Pagi ini terasa begitu tenang. Tidak ada suara ayam yang berkokok dan tidak ada suara burung yang berkicau di pagi hari, membuat Violet ingin terus mendengarkan keheningan ini.
Hatinya begitu tenang rasanya. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Violet merasa begitu tenang semenjak kejadian 'itu'? Tapi hal ini juga membuat Violet risau, seolah-olah badai akan datang dengan tiba-tiba dan memporak-porandakan hatinya yang semula tenang. Seperti air sungai yang tenang, padahal ada buaya yang siap menerkam di bawahnya.
Suara ketukan pintu membuat Violet membuka matanya. Ya, yang pasti dia tidak akan bisa menikmati keheningan tadi untuk waktu yang lama, bukan?
"Sayang, yuk sarapan." Ajak Vina pada putrinya yang sudah siap dengan seragam sekolahnya sedari tadi.
Violet mengangguk sebagai jawaban dan langsung mengikuti langkah sang ibu ke ruang makan. Tapi langkah Violet berhenti di ten
Maaf lama ya tementemenku. Aku sibuk di rl dan sibuk beradaptasi. Jujur, aku awalnya agak sulit buat ngelanjutin karya ini. Tapi temen aku bilang, aku harus lanjutin karya ini apapun caranya. Meskipun dia ga baca cerita ini (krn kularang) tapi dia tetap maksa aku buat lanjutin A Wish ini. So aku harap kalian juga mendukung aku seperti dia yg mendukung aku. Luv u all❤️
Memalukan. Memalukan sekali.Violet tidak tahu dia akan dibawa kemana oleh gadis-gadis yang berseragam sekolah seperti dirinya itu. Suara tawa menggema di sepanjang koridor gedung sekolah yang sudah lama tidak digunakan ini. Yang mana hal itu membuat suasana kian mencekam.Kuku-kuku para gadis itu menancap di kulit lengan Violet, membuat kulitnya mengeluarkan darah. Mereka terus menyeret paksa Violet sambil memaki dan sekaligus tertawa mengejek."Tolong! Gue mohon lepasin gue!" Mohon Violet pada gadis-gadis itu.Tapi respon mereka malah,"Lemah banget, sih!""Diem, lo! Jijik tahu denger lo ngerengek kayak bayi.""Biasanya aja belagu."Itu hanya beberapa cacian yang Violet dengar dari mereka. Dia sudah menangis dan memohon, tapi mereka masih terus menyeret Violet tidak tahu kemana. Violet takut.Tadi saat jam istirahat dan Violet sedang sendirian, tiba-tiba ada 4 orang gadis dari kelas 10 meminta b
"Lo kira gue nggak tahu lo ada di ruangan kosong tadi dari awal gue sama cewek-cewek sialan itu datang?"El membeku. Jadi gadis itu tahu kalau dia berada di sana sedari awal?"Kenapa?" Mata Violet berkaca-kaca, memancarkan kekecewaannya yang begitu kental di sana. "Lo kira gue sebego itu buat langsung percaya sama lo? Dengan semua kata-kata lo?"Gadis itu menatap pergelangan tangannya yang terus mengeluarkan darah tanpa henti. Pandangannya mulai mengabur, tapi dia tetap ingin menyampaikan kata-kata yang selalu dia pendam di hatinya."Cewek-cewek sialan itu giniin gue juga karena lo! Keluarga gue hancur karena lo! Semuanya salah lo!" Violet tidak berteriak, tapi dia mengucapkan itu dengan pelan. Pelan namun menusuk.El berjalan mendekat, "Nanti kita bicarakan. Kita harus mengobati luka kamu terlebih dahulu." Namun Violet melangkah mundur, ingin menjau
Anya menatap kursi kosong dihadapannya dalam diam. Rasa benci kian meluap di dadanya untuk Violet.Ya, dia sangat membenci Violet. Sangat.Anya selalu merasa segala hal yang dia inginkan ada pada diri Violet. Kecantikan, keluarga yang kaya dan harmonis, pintar, populer. Segalanya! Violet selalu memiliki segalanya! Sementara dirinya?Jujur saja, ketika dia melihat keadaan Violet yang kacau balau terselip rasa iba dan bahagia disaat yang bersamaan. Dia tahu dia tidak boleh begitu, tapi memangnya ada manusia yang dapat mengontrol perasaannya? Tentu tidak, bukan?Apalagi anak baru yang bernama Lucy itu menyukai El, tentu dia semakin bisa memanfaatkan situasi ini. Rencana pembullyan terhadap Violet ia rancang sedemikian rupa dengan menghasut Lucy serta orang-orang yang terobsesi pada El. Dan itu adalah hal yang mudah baginya.Dan juga, dia tidak merasa bersalah sama sekali.Sama sekali.Gadis itu mengotak-atik ponse
Violet sudah tiba di sekolahnya. Seperti biasa anak-anak sekolahnya selalu menatap Violet seperti dia adalah makhluk langka dari dunia lain. Seperti objek dari planet mars yang tidak pernah mereka lihat. Sampai-sampai Violet sudah merasa terbiasa dengan tatapan-tatapan tidak sedap itu.Walau sebenarnya muak, dia harus tahan. Toh, lagi pula sebentar lagi dia akan naik ke kelas 12 dan akan segera lulus, wajah menjijikkan anak-anak itu pasti tidak akan dia lihat sebentar lagi. Jadi yang dia lakukan hanya harus bersabar."Eh dia kan yang di mading itu?""Iya dia! Ih, jadi dia beneran habis dari rumah sakit jiwa?""Pantas kayak orang gila!""Sayang, yah. Pinter dan cantik tapi gila.""Nggak nyangka rumornya benar."Langkah Violet terhenti mendengar perkataan-perkataan itu. Dia tidak salah dengar kan? Darah Violet tiba-tiba mendidih
Siulan itu terdengar begitu jelas di telinga gadis yang sedang terduduk ketakutan di atas rooftop sekolah itu. Tubuhnya gemetaran, bahkan untuk melihat wajah pria yang menekan bahunya dengan kaki panjangnya pun dia tidak berani. "T-tolong..." Mohonnya untuk yang ke berapa kalinya. Suaranya terdengar gagap karena takut. Kaki itu menekan bahu si gadis semakin kuat, membuat si empunya bahu meringis kesakitan. "Tidak, tidak. Kamu melakukan kerja yang bagus." Puji pria itu dengan bangganya. Masih dengan menginjakkan kakinya di bahu si gadis, pria itu mendekatkan wajahnya lalu berbisik. "Tapi kamu mau membuatnya mati kan?" Seketika gadis itu langsung bergidik ngeri mendengar bisikannya. Dan nafasnya seolah tersumbat kala tangan kekar pria itu menarik dasinya dengan kuat, mencekik dirinya. "Perjanjian kita dari awal tidak sampai membuatnya mati kan?" "T
Di bawah lautan bintang El berjalan dengan raut wajahnya yang sendu. Hanya ada beberapa batu nisan di padang rumput yang luas ini. "Apa kabar?" Tanyanya pada sebuah batu nisan yang sangat terawat. Diletaknya buket bunga mawar merah kesukaan gadis yang telah tiada itu di depan batu nisan. Begitu banyak yang ingin El sampaikan. Tentang hari-harinya di sekolah, tentang manusia-manusia yang mengikat kontrak dengannya, segalanya. Dia ingin menceritakan segalanya. Tapi El tahu gadis itu tidak akan mendengar ceritanya, bahkan arwah gadis itu sekalipun. Bayang-bayang masa lalu yang buruk itu muncul begitu saja begitu El menatap batu nisan itu. (Flashback on) Kala itu semuanya tampak hancur di matanya. Barang-barang di kamar yang besar itu hancur dan berantakan. El langsing berlari ke arah tubuh seorang gadis yang sudah terkulai lemas. "Apa yang terjadi?!" Teriak El, terdengar jelas bahwa dia sangat khawatir
Tangan berkulit pucat itu menengadah ke arah matahari yang menyinari bumi guna menghalau sinarnya yang menyilaukan. Matahari begitu terik di tengah hutan ini, seakan dia sangat semangat untuk memberikan cahayanya pada bumi. Sangking semangatnya, awan bahkan sulit untuk menutupi cahaya itu. Dan begitulah cara matahari hari ini menyinari bumi.Kaki tanpa alas itu terus menginjak rumput dan tanah yang kering. Sesekali pemiliknya menatap jalan apa yang akan dia lalui, berjaga-jaga agar tidak menginjak sesuatu yang dapat melukai telapak kakinya.Burung berkicau begitu tenang dan riang, berbanding terbalik dengan Violet yang kini terlihat begitu resah. Pasalnya sudah lebih dari satu jam dia terus mengitari hutan ini, tapi tak kunjung menemukan jalan keluarnya."Gue dimana, sih?" itulah kalimat yang sedari tadi ia lontarkan pada angin.Dirinya merasa asing tidak asing dengan hutan ini. Dan juga
El berada beberapa meter di depannya, berdiri dengan wajah angkuh sambil menatap dirinya yang terus melangkah mendekat. Diantara kerumunan para siswa dan siswi yang masuk, pria itu seolah menantang arus dengan berdiri membelakangi mereka. Berdiri tepat di tengah lapangan sekolah.Awalnya Violet hendak melangkah lurus dan tak menghiraukan pria aneh itu, tapi seperti bisa ditebak, suara aneh nan misterius itu muncul di saat yang seperti ini. Dia sempat heran, kenapa suara si misterius tidak muncul padahal sudah lewat 10 hari. Rupanya dia mengincar situasi ini agar dapat mempermalukan Violet di tengah keramaian."Akh!" Violet berhenti berjalan saat dirasanya sakit luar biasa di telinga yang menjalar sampai ke kepala."Hai! Udah lama kan lo ngga denger suara gue?" suara itu terdengar cekikikan, "Kangen nggak?""Pergi lo!" Violet berbisik, "Lagian lo nggak bakalan bisa ngapa-ngapain."
Dear Violet,Saya tidak tahu harus menulis surat yang bagaimana. Tapi saya tahu ajal saya tidak akan lama lagi. Jadi saya memutuskan untuk menulis surat.Saya hanya ingin kamu bahagia selalu dan juga tetap sehat. Jangan terlalu sering melamun dan makan yang banyak karena saya sering memperhatikan kalau kamu jarang sekali makan.Perlu kamu ketahui, saya benar-benar ingin kamu bahagia. Terlepas kamu adalah mawar atau bukan. Bagi saya, kamu hanyalah Violet sekarang. Tapi saya harus mengakui kalau saya mencintai kamu dari dulu sampai sekarang.Mungkin kamu tidak akan menemui saya lagi kalau sudah membaca surat ini. Karena mungkin saja saya sudah mati, atau mungkin kita berdua akan sama-sama mati? Yang jelas saya ingin menulis surat ini untuk kamu.Saya tidak pernah menulis sepanjang ini, jadi maklumi saja kalau isi surat ini aneh.Saya tah
"Kak caramel macchiato satu, dong."Violet tersenyum dan mengangguk menerima pesanan yang datang. Dengan lihai gadis itu membuat pesanan."Terima kasih, silahkan menikmati." Violet tersenyum seraya memberikan cup gelas itu kepada pembeli.Gadis itu kemudian membersihkan gelas-gelas yang kotor di meja. Dan mengelapnya agar lebih bersih. Apalagi terdapat bekas embun air yang jatuh ke meja, tentu harus dilap kan?"Oi, Violet!"Violet menoleh saat mendapati suara yang familiar di telinganya. Senyuman lebar Violet berikan pada orang itu."Lucy,"Lucy langsung saja duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja barista. Agar dapat lebih leluasa berbicara dengan Violet."Lagi di sini, ya?"Lucy mengangguki pertanyaan Violet, "Aku sedang bertugas 'lagi'." jawabnya
"Sudah lama ya, El."El langsung saja menolehkan kepalanya kaget. Pria itu langsung menyembunyikan Violet di balik punggungnya yang lebar. Violet tidak dapat melihat ekspresi dari El, yang jelas dia tangan El gemetaran.Dengan tangan yang berada di belakang memegangi Violet, El berteriak marah pada lelaki yang baru datang itu. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Violet merinding mendengar kekehan yang pria itu keluarkan. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya, siapa yang datang secara tiba-tiba itu? Apakah dia seorang iblis juga? Violet tidak sempat melihat wajahnya karena keburu ditarik ke belakang oleh El, tapi dia tahu kalau itu bukan Amon.Terutama aura yang sangat mencekam yang pria itu keluarkan. Amon memang menyeramkan tapi dia tidak mengeluarkan aura seperti ini."Tentu saja aku datang untuk membunuhmu."El semakin mengeratkan
Kamar El sudah tak terlihat sebagai tempat yang dapat untuk ditiduri lagi. Pasalnya begitu banyak barang yang hancur, sudah tidak terbentuk lagi karena El melempar semua benda yang ada di ruangan itu.Mulai dari lampu, meja, lemari, bahkan pakaiannya. Semuanya dia hancurkan. Guna untuk melampiaskan amarahnya yang bahkan tidak bisa ia salurkan dengan teriakan.Otaknya terus dipenuhi dengan pikiran-pikiran jahat. Pikiran untuk melenyapkan siapapun yang membocorkan hal itu pada Violet. Dan ya, Lucy akan menjadi yang pertama. Lalu mungkin Bunga akan menjadi yang selanjutnya."Sialan!" makinya entah untuk yang ke berapa kali.Siapa yang harus dia salahkan kini? Siapa yang harus menjadi sasaran amarahnya kini? Violet sudah mengetahui semuanya, semuanya sudah hancur! Hancur menjadi leburan.El memukul-mukul kepalanya, lagipun bagaimana bisa dia tidak mengetahui k
Suara kaki Violet yang beradu dengan tanah karena terseret-seret mengikuti langkah kaki El yang terburu-buru begitu jelas terdengar. Ditambah lagi jalanan yang sepi, malah hampir tidak dilalui orang membuat suara itu kian jelas terdengar. Ringisan juga tak luput berhenti Violet keluarkan, karena El yang terus menarik lengannya dengan kasar.Violet berusaha menggoyang-goyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman El, namun yang ada lengannya malah dicengkeram semakin erat. "El! Lepasin! Gila ya lo?!"Bagai tersadar, El pun berhenti berjalan dan melepaskan cengkeramannya. Tertangkap oleh indera penglihatannya kalau lengan Violet membiru.Nafas pria itu tampak memburu, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya. Padahal seharusnya Violet lah yang kini mengamuk padanya."Kenapa kamu menemui dia?!"Violet yang sedari tadi mengelus pergelangan tangann
Selama perjalanan pulang, Violet hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. El sebetulnya heran dengan sikap diam itu, tapi tidak mau bertanya lebih jauh. Sampai mobil mereka yang sudah sampai di basement apartemen pun, Violet masih tidak sadar dan terus melamun."Kita sudah sampai." ucap El pada Violet beserta tepukan pelan ia beri di bahu gadis itu.Violet langsung terperanjat, "O-oh udah sampai."Karena rasa penasaran yang tak dapat dia bendung, akhirnya El pun bertanya. "Kamu melamun kan apa?""Enggak, kok." kilahnya, "Yuk, turun." Violet berusaha mengalihkan perhatian El dengan mengambil barang-barang yang baru saja El bawa. Dan El pun membantunya untuk membawa bungkusan-bungkusan pakaian itu, karena memang lumayan banyak.Di dalam lift pun suasana di antara mereka kian canggung. Padahal sebelumnya mereka bersenang-senang dengan riang gembira
Saat Violet membuka matanya, rasa pusing yang pertama kali dia rasakan. Mungkin ini efek tidur terlambat, ralat, sangat terlambat. Terakhir kali dia melihat jarum jam sudah mengarah ke angka 4 dan sekarang baru pukul 8 pagi. Inginnya tidur lagi, tapi matanya tidak dapat dipejamkan lebih lama.Karena tak dapat kembali tidur, mau tak mau Violet pun beranjak dari kasurnya. Sambil memegangi kepalanya yang nyeri, gadis itu berjalan ke arah balkon kamar yang ia tempati untuk merasakan udara di pagi hari.Tapi suara ketukan pintu membuat Violet berhenti melangkah ke arah pintu balkon dan berjalan dengan kaku ke arah pintu kamarnya."Y-ya?" aduh, ketahuan sekali kalau dia menjadi gugup karena ketukan itu.Terdengar suara deheman pelan dari luar, "Sarapan."Violet mencibir mendengar ucapan singkat nan padat yang El beri.Bukankah hanya ak
Mata Violet terlihat kosong saat bertanya pada El bersamaan dengan suaranya terdengar begitu sendu."Kenapa lo menghalangi gue buat mati?"El mengerjapkan matanya pelan saat mendengar pertanyaan yang paling dia hindari seharian itu akhirnya keluar juga. Pria itu memalingkan wajahnya, tidak tahu harus menjawab apa."Jawab gue." Violet berkata pelan, namun terdengar begitu menusuk dan menuntut.Melihat El yang hanya dapat diam, Violet melanjutkan perkataannya. "Seharusnya lo yang paling pingin gue mati."El langsung menatap marah Violet. Pria itu juga langsung berdiri. "Maksud kamu apa berkata seperti itu?!"Violet menatap El dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Begitu banyak yang ingin gadis itu katakan, tapi lidahnya terlalu kaku untuk dia gerakkan. Mengingat bagaimana perlakuan kejam El padanya selama ini, lalu secara tib
Hening.Kata itulah yang menggambarkan bagaimana keadaan ruang makan di apartemen milik El itu. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring lah yang mengisi kekosongan di antara mereka.Violet merasa canggung selama dia menyuapi makanannya ke mulut. Pasalnya hanya dirinya sendiri yang makan, tidak masalah apabila El tidak makan dan meninggalkannya sendirian. Tapi masalahnya terletak pada El yang duduk dihadapannya dan menatap dirinya yang sedang makan dengan tatapan yang sangat lurus dan serius. Seperti mengamati hewan peliharaannya yang sedang makan.Violet meletakkan sendoknya dan membalas tatapan El, "Kenapa lo lihatin gue terus, sih?" tanyanya kesal."Tidak ada." jawab El langsung yang mana hal itu semakin membuat Violet kesal.Akhirnya gadis itu melanjutkan makannya walau risih masih mengikuti karena El yang tak berhenti menatapnya.