"Bisa kau Jelaskan apa yang sedang terjadi di sana! apa kalian sudah bosan hidup? hah!" suara bentakan pria di teleponnya.
Seketika Steve melihat lagi layar ponselnya. Dengan mata yang masih menahan kantuk. Dia sangat terkejut ketika melihat siapa si penelpon tersebut.
Ayahnya kembali berbicara dengan nada kesal. "Apa kau masih hidup?! kenapa diam saja?! aku sedang bicara dengan bekas anakku sekarang!"
"A-apa yang sedang kau bicarakan dad? Aku tidak tahu maksudmu?"
Steve yang tadinya mengantuk, kini benar-benar langsung sadar. Dia sebenarnya tahu apa yang dimaksud ayahnya. Ia hanya tidak menyangka ayahnya akan tahu secepat ini.
'Bagaimana dia bisa tau cepat ini? bahkan lebih cepat dari perbedaan waktu antar negara yang kita tempati sekarang? ya, Tuhan selamatkan hidupku!' gumamnya dalam hati. Dia bingung harus menjawab apa.
"Kau bisa jelas
"Oh, iya pak, maaf mengganggu waktunya, silakan berkeliling lagi pak." ucap Arsen sopan. Bukan mendapat jawaban yang diharapkan. Arsen malah mendapat informasi lain yang membuatnya berprasangka buruk. Dia terus memikirkan pernyataan yang diucapkan oleh tukang sayur tersebut. Pria berkulit putih itu kembali masuk kedalam rumah, ia mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia mencari-cari barang yang ada di rumah itu. Mencari tahu sesuatu yang mungkin bisa dijadikan petunjuk, untuk mengetahui benar atau tidak perkataan tukang sayur yang suka julid tersebut. Ia akhirnya menemukan album foto kecil di almari yang berada di ruang tamu. Arsen melihat album tersebut. Hanya berisi foto-foto Gladis saat ia masih kecil bersama ibunya. Arsen terus membuka album tersebut sampai ke halaman terakhir. Dia menemukan 2 lembar foto Gladis saat remaja. Satu lembar foto Gladis bersama pria berambut gondrong, tubuh berotot, me
Reska hanya bisa menelan ludah mendengar fakta yang akan terjadi. "Ah, haha ... nona anda sangat murah hati ...." Tak ingin mengobrol lama dengan orang bodoh. Jenni langsung menutup telepon tanpa membiarkan Reska menyelesaikan ucapannya. Tiba-tiba Jenni dikejutkan dengan kedatangan Gladis yang belingsatan, karena mendengar informasi jika proyek yang ia kejar di Bali tiba-tiba dibatalkan. Dia juga ingin menginformasikan hal ini kepada Reska, namun gadis berparas ayu itu tidak bisa menghubunginya. Dengan nafas masih terengah-engah. Gladis menghampiri Jenni yang masih duduk di kursinya. "Kamu sudah tahu?" Yang ditanya masih duduk tenang di kursinya. Jenni hanya mendengus kesal sambil memijit pelipisnya. Gladis kembali bertanya untuk memastikan, "kok bisa loh?" "kamu yang rapat ke sana! kamu yang ikut bos kesana! kenapa malah tanya gue? makanya jangan asyik pacara
Sekilas Kevin melihat bayangan di belakangnya. Kemudian asisten jangkung itu langsung menoleh ke belakang, ke arah Gladis. Untung saja Gladis sudah pergi dan kembali masuk ke ruang rapat saat Kevin sudah selesai berbicara. Sementara Arsen yang sedang duduk, sambil melihat ponselnya. Menunggu balasan dari Gladis namun nihil. "Apa dia benar-benar sedang sibuk? kenapa cuma dibaca aja chat-ku? padahal aku pengen tanya siapa laki-laki itu!" Arsen mengambil buku di hadapannya. Lalu mengibas-ngibaskan buku itu. Ia masih terus menggerutu, "AC nyala, tapi kok badanku masih panas aja ya? ini aku yang gerah atau memang cuacanya?" Arsen bersandar di kursi, masih memikirkan Gadis pujaannya bersama pria bertato yang saat ini membuatnya gusar. Dia mengambil lagi ponselnya. Mengangkat ke atas dan mengayunkannya. Berharap segera mendapat balasan. "Apa sinyalnya ya? tapi ini penuh kok."&nbs
Mendengar nama Arsen, Melinda tersenyum dan bertanya, "apa yang sebenarnya ingin anda kata?" Gladis memperhatikan wanita galak di hadapannya dengan seksama. Dia yakin, jika dia banyak memuji Melinda dan mengunggulkan perusahaan lawannya tersebut, ia pasti akan luluh. "Kupikir, dari pada perusahaan kami, Adyatama lebih tidak mau mengubah insiden ini menjadi skandal perusahaan? kerugian besar sudah dapat dipastikan dan juga anda akan berurusan dengan hukum tapi ...." Sebelum melanjutkan ucapannya. Gladis melihat melinda yang tersenyum saat mendengar penjelasan tentang bisnis tersebut. Gladis melanjutkan penjelasannya mengenai keuntungan apa saja yang akan didapat oleh Melinda. "Bagaimana menurut anda tentang tawaran saya?" Melinda nampak setuju. Mereka melanjutkan negoisasi mengenai pembagian profit. Melinda kembali ragu kepada gadis blasteran itu. Senyuman yang lebar dibibirnya berubah menja
"F-foto? foto apa?" Setelah melihat foto tersebut, Gladis malah tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Arsen yang masih berada di tangga, mengetahui respon dari Gladis membuat dirinya kesal sendiri. Arsen langsung menuju ke kamarnya dengan membanting pintu. Suara pintu yang keras sampai membuat Gladis terkejut, tapi juga membuatnya tertawa. Gladis tak menyangka hanya perkara foto bisa membuat Arsen bersikap seperti itu. 'Bisa ya, dia jadi kaya gitu? kalau misal aku ketahuan selingkuh mungkin aku bisa digantung kali ya? ya, ampun ntar buat FTV kasih judul, kulkas berjalan berubah jadi bucin, hahaha.' Arsen yang menunggu respon dari Gladis. Dia berdiri dengan menempelkan telinganya di pintu. Ingin mendengar apa yang sedang dilakukan wanita tambatan hatinya itu, namun ia tak dapat mendengar apapun. Pria tampan itu mencoba mengintipnya dari balik pi
Dia melihat adegan mesra mereka. Dua sejoli itu juga dikagetkan dengan suara plastik jatuh dari genggaman Steve. "Oops, sorry." Steve yang melihat aksi dua sejoli itu hanya melongo. Arsen buru-buru menurunkan gadis cantik itu dari gendongannya. Spontan Gladis menepuk jidat dan mengusap wajahnya karena malu. "Aku ke sini cuma nganterin makanan," kata Steve sambil mengambil kembali plastik yang dijatuhkannya. Sementara Arsen hanya senyum-senyum sendiri menahan malu. "Ah, iya, kenalin aku Steve, kakaknya cewek yang gemesin itu," Steve menunjuk Gladis, kemudian mengulurkan tangannya kepada Arsen. "Bang, lo panjang umur lho," kata Gladis ingin memberitahu yang sebenarnya. Namun mulut nya langsung ditutup Arsen menggunakan tangannya. "Maksudnya?" membuat Steve bingung dengan tingkah dua sejoli di hadapannya itu. Tak ingin mengganggu adiknya. Pria gagah itu langsung berpamitan.&n
Lexi membiarkan Melinda duduk sendiri di ruangan itu. Dia lebih memilih meninggalkan nya. Pria tampan itu pergi keluar dari apartemennya. Sebenarnya Melinda ingin mencegah Lexi untuk pergi, namun sesampainya di belakang pintu ia mengurungkan niatnya. Lexi yang tidak ingin bertambah pusing. Ia datang menghampiri si asisten melankolis yang saat ini masih bekerja lembur di kantor. Sebelumnya dia sangat anti, jika harus datang ke kantor apalagi saat jam kerja karena dia adalah tipe orang yang introvert. Kevin yang tertidur di meja kerjanya, ia dikagetkan dengan dehaman Lexi. Membuat Kevin segera bangun dari duduknya meski dirinya belum sepenuhnya tersadar. "M-maaf nona Melinda aku ...." Dan Kevin mengucek matanya berkali-kali. Melihat Siapa yang membangunkannya, Kevin langsung tersadar sepenuhnya. "M-maaf tuan, aku kira tadi Melinda." "Kenapa kamu jam segini masih kerja?" &nbs
"Perasaan aku tadi malam tidur sendiri loh? kenapa bangun-bangun bisa berdua gini? hayo loh?" Arsen hanya mesam-mesem. Karena semalam ia terganggu dengan isi pikirannya sendiri sehingga ia memutuskan untuk menemui Gladis. Sebenarnya saat dia marah. Arsen sempat ingat tentang dirinya saat marah-marah di depan karyawan, namun itu hanya sekilas dan kurang jelas. Saat dia masuk ke kamar Gladis yang ternyata tidak dikunci. Ia ingin bertanya tetapi melihat Gladis tertidur begitu lelap membuatnya ragu untuk membangunkannya. Pada akhirnya dia juga ikut tidur di samping gadis manis itu. Sebelumnya Arsen juga sempat mengambil ponsel milik Gladis yang berada di dalam laci. Karena penasaran dia menerima telepon dari seseorang tanpa nama dan nomor yang tidak tersimpan di ponsel tersebut. "Halo, selamat malam, maaf ini siapa?" tanya Arsen saat menjawab telepon itu. "Apa ini Arsen? di
Kevin membuka lebar pintu ruang rapat yang masih ricuh. Terlihat Melinda hanya menunduk saat dimaki oleh salah satu pemegang saham. Sejurus kemudian semua mata yang ada disana melihat kearah Arsen. Tak terkecuali Melinda yang langsung tersentak melihat Arsen berdiri di ambang pintu. "A-arsen?" gumamnya. Begitu bos arogan itu masuk dan memposisikan dirinya di hadapan semua orang. Dengan wajah serius, dia memandangi orang-orang yang beraada di hadapannya, beberapa saat kemudian, ia melihat beberapa lembar kertas berisi laporan bulanan. Tiba-tiba saja Arsen meminta maaf. "Kepada direktur dan pemegang saham yang terhormat! Saya sangat menyesal atas apa yang terjadi hari ini dengan permintaan maaf yang tulus." Arsen lalu membungkuk di hadapan semuanya. Hal tersebut membuat semua orang yang mengetahui sifat aslinya terheran-heran, termasuk Kevin dan Melinda. Bagaimana bisa seorang Arsen A
Tanpa bosa-basi lagi, mereka berdua segera pergi ke kantor. Sementara keadaan di kantor sedang ricuh karena rapat bulanan para pemegang yang mulai curiga karena hasil pembagian profit tidak sesuai dengan uang yang masuk. Mereka menanyakan kemana Arsen sebenarnya. [Arsen sudah kembali! Bersiap-siaplah] Isi pesan singkat di ponsel Melinda dan CFO perusahaan saat mereka masih rapat dari seseorang. Begitu membaca pesan tersebut, wajah gadis bermata sipit itu langsung berubah menjadi pucat pasi. Obrolan orang-orang disekitarnya seolah-olah hanya angin lalu. Dengan badan gemetar, CFO perusahaan beringsut keluar dari suasana ruangan yang masih ricuh. Melinda duduk mematung dengan tatapan mata kosong. Pikirannya menjadi kosong seperti terhipnotis. Salah satu pemegang saham meninggikan nada bicaranya, menuduh Arsen dalang dibalik semua kerugian yang terjadi. Karena memang faktanya, semua kesenja
Saat Gladis menciumnya, ketika mereka menghabiskan malam bersama. Memberi perhatian untuknya, mencubit tangannya waktu terasa sakit, momen dimana pertama kali Arsen bertemu Gladis di Rumah sakit sampai Arsen mengingat tentang benturan keras saat dirinya di dalam mobil. Seketika itu juga, Arsen langsung tersadar dan sudah berada di Rumah sakit. Sebelumnya, saat pekerjaannya hampir selesai, Gladis ditelepon seseorang dengan nomor yang tak dikenal. Gladis menyipitkan mata saat melihatnya. Awalnya dia ragu untuk menerima telepon dari nomor rumahan tersebut. "H-halo ...." "Halo selamat siang, ini dari rumah sakit ... Apa benar ini Gladis? Nomor anda tersimpan di kontak darurat milik pasien atas nama Arsen Adyatama." Deg! Benar perasaan Gladis yang sedang tidak nyaman dan gelisah dari tadi. Pihak rumah sakit memberi tahu jika Arsen mengalami kecelakaan jatuh dari tangga dengan kondi
"Kirimkan lokasinnya sekarang! aku akan segera menuju kesana!" ucap Kevin saat ditelepon oleh orang yang dia sewa. Melinda sangat heran saat melihat gelagat Kevin yang sangat gugup. Dia berusaha mengejar Kevin sambil berteriak, "Kevin tunggu!" Sayangnya, Kevin tidak menggubris suara Melinda karena dia juga diberi tau jika Arsen dalam bahaya. Gadis bermata sipit itu terus mengejarnya sampai ke basement parkiran mobil. Dengan cepat, sebelum Kevin masuk kedalam mobil, dia menarik lengan pria tersebut. "Tunggu! Ada apa?" "M-maaf nona, saya buru-buru!" Kevin melepas genggaman Melinda dan masuk kedalam mobil. Tanpa menoleh lagi ke arah melinda, dia langsung menancap gas. Sementara Arsen masih menganalisa keadaan sekitar. Berusaha mencari celah jalan keluar. Sadar, orang-orang yang mengikuti tau bahwa Arsen mengetahui jika sedang diikuti. Mereka semakin me
Begitu Arsen duduk, dia berkata dengan wajah serius, "Jawab aku dengan jujur!" Gladis mengerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arsen berbicara seperti itu. Bahkan bukan ucapan selamat malam ataupun sekedar say hay. "Mengapa kamu bisa secantik ini?" Pertanyaan Arsen disambut gelak tawa oleh Gladis. Gadis cantik itu sudah berfikir yang tidak-tidak. "Apaan sih? receh banget." Gladis melirik ke arah pengunjung restoran lain. Mereka saling curi-curi pandang terhadap Arsen, namun sayang yang diperhatikan hanya memandang satu wanita di depannya. "Kamu juga. Bisa gak sih? tampannya disimpan aja!" Gladis membalas ucpan Arsen. Tak berselang lama, makanan yang dipesan sudah siap tersaji. Mereka berdua menikmati makanan itu. Saat sedang makan, Arsen melihat ada pasangan lain yang sedang suap-suapan dengan mesranya. Sejurus
Pada akhirnya pria tua itu menandatangani satu berkas berisi perjanjian pembagian profit keuntungan. Dia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Melinda selalu memasang senyum ramahnya. sampai pada akhirnya, pria tua itu pergi dan Melinda langsung menelpon CFO perusahan. "Mangsa lama kembali memakan kail yang terpasang," ucapnya sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sementara itu, Gladis dan Jenni sedang istirahat di kantor. Mereka membicarakan tentang perkembangan kerja sama antara Anthem dan Adyatama. Saat di tengah-tengah obrolan, Jenni teringat tentang ucapan teman lamanya waktu reuni tempo hari. Kata tunangan yang terlintas dibenaknya. Ingin sekali ia memberitahukan hal tersebut kepada Gladis. Namun melihat kedekatan sahabatnya itu dengan Arsen, membuatnya tak tega untuk mengungkapkan kebenarannya. Gladis melihat cara memandang Jenni tidak seperti biasanya, membuat dirinya penas
"Jangan terlalu percaya kepadaku! Aku tak sebaik dugaanmu, aku takut suatu saat nanti kamu akan terluka dan membenciku .... Selamat pagi." Setelah berbicara seperti itu, Arsen mendaratkan satu kecupan di jidat Gladis. Sedangkan Gladis sendiri tertegun karena saat sedang mendengarkan ucapan Arsen tiba-tiba ia dicium. Pagi itu, dia bersiap pergi bekerja seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, Jenni datang untuk menjemput Gladis. Mereka bersiap untuk berangkat bersama. Di jalan Jenni bertanya kepada Gladis tentang keberangkatannya besok dan tentu saja, tentang steve yang besok harus berangkat ke luar negeri. "Dia bilangnya besok, tp kemarin pagi dia langsung berangkat. Gak tau deh kenapa?" "What?! Eh, tapi kok loe bisa tau?" "Tadi bokap call pake nomornya dia." Jenni terbelalak tak percaya. Dia benar-benar kecewa karena Steve tidak be
Arsen mengerutkan dahinya. Memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mateo. Semuanya memang benar, tapi apa yang harus ia katakan dengan jujur? Semua membuatnya bingung. "Maksud tuan?" "Kau butuh uang berapa?" Arsen semakin bingung dengan ucapan pria paruh baya tersebut. Dirinya tidak membutuhkan uang. Selama ini kebutuhannya selalu dicukupi oleh Gladis. Sejenak Arsen memalingkan pandangannya, tidak berani menatap layar ponsel yang berada di hadapannya. "Maksud anda? Ah, maaf tuan, saya tidak mengerti. Tapi ... Saya hanya ingin bersamanya!" "Sudahlah, katakan kepadaku berapa banyak yang kau inginkan jika meninggalkan putriku!" Arsen menoleh kebelakang, melihat pintu kamar yang Gladis tempati. Masih tertutup rapat tandanya gadis yang sedang dibicarakan masih tertidur. Tidak ingin Gladis mendengar pembicaraan dengan ayahnya, Arsen memut
Melinda gelagapan dengan pertanyaan CFO tersebut. Dia tidak menyangka akan diragukan oleh partnernya. Sejauh ini dirinya sendiri juga tidak memikirkannya. Karena perbuatannya tidak ada yang mencurigai sampai pada rapat pemegang saham waktu lalu. "Jika aku terseret masalah, maka aku juga akan membawamu!" CFO itu mengancam Melinda. Dengan mata terbuka lebar dan alis yang hampir menyatu, melinda menjawab dengan ketus ucapannya. Dia meyakinkan jika mereka tidak akan terkena masalah jika CFO tersebut tidak berbuat yang aneh-aneh. Pagi hari, suasana di hotel tempat Reska dan Jenni menginap sangat tenang. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi kamar yang mereka huni. Kedua sahabat itu masih saja menyalahkan satu sama lain tentang kejadian yang mereka lalui, walaupun itu hal sepele. Seperti saat ini, ketika ingin pulang dan berangkat kerja, Reska ingin menumpang dengan Jenni karena dia