"Aku datang mau ngajak kamu. Ayuk buruan!" seru Galang yang telah menunggu Kinar di teras. "Bentar, napa? Ganti baju aja belum, apalagi kamu ngajaknya mendadak gini," protes Kinar.Kinar sengaja membalas ucapan laki-laki itu dengan ketus, lantaran sikapnya berubah sejak tadi malam. Dingin dan berwajah muram. Bahkan senyum menawan yang selalu tersungging di bibir Galang itu hilang seketika. "Gak usah dandan lama-lama!" teriak Galang lagi.Kinar sigap menuju kamar, berdandan sekenanya. Ia hanya memakai bawahan rok di bawah lutut berbahan jeans dan kemeja wanita motif kotak-kotak. Mayang menyapukan bedak ringan di wajah, kemudian memoles lipgloss di bibir agar tidak terlihat kering. Ia keluar kamar lagi dan siap memenuhi ajakan Galang.Kinar diam-diam merasa mulai bosan dan kesal dengan sikap Galang. Selama perjalanan gadis itu hanya terdiam, enggan bersuara. Mengingat sikap Galang yang dingin dan terkesan marah padanya, padahal Kinar tak merasa melakukan kesalahan."Sebenarnya aku mau
Jantung Kinar berdebar hebat saat Galang mendaratkan bibir di bibirnya. Laki-laki itu menciuminya dengan beringas untuk beberapa lama, kemudian melepaskan tautan bibir."Cukup! Stop, Mas, aku takut. Kita belum sah, Mas!" pekik Kinar sambil mencoba mendorong tubuh Galang, akan tetapi tenaganya tak cukup kuat dan tidak berhasil. Galang menatap lekat Kinar saat wajah itu mendongak. Duda tampan itu menyeringai, seakan-akan hendak menerjang tubuh Kinar. Seketika, Kinar gemetaran."Sebentar lagi kita nikah, Sayang. Kamu gak perlu takut," bujuk Galang sambil tangannya bergerak, membuka satu per satu kancing atasan yang dikenakan Kinar."Ya ampun, gimana ini?" rengek Kinar dalam batin sambil memejamkan mata. Kinar tampak tak kuasa menolak saat bibir laki-laki itu berlabuh ke bagian dada dan bermain-main cukup lama di sana. Tubuh gadis itu bergetar dan ada rasa yang berdesir aneh di urat syarafnya. Galang tidak berhenti di situ saja. Duda berwajah tampan itu mulai membuka kaus lengan panjan
Kecemasan yang menyelimuti batin Kinar, perlahan memudar begitu jalanan yang di kanan kirinya hutan karet terlewati. Bahkan, Kinar tersenyum lega saat memasuki jalanan yang sudah tak asing lagi baginya. Secara bersamaan, Galang juga mengurangi kecepatan."Bentar lagi sampai, kan? Makanya, kamu tenang aja," ujar Galang sambil menoleh. "Iya," jawabnya sambil menghela napas dalam, prasangka buruknya tak terjadi. "Awas kebablasan lagi, loh, Mas!" lanjut Kinar mengingatkan Galang agar berkonsentrasi menatap jalanan. Kendaraan yang dikemudikan Galang tiba di jalan depan masjid, kemudian belok masuk gang kecil menuju rumah Kinar. Gadis itu tersenyum lega, seakan-akan telah lupa dengan kejadian tadi, saat berada di rumah laki-laki itu.Begitu tiba di rumah, Kinar menatap kedua orangtuanya dan sang adik yang sedang duduk santai bersama di teras. Kinar dan Galang yang telah turun dari kendaraan, kemudian menghampiri mereka. Keduanya mencium hormat punggung tangan Ridwan dan Widya."Galang! Ba
Kinar berdiri di sisi jendela kamar Dayu yang dibiarkan terbuka. Menatap ke luar, menikmati udara sore yang lumayan menyejukkan, karena cuaca agak mendung. Dalam lamunannya teringat perkataan istri pamannya yang kemarin datang ke rumah. "Benarkah yang dikatakan Bulik Sari tentang Mas Galang?" gumam Kinar.Gadis itu menghela napas dalam-dalam. Ia tidak percaya dengan pengakuan yang diperoleh ibunya Kayla dari menantunya, yang tak lain masih bertetangga dengan Galang."Ah, kenapa aku jadi ragu begini, sih?" gerutunya lagi dalam batin.Berulang kali pikiran Kinar diserang rasa ragu membuat hatinya menjadi bimbang untuk melangkah."Mungkin ini ujian orang yang mau nikah," gumamnya lagi, mencoba mendamaikan hatinya sendiri. Kinar beranjak dari kamar sang adik, melangkah menuju kamarnya sendiri. Ia lantas terpaku di depan cermin seraya membayangkan acara pernikahan. Tak berapa lama, suara motor mirip yang biasa dikendarai Galang terdengar berhenti di halaman, membuyarkan lamunannya."Miri
Kinar terbaring meringkuk di sisi ranjang menghadap ke lemari kaca. Dalam bayangan di cermin tampak laki-laki yang telah dengan tega berbuat sesuatu, yang belum boleh dilakukan kepadanya, duduk membelakanginya sambil menunduk. Kinar terisak, ada rasa sesak bercampur sesal dalam dadanya. Sesaat kemudian ia mencoba bangun dan menyibakkan selimut. "Astaga ... rasanya perih dan pahaku rasanya sakit, ngilu!" rintih Kinar sambil meringis. Ia kemudian menggulung selimut dan melepas kain seprei yang penuh noda darah. Mahkota suci yang ingin ia jaga hingga hari pernikahan tiba, akhirnya terenggut sudah.Kinar tertatih menuju kamar mandi. Namun, Galang sigap menuntun. Gadis itu tampak merendam kain sprei dan selimut dengan deterjen di ember. "Jangan takut! Aku akan bertanggung jawab, Nar," ujar Galang saat sama-sama tiba di kamar. "Ya, seharusnya. Masak iya, kamu mau punya niat kabur!" ketus Kinar. "Oh ya, Mas, ternyata tato Mas ada di mana-mana, ya? Gak cuma satu. Apalagi di punggung juga a
Tatapan Kinar berangsur sayu, hingga tak kuasa menolak perlakuan Galang. Ia mulai terhipnotis dengan tatapan elang laki-laki yang kini berada di atas tubuhnya. "Astaga ...! Apa sebentar lagi kejadian kayak di rumah malam itu akan terulang lagi di sini?" gumam Kinar dalam hati sambil menatap wajah Galang.Jantung Kinar makin berdegup kencang, helaan napasnya terus memburu. Sesekali ia mengerjap, saat tangan Galang mulai menyentuh tiap inchi tubuhnya.Baru saja Galang membuka baju Kinar dengan paksa, suara langkah ibunya terdengar di ruang tamu. Galang langsung turun ke sisi ranjang, sedangkan Kinar bergegas memakai baju, dan menyisir asal rambutnya dengan jari tangan. Ia duduk di sisi ranjang, berusaha menetralkan denyut jantung dan napasnya yang terlanjur memburu itu."Sana, Mas, temui ibumu dulu! Sebentar lagi aku nyusul," pintanya pada Galang kemudian, sambil mengerlingkan mata dan tersenyum. Galang kemudian bangkit dari duduk dan melangkah keluar kamar. Kinar yang masih berada d
Kinar irit bicara saat dalam perjalanan, meskipun berulang kali Galang berusaha menoleh, mengajaknya bicara untuk mencairkan suasana. Rasa cemburu dan penasaran terlanjur bersarang dalam dada Kinar sejak kemarin."Pelan dong, jangan ngebut! Aku takut. Trauma tau, Mas!" tegur Kinar sambil mencubit pinggang Galang.Galang tak peduli dengan Kinar yang terus sewot karena dirinya memacu kendaraan dengan kencang. Laki-laki itu malah sengaja semakin melajukan kendaraannya membuat Kinar bergidik ngeri dan ketakutan."Idih! Udah dibilangin jangan ngebut!" teriak Kinar karena merasa disepelekan oleh Galang."Aku tau kamu lagi kesal, Nar. Makanya, aku ngebut biar cepat sampe sana," sahut Galang sambil menoleh tanpa senyum sedikit pun.Kinar terpaksa mencengkeram erat pinggang Galang, saat laki-laki itu semakin menambah kecepatan laju motornya."Aduh!" teriak Kinar saat Galang secara tiba-tiba menghentikan motornya. Kepala gadis itu yang terbungkus helm membentur kepala Galang yang juga memakai p
Galang sigap menarik lengan gadis berambut di bawah bahu itu, ketika hendak kembali duduk di sofa. Laki-laki itu sengaja mendudukkan Kinar di pangkuannya.Keduanya lantas saling beradu pandang, membuat Kinar tak kuat dan langsung tertunduk sayu. Galang menyentuh dagu mungil Kinar agar kembali mendongak dan menatapnya. Laki-laki itu kemudian mendorong perlahan tubuh Kinar hingga telentang di sofa.Galang tepat berada di atas tubuh Kinar, hingga tubuh gadis itu nyaris tak dapat bergerak. Dibukanya lapisan jaket dan meletakkan asal di sisi sofa yang lain. Wajah Galang mendekat tanpa jarak di wajah Kinar setelah ia berhasil mencengkeram erat pergelangan gadis itu. Galang mencondongkan wajah, kemudian mendaratkan bibir dan mencium lembut bibir Kinar.Kinar yang terpejam, tidak berani membuka mata. Jantungnya berdebar hingga menimbulkan sensasi seperti tersengat aliran listrik. Melihat Kinar yang seakan-akan telah tergolek pasrah, Galang semakin menggencarkan aksinya berulang kali mencium
Kinar tak menjawab sepatah kata pun, ketika sang bapak memberikan pilihan agar berpisah dari Galang. Terbesit di pikiran Kinar, ketakutan jika melahirkan tanpa suami serta menjanda di usia muda. Meskipun kedua orangtuanya itu memberikan jaminan untuk mengasuh buah hati yang dilahirkan Kinar, kelak.Hampir tiap hari buliran bening selalu menghiasi wajah Kinar. Bayang-bayang hidup tanpa suami dan cemoohan orang tentang figur seorang janda, datang silih berganti di kepalanya.Kinar menghela napas dalam, kemudian meraih air putih di gelas dan meneguknya tanpa sisa. Kemudian merebahkan tubuh lagi menghadap dinding kamar. Hampir tiap malam, ia sulit memejamkan mata. Sejak Galang selalu datang menjemput paksa dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor yang knalpotnya bersuara cempreng memekakkan telinga, Kinar merasa trauma.Hening. Hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin terdengar risau. Jam di dinding menunjukkan malam semakin merangkak naik. Kinar bangkit dari kasur dan melangkah k
Galang kemudian mendekat, lantas memeluk Kinar dengan erat sembari mengucap maaf berkali-kali.Mendengar itu, Kinar lantas merasa tersentuh dan berusaha memaafkan, meskipun itu hanya terucap dalam batinnya. Galang melepaskan pelukan, kemudian masih saja tak bergeser ke mana-mana sambil duduk meringkuk.Perlahan Kinar menarik lengan Galang dan mengajaknya tidur di kasur. Laki-laki itupun menurut saja dan segera membaringkan tubuh di samping Kinar.Keduanya lantas terlelap dengan posisi lengan Galang melingkar di pinggang Kinar hingga pagi.***Kinar berusaha membangunkan suaminya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tebal."Mas, bangun! Aku sudah bikinkan kopi buat kamu," ujar Kinar sembari menepuk pelan lengan Galang.Galang mengucek kemudian memicingkan mata ke arah Kinar. Sejurus kemudian, ia juga mengulas senyum."Makasih, ya, Sayang ...," ucap Galang dengan lembut membuat batin Kinar meleleh seketika.Kinar membalas dengan senyuman, sembari mengalunkan doa dalam hati,
Kinar ikut-ikutan menonton dan kelakuan pemeran antagonis di tayangan yang ditontonnya mirip sekali dengan kelakuan sang suami."Andai saja, Ibu tahu Mas Galang seperti itu, bagaimana lagi sikap Ibu, ya?" Kinar bertanya-tanya dalam batin. Ia lantas mengangkat sebelah tangan, memijit bagian pelipisnya yang menegang.Pandangan Kinar kabur, hingga layar televisi terlihat tak jelas. Lamunannya mengembara, mengenang betapa bencinya ia saat itu pada Galang. Anehnya, selang beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahnya, bayangan Galang selalu hadir di pelupuk mata Kinar. Lambat laun ia merindukan laki-laki itu, seolah-olah tiap waktu Kinar ingin menatap wajah Galang."Coba kalau Galang kayak laki-laki di tipi itu, Nar, udah Ibu tampar-tampar mukanya. Masak istri sebaik itu, kok, disakiti mulu? Hei, Nar! Walah, malah ngelamun!" seru Widya sembari menyentuh lengan Kinar. Seketika Kinar tersentak dan lamunannya buyar begitu saja."Em ... iya. Apa, Bu?" jawab Kinar terbata, karena tak mendengar
"Kinar ...?" sapa Widya yang tersentak kaget melihat Kinar berdiri di depan pintu. Sesaat, keheningan tercipta, kemudian Kinar dan sang ibu sama-sama mengulas senyum."Tumben, Ibu baru buka pintu?" tanya Kinar sembari menggandeng lengan dan bergelayut manja di pundak ibunya itu, saat memasuki rumah.Meskipun Widya telah melihat guratan jejak kesedihan di mata Kinar, wanita paruh baya itu sama sekali belum bertanya."Aku mau tiduran dulu di kamar ya, Bu. Kangen, udah lama," pamit Kinar begitu tiba di ruang keluarga.Widya menatap wajah Kinar dan mengangguk, lantas mengelus lengan anaknya itu dengan lembut. Seolah-olah wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu, merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan Kinar.Kinar lantas melangkah menuju kamar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran 3×4 meter itu. Kinar tak luput membuka jendela dan kain gorden bermotif kupu-kupu warna-warni. Sejenak ia menghirup udara dari luar kamar, kemudian merebahkan badan di kasur sembari men
Malam beranjak naik, Kinar dan Galang terbaring di kasur saling berhadapan. Kinar berancang-ancang untuk mengeluarkan amunisi pertanyaan yang telah memenuhi rongga dadanya."Kenapa melototin aku kayak gini, Nar?" tanya Galang tanpa merasa bersalah sedikit pun terhadap Kinar."Banyak yang ingin kutanyakan sejak tadi. Tolong jawab yang jujur, jangan ada kebohongan lagi. Aku udah muak selama ini, Mas!" cetus Kinar tanpa basa-basi.Galang tampak mengernyitkan dahi, seolah-olah heran dengan sikap istrinya. Bagaimana tidak heran? Kinar yang selama ini dikenalnya begitu pendiam dan penurut, kini tiba-tiba mengeluarkan tanduk. Tampak marah dan berani melawan."Apa yang pengen kamu tanyakan sama aku, Nar? Apa?!" bentak Galang yang merasa terintimidasi.Plak!Satu tamparan dari Kinar melayang ke sebelah pipi Galang saat keduanya telah sama-sama duduk tegak saling berhadapan. Kinar lantas memutar badan menghadap dinding. Hati istri mana yang tidak terguncang hebat, mendengar sang suami pergi ber
Kinar lantas melirik ke arah satu buku tulis usang milik Galang. Satu-satunya harapan yang masih tertinggal untuk menemukan uang miliknya yang disimpannya beberapa hari yang lalu itu.Halaman pertama dan seterusnya, kosong tak ada tulisan, pun tak ada lembaran uang terselip di sana. Masih penasaran, tangan Kinar sigap membuka lembar selanjutnya. Ia tercengang, ada sejumlah nama wanita yang tertulis di lembaran buku tersebut. Dan nama Kinar Mayangsari ada di urutan nomor 34."Apa maksudnya?" gumam Kinar sambil menatap deretan nama tersebut. "Ada nama Mbak Astuti juga?" lanjutnya.Dari sekian nama wanita tersebut, Kinar hanya mengenal nama Astuti sebagai mantan istrinya Galang, serta Lisa dan Siti sebagai mantan pacar yang pernah diceritakan suaminya tersebut. Sedangkan selain ketiga nama tersebut, Kinar sungguh-sungguh tak mengenalnya.Kinar yang syok dan bertanya-tanya itu, lantas duduk di sisi kasur sembari memegang buku tulis usang itu."Kenapa, sebagian diberi tanda centang, begini
"Dari mana, Nar?" tanya Galang sambil mengunyah makanan, hingga seperti terdengar orang bergumam."Dipanggil Bude depan rumah, tuh!" sahut Kinar kemudian."Pasti, dia cerita tentang aku, ya, Nar?" selidik Galang."Ngapain cerita tentang kamu, Mas? Toh, aku sendiri udah mulai tau siapa, Mas, kok!" sergah Kinar."Gak percaya! Gak mungkin dia gak cerita, mulutnya itu suka nyinyir," sanggah Galang sembari beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju dapur.Kinar melangkah ke kamar, membaringkan tubuhnya sejenak. Seketika terlintas di pikirannya wajah sang ibu, membuat getaran rindu datang menyergap batinnya.Hampir dua bulan Kinar tidak bertemu dengan orangtuanya sendiri, membuat batinnya makin tersiksa. Wajah-wajah keluarganya seolah-olah di pelupuk matanya sedang melambaikan tangan, memanggil Kinar.Ia lantas mengelus pelan perutnya sembari mulutnya komat-kamit berdoa. Kinar menangis, tetesan air matanya tak terasa membasahi bantal. Batinnya ingin sekali mengajak Galang, mengunjungi b
Setelah bersusah payah memasak di dapur akhirnya Kinar benar-benar lega karena masakannya matang juga. Meskipun, ia merasakan matanya berair menahan asap kayu bakar yang menguar.Dia yang terbiasa dengan peralatan modern di rumahnya, dihadapkan pada situasi yang benar-benar berbeda. Kinar ingin sekali mengeluh, akan tetapi dirinya merasa malu karena telah menjadi konsekwensinya menikah dengan Galang yang keadaannya serba kekurangan."Sabar, Kinar! Sabar!" gumam Kinar dalam batin sambil tangannya mengusap dada.Kinar terpaku seakan-akan menajamkan indera pendengarannya. Dengkuran keras dari dalam kamar terdengar hingga ke dapur. Lelaki yang disebutnya suami itu rupanya telah tertidur pulas.***Wajah Kinar tampak segar usai mandi. Ia lantas termenung sendirian di ruang tamu. Maklum, jarak antara rumah tetangga atau pun saudara iparnya lumayan jauh, terpisah oleh kebun-kebun yang lumayan luas.Sang ibu mertua beraktivitas di sawah miliknya. Meskipun lanjut usia, ibu mertuanya itupun m
Kinar menahan geram selama dalam perjalanan pulang. Namun, ia telah mempersiapkan amunisi untuk menyerang suaminya. Dadanya serasa ingin meledak, menyadari sikap Galang yang nyatanya jauh di luar perkiraannya.Dia memilih terdiam di teras untuk melepas lelah, ketimbang menyusul suaminya masuk rumah begitu turun dari kendaraan. Kinar duduk menyandarkan punggung sambil melipat lengan di depan dada.Tak berselang lama, Galang muncul dari dalam rumah. Rupanya, laki-laki itu telah berganti baju dengan mengenakan kaus bergambar tengkorak dan bawahan celana pendek yang sengaja dirobek, khas anak muda. Kinar menatap heran sambil menggeleng pelan."Cepet dikembalikan motor orang, Mas!" seru Kinar dengan menatap jengah. Bola matanya naik turun memerhatikan gelagat suaminya itu."Biarin! Mau aku bawa dulu. Aku mau cari angin!" tukas Galang."Brengsek! Dia malah mau pergi? Aku, kan, mau tanya sejak tadi. Oalah, Setan!" Batin Kinar mengumpat kesal."Oh ya, Mas, mana uang yang dikasih Bapak buat be