"Perasaan aku tadi malam tidur sendiri loh? kenapa bangun-bangun bisa berdua gini? hayo loh?"
Arsen hanya mesam-mesem. Karena semalam ia terganggu dengan isi pikirannya sendiri sehingga ia memutuskan untuk menemui Gladis. Sebenarnya saat dia marah. Arsen sempat ingat tentang dirinya saat marah-marah di depan karyawan, namun itu hanya sekilas dan kurang jelas.
Saat dia masuk ke kamar Gladis yang ternyata tidak dikunci. Ia ingin bertanya tetapi melihat Gladis tertidur begitu lelap membuatnya ragu untuk membangunkannya. Pada akhirnya dia juga ikut tidur di samping gadis manis itu. Sebelumnya Arsen juga sempat mengambil ponsel milik Gladis yang berada di dalam laci.
Karena penasaran dia menerima telepon dari seseorang tanpa nama dan nomor yang tidak tersimpan di ponsel tersebut. "Halo, selamat malam, maaf ini siapa?" tanya Arsen saat menjawab telepon itu.
"Apa ini Arsen? di
Siang hari yang sangat terik. Setelah memesan taksi online, akhirnya Arsen memutuskan untuk pergi ke Universitas Indonesia tanpa sepengetahuan Gladis. Tetapi sesampainya di tengah jalan, Arsen dibuat bingung oleh driver taksi yang ngantarnya. "Maaf Mas, ini tujuannya cuma UI? terus mau ke universitas yang mana?" "Ke ... Pokoknya yang ada gedung Fakultas Ekonomi dan bisnis mas!" Arsen tidak ingin ambil pusing karena dia sendiri juga tidak ingat. Dulunya dia dosen di kampus yang mana. Ia meminta supir taksi tersebut untuk membantunya dan untung saja si supir taksi online tersebut sangat berpengalaman. Kondisi jalan yang macet pada saat jam kerja, menambah lamanya perjalanan. Sekitar 30 menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Sesampainya di dalam lingkungan kampus tersebut. Arsen tidak tahu harus menuju ke gedung yang mana. Ia melihat ke se
Dia terus memperhatikan setiap foto yang ada disana. "Profesor Galih? siapa dia? kenapa aku merasa tidak asing dengan?" Arsen mengingat sekilas tentang profesor tersebut. Dia seperti mendengar suara seorang laki-laki di kepalanya. Nyeri hebat dan pusing yang ia rasakan lantas Arsen memegangi kepalanya. Pria bertubuh tinggi itu hampir saja terjatuh, namun orang yang berada di belakang membantu Arsen untuk menyeimbangkan dirinya lagi. "Kau kenapa? apa kau sakit?" tanya pria yang saat ini memapah Arsen. Mereka duduk di bangku dekat mading. Pria dengan setelan jaket denim serta celana jeans sobek itu sudah memperhatikan Arsen dari tadi. Namun Arsen tidak menyadarinya. "Sepertinya ponsel Anda rusak? LCD-nya pecah." Pria itu memberikan ponsel yang tergeletak di lantai saat Arsen akan terjungkal tadi. Pria berparas rupawan itu masih menahan rasa sakit dikepalanya. Pandangannya juga sedik
"Arsen di mana?" tanyanya to the poin. "Arsen? I don't know," jawab Steve enteng. Dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Gladis mengembuskan nafas beratnya. "Gimana sih, Bang! bukannya lo udah aku kasih tahu buat bantu jagain dia!" Pria bertato itu tercengang mendengar ucapan dari adik tersayangnya. Dia ingin mematikan telepon tersebut. Karena tidak ingin ambil pusing dengan masalah yang dialami adiknya. Namun sepertinya Gladis tahu apa yang ada di pikiran kakaknya. "Jangan coba-coba matiin telepon dari gue!" "Ampun deh! punya adik kok copy paste-nya bokap banget ya! mengsedih aku." Gladis mulai kesal. Dia berjalan mondar-mandir di depan pintu sambil menggigit kuku tangannya. Sesekali ia melihat ke arah gerbang rumah. "Siapa suruh rumah di pasang CCTV malah di putus kabelnya!" "Udah nggak usah
Gladis dengan yakin mengatakan kepada kakaknya. Dia juga tidak tahu jika ingatan Arsen kembali apa yang akan terjadi kepadanya. Ucapan Gladis pun dijawab candaan oleh Steve. "Better pepet terus, than disamber!" "Eeaaa ..., sa ae lo bang!" Kedua kakak beradik itu terlihat bahagia di samping mobil. Arsen tersenyum melihat mereka bercengkrama dari jendela. Lelaki yang sebelumnya sempat membuat Arsen overthinking, ternyata adalah orang selama ini dapat menjaga kekasih hatinya. Dia teringat ucapan tukang sayur keliling tempo hari. Sosok pria yang dimaksud adalah Steve. Kembali lagi Steve mengembuskan napas sejenak dan menepuk pundak Gladis. "Hati-hati dengan hati! suatu saat kau akan menyadari bahwa dunia tidak akan menawarkan kehidupan yang bahagia kepada siapa pun!" ucap pria bertato di lengan kanan dan kirinya itu saat mewanti-wanti adik tersayangnya. "Bang! aku udah
Lexi hanya tersenyum dan tak terlalu menanggapi Kevin. Sebelum masuk, Kevin tidak tahu apa yang sedang dibahas dua orang itu. Namun saat asisten klimis itu datang, raut wajah Melinda sangat Murung Tidak seperti biasanya. Pria yang selalu rapi itu menyodorkan satu berkas kepada Melinda. "Ini file tentang pertemuan kemarin yang Anda minta." Lexi menatap serius kepada Kevin. Isyarat matanya mengatakan jika Dia menyuruh Kevin untuk segera pergi. Namun Kevin malah menjadi canggung dan salah tingkah diantara mereka bertiga. Karena dia sedang menunggu berkas itu diperiksa oleh Melinda. "Oh, maaf Nona, ini waktunya saya pulang. Tuan Lexi sampai jumpa." Melinda langsung menghentikan keputusan Kevin. "Tunggu! umm ... kamu bekerja lembur malam ini! pergi ke suatu tempat bersamaku!" Kevin dan Lexi kembali beradu pandang. mereka tidak mengerti apa yang
Melinda pada akhirnya juga ikut larut dalam suasana itu. Dia minum beberapa gelas kecil berisi cairan memabukkan itu. "Ayo lanjutkan sampai pagi! aku tidak akan kalah darimu Nona!" teriak Kevin tak terkendali karena pengaruh alkohol. Kevin memang dari awal sudah mengetahui maksud dari Melinda yang tiba-tiba saja mengajaknya untuk minum. Sejak awal Kevin sudah menaruh curiga kepada Melinda. Gadis itu salah duga untuk mengajaknya mabuk dan membuat Kevin teler terlebih dahulu. Karena wanita licik itu ingin mengorek informasi tentang Arsen. "Maaf Nona, walau tuan Arsen buruk saat minum. Saya tidak sama sepertinya," kata Kevin saat menggendong Melinda yang sudah tidak sadarkan diri dan memasukkannya ke dalam mobil yang terparkir di depan bar tersebut. Kevin menyelimuti tubuh gadis bermata sipit itu menggunakan jasnya. Melinda tidur di kursi pengemudi. "Rumah Anda di mana Nona? aku akan mengantarmu pulang!"
Badan yang awalnya dingin kini berubah menjadi panas, terlihat dari pipi dan telinga yang berubah merah. "Masih sepagi ini dan ini hari libur?" tanyanya sambil memeluk erat tubuh seksi milik Gladys. "Umm ... itu." Arsen duduk dan berpindah posisi. Saat ini mereka berbaring saling berhadapan. Sepasang kekasih itu terus bertukar pandang. Arsen mengusap lembut wajah cantik milik Gladis. Pipi Gladis semakin bersemu. Debaran hatinya tak menentu. Dengan perlahan Arsen mendekatkan wajahnya. Refleks Gladis menutup rapat-rapat kedua kelopak matanya. 'T-tidak! hati tolong waraslah! jaga pikiranmu! Gladis ayo sadar!' ronta Gladis dalam hatinya. Dengan cepat tangan Gladis menutupi mulutnya yang hampir saja dicium oleh Arsen. "Aku lupa ...." Kembali lagi gadis blasteran itu memikirkan alasan yang tepat untuk menghindari kejadian tak terduga seperti ini
Gadis bermata sipit itu memperhatikan ke sekitar. Saat hendak melajukan mobilnya, ia melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Arsen melintas di depan mobilnya. Pria itu terlihat hendak menyeberang jalan. Melinda sampai mengucek kedua matanya berkali-kali. Dia buru-buru ingin mengejar pria tersebut. Namun saat membuka pintu mobil, suara klakson sangat keras mengejutkannya. Dia kembali menutup pintu mobilnya. Kepala Melinda tiba-tiba saja terasa pusing. Namun dia berusaha menahannya. Kali ini sebelum keluar mobil, Melinda melihat ke belakang untuk memastikan tidak ada mobil lain yang melintas. Ia kembali mengejar pria tersebut. Melinda menyeberang jalan menerobos kerumunan dengan terburu-buru. Sayangnya, pria yang dilihat itu sudah tidak nampak lagi. Gadis berambut keriting itu, tanpa ia sadari matanya telah berkaca-kaca. Menahan sesak di dada. "Kamu kenapa kaya gini sih, Mel? apa yang kamu harapkan d