Perdebatan kecil terjadi manakala Dewi Wengi menanyakan mayat Roro Palupi yang tidak berada di lingkungan padepokan, dirinya malah semakin mencurigai jika ada unsur kesengajaan dari Sewunyowo. Tetapi Dewi Wengi mengabaikan pikiran negatifnya, sebab dirinya lebih memikirkan bagaimana cara memberangus musuh baru yang sangat meresahkan untuk kelompoknya itu.“Jangan biarkan kursi pimpinan kosong terlalu lama, Ki. Baiknya segera kukuhkan nama pengganti,”“Dalam hal ini saya tidak berwenang, Nyai. Terlebih, padepokan Lowo Ireng memiliki banyak sesepuh kebatinan yang tersebar di berbagai tempat. Saya khawatir ada pergunjingan di padepokan jika keputusan di ambil secara sepihak. Walau bagaimanapun padepokan ini lebih berfokus di bidang kebatinan, Nyai.” Ucap Sewunyowo.“Baiklah, baiknya kumpulkan segera sesepuh-sesepuh itu. Saran saya, cari mayat Nyai Roro Palupi, Ki.”“Jika hanya tubuhnya, saya rasa tidak menjadi masalah, Nyai. Sebab Telik sandi padepokan masih memantau wilayah pertempuran
Nahas, Suryo Mentak menggelepar akibat hantaman telak energi yang terlontar. Sedangkan Brojolewo sendiri langsung mendekatinya. Memegang pundaknya, lalu menatap tatapan Suryo Mentak yang kian meredup. Tindakannya tidak lain adalah menyerap energi kehidupan Suryo Mentak, hal yang paling disukai oleh sosok jahat di dalam raga Brojolewo.“Mue he he he, rupanya energi seorang pendekar lebih nikmat daripada warga biasa. Aku menyukainya ....” gumam Brojolewo. Lelaki sepuh itu pergi meninggalkan Suryo Mentak yang masih menggelepar pelan.Sedangkan salah satu warga yang melihat kekalahan Suryo Mentak langsung mengabarkan hal itu kepada Haryo Wicaksono di desa sebelah, desa yang juga menjadi pusat perkumpulan sekte Kembang Kenongo. Ia datang ke desa pun tidak melewati jalan besar, sebab di desa itu cukup banyak warga yang juga menjadi kelompok Kembang Kenongo. Bahkan, dirinya harus berhati-hati berucap jika berpapasan dengan warga.Pada akhirnya ia sampai di kediaman Haryo Wicaksono, ia lantas
Tepi Timur wilayah Punden.Danuseka menghentikan aktivitasnya manakala tiba-tiba telinganya berdengung dan hatinya berdebar. Seketika ia menajamkan Indera pendengarannya, menyaring informasi yang berasal dari relung hatinya. Setelah memastikan asal-muasal suara, Danuseka tidak membuang waktunya.Ia bergegas bertindak menggunakan ilmu melipat bumi yang ia miliki.“Kang Haryo, ada angin apa sampai-sampai Kakang memanggilku, hem?” Ucap Danuseka setelah berada di depan Haryo Wicaksono. Kedatangan Danuseka membuat Haryo Wicaksono terhenyak sekaligus senang. Pasalnya dirinya tidak menyangka jika akan secepat itu Danuseka muncul. Bahkan di padepokan Bayu Putih tidak pernah mengajarkan digdaya seperti yang dimiliki oleh Danuseka.“Danuseka! Ah, aku tidak menyangka usahaku berhasil. Apa kabarmu, Danuseka? Bagaimana, apakah nak Ajiseka sudah menyampaikan salamku?” tanya Haryo Wicaksono.“Ajiseka?” raut wajah Danuseka tampak kebingungan saat Haryo Wicaksono menyebut nama putranya.“Bukankah Nak
Ketika sandikala terlewati dan gelap malam mulai merayap, Jerit tangis tersaji gamblang di telinga kedua manusia yang masih khusyuk berkecumik melantunkan doa-doa. Ya! Tidak di pungkiri perkampungan itu dipenuhi dengan arwah yang belum ikhlas meninggalkan raganya, hal itu membuat Danuseka dan Haryo Wicaksono begitu lama berada di tempat itu. Bahkan, ketika doa berakhir tangisan pilu masih terdengar menyayat.Bahkan, terkadang suara-suara aneh juga terdengar. Seolah menceritakan begitu bengisnya tragedi yang terjadi di perkampungan siang tadi. Kedua lelaki itu hanya menggeleng manakala suara benturan pintu terdengar begitu nyaring, begitu juga rintihan-rintihan kesakitan yang setiap saat terdengar.“Baiknya segera tinggalkan tempat ini Kang, disini terlalu banyak energi tidak baik,” ujar Danuseka.“Memang seharusnya begitu, Danuseka. Lagi pula perkampungan ini sudah tidak ada lagi kehidupan.” Jawab Haryo Wicaksono.Danuseka segera mengajak Haryo Wicaksono pergi meninggalkan tempat itu
“Saudaraku sekalian, tewasnya Nyai Roro Palupi merupakan pukulan telak terhadap sekte Kembang Kenongo. Sebagaimana kita ketahui, padepokan Lowo Ireng memiliki begitu banyak tetua jalur kebatinan dan juga Kanuragan. Namun, senyatanya masih tidak dapat menemukan potongan tubuh Nyai Roro Palupi yang seharusnya mudah di temukan. Saya menduga hal ini terjadi karena ada pihak lelembut yang turut andil, oleh sebab itu saya menghimbau semua anggota. Khususnya para pimpinan dan tetua agar lebih keras menggembleng murid yang memiliki potensi lebih, terutama di jalur kebatinan. Sebab hanya dengan itu kita dapat memanfaatkan makhluk lain, atau menambah kedigdayaan diri.” Ucap pimpinan pusat sekte Kembang Kenongo yang sesungguhnya.Rupanya padepokan Kembang Kenongo yang berada di wilayah Selatan bukanlah pimpinan pusat. Hanya namanya saja yang sama dan statusnya adalah sebuah padepokan se level padepokan Lowo Ireng. Dan, tujuan menyamakan nama tidak lain hanya untuk mengecoh musuh yang setiap saa
“Bed*bah! Apa yang terjadi? Kenapa perempuan-perempuan ini mati? Wongso! Wongso!” Teriak seorang lelaki tua yang tak lain Brojolewo.Ia memanggil bawahan yang selalu mengikuti dirinya, tetapi jawaban tidak kunjung di dengar olehnya. Brojolewo terus memanggil bawahannya, hingga akhirnya ia melihat Wongso tegah terlelap di sudut pos penjagaan. Hal itu membuat Brojolewo geram, pasalnya wanita-wanita itu hasil jarahannya dari dukuh yang di kepalai oleh Suryo Mentak.Bugh!Brojolewo menendang tubuh Wongso yang tengah meringkuk pulas.“Bangun bod*h!” sentaknya.Wongso terperanjat, ia kaget bukan kepalang manakala sebuah kaki mendarat keras di perutnya. Perutnya terasa mual, tetapi ia tidak berani berucap manakala melihat pelaku yang tidak lain Brojolewo. Lelaki itu beringsut dan segera memperbaiki posisinya.“Bod*h Kau! Sekarang siapkan lubang besar untuk menguburkan mereka!” titah Brojolewo.“Ada apa, Ki. Siapa yang di kubur?” tanya Wongso. Raut wajahnya tampak kebingungan manakala dirinya
“Hua ha ha ha ha, rupanya beberapa hari berada disini usahaku tidak sia-sia. Tunduklah padaku, wahai siluman Kera! Auramu begitu memikat, oleh sebab itu ikutlah denganku agar digdaya yang kau miliki dapat digunakan secara maksimal. Jangan khawatir, aku akan merawat dirimu dan memberi makanan kesukaanmu,” ucapnya sembari menatap tajam ke arah Rimpang.Lalu, mulut lelaki itu berkecumik pelan, membaca mantra untuk menarik Rimpang agar tunduk kepadanya. Namun, lelaki itu tidak mudah menaklukkan Kera raksasa di depannya. Nyatanya Rimpang melakukan perlawanan yang luar biasa.Serangan Rimpang mendarat telak dan menghantam tubuh si lelaki. Seketika kecumik bibirnya terhenti manakala Rimpang berhasil membuatnya terjengkang. Tetapi Hal itu tidak membuat si lelaki mundur, ia malah duduk bersila dan melanjutkan pembacaan mantranya.“Apa yang terjadi? Ada apa ini?” gumam Rimpang manakala mantra mengalun semakin intens.Tubuhnya melemas, lambat Laun energinya serasa tersedot. Di waktu yang bersama
“Bod*h! Segera selesaikan sebelum kekuatan besarnya benar-benar ia gunakan!” Kumbolo berteriak dari dalam relung terdalam Ajiseka.Pemuda itu tidak membantah, ia bergegas menyiapkan diri. Bersamaan dengan itu hawa panas mulai menyebar, menguar dari tubuh lelaki yang masih menggerakkan kedua tangannya. Sedangkan Ajiseka sudah siap dengan pedang Nogoweling di tangannya.BlarDua kekuatan saling beradu, energi pedang Nogoweling berbenturan dengan energi yang keluar dari telapak tangan lawannya. Bahkan, pedang pusaka Ajiseka sampai bergetar akibat benturan itu. Sedangkan lawannya juga tidak jauh berbeda, tangan lelaki itu kebas dan tidak bisa di gerakkan secara normal.Namun, tampaknya anggota sekte Kembang Kenongo itu enggan menyudahi pertarungannya, ia kembali merangsek tanpa memperdulikan tangannya yang masih kebas. Pertarungan jarak dekat pun terjadi, pedang pusaka Nogoweling langsung lesap sesuai keinginan Ajiseka. Ya! Pemuda itu tidak ingin di anggap curang oleh lawannya.“Tidak mud
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho
Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik
Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba
Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul