Kinar dan Galang sudah tiba di rumah. Keduanya melepas lelah sambil mengobrol di ruang tamu, sebelum Galang pulang ke rumahnya."Mas, kayaknya Mbak Rasti masih punya rasa deh, sama Mas?" pancing Kinar. Sebab, gadis itu tadi mengamati gestur Rasti yang merupakan mantan kekasih Galang juga. Keduanya terpaksa putus hubungan karena Rasti dijodohkan orangtuanya dengan laki-laki lain."Ya jelas dong, Nar ... orang dia itu dulu sampe rela ngikut aku hidup di jalanan," balas Galang tak merasa jika ia sedang dipancing oleh Kinar."Terus, Mas sendiri masih cinta gak sama dia?""Dia itu baik banget, loh, sama aku. Pengorbanan dia banyak banget ke aku.""Bukan itu yang aku tanyakan, Mas! Aku tanya perasaan Mas ke dia, apa masih ada?""Udah gak ada."Mendengar jawaban Galang, Kinar tak sepenuhnya percaya. Mengingat obrolan di rumah Rasti tadi, tampak sekali jika tatapan Galang masih menyimpan rasa untuk wanita itu. Ditambah, Rasti yang sudah menyandang status janda karena ditinggal kabur suaminya,
Tak berapa lama, Widya membawa sang suami kembali menuju kamar anak gadisnya itu. Ridwan menyerahkan segepok uang kertas warna biru yang masih tersegel dari bank ke tangan Kinar. Wanita yang sebentar lagi melepas masa lajangnya itu kemudian menatap wajah kedua orangtuanya secara bergantian."Ibu ... Bapak ... Kinar minta maaf," ucap Kinar kemudian dengan berurai air mata. Ia merasa bersalah kepada orangtuanya."Udah, Nar, gak papa. Yang penting rumah tangga yang mau kamu bina itu bisa rukun dan langgeng," ujar sang ibu sembari mengelus sebelah pipi Kinar yang basah."Ya udah, cepet uangnya disimpan dulu. Terus, kamu keluar sapa saudara-saudara sama tetangga ya, Nar," pinta sang ayah kemudian.Sesaat kemudian Ridwan dan Widya keluar dari kamar. Kinar lantas menyimpan uang dalam genggamannya itu ke lemari. Setelah menyimpan uang di lemari, Kinar menyusul ayah dan ibunya keluar kamar. Wajah yang tadinya muram merasakan risau itu, berangsur tersenyum.Para saudara dan tetangga melempar c
Tok, tok, tok! Suara pintu diketuk dari luar oleh seseorang dengan keras, membuat Kinar menoleh ke arah pintu."Mbak Pengantin ... Mbak ...! Siap-siap, ya! Calon pengantin laki-lakinya, kabarnya sebentar lagi datang. Katanya ini udah ada di jalan!" teriak seorang laki-laki yang mengetuk pintu kamar Kinar, memberitahu kabar itu. Kinar menghela napas dalam. Ada rasa sedikit lega memenuhi rongga dadanya.Sang penata rias yang baru saja merapikan alat rias pengantin untuk dimasukkan ke dalam box, bergegas menghampiri Kinar yang duduk di sisi ranjang. Merapikan kebaya dan kain batik yang membalut tubuh Kinar, serta menyentuh dahi yang penuh embun keringat dengan tisu."Wah ... udah cantik, Mbak Kinar," ujar Santi sembari menyapukan kuas ke wajah Kinar.Kinar tersenyum, meskipun merasakan gugup yang luar biasa.Setelah menanti lebih dari dua jam, akhirnya rombongan pengantin calon suami Kinar tiba. Kinar dan Galang saling duduk berhadapan diapit kedua orang tua masing-masing, tentunya dite
Keduanya terdiam dan saling berpelukan cukup lama di bawah lampu kamar yang telah berganti dengan cahaya redup itu. Kinar menenggelamkan wajah di dada suaminya yang hangat, sembari ujung jemarinya menari di atas perut laki-laki itu."Mas, maafkan aku. Malam ini jangan dulu, ya?" celetuk Kinar saat masih dalam dekapan Galang. Karena tak tahan dengan yang dirasakan di dalam perutnya, Kinar meminta suaminya untuk tidak menuntut jatah ranjang.Galang tak menyahut, justru melepas pelukan dengan kasar kemudian mendorong tubuh Kinar. Laki-laki itu bergegas bangun kemudian memakai celana jeans yang menggantung di balik pintu kamar. Tak lupa meraih jaket berbahan sama dengan celana. Wajah Galang yang tadinya hangat itu berubah berang, sejak Kinar menunda keinginannya untuk mengajak berhubungan badan. Bagi laki-laki itu, jatah ranjang hukumnya wajib dipenuhi Kinar yang sudah sah menjadi istrinya.Galang meraih kontak motor kesayangan Kinar di meja. Dengan langkah cepat, laki-laki yang telah sah
Tepat pukul setengah enam pagi, Kinar telah bangun dan turun dari ranjang. Ia segera keluar dari kamar menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan sikat gigi."Sebenarnya kenapa dengan suamimu tadi malem, Nar? Bapakmu sampai mengeluh kelakuannya, begitu masuk kamar?" tanya sang ibu begitu Kinar keluar dari kamar mandi dan menghampiri ibunya itu yang telah berkutat di dapur.Kinar sendiri berniat membuatkan minuman kopi untuk Galang."Gak kenapa-napa, Bu. Ini, aku juga udah baikan sama Mas Galang," sahut Kinar yang ia tahu saat ini terpaksa berbohong.Widya mengernyitkan dahi saat menatap anak perempuannya itu. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang diucapkan Kinar. Naluri Widya sebagai seorang wanita yang melahirkan dan mengasuh Kinar begitu tajam. Pasti tahu jika gelagat sang anak telah berbohong kepadanya.Tak ingin semakin dicecar pertanyaan, Kinar bergegas meninggalkan ibunya di dapur. Dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap dan sepiring pisang goreng buatan sang ibu, Kinar
Dengkuran Galang makin nyaring, membuat Kinar tak bisa tidur lagi, setelah mandi dan shalat Subuh. Padahal, dia berniat untuk tidur lagi. Kinar lantas memilih keluar kamar menuju dapur. Di sana rupanya ada sang ibu yang telah mulai berkutat di dapur. Maklum, malam nanti acara "ngunduh mantu" digelar di rumah orangtua Galang. Menandakan, Kinar sebagai pengantin wanita yang akan diantar ke rumah mertuanya.Segala keperluan sebagai oleh-oleh dari pihak pengantin wanita telah disiapkan Widya untuk acara nanti malam. Kecuali makanan basah yang tentunya harus dimasak dahulu. Ibunya Kinar tidak menyiapkannya sendiri, ia lebih memilih meminta tolong seorang juru masak yang telah dipercaya setiap ada hajatan di kampung."Kampungnya Galang itu kayak gimana, Nar?" tanya Widya pada Kinar yang duduk di ruang makan sembari menikmati segelas teh hangat."Gak usah tanya, nanti Ibu juga tahu, kok, Bu," sahut Kinar dengan santai."Ibu, itu tanya karena penasaran, Nar. Apa benar yang dikatakan ibunya Ka
Hiruk pikuk orang-orang yang menggerutu karena pemilik sound system tidak menyediakan genset sebagai cadangan jika listrik tiba-tiba mati. Suasana gelap tambah mencekam karena hujan dan petir disertai angin semakin datang dengan kencang. Kinar bergidik ketakutan saat petir menggelegar bersahutan."Mas, aku takut," bisik Kinar sambil terus mempererat genggaman tangannya pada lengan sang suami."Tenang aja, bentar lagi juga nyala. Operatornya pasti juga udah usaha mengatasi mesin dieselnya," sahut Galang juga serupa bisikan di tengah-tengah riuhnya kepanikan orang-orang."Tadi, Mas, gak denger, ya, orang-orang bilang apa? Yang punya sound system gak bawa jenset, Mas," ujar Kinar kemudian.Sesaat kemudian seseorang mengumumkan sambil jalan, jika acara ditunda sejenak sambil menunggu listrik cadangan menyala. Rupanya, salah satu tetangga Galang ada yang meminjamkan genset untuk dipakai terlebih dahulu. Kinar seketika merasa sedikit lega.Tak berapa lama, listrik kembali menyala dan acara
Sinar mentari menerobos celah-celah dinding kamar yang terbuat dari papan bercampur anyaman bambu, membuat Kinar memicingkan mata. Ia lantas menoleh ke arah sang suami yang masih terlelap di sebelahnya. Sebelah tangan Kinar terangkat, menahan silau yang menghalangi pandangannya.Kinar menggeliat kemudian duduk sambil menggerakkan tangan, berusaha mengusir rasa pegal yang mendera tubuhnya. Ia lantas beranjak dari duduk, melangkah keluar kamar menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang bersebelahan dengan dapur luas milik mertuanya."Nduk, ini nasi sisa semalam, nanti dikukus lagi, ya! Sayang, kalau dibuang!" ujar Lasmi kepada menantunya sambil menunjukkan nasi di wadah, saat Kinar tiba di dapur."Ya, Bu," sahut Kinar sambil mengangguk pelan. Ia lantas melirik ke arah dapur tradisional di bagian sudut ruangan tersebut. Asap dari pembakaran kayu membumbung tinggi menciptakan kepulan yang memenuhi ruangan. Batin Kinar seketika sangsi, jika dirinya bisa melakukan apa yang diperintah
Kinar tak menjawab sepatah kata pun, ketika sang bapak memberikan pilihan agar berpisah dari Galang. Terbesit di pikiran Kinar, ketakutan jika melahirkan tanpa suami serta menjanda di usia muda. Meskipun kedua orangtuanya itu memberikan jaminan untuk mengasuh buah hati yang dilahirkan Kinar, kelak.Hampir tiap hari buliran bening selalu menghiasi wajah Kinar. Bayang-bayang hidup tanpa suami dan cemoohan orang tentang figur seorang janda, datang silih berganti di kepalanya.Kinar menghela napas dalam, kemudian meraih air putih di gelas dan meneguknya tanpa sisa. Kemudian merebahkan tubuh lagi menghadap dinding kamar. Hampir tiap malam, ia sulit memejamkan mata. Sejak Galang selalu datang menjemput paksa dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor yang knalpotnya bersuara cempreng memekakkan telinga, Kinar merasa trauma.Hening. Hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin terdengar risau. Jam di dinding menunjukkan malam semakin merangkak naik. Kinar bangkit dari kasur dan melangkah k
Galang kemudian mendekat, lantas memeluk Kinar dengan erat sembari mengucap maaf berkali-kali.Mendengar itu, Kinar lantas merasa tersentuh dan berusaha memaafkan, meskipun itu hanya terucap dalam batinnya. Galang melepaskan pelukan, kemudian masih saja tak bergeser ke mana-mana sambil duduk meringkuk.Perlahan Kinar menarik lengan Galang dan mengajaknya tidur di kasur. Laki-laki itupun menurut saja dan segera membaringkan tubuh di samping Kinar.Keduanya lantas terlelap dengan posisi lengan Galang melingkar di pinggang Kinar hingga pagi.***Kinar berusaha membangunkan suaminya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tebal."Mas, bangun! Aku sudah bikinkan kopi buat kamu," ujar Kinar sembari menepuk pelan lengan Galang.Galang mengucek kemudian memicingkan mata ke arah Kinar. Sejurus kemudian, ia juga mengulas senyum."Makasih, ya, Sayang ...," ucap Galang dengan lembut membuat batin Kinar meleleh seketika.Kinar membalas dengan senyuman, sembari mengalunkan doa dalam hati,
Kinar ikut-ikutan menonton dan kelakuan pemeran antagonis di tayangan yang ditontonnya mirip sekali dengan kelakuan sang suami."Andai saja, Ibu tahu Mas Galang seperti itu, bagaimana lagi sikap Ibu, ya?" Kinar bertanya-tanya dalam batin. Ia lantas mengangkat sebelah tangan, memijit bagian pelipisnya yang menegang.Pandangan Kinar kabur, hingga layar televisi terlihat tak jelas. Lamunannya mengembara, mengenang betapa bencinya ia saat itu pada Galang. Anehnya, selang beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahnya, bayangan Galang selalu hadir di pelupuk mata Kinar. Lambat laun ia merindukan laki-laki itu, seolah-olah tiap waktu Kinar ingin menatap wajah Galang."Coba kalau Galang kayak laki-laki di tipi itu, Nar, udah Ibu tampar-tampar mukanya. Masak istri sebaik itu, kok, disakiti mulu? Hei, Nar! Walah, malah ngelamun!" seru Widya sembari menyentuh lengan Kinar. Seketika Kinar tersentak dan lamunannya buyar begitu saja."Em ... iya. Apa, Bu?" jawab Kinar terbata, karena tak mendengar
"Kinar ...?" sapa Widya yang tersentak kaget melihat Kinar berdiri di depan pintu. Sesaat, keheningan tercipta, kemudian Kinar dan sang ibu sama-sama mengulas senyum."Tumben, Ibu baru buka pintu?" tanya Kinar sembari menggandeng lengan dan bergelayut manja di pundak ibunya itu, saat memasuki rumah.Meskipun Widya telah melihat guratan jejak kesedihan di mata Kinar, wanita paruh baya itu sama sekali belum bertanya."Aku mau tiduran dulu di kamar ya, Bu. Kangen, udah lama," pamit Kinar begitu tiba di ruang keluarga.Widya menatap wajah Kinar dan mengangguk, lantas mengelus lengan anaknya itu dengan lembut. Seolah-olah wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu, merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan Kinar.Kinar lantas melangkah menuju kamar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran 3×4 meter itu. Kinar tak luput membuka jendela dan kain gorden bermotif kupu-kupu warna-warni. Sejenak ia menghirup udara dari luar kamar, kemudian merebahkan badan di kasur sembari men
Malam beranjak naik, Kinar dan Galang terbaring di kasur saling berhadapan. Kinar berancang-ancang untuk mengeluarkan amunisi pertanyaan yang telah memenuhi rongga dadanya."Kenapa melototin aku kayak gini, Nar?" tanya Galang tanpa merasa bersalah sedikit pun terhadap Kinar."Banyak yang ingin kutanyakan sejak tadi. Tolong jawab yang jujur, jangan ada kebohongan lagi. Aku udah muak selama ini, Mas!" cetus Kinar tanpa basa-basi.Galang tampak mengernyitkan dahi, seolah-olah heran dengan sikap istrinya. Bagaimana tidak heran? Kinar yang selama ini dikenalnya begitu pendiam dan penurut, kini tiba-tiba mengeluarkan tanduk. Tampak marah dan berani melawan."Apa yang pengen kamu tanyakan sama aku, Nar? Apa?!" bentak Galang yang merasa terintimidasi.Plak!Satu tamparan dari Kinar melayang ke sebelah pipi Galang saat keduanya telah sama-sama duduk tegak saling berhadapan. Kinar lantas memutar badan menghadap dinding. Hati istri mana yang tidak terguncang hebat, mendengar sang suami pergi ber
Kinar lantas melirik ke arah satu buku tulis usang milik Galang. Satu-satunya harapan yang masih tertinggal untuk menemukan uang miliknya yang disimpannya beberapa hari yang lalu itu.Halaman pertama dan seterusnya, kosong tak ada tulisan, pun tak ada lembaran uang terselip di sana. Masih penasaran, tangan Kinar sigap membuka lembar selanjutnya. Ia tercengang, ada sejumlah nama wanita yang tertulis di lembaran buku tersebut. Dan nama Kinar Mayangsari ada di urutan nomor 34."Apa maksudnya?" gumam Kinar sambil menatap deretan nama tersebut. "Ada nama Mbak Astuti juga?" lanjutnya.Dari sekian nama wanita tersebut, Kinar hanya mengenal nama Astuti sebagai mantan istrinya Galang, serta Lisa dan Siti sebagai mantan pacar yang pernah diceritakan suaminya tersebut. Sedangkan selain ketiga nama tersebut, Kinar sungguh-sungguh tak mengenalnya.Kinar yang syok dan bertanya-tanya itu, lantas duduk di sisi kasur sembari memegang buku tulis usang itu."Kenapa, sebagian diberi tanda centang, begini
"Dari mana, Nar?" tanya Galang sambil mengunyah makanan, hingga seperti terdengar orang bergumam."Dipanggil Bude depan rumah, tuh!" sahut Kinar kemudian."Pasti, dia cerita tentang aku, ya, Nar?" selidik Galang."Ngapain cerita tentang kamu, Mas? Toh, aku sendiri udah mulai tau siapa, Mas, kok!" sergah Kinar."Gak percaya! Gak mungkin dia gak cerita, mulutnya itu suka nyinyir," sanggah Galang sembari beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju dapur.Kinar melangkah ke kamar, membaringkan tubuhnya sejenak. Seketika terlintas di pikirannya wajah sang ibu, membuat getaran rindu datang menyergap batinnya.Hampir dua bulan Kinar tidak bertemu dengan orangtuanya sendiri, membuat batinnya makin tersiksa. Wajah-wajah keluarganya seolah-olah di pelupuk matanya sedang melambaikan tangan, memanggil Kinar.Ia lantas mengelus pelan perutnya sembari mulutnya komat-kamit berdoa. Kinar menangis, tetesan air matanya tak terasa membasahi bantal. Batinnya ingin sekali mengajak Galang, mengunjungi b
Setelah bersusah payah memasak di dapur akhirnya Kinar benar-benar lega karena masakannya matang juga. Meskipun, ia merasakan matanya berair menahan asap kayu bakar yang menguar.Dia yang terbiasa dengan peralatan modern di rumahnya, dihadapkan pada situasi yang benar-benar berbeda. Kinar ingin sekali mengeluh, akan tetapi dirinya merasa malu karena telah menjadi konsekwensinya menikah dengan Galang yang keadaannya serba kekurangan."Sabar, Kinar! Sabar!" gumam Kinar dalam batin sambil tangannya mengusap dada.Kinar terpaku seakan-akan menajamkan indera pendengarannya. Dengkuran keras dari dalam kamar terdengar hingga ke dapur. Lelaki yang disebutnya suami itu rupanya telah tertidur pulas.***Wajah Kinar tampak segar usai mandi. Ia lantas termenung sendirian di ruang tamu. Maklum, jarak antara rumah tetangga atau pun saudara iparnya lumayan jauh, terpisah oleh kebun-kebun yang lumayan luas.Sang ibu mertua beraktivitas di sawah miliknya. Meskipun lanjut usia, ibu mertuanya itupun m
Kinar menahan geram selama dalam perjalanan pulang. Namun, ia telah mempersiapkan amunisi untuk menyerang suaminya. Dadanya serasa ingin meledak, menyadari sikap Galang yang nyatanya jauh di luar perkiraannya.Dia memilih terdiam di teras untuk melepas lelah, ketimbang menyusul suaminya masuk rumah begitu turun dari kendaraan. Kinar duduk menyandarkan punggung sambil melipat lengan di depan dada.Tak berselang lama, Galang muncul dari dalam rumah. Rupanya, laki-laki itu telah berganti baju dengan mengenakan kaus bergambar tengkorak dan bawahan celana pendek yang sengaja dirobek, khas anak muda. Kinar menatap heran sambil menggeleng pelan."Cepet dikembalikan motor orang, Mas!" seru Kinar dengan menatap jengah. Bola matanya naik turun memerhatikan gelagat suaminya itu."Biarin! Mau aku bawa dulu. Aku mau cari angin!" tukas Galang."Brengsek! Dia malah mau pergi? Aku, kan, mau tanya sejak tadi. Oalah, Setan!" Batin Kinar mengumpat kesal."Oh ya, Mas, mana uang yang dikasih Bapak buat be