Dante berteriak-teriak sambil terus memegang kepala. Emosinya semakin meledak saat melihat Nyonya Wanda juga berada seruangan dengannya. Kedua petugas kesehatan yang bertugas saat itu berusaha menenangkan kondisi Dante. Mungkin karena terlalu syok, lelaki berparas tampan itu kembali tidak sadarkan diri. Adriana merengkuh tubuh rapuh Nyonya Wanda agar sedikit lebih tenang. Bulir-bulir di pipinya juga telah menerobos sudut mata dengan cepat. Setidaknya gadis muda itu pernah merasakan kebahagiaan bersama Dante. Namun, Kata-kata Dante barusan membuat Adriana sadar, bahwa rasa yang dia semai telah membuat nyeri hatinya. Seorang perawat datang bersama Dokter Gading dengan langkah bergegas."Pasien mengamuk dan baru saja pingsan satu menit yang lalu, Dok!" Seorang perawat yang mendampingi Dante memberikan laporan. "Siapa yang dia lihat pertama kali saat sadar?"selidik dokter berseragam putih itu seraya membetulkan letak kacamatanya. Perlahan Adriana melepas pelukannya pada Nyonya Wand
Untuk beberapa detik kondisi Adriana masih terlihat syok. Kedua matanya membulat, seiring dengan mulutnya yang ikut terperangah.Sejak kapan Emma berhubungan dengan Zoya? Apa mungkin video yang dikirim ke Dante tadi pagi atas prakarsa Emma? Adriana menghela napasnya kasar. Gegas gadis berambut panjang itu bangkit dari tempat tidur Emma. Adriana segera menyambar sling bag dan menyampirkan ke pundak. Ia harus menemui Emma sekarang juga. Bagaimana bisa sahabatnya itu berbuat nekat dengan menusuknya dari belakang? Adriana membetulkan posisi berdirinya. Gegas dia menarik langkah kakinya dari kamar Emma. Belum sampai di depan pintu utama, langkah Adriana terhenti. Sosok Emma telah berada di hadapannya tiba-tiba. "Cepat amat kamu pulang, Ma?" Adriana memutar bola matanya. "A-aku khawatir dengan kamu, Na!" Emma segera merangsek masuk seraya menarik lengan sahabatnya. "Khawatir kalau aku tau, kamu udah berkhianat? Iya?" Adriana menepis genggaman Emma seraya menyampaikan kekesalannya. "A
"Udahlah, Ma! Kamu gak usah mengarang bebas lagi. Aku nggak sudi menerima alassn apa pun untuk membenarkan sebuah pengkhiantan. Semuanya udah jelas sekarang. Sampai kapan pun tolong jangan kamu coba untuk cari keberadaan aku lagi. Aku gak bisa bersahabat dengan orang munafik seperti kamu!" Adriana segera memutar tubuhnya. Gadis cantik berambut panjang itu segera menarik langkahnya keluar dari kontrakan Emma. Melihat kegusaran Adriana, Emma semakin merasa bersalah. Dia bergegas mengejar Adriana untuk meminta maaf. "Na! Tunggu dong!" Emma menyentuh pundak Adriana hingga membuat gadis berambut panjang itu menoleh. "Apa lagi sih? Ck!" Adriana mencebik kesal. "Aku minta maaf, Na! Tolong kamu tidak cerita semua perbuatan aku ini ke orang kampung, Na. Aku malu." Emma meremas jemarinya erat. "Ohh karena itu kamu menahan aku?""Bu-bukan begitu, Adriana." Emma tampak semakin kusut. Mulutnya tertutup rapat. Sementara tubuhnya bergeming mendengar ucapan yang disampaikan oleh Adriana. Ada seb
Hari telah hampir sore. Namun, bias terik mentari masih terasa menyengat di kulit. Jalanan menuju rumah kostan yang dijanjikan Mama Ami masih belum juga tampak. Sesekali mereka saling berbagi cerita mengenai keseharian dan kisah-kisah lucu lainnya. Adriana merasa terhibur dengan banyolan segar dari Mama Ami dan putrinya. Mama Ami menghentikan langkahnya. Dia tampak memindai ke sekeliling. Sebuah rumah besar bertingkat tampak berdiri megah di dekat mereka. Pagar tinggi yang menutup rumah bertingkat itu tampak terbuka sedikit. Mama Ami segera menarik tangan Adriana untuk mengikuti langkahnya. Dia segera menuntun gadis muda itu ke sebuah rumah yang berada tepat di samping pagar besar dengan halaman mungilnya. Wanita paruh baya itu mengetuk pintu perlahan. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya seorang wanita berkerudung muncul dari balik pintu. Adriana dan Mama Ami dipersilahkan masuk untuk berbincang mengenai harga sewa kost yang dia punya. "Jadi nama kamu Adriana ya, Nak?" Wani
Sementara itu, di Danuaji Corp ....“Dante!”Dante yang sedang berkutat dengan dokumen di hadapannya mendongak. Tidak ada yang terjadi. Ia menatap ke arah gadis yang menjeblak pintu memaksa masuk dan ditahan oleh sekretarisnya itu dengan biasa saja, tanpa ada keterkejutan sedikit pun.“Iya? Ada apa, Nora?” tanya pria itu bertanya pada sang sekretaris.“Dante, ini aku!” Zoya berseru dengan terperangah karena tak menyangka Dante malah bersikap seolah tak mengenalinya!“Siapa orang ini?” Dante tetap bertanya kepada Nora.“Ehm, saya ... tidak tahu, Pak. Dia memaksa masuk ke sini meskipun sudah saya larang,” jawab Nora takut-takut.“Dan dia mengaku-ngaku sebagai Nona Zoya,” kata Nora sambil menatap tak suka pada si pendatang tanpa sopan santun itu.“Panggilkan satpam!” titah Dante lantas kembali menunduk menekuri dokumennya.Wajah Zoya semakin terperangah. Bagaimana mungkin Dante mengira orang lain sebagai dirinya, tapi malah tak mengenali ketika dia yang asli muncul di hadapannya? Benar-b
Gegas ia memanggil cleaning service untuk membereskan kekacauan kecil itu dan menanyai Dante apakah tidak siap untuk ikut meeting siang itu.Ia memang sudah mendapat pesan dari Nyonya Wanda bahwa Dante tak perlu diforsir dulu soal pekerjaan. Kondisi psikisnya masih labil sehingga banyak yang masih akan di bawah kendali Nyonya Wanda.Dante segera menggeleng keras.“Tidak, Nora. Aku siap,” jawab pria itu sambil mengusap wajahnya kasar lalu mematut diri sebentar di washtafel dekat pintu keluar ruangan. Setelah meras awajahnya sudah terlihat fresh kembali, ia pun melangkah bersama Nora ke ruang meeting.Yah, pekerjaan bisa membuatnya jauh lebih bisa melupakan Zoya untuk saat itu. Setidaknya tinggal malam hari yang ia bingung harus melakukan apa selain terpekur memandangi foto-foto mereka berdua di ponselnya. Masa-masa indah yang mereka lalui ketika gadis itu masih kuliah di Sidney dan ia sering terbang ke sana sekedar untuk mengunjungi. Juga saat Zoya gantian datang ke Jakarta di saat lib
Di rumah, Nyonya Wanda mendekati sang putra yang tampak sedang asyik membaca sebuah buku lama.“Apa itu, Dante?” tanya sang mama kepada putranya.Tak biasanya Dante menghabiskan waktu di ruang perpustakaan besar milik papanya itu. Bahkan, setelah Tuan Adam Danuaji meninggal, praktis ruangan itu seringnya tak pernah berpenghuni. Hanya di jadwal-jadwal tertentu akan ada beberapa pelayan yang bertugas membersihkan seluk beluk ruangan tersebut sekalian memeriksa buku-buku dan memastikan tak ada yang berubah di sana.“Dante cuma sedang iseng, Ma. Nemu buku bagus di sini,” katanya seraya menunjukkan sebuah buku tebal lawas tentang bisnis management.“Ini waktu Dante kuliah dulu sering pinjam ke perpustakaan universitas. Ternyata Papa malah punya sendiri di rumah,” lanjut Dante yang memang di masa mudanya tak begitu dekat dengan sang papa. Jangankan mengobrol, mereka bertemu muka saja sangat jarang terjadi karena Tuan Adam yang selalu saja ada jadwal ke luarkota ataupun luar negeri.“Oh, ya?
Esok sorenya, Dante jadi pergi dengan Nyonya Wanda ke rumah sakit tempat praktik Dokter Gading. Di sana, dokter itu memang telah siap sedia menunggu dengan beberapa persiapan. Pasien penting seperti keluarga Danuaji itu memang selalu mendapat perlakuan dan waktu khusus dari sang dokter. Itu mengenai komitmennya dalam hal pelayanan serta penghormatan atas kesetiaan pengguna jasanya.“Selamat sore, Tuan Dante. Bagaimana kabar Anda hari ini?” sapa Dokter Gading kepada Dante saat si pasien baru masuk dan duduk di kursi di hadapan beliau bersama Nyonya Wanda.“Baik, Dok. Saya tidak mengalami keluhan apa pun. Mama bilang Dokter butuh bertemu?” Dante bertanya balik.“Betul, Tuan. Sebenarnya apa yang Mama Anda ceritakan kemarin terhadap saya, itu membuat saya menduga bahwa ingatan Tuan sudah pulih secara total. Tapi, kita perlu memastikannya dnegan serangkaian tes untuk lebih pastinya, bukan?” Sang dokter menjelaskan keperluannya haru
Adriana dan Dante akhirnya bersatu. Mereka mengakui perasaan masing-masing hari itu juga dengan cara yang begitu lucu."Jadi, apa benar yang dikatakan Neil barusan?" Dante mengkonfirmasi kepada Adriana.Tentu ia juga ingin mendengar cerita versi dari gadis itu sendiri, kan. Bukan hanya dari versi Neil."Tentang yang mana?" Adriana malah balik bertanya karena ia sungguh tak paham arah pembicaraan Dante barusan. Apa maksudnya mengira Neil main-main atau bagaimana."Tentang yang dia bilang bahwa kamu ... mencintaiku, dan bukannya Neil," ucap Dante memperjelas maksud perkataannya. Hal mana tentu saja sukses menerbitkan rona memerah di pipi gadis cantik itu."Mana kutahu! Tanya saja sama yang bilang!" Adriana memasang wajah cemberut. Dan ia jadi baru ingat kalau orangtuanya masih tertinggal di gedung tadi."Astaga! Aku harus menjemput orangtuaku!" ucap Adriana memekik."Apa? Di mana?" Dante bertanya terkejut dengan perubahan topik yang sedrastis itu."Di gedung tadi," jawab Adriana menampak
Usai mengatakan hal itu, Neil turun dari panggung dan beranjak pergi. Ia sesak rasanya di sana. Tapi keputusan itu sudah hal yang paling benar. Memang ia telah mempermalukan keluarganya sendiri saat itu, tapi demi kebenaran, semua itu harus dilakukannya. Ya, dari awal kesalahannya lah terlalu memaksakan cinta sepihaknya terhadap Adriana.Adriana terkejut mendengar perkataan Neil yang membatalkan pertunangannya secara sepihak. Adriana sendiri bingung ia harus senang atau sedih, karena sebenarnya ia tidak mencintai Neil.Tidak hanya Adrina yang terkejut, para tamu pun terkejut mendengar pernyataan dari Neil yang membatalkan acara pertunangannya itu.Karena sebelumnya Neil terlihat sangat antusias dengan acara pertunangannya dengan Adriana. Dan mereka kurang mempercayainya jika Neil sendirilah yang membatalkan acara pertunangan itu.Para tamu langsung berbisik-bisik mengenai batalnya acara pertunangan mereka. Sedangkan Neil tidak peduli dengan semua omongan para tamu itu, Neil hanya memi
Bahkan saat sang ayah mengaku mau berbicara dengan Neil mengenai keberatan mereka atas pertunangan itu pun, Adriana menolak dengan tegas."Jangan, Pak. Kasihan Neil dan keluarganya kalau sampai semua persiapan besar ini sampai gagal." Adriana berkata tegas."Tapi, Nak. Nanti kamu yang akan menderita kalau sampai menikah bukan atas dasar cinta. Ini pernikahan sakral loh. Jangan dibuat mainan." Sang ayah berpesan dengan tatapan sangat khawatir terhadap nasib yang akan menyambut sang putri di depan.Adriana menghela napas panjang. Ia bahkan sudah tak ingin membantah takdir. Ia pasrah menerima semuanya. Bagaimanapun, Neil sudah sangat berjasa terhadapnya hingga ia tak mungkin rela menyakiti atau membuat kecewa pria baik itu."Tak apa, Pak, Bu. Adriana yakin, cinta bisa datang karena terbiasa. Yang penting Neil itu baik kok. Adriana yakin kelak akan bisa bahagia bersamanya."Sambil berkata begitu, Adriana bangkit dari tempat duduknya dan pamit untuk masuk ke dalam kamar untuk tidur. Jam su
Dan diantara orang yang sangat mengkhawatirkan Dante adalah Nyonya Wanda, karena semenjak Neil yang memberitahu mereka jika Adriana menerima lamarannya, Dante langsung terlihat sangat kacau bahkan jarang sekali makan.Seperti saat ini Dante tidak kunjung turun dari kamarnya padahal jam dinding sudah menunjukkan jam makan malam.Nyonya Wanda yang merasa sangat khawatir terhadapnya langsung pergi ke kamar Dante. Setelah sampai di depan kamar Dante, Nyonya Wanda langsung mengetuk pintu kamar Dante."Dante!" panggil Nyonya Wanda.Tapi Dante tidak kunjung menjawab panggilan dari nyonya Wanda. "Dante. Ayo makan, kamu udah beberapa hari ini gak makan dengan teratur."Dante sebenarnya malas, tapi karena ia tidak mau membuat ibunya khawatir, jadi Dante pun berniat untuk turun malam ini."Iya, Ma. Nanti Dante nyusul.""Mama gak mau turun kalau kamu nggak keluar," jawab Nyonya Wanda.Dante pun menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempatnya. Ketika Dante pergi, tiba-tiba ponselnya bergetar d
Sudah hampir satu jam tapi Adriana belum menemukan gaun yang cocok untuknya, tapi tiba-tiba Neil langsung merekomendasikan gaun yang dia sukai."Bagaimana dengan ini? Kamu suka?" tanya Neil sambil menunjukan gambar gaun yang ada di majalah.Adriana sangat menyukai gaun yang ditunjukkan oleh Neil itu, tapi ia merasa gaun itu tidak cocok untuknya karena gaun itu terlihat sangat mahal."Kayaknya nggak bakal cocok deh sama aku," jawab Adriana."Kan belum dicobain udah gih kamu cobain dulu," ujar Neil.Neil pun memanggil pegawai butik itu lalu menyuruh pegawai itu untuk memberikan gaun yang nilai sukai kepada Adriana. Adriana yang memang tidak bisa menolak akhirnya mencoba gaun itu. Dan ternyata gaun itu sangat cocok tidak perlu dikecilkan atau pun diperbesar.Pada akhirnya mereka menjatuhkan pilihan gaun pertunangan itu kepada gaun yang baru saja Adriana coba. Setelah membayar semuanya Neil dan Adriana pun pergi dari sana.Lalu Neil kembali membawa Adriana ke toko perhiasan, Neil dan Adri
Saat Adriana baru saja masuk ke dalam kantor, ternyata berita tentang mail yang mengajak serius kepada Adriana sudah tersebar luas ke semua karyawan, dan entah siapa yang menyebarkannya, karena Adriana dan Neil tidak merasa memberitahukan hubungan mereka kepada orang lain, termasuk Yanti sekali pun.Beberapa karyawan langsung merasa iri kepada Adriana, tapi beberapa karyawan lainnya juga merasa Adriana dan Neil cocok, termasuk Yanti yang sangat men-support hubungan Neil dan Adriana.Berbeda dengan Neil yang sangat merasa senang karena sebentar lagi dirinya dan Adriana akan melakukan acara tunangan, justru Adriana tidak merasa senang, Adriana malah memikirkan Dante yang sepertinya sedang mencoba menjauhinya.Karena biasanya Dante selalu datang ke kosannya atau ke kampusnya kini Dante tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi.Bahkan terakhir kali Adriana bertemu dengan Dante adalah pada saat dirinya akan pulang dari rumah sakit, dan kebetulan Dante akan menjemput Nyonya Wanda.Saa
Dante dan juga nyonya Wanda langsung melihat ke arah Adriana dan Neil mereka menatap Adriana dan Neil secara bergantian. Dante juga menatap Adriana dan berharap apa yang dikatakan oleh Neil adalah kebohongan."Benarkah?" tanya Dante. Tak terkira shock dalam hatinya meski ia berusaha untuk tak menampakkanya sama sekali.Adriana langsung menganggukkan kepalanya, dan Neil langsung tersenyum lebar sambil merangkul Adriana dengan lembut.Danti yang merasa gengsi langsung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah mereka berdua."Selamat, selamat untuk kalian berdua," ujar Dante."Selamat," ucap Nyonya Wanda juga.Nyonya Wanda melirik ke arah putranya itu, nyonya Wanda tahu jika Dante pasti merasakan sakit hati. Tapi di depan mereka berdua Nyonya Wanda terlihat ikut bahagia atas diterimanya lamaran Neil.Tiba-tiba Dante berpura-pura mengangkat telepon. "Iya? Sekarang? Baiklah aku akan pergi," ucap Dante.Setelah mengatakan hal itu Dante kembali pura-pura menutup sambungan telep
Tapi sebisa mungkin Nyonya Wanda menepis pikirannya itu, ia harap Neil tidak benar-benar menyukai Adriana. Karena nyonya Wanda ingin Dante dan Adriana bersama.Karena merasa tidak nyaman melihat Adriana dan juga Neil, Nyonya Wanda pun memilih ke luar dari ruangan Adriana untuk pergi ke kantin saja.Sedangkan Neil yang melihat Adriana lebih baik justru berpikir ingin melamar Adriana, tapi pikirannya langsung menolaknya. Tapi di sisi lain Neil merasa ini kesempatannya siapa tahu sekarang Adriana menerima lamarannya itu.Neil menghela nafas panjang, lalu memegang tangan Adriana dengan lembut. Adriana yang tangannya dipegang oleh Neil merasa dadanya berdegup kencang."Adriana, aku gak tahu ini waktu yang tepat atau bukan, tapi aku cuman mau bilang ke kamu, kalau aku mencintai kamu. Aku ingin melamar kamu jadi mau gak kamu menikah denganku?" tanya Neil.Adriana merasa sangat terkejut dengan pernyataan dari Neil barusan. Adriana tidak menyangka jika Neil akan melamarnya di sini di rumah sak
"Kemarin Tante panik banget, Tante takut terjadi apa-apa sama kamu, apalagi Dante bilang kamu di tusuk Zoya," ujar Nyonya Wanda sambil memberikan sepotong buah apel yang sudah ia kupas."Makasih Tante.""Terus pas udah sampe rumah sakit, dokter bilang kamu kekurangan darah, Tante, Dante sama Neil makin panik tuh. Kami kan gak tau golongan darah kami jadi kami bertiga di cek dulu, dan ternyata golongan darah Neil yang cocok," ujar Nyonya Wanda.Adriana yang sedang memakan buah apel terkejut ternyata orang yang sudah mendonorkan darah kepada Adriana adalah Neil atasannya sendiri.Adriana merasa kebaikan Neil itu di luar batas, Adriana bersyukur dipertemukan dengan orang yang sangat baik seperti Neil. Tapi di sisi lain Adrian nama rasa bingung karena dirinya merasa tidak enak ketika Neil terus memperlakukannya baik, karena Adriana belum menyukainya Neil.Sedangkan nyonya Wanda langsung terdiam, iya keceplosan sudah memberitahu adriannya jika nilai yang mendonorkan darah untuk Adriana.Ta