Gadis bermata sipit itu memperhatikan ke sekitar. Saat hendak melajukan mobilnya, ia melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Arsen melintas di depan mobilnya. Pria itu terlihat hendak menyeberang jalan. Melinda sampai mengucek kedua matanya berkali-kali.
Dia buru-buru ingin mengejar pria tersebut. Namun saat membuka pintu mobil, suara klakson sangat keras mengejutkannya. Dia kembali menutup pintu mobilnya. Kepala Melinda tiba-tiba saja terasa pusing.
Namun dia berusaha menahannya. Kali ini sebelum keluar mobil, Melinda melihat ke belakang untuk memastikan tidak ada mobil lain yang melintas. Ia kembali mengejar pria tersebut. Melinda menyeberang jalan menerobos kerumunan dengan terburu-buru.
Sayangnya, pria yang dilihat itu sudah tidak nampak lagi. Gadis berambut keriting itu, tanpa ia sadari matanya telah berkaca-kaca. Menahan sesak di dada. "Kamu kenapa kaya gini sih, Mel? apa yang kamu harapkan d
Mereka segera membukakan pintu untuk Jenni. Gladis dan Arsen tidak tahu jika Reska datang bersama Jenni, karena dia bersembunyi di dalam mobil. "Ayo masuk! aku membuatkan minum," ucapan Arsen kepada Jenni. Ajakkan itu ditolak oleh Jenni karena dia akan membicarakan hal penting dengan Gladis. "Kami akan membahas pekerjaan di sini dulu," ucap Gladis memberitahu. Stelah Arsen masuk ke dalam rumah, mereka berdua duduk di kursi yang brada di bawah pohon yang rindang. Rumah Gladis memiliki taman kecil di depan rumahnya. Banyak bunga dan tanaman hias tumbuh subur dan terawat. Dengan meja dan kursi di pojok sebelah kanan dan ayunan dengan atap kecil di pojok depan sebelah kiri. Kebiasaan merawat tumbuhan Gladis dapat dari sang ibu. Saat mereka berdua sedang membicarakan tentang pekerjaan dan suasana di kantor Adyatama Group yang dikabarkan merugi besar akibat hilangnya Arsen. Tiba-tiba saja dengan senyum lebar me
Sesekali ia mengembangkan senyum separuhnya. "Jadi Anda adalah Bos manja yang selalu butuh bantuan Gladis?" Suara Arsen memecah ketegangan di antara mereka. "Tepatnya Aku adalah bos dan teman masa kecilnya. Ah, tidak! kita adalah kekasih masa kecil." Reska mengatakan hal yang tak terduga untuk pria di hadapannya. Arsen sempat melotot saat mendengar ucapan Reska. Namun sedetik kemudian ia dengan bangga mengatakan bahwa Reska mungkin hanya dianggap sebagai anak kecil bagi Gladis. Untuk saat ini hanya Arsenlah yang ada di hatinya Gladis. "Apa tidak apa-apa kalau meninggalkan mereka berdua seperti itu?" tanya Jenni pada Gladis saat mereka hendak naik ke lantai dua. Ada hal yang harus mereka bicarakan berdua. "Tenang. Aman kok, karena yang satu hilang ingatan dan satu lagi gak punya ingatan." Lantas mereka berdua tertawa riang sambil terus berjalan melewati tangga. Saat menyeruput kopi
Tanpa komando kedua pria tak dikenal tersebut langsung menoleh ke belakang. Mereka melihat Steve yang memasang muka poker face-nya. Pria asing tersebut langsung gemetar. Bahkan, salah satunya menepuk-nepuk lutut teman di hadapannya. Sebenarnya Steve sudah mengetahui keberadaan keduanya sejak pagi. Tetapi, ia membiarkan mereka karena Steve pikir kedua pria tersebut hanya iseng di depan rumah adik tersayangnya. Tapi pria tak dikenal itu terus berada di sana, maka ia sengaja menghampiri mereka. "Kalian ngintip siapa?!" Karena tidak sabar, pria gondrong itu mengambil begitu saja kamera yang dipegang salah satu pria asing tersebut. Ia membuka dan melihat hasil jepretan mereka. Di sana ada foto Gladis dan Arsen saat sedang melakukan aktivitas di luar rumah. "Siapa yang menyuruh kalian?!" tanya Steve dengan nada tinggi. Pria asing itu terus saja diam. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Steve menarik pa
"Aduh .... Sakit!" "Bagaimana rasanya?" tanya Gladis penasaran. Arsen mengedip-ngedipkan matanya. Terlihat Ia berpikir sejenak. Gladis mencubit pergelangan tangan yang tidak dibalut biocrepe dan Arsen mengaku jika cara Gladis sangat jenius. "Kamu membagi rasa sakitnya menjadi 2, sehingga tangan yang patah tidak terasa sakit lagi, tapi di sisi lain yang ini sakit karena ... dicubit!" Spontan gadis cantik itu menepuk lutut Arsen. Dia berucap, "Hei! apakah kamu tidak tahu seni kehidupan? meski tanganmu sakit, ingatlah bahwa tangan yang lain tidak sakit!" Kata-kata Gladis terdengar seperti syair di telinga Arsen. Ia terus memandang Gadis itu dengan tersenyum bahagia dan sorot mata berbinar-binar. "Kamu sangat baik untukku. Terlalu baik." "I-itu ... sudah tugasku." 'Aku yang terlalu baik atau kamu yang terlalu penurut seperti anak kucing. Hahaha ...'
"Baiklah, aku akan turun tapi ada satu permintaan untukmu!" Gladis memutar kedua bola mata dan melipat kedua tangannya. Ia menghela napas kemudian berjalan mendekati pria tersebut. "Apa itu?" "Simplenya sih, aku butuh jasamu!" Gladis memperhatikan baik-baik pria itu dari atas ke bawah. Dia tidak pernah mengenal orang asing yang duduk di motornya. Dengan sepatu mengkilatnya pria tersebut mengetukkannya ke lantai beberapa kali. Gladis terus mendekat kearahnya. Dalam hati, Gladis tersenyum sinis. Dia tahu bahwa lelaki di hadapan sebenarnya sedang gugup. Gadis cantik itu duduk di motornya, tepat di hadapan pemuda tak dikenal itu. Mereka berdua saling berhadapan. Sedetik kemudian, rona manis yang Gladis tampilkan berubah menjadi tatapan dingin, seolah ingin menerkam pria dihadapannya. "Siapa anda? sebenarnya apa maumu?" Lelaki itu mundur perlahan-lah
"Sulit dipercaya bahwa ada wanita yang sikapnya seperti itu. Bisa berubah dengan cepat, seperti ada dua orang dalam satu tubuh," ujar kaki tangan Mr. X tersebut. Akan tetapi dia juga bingung. Apa alasan sebenarnya dari tuannya? mengapa ia mengutusnya untuk melakukan hal tersebut? Gladis memutar arah laju motornya. Dia kembali ke parkiran kantornya dengan kecepatan penuh. Tapi, kali ini motor sport yang ia kendarai diparkirkan agak jauh dari basement. Dirinya berjalan mengendap-endap. Benar dugaan Gladis sejak awal. Dia sudah menaruh curiga kepada pria yang baru saja ditemuinya,yang tiba-tiba menginginkan dirinya."Cukup patuh juga anak itu," ucap Mr. X yang masih berdiri di sana. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, dia kembali berucap, "Kau boleh memiliki isi koper itu!" Dengan wajah kegirangan, pria yang tadi sempat ambruk digampar Gladis, berkali-kali menciumi koper dipelukannya. &nb
"Apa kamu marah? ya kan? kamu seperti menghindar jika denganku. Tidak seperti sepasang kekasih yang aku lihat di film. Maafkan aku jika aku terus merepotkanmu!" Arsen mulai merancau tak karuan. "Dasar payah! Aku saja tidak bisa mencium bau alkohol darimu, tapi kamu sudah oleng kayak gini?" Gladis tertawa dengan tingkah kekonyolan Arsen. "Berjanjilah satu hal kepadaku!" Arsen yang duduk bersama Gladis, dia terus memepet tubuh gadis cantik di sampingnya. Sampai posisi Gladis berada di bawah tubuh Arsen. "Apa itu?" "Setelah kau berjanji padaku ...." "Katakan dulu apa itu!" "Aah .... Kamu pasti tidak mau memaafkanku kan?" Arsen kembali merengek. Dia memposisikan dirinya duduk dengan memeluk lutut yang ditekuk. Pria itu memasang muka bersedih agar Gladis dapat bersimpati kepadanya. "B-baiklah, aku berjanji! apa itu?"
Pagi hari setelah menyiapkan sarapan untuk Arsen. Gladis pergi berangkat kekantor. Beberapa menit kemudian, Kevin dengan motor maticnya menuju ke rumah Gladis. Sesampainya di depan pagar, dia turun dan menelpon Lexi. "Halo tuan Lexi. Iya, saya sudah berada di depan rumah Nona Gladis," lapornya kepada Lexi. Ternyata dia dan Lexi berencana untuk mencari keberadaan Arsen ke orang-orang yang ikut dalam kegiatan proyek di Bali. Ia mulai menelusuri semua itu dari Gladis. Hampir saja dia masuk ke rumah itu, sudah ingin memencet tombol bel di gerbang. Tetapi tiba-tiba aksinya dihentikan oleh kedua pria. "Mas ... maaf tidak boleh parkir di lingkungan ini! apa kamu sudah lapor ke pos jaga di depan tadi?" Kevin terlihat bingung. bagaimana tidak? di lingkungan perumahan biasa ada tukang parkir. Bukankah hal aneh, jika itu satpam jaga mungkin hal wajar. kedua pria itu adalah kaki tangan ayah G
Kevin membuka lebar pintu ruang rapat yang masih ricuh. Terlihat Melinda hanya menunduk saat dimaki oleh salah satu pemegang saham. Sejurus kemudian semua mata yang ada disana melihat kearah Arsen. Tak terkecuali Melinda yang langsung tersentak melihat Arsen berdiri di ambang pintu. "A-arsen?" gumamnya. Begitu bos arogan itu masuk dan memposisikan dirinya di hadapan semua orang. Dengan wajah serius, dia memandangi orang-orang yang beraada di hadapannya, beberapa saat kemudian, ia melihat beberapa lembar kertas berisi laporan bulanan. Tiba-tiba saja Arsen meminta maaf. "Kepada direktur dan pemegang saham yang terhormat! Saya sangat menyesal atas apa yang terjadi hari ini dengan permintaan maaf yang tulus." Arsen lalu membungkuk di hadapan semuanya. Hal tersebut membuat semua orang yang mengetahui sifat aslinya terheran-heran, termasuk Kevin dan Melinda. Bagaimana bisa seorang Arsen A
Tanpa bosa-basi lagi, mereka berdua segera pergi ke kantor. Sementara keadaan di kantor sedang ricuh karena rapat bulanan para pemegang yang mulai curiga karena hasil pembagian profit tidak sesuai dengan uang yang masuk. Mereka menanyakan kemana Arsen sebenarnya. [Arsen sudah kembali! Bersiap-siaplah] Isi pesan singkat di ponsel Melinda dan CFO perusahaan saat mereka masih rapat dari seseorang. Begitu membaca pesan tersebut, wajah gadis bermata sipit itu langsung berubah menjadi pucat pasi. Obrolan orang-orang disekitarnya seolah-olah hanya angin lalu. Dengan badan gemetar, CFO perusahaan beringsut keluar dari suasana ruangan yang masih ricuh. Melinda duduk mematung dengan tatapan mata kosong. Pikirannya menjadi kosong seperti terhipnotis. Salah satu pemegang saham meninggikan nada bicaranya, menuduh Arsen dalang dibalik semua kerugian yang terjadi. Karena memang faktanya, semua kesenja
Saat Gladis menciumnya, ketika mereka menghabiskan malam bersama. Memberi perhatian untuknya, mencubit tangannya waktu terasa sakit, momen dimana pertama kali Arsen bertemu Gladis di Rumah sakit sampai Arsen mengingat tentang benturan keras saat dirinya di dalam mobil. Seketika itu juga, Arsen langsung tersadar dan sudah berada di Rumah sakit. Sebelumnya, saat pekerjaannya hampir selesai, Gladis ditelepon seseorang dengan nomor yang tak dikenal. Gladis menyipitkan mata saat melihatnya. Awalnya dia ragu untuk menerima telepon dari nomor rumahan tersebut. "H-halo ...." "Halo selamat siang, ini dari rumah sakit ... Apa benar ini Gladis? Nomor anda tersimpan di kontak darurat milik pasien atas nama Arsen Adyatama." Deg! Benar perasaan Gladis yang sedang tidak nyaman dan gelisah dari tadi. Pihak rumah sakit memberi tahu jika Arsen mengalami kecelakaan jatuh dari tangga dengan kondi
"Kirimkan lokasinnya sekarang! aku akan segera menuju kesana!" ucap Kevin saat ditelepon oleh orang yang dia sewa. Melinda sangat heran saat melihat gelagat Kevin yang sangat gugup. Dia berusaha mengejar Kevin sambil berteriak, "Kevin tunggu!" Sayangnya, Kevin tidak menggubris suara Melinda karena dia juga diberi tau jika Arsen dalam bahaya. Gadis bermata sipit itu terus mengejarnya sampai ke basement parkiran mobil. Dengan cepat, sebelum Kevin masuk kedalam mobil, dia menarik lengan pria tersebut. "Tunggu! Ada apa?" "M-maaf nona, saya buru-buru!" Kevin melepas genggaman Melinda dan masuk kedalam mobil. Tanpa menoleh lagi ke arah melinda, dia langsung menancap gas. Sementara Arsen masih menganalisa keadaan sekitar. Berusaha mencari celah jalan keluar. Sadar, orang-orang yang mengikuti tau bahwa Arsen mengetahui jika sedang diikuti. Mereka semakin me
Begitu Arsen duduk, dia berkata dengan wajah serius, "Jawab aku dengan jujur!" Gladis mengerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arsen berbicara seperti itu. Bahkan bukan ucapan selamat malam ataupun sekedar say hay. "Mengapa kamu bisa secantik ini?" Pertanyaan Arsen disambut gelak tawa oleh Gladis. Gadis cantik itu sudah berfikir yang tidak-tidak. "Apaan sih? receh banget." Gladis melirik ke arah pengunjung restoran lain. Mereka saling curi-curi pandang terhadap Arsen, namun sayang yang diperhatikan hanya memandang satu wanita di depannya. "Kamu juga. Bisa gak sih? tampannya disimpan aja!" Gladis membalas ucpan Arsen. Tak berselang lama, makanan yang dipesan sudah siap tersaji. Mereka berdua menikmati makanan itu. Saat sedang makan, Arsen melihat ada pasangan lain yang sedang suap-suapan dengan mesranya. Sejurus
Pada akhirnya pria tua itu menandatangani satu berkas berisi perjanjian pembagian profit keuntungan. Dia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Melinda selalu memasang senyum ramahnya. sampai pada akhirnya, pria tua itu pergi dan Melinda langsung menelpon CFO perusahan. "Mangsa lama kembali memakan kail yang terpasang," ucapnya sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sementara itu, Gladis dan Jenni sedang istirahat di kantor. Mereka membicarakan tentang perkembangan kerja sama antara Anthem dan Adyatama. Saat di tengah-tengah obrolan, Jenni teringat tentang ucapan teman lamanya waktu reuni tempo hari. Kata tunangan yang terlintas dibenaknya. Ingin sekali ia memberitahukan hal tersebut kepada Gladis. Namun melihat kedekatan sahabatnya itu dengan Arsen, membuatnya tak tega untuk mengungkapkan kebenarannya. Gladis melihat cara memandang Jenni tidak seperti biasanya, membuat dirinya penas
"Jangan terlalu percaya kepadaku! Aku tak sebaik dugaanmu, aku takut suatu saat nanti kamu akan terluka dan membenciku .... Selamat pagi." Setelah berbicara seperti itu, Arsen mendaratkan satu kecupan di jidat Gladis. Sedangkan Gladis sendiri tertegun karena saat sedang mendengarkan ucapan Arsen tiba-tiba ia dicium. Pagi itu, dia bersiap pergi bekerja seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, Jenni datang untuk menjemput Gladis. Mereka bersiap untuk berangkat bersama. Di jalan Jenni bertanya kepada Gladis tentang keberangkatannya besok dan tentu saja, tentang steve yang besok harus berangkat ke luar negeri. "Dia bilangnya besok, tp kemarin pagi dia langsung berangkat. Gak tau deh kenapa?" "What?! Eh, tapi kok loe bisa tau?" "Tadi bokap call pake nomornya dia." Jenni terbelalak tak percaya. Dia benar-benar kecewa karena Steve tidak be
Arsen mengerutkan dahinya. Memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mateo. Semuanya memang benar, tapi apa yang harus ia katakan dengan jujur? Semua membuatnya bingung. "Maksud tuan?" "Kau butuh uang berapa?" Arsen semakin bingung dengan ucapan pria paruh baya tersebut. Dirinya tidak membutuhkan uang. Selama ini kebutuhannya selalu dicukupi oleh Gladis. Sejenak Arsen memalingkan pandangannya, tidak berani menatap layar ponsel yang berada di hadapannya. "Maksud anda? Ah, maaf tuan, saya tidak mengerti. Tapi ... Saya hanya ingin bersamanya!" "Sudahlah, katakan kepadaku berapa banyak yang kau inginkan jika meninggalkan putriku!" Arsen menoleh kebelakang, melihat pintu kamar yang Gladis tempati. Masih tertutup rapat tandanya gadis yang sedang dibicarakan masih tertidur. Tidak ingin Gladis mendengar pembicaraan dengan ayahnya, Arsen memut
Melinda gelagapan dengan pertanyaan CFO tersebut. Dia tidak menyangka akan diragukan oleh partnernya. Sejauh ini dirinya sendiri juga tidak memikirkannya. Karena perbuatannya tidak ada yang mencurigai sampai pada rapat pemegang saham waktu lalu. "Jika aku terseret masalah, maka aku juga akan membawamu!" CFO itu mengancam Melinda. Dengan mata terbuka lebar dan alis yang hampir menyatu, melinda menjawab dengan ketus ucapannya. Dia meyakinkan jika mereka tidak akan terkena masalah jika CFO tersebut tidak berbuat yang aneh-aneh. Pagi hari, suasana di hotel tempat Reska dan Jenni menginap sangat tenang. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi kamar yang mereka huni. Kedua sahabat itu masih saja menyalahkan satu sama lain tentang kejadian yang mereka lalui, walaupun itu hal sepele. Seperti saat ini, ketika ingin pulang dan berangkat kerja, Reska ingin menumpang dengan Jenni karena dia