari duduk. "Sebentar lagi, ya! Aku, kok, tumben masih pengen menikmati angin di sini sama kamu, Mas."Galang menatap heran, batinnya tersenyum. Laki-laki itu merasa jika usahanya mulai menampakkan hasil.Kinar tiba-tiba menarik tangan Galang agar kembali duduk di sampingnya lagi. Gadis itu merasa aneh sendiri, mendadak menginginkan untuk duduk berlama-lama, berduaan dengan Galang.Dada Kinar makin bergetar hebat, usai ia memin
Tiga hari berlalu usai Kinar memberi tantangan pada Galang. Ia yang telah kembali pada rutinitasnya kini tampak tersengal-sengal begitu tiba di rumah sepulang dari kerja. Guratan lelah tercetak jelas di wajah ayu Kinar. Bagaimana tidak? Hari ini, ia dituntut menyelesaikan laporan pekerjaan sebelum masa kontrak kerjanya berakhir beberapa hari lagi."Assalamualaikum ... Kinar pulang, Bu," ucapnya sambil tersenyum kecut di hadapan Widya yang sedang berada di teras. "Gak dijemput, Galang? Kayaknya udah tiga hari ini, gak ke sini, ya, Nar?" tanya Widya yang berjalan tepat di belakang Kinar. Keduanya sama-sama masuk rumah."Gak, Bu. Kinar laper banget, mau makan dulu, Bu.""Mendingan mandi dulu, gih, biar seger!""Nanti aja, Bu, soalnya Kinar tadi gak sempat ke kantin. Kinar harus nyelesain laporan sebelum libur kontrak kerja abis, Bu," gerutu Kinar.Kinar sejenak menatap wajah ibunya yang tersenyum. Widya sangat paham jika anak gadisnya itu sedang kelelahan."Ya udah sana makan dulu, abis
Jantung Kinar berdegup makin kencang, menunggu dengan cemas kelanjutan tanggapan ayahnya dan juga Galang."Benar, Pak!" jawab Galang singkat. Secara bergantian Kinar memandang ke arah Galang dan juga sang bapak. Wajah Galang seketika bersemu merah, sepertinya ia juga menahan gugup. "Tapi sudah benar-benar cerai secara sah, kan? Disimpan akta cerainya?" cecar Ridwan kemudian."Iya, Pak.""Ya sudah. Kalau kamu serius sama Kinar ... bawa orangtuamu ke sini, sekalian akta ceraimu, ya!" seru Ridwan kemudian."Iya, Pak. Besok, kalau gak ada halangan, Bapak saya, saya ajak ke sini." Galang tersenyum sambil melirik ke arah Kinar, membuat gadis itu merasa lega usai mendengar pernyataan bapaknya."Ya udah, lanjut ngobrol sama Kinar, ya!" Ridwan kemudian meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. "Yes! Akhirnya aku diterima sebagai calon mantu!" pekik Galang sambil mendekatkan wajah ke wajah Kinar. Kedua tangan Galang juga terulur, mencubit lembut pipi Kinar karena gemas."Siapa bilang diterima
Galang yang mengenakan celana panjang berbahan jeans yang robek di bagian kedua lututnya, serta atasan kaus warna hitam bergambar tengkorak, tentu saja membuat Kinar syok setengah mati. Tak lupa laki-laki itu juga memakai jaket kulit sebagai lapisan luar pakaiannya, persis seorang rocker.Tak hanya penampilan luar yang melekat di tubuh Galang yang berubah. Bahkan, laki-laki itu juga membawa kendaraan roda dua lawas yang dimodifikasi. Benar-benar membuat Kinar sedikit syok."Idih! Gayanya rock n roll banget. Dan itu motor siapa lagi yang dibawa?" gerutu Kinar dalam batin. Gadis itu menunjukkan rasa tidak sukanya akan penampilan Galang saat ini."Keluar, yuk!" ajak Galang yang masih berdiri di teras. "Barusan adzan, aku mau sholat dulu. Mas, gak sholat, gitu?""Ya udah aku sholat dulu juga, Nar. Aku mau ke mesjid aja," balasnya.Kinar melirik ke arah celana panjang yang dipakai Galang. "Memangnya boleh, sholat pakai celana robek-robek kayak gitu?""Nanti pinjam sarung di masjid.""Ya
"Aku datang mau ngajak kamu. Ayuk buruan!" seru Galang yang telah menunggu Kinar di teras. "Bentar, napa? Ganti baju aja belum, apalagi kamu ngajaknya mendadak gini," protes Kinar.Kinar sengaja membalas ucapan laki-laki itu dengan ketus, lantaran sikapnya berubah sejak tadi malam. Dingin dan berwajah muram. Bahkan senyum menawan yang selalu tersungging di bibir Galang itu hilang seketika. "Gak usah dandan lama-lama!" teriak Galang lagi.Kinar sigap menuju kamar, berdandan sekenanya. Ia hanya memakai bawahan rok di bawah lutut berbahan jeans dan kemeja wanita motif kotak-kotak. Mayang menyapukan bedak ringan di wajah, kemudian memoles lipgloss di bibir agar tidak terlihat kering. Ia keluar kamar lagi dan siap memenuhi ajakan Galang.Kinar diam-diam merasa mulai bosan dan kesal dengan sikap Galang. Selama perjalanan gadis itu hanya terdiam, enggan bersuara. Mengingat sikap Galang yang dingin dan terkesan marah padanya, padahal Kinar tak merasa melakukan kesalahan."Sebenarnya aku mau
Jantung Kinar berdebar hebat saat Galang mendaratkan bibir di bibirnya. Laki-laki itu menciuminya dengan beringas untuk beberapa lama, kemudian melepaskan tautan bibir."Cukup! Stop, Mas, aku takut. Kita belum sah, Mas!" pekik Kinar sambil mencoba mendorong tubuh Galang, akan tetapi tenaganya tak cukup kuat dan tidak berhasil. Galang menatap lekat Kinar saat wajah itu mendongak. Duda tampan itu menyeringai, seakan-akan hendak menerjang tubuh Kinar. Seketika, Kinar gemetaran."Sebentar lagi kita nikah, Sayang. Kamu gak perlu takut," bujuk Galang sambil tangannya bergerak, membuka satu per satu kancing atasan yang dikenakan Kinar."Ya ampun, gimana ini?" rengek Kinar dalam batin sambil memejamkan mata. Kinar tampak tak kuasa menolak saat bibir laki-laki itu berlabuh ke bagian dada dan bermain-main cukup lama di sana. Tubuh gadis itu bergetar dan ada rasa yang berdesir aneh di urat syarafnya. Galang tidak berhenti di situ saja. Duda berwajah tampan itu mulai membuka kaus lengan panjan
Kecemasan yang menyelimuti batin Kinar, perlahan memudar begitu jalanan yang di kanan kirinya hutan karet terlewati. Bahkan, Kinar tersenyum lega saat memasuki jalanan yang sudah tak asing lagi baginya. Secara bersamaan, Galang juga mengurangi kecepatan."Bentar lagi sampai, kan? Makanya, kamu tenang aja," ujar Galang sambil menoleh. "Iya," jawabnya sambil menghela napas dalam, prasangka buruknya tak terjadi. "Awas kebablasan lagi, loh, Mas!" lanjut Kinar mengingatkan Galang agar berkonsentrasi menatap jalanan. Kendaraan yang dikemudikan Galang tiba di jalan depan masjid, kemudian belok masuk gang kecil menuju rumah Kinar. Gadis itu tersenyum lega, seakan-akan telah lupa dengan kejadian tadi, saat berada di rumah laki-laki itu.Begitu tiba di rumah, Kinar menatap kedua orangtuanya dan sang adik yang sedang duduk santai bersama di teras. Kinar dan Galang yang telah turun dari kendaraan, kemudian menghampiri mereka. Keduanya mencium hormat punggung tangan Ridwan dan Widya."Galang! Ba
Kinar tak menjawab sepatah kata pun, ketika sang bapak memberikan pilihan agar berpisah dari Galang. Terbesit di pikiran Kinar, ketakutan jika melahirkan tanpa suami serta menjanda di usia muda. Meskipun kedua orangtuanya itu memberikan jaminan untuk mengasuh buah hati yang dilahirkan Kinar, kelak.Hampir tiap hari buliran bening selalu menghiasi wajah Kinar. Bayang-bayang hidup tanpa suami dan cemoohan orang tentang figur seorang janda, datang silih berganti di kepalanya.Kinar menghela napas dalam, kemudian meraih air putih di gelas dan meneguknya tanpa sisa. Kemudian merebahkan tubuh lagi menghadap dinding kamar. Hampir tiap malam, ia sulit memejamkan mata. Sejak Galang selalu datang menjemput paksa dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor yang knalpotnya bersuara cempreng memekakkan telinga, Kinar merasa trauma.Hening. Hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin terdengar risau. Jam di dinding menunjukkan malam semakin merangkak naik. Kinar bangkit dari kasur dan melangkah k
Galang kemudian mendekat, lantas memeluk Kinar dengan erat sembari mengucap maaf berkali-kali.Mendengar itu, Kinar lantas merasa tersentuh dan berusaha memaafkan, meskipun itu hanya terucap dalam batinnya. Galang melepaskan pelukan, kemudian masih saja tak bergeser ke mana-mana sambil duduk meringkuk.Perlahan Kinar menarik lengan Galang dan mengajaknya tidur di kasur. Laki-laki itupun menurut saja dan segera membaringkan tubuh di samping Kinar.Keduanya lantas terlelap dengan posisi lengan Galang melingkar di pinggang Kinar hingga pagi.***Kinar berusaha membangunkan suaminya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tebal."Mas, bangun! Aku sudah bikinkan kopi buat kamu," ujar Kinar sembari menepuk pelan lengan Galang.Galang mengucek kemudian memicingkan mata ke arah Kinar. Sejurus kemudian, ia juga mengulas senyum."Makasih, ya, Sayang ...," ucap Galang dengan lembut membuat batin Kinar meleleh seketika.Kinar membalas dengan senyuman, sembari mengalunkan doa dalam hati,
Kinar ikut-ikutan menonton dan kelakuan pemeran antagonis di tayangan yang ditontonnya mirip sekali dengan kelakuan sang suami."Andai saja, Ibu tahu Mas Galang seperti itu, bagaimana lagi sikap Ibu, ya?" Kinar bertanya-tanya dalam batin. Ia lantas mengangkat sebelah tangan, memijit bagian pelipisnya yang menegang.Pandangan Kinar kabur, hingga layar televisi terlihat tak jelas. Lamunannya mengembara, mengenang betapa bencinya ia saat itu pada Galang. Anehnya, selang beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahnya, bayangan Galang selalu hadir di pelupuk mata Kinar. Lambat laun ia merindukan laki-laki itu, seolah-olah tiap waktu Kinar ingin menatap wajah Galang."Coba kalau Galang kayak laki-laki di tipi itu, Nar, udah Ibu tampar-tampar mukanya. Masak istri sebaik itu, kok, disakiti mulu? Hei, Nar! Walah, malah ngelamun!" seru Widya sembari menyentuh lengan Kinar. Seketika Kinar tersentak dan lamunannya buyar begitu saja."Em ... iya. Apa, Bu?" jawab Kinar terbata, karena tak mendengar
"Kinar ...?" sapa Widya yang tersentak kaget melihat Kinar berdiri di depan pintu. Sesaat, keheningan tercipta, kemudian Kinar dan sang ibu sama-sama mengulas senyum."Tumben, Ibu baru buka pintu?" tanya Kinar sembari menggandeng lengan dan bergelayut manja di pundak ibunya itu, saat memasuki rumah.Meskipun Widya telah melihat guratan jejak kesedihan di mata Kinar, wanita paruh baya itu sama sekali belum bertanya."Aku mau tiduran dulu di kamar ya, Bu. Kangen, udah lama," pamit Kinar begitu tiba di ruang keluarga.Widya menatap wajah Kinar dan mengangguk, lantas mengelus lengan anaknya itu dengan lembut. Seolah-olah wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu, merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan Kinar.Kinar lantas melangkah menuju kamar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran 3×4 meter itu. Kinar tak luput membuka jendela dan kain gorden bermotif kupu-kupu warna-warni. Sejenak ia menghirup udara dari luar kamar, kemudian merebahkan badan di kasur sembari men
Malam beranjak naik, Kinar dan Galang terbaring di kasur saling berhadapan. Kinar berancang-ancang untuk mengeluarkan amunisi pertanyaan yang telah memenuhi rongga dadanya."Kenapa melototin aku kayak gini, Nar?" tanya Galang tanpa merasa bersalah sedikit pun terhadap Kinar."Banyak yang ingin kutanyakan sejak tadi. Tolong jawab yang jujur, jangan ada kebohongan lagi. Aku udah muak selama ini, Mas!" cetus Kinar tanpa basa-basi.Galang tampak mengernyitkan dahi, seolah-olah heran dengan sikap istrinya. Bagaimana tidak heran? Kinar yang selama ini dikenalnya begitu pendiam dan penurut, kini tiba-tiba mengeluarkan tanduk. Tampak marah dan berani melawan."Apa yang pengen kamu tanyakan sama aku, Nar? Apa?!" bentak Galang yang merasa terintimidasi.Plak!Satu tamparan dari Kinar melayang ke sebelah pipi Galang saat keduanya telah sama-sama duduk tegak saling berhadapan. Kinar lantas memutar badan menghadap dinding. Hati istri mana yang tidak terguncang hebat, mendengar sang suami pergi ber
Kinar lantas melirik ke arah satu buku tulis usang milik Galang. Satu-satunya harapan yang masih tertinggal untuk menemukan uang miliknya yang disimpannya beberapa hari yang lalu itu.Halaman pertama dan seterusnya, kosong tak ada tulisan, pun tak ada lembaran uang terselip di sana. Masih penasaran, tangan Kinar sigap membuka lembar selanjutnya. Ia tercengang, ada sejumlah nama wanita yang tertulis di lembaran buku tersebut. Dan nama Kinar Mayangsari ada di urutan nomor 34."Apa maksudnya?" gumam Kinar sambil menatap deretan nama tersebut. "Ada nama Mbak Astuti juga?" lanjutnya.Dari sekian nama wanita tersebut, Kinar hanya mengenal nama Astuti sebagai mantan istrinya Galang, serta Lisa dan Siti sebagai mantan pacar yang pernah diceritakan suaminya tersebut. Sedangkan selain ketiga nama tersebut, Kinar sungguh-sungguh tak mengenalnya.Kinar yang syok dan bertanya-tanya itu, lantas duduk di sisi kasur sembari memegang buku tulis usang itu."Kenapa, sebagian diberi tanda centang, begini
"Dari mana, Nar?" tanya Galang sambil mengunyah makanan, hingga seperti terdengar orang bergumam."Dipanggil Bude depan rumah, tuh!" sahut Kinar kemudian."Pasti, dia cerita tentang aku, ya, Nar?" selidik Galang."Ngapain cerita tentang kamu, Mas? Toh, aku sendiri udah mulai tau siapa, Mas, kok!" sergah Kinar."Gak percaya! Gak mungkin dia gak cerita, mulutnya itu suka nyinyir," sanggah Galang sembari beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju dapur.Kinar melangkah ke kamar, membaringkan tubuhnya sejenak. Seketika terlintas di pikirannya wajah sang ibu, membuat getaran rindu datang menyergap batinnya.Hampir dua bulan Kinar tidak bertemu dengan orangtuanya sendiri, membuat batinnya makin tersiksa. Wajah-wajah keluarganya seolah-olah di pelupuk matanya sedang melambaikan tangan, memanggil Kinar.Ia lantas mengelus pelan perutnya sembari mulutnya komat-kamit berdoa. Kinar menangis, tetesan air matanya tak terasa membasahi bantal. Batinnya ingin sekali mengajak Galang, mengunjungi b
Setelah bersusah payah memasak di dapur akhirnya Kinar benar-benar lega karena masakannya matang juga. Meskipun, ia merasakan matanya berair menahan asap kayu bakar yang menguar.Dia yang terbiasa dengan peralatan modern di rumahnya, dihadapkan pada situasi yang benar-benar berbeda. Kinar ingin sekali mengeluh, akan tetapi dirinya merasa malu karena telah menjadi konsekwensinya menikah dengan Galang yang keadaannya serba kekurangan."Sabar, Kinar! Sabar!" gumam Kinar dalam batin sambil tangannya mengusap dada.Kinar terpaku seakan-akan menajamkan indera pendengarannya. Dengkuran keras dari dalam kamar terdengar hingga ke dapur. Lelaki yang disebutnya suami itu rupanya telah tertidur pulas.***Wajah Kinar tampak segar usai mandi. Ia lantas termenung sendirian di ruang tamu. Maklum, jarak antara rumah tetangga atau pun saudara iparnya lumayan jauh, terpisah oleh kebun-kebun yang lumayan luas.Sang ibu mertua beraktivitas di sawah miliknya. Meskipun lanjut usia, ibu mertuanya itupun m
Kinar menahan geram selama dalam perjalanan pulang. Namun, ia telah mempersiapkan amunisi untuk menyerang suaminya. Dadanya serasa ingin meledak, menyadari sikap Galang yang nyatanya jauh di luar perkiraannya.Dia memilih terdiam di teras untuk melepas lelah, ketimbang menyusul suaminya masuk rumah begitu turun dari kendaraan. Kinar duduk menyandarkan punggung sambil melipat lengan di depan dada.Tak berselang lama, Galang muncul dari dalam rumah. Rupanya, laki-laki itu telah berganti baju dengan mengenakan kaus bergambar tengkorak dan bawahan celana pendek yang sengaja dirobek, khas anak muda. Kinar menatap heran sambil menggeleng pelan."Cepet dikembalikan motor orang, Mas!" seru Kinar dengan menatap jengah. Bola matanya naik turun memerhatikan gelagat suaminya itu."Biarin! Mau aku bawa dulu. Aku mau cari angin!" tukas Galang."Brengsek! Dia malah mau pergi? Aku, kan, mau tanya sejak tadi. Oalah, Setan!" Batin Kinar mengumpat kesal."Oh ya, Mas, mana uang yang dikasih Bapak buat be