Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.
Tok! Tok!
"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?
Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.
Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.
Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!" Teriaknya semakin histeris.
Seakan terbuat dari baja, kotak itu tidak mau pecah seberapa kuat pun Violet pukul. Air mata sudah membanjiri pipi, keringat sudah membasahi baju, tapi gadis itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berteriak dan menangis.
Tiba-tiba lampu gantung muncul di sisi lain, membuat Violet kembali menoleh, ada seorang pria yang mengenakan pakaian serba gelap di bawah cahaya itu.
"TOLONG! TOLONG!" Teriak Violet padanya, membuat pria itu membalikkan badan.
Violet membeku saat mendapati mata merah darah El menatapnya dengan tajam, tak lupa seringaian lebar yang menghiasi wajah.
"Bukankah ini akan menyenangkan, Violet?" Tanyanya, lalu tertawa keras. Namun tawa itu terlalu mengerikan untuk disebut sebuah 'tawa'.
"AAAAARRGHH!!!"
"Violet!"
Violet membuka mata, menatap ke sekelilingnya. Nafasnya terengah-engah. Membuat gadis itu meraup rakus oksigen di sekitarnya, seolah tidak pernah mendapat pasokan oksigen.
Ternyata itu hanya mimpi.
"Kamu kenapa?" Tanya Vina, ibu Violet, dengan raut wajah khawatir.
Violet langsung duduk, memeluk Vina dengan erat. "Ma..." Air mata turun begitu saja. Gadis itu kembali menangis mengingat hal-hal mengerikan yang menimpanya. Tapi tentu saja dia tidak dapat mengatakan itu pada ibunya, dia harus mematuhi kontrak bukan?
"Coba cerita sama mama. Mama enggak bakal tahu kalau kamu enggak cerita."
Violet menggeleng, gadis itu melepas pelukan mereka, "Cuman...cuman mimpi buruk."
Vina mengangguk saja walau dia sebenarnya masih sangat khawatir. Wanita itu berdiri, "Ya sudah. Kamu siap-siap pergi ke sekolah. Lihatlah, kamu sangat kacau." Lalu wanita itu pergi meninggalkan Violet yang sedang menunduk memperhatikan dirinya.
Benar kata ibunya, dia terlihat kacau. Keringat dingin bercucuran keluar dari tubuhnya, membuat bajunya basah sebagian. Sementara matanya bengkak karena sehabis menangis. Seberapa lama dia menangis?
Gadis itu hanya duduk diam di ujung kasurnya. Meresapi kata-kata El di mimpinya. Mimpi itu sama nyatanya dengan kejadian semalam.
Apa yang sebenarnya menanti dirinya?
***
Violet berjalan lesu ke kelasnya. Rasanya begitu enggan untuk masuk sekolah hari ini. Inginnya bolos, tapi tentu saja orang tuanya sangat menentang hal itu.
Saat masuk ke dalam kelas, suara ribut murid-murid di dalam yang menyambut Violet. Tidak ingin menegur seperti yang biasa dia lakukan, gadis itu terus saja melangkah ke tempat duduknya yang sedang dilempar dan ditendang oleh Bobi. Ya, bersama teman-temannya yang lain tentunya.
"Bobi!" Teriak Violet lesu, karena tenaganya sudah habis diserap oleh mimpi buruk tadi.
Bobi tidak mendengar panggilan Violet. Pria itu masih saja asyik melempar kursi bersama teman-temannya sambil tertawa terbahak-bahak.
Sampai-sampai kursi itu hancur. Terbagi menjadi beberapa bagian karena pakunya patah.
"Lo apa-apaan, sih!" Teriak Violet, marah, sambil meratapi bangkunya yang sudah tidak bisa diduduki.
Bobi malah cengengesan, "Eh, neng Vio." Sapanya tanpa ada rasa bersalah.
Ingin marah. Tapi sungguh, Violet tidak sanggup kalau harus marah-marah pagi ini. "Lo-- Lo sehari aja nggak bikin masalah enggak bisa? Tolong Bobi. Gue capek!" Violet emosi. Dan Bobi tahu ada yang berbeda dari sepupunya hari ini.
"Lo kenapa, sih? Ada masalah apa?"
"Udahlah! Gue mau ambil kursi ke gudang."
Kini Bobi benar-benar merasa bersalah. Apalagi melihat mata gadis itu bengkak, "Biar gue aja." Cicitnya.
Violet enggan menjawab Bobi. Gadis itu pergi begitu saja ke gudang, sungguh suasana hatinya buruk. Tapi mengapa pria itu enggan mengerti? Dirinya sedang lelah, apa Bobi tidak paham?
Sapaan ramah dari adik kelas maupun orang-orang yang mengenalnya, tak Violet hiraukan. Dirinya sedang tidak ingin berbasa-basi ria. Sedang tidak ingin menebar senyum palsu saat ini.
Berhenti berjalan, gadis itu mengusap air mata yang baru saja keluar. Menyedihkan! Belum apa-apa dirinya sudah ingin menangis. Memalukan! Memalukan karena dirinya hampir menangis di lorong sekolah dan mungkin akan disaksikan oleh beberapa orang-orang.
Sesampainya di depan pintu gudang yang sepi, barulah gadis itu menangis sejadi-jadinya. Bertanya mengapa harus dirinya yang mengalami hal gila ini. Bertanya mengapa harus dirinya yang diberi pilihan sedemikian sulitnya. Mengapa? Diantara jutaan manusia di bumi, mengapa harus dirinya?
Untunglah gudang ini sepi, jadi dia bisa menangis dengan bebas. Tanpa perlu ada air mata yang ia tahan karena malu akan dilihat.
Puas menangis seorang diri, gadis itu membuka pintu gudang untuk mengambil sebuah kursi yang akan dia duduki selama proses pembelajaran.
Namun tubuhnya langsung melemas seketika, tubuh gadis itu merosot ke tanah saat mendapati sebuah jasad menggantung yang menyambutnya di gudang itu.
"KYAAAAAAA!!!" Teriaknya beberapa saat setelah membeku. Seolah otaknya sedang memproses keadaan.
Tubuh gadis itu bergetar hebat. "A-Andre..." Panggilnya kala mengenali jasad itu. Dia adalah Andre, teman sekelasnya yang pendiam. Andre tidak punya teman, tidak pula anak yang berprestasi, dia hanya anak biasa-biasa saja. Tapi mengapa?
Suara langkah kaki terdengar. Membuat Violet menoleh ke samping.
"Andre, begini cara kamu untuk membayar rupanya."
A-apa?
Seberapa banyak korban yang sudah terjebak oleh kelakuan bejat El?
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de
Bulan berganti matahari, tanda hari buruk kemarin sudah berlalu. Tapi bukan berarti kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Violet. Gadis itu masih sangat ketakutan setiap melihat cermin, seolah kejadian semalam menimbulkan trauma baru untuknya.Hari baru pukul 6 pagi, saat matahari baru muncul dengan malu-malu. Namun, mata indah milik Violet seakan enggan menutup lebih lama.Dihelanya nafas pelan, kesal karena tidak dapat tidur kembali di hari libur nasional yang seharusnya dia nikmati dengan bersantai seperti biasanya. Merasa haus, gadis itu pun terpaksa beranjak dari tempat tidur menuju dapur.Melongok kan kepalanya ke seluruh penjuru rumah berharap mendapati sang ibu yang biasanya sudah sibuk membersihkan rumah atau merawat taman belakang, tapi tidak ada. Mungkin tidur, pikirnya.Mengedikkan bahu, dia berjalan ke arah dispenser. Menekan tombol dispenser dan menampung air dengan g
Violet menatap pintu hitam di hadapannya. Rasa takut menghampiri hati, membuatnya ragu untuk memencet bel. Gadis itu menggigit bibirnya, haruskah dia pulang saja? Tapi sisi lain hatinya berkata, dia sudah datang jauh-jauh kemari, setidaknya dia harus membunyikan bel, bukan?Tangan gadis itu meraih bel, namun dia turunkan lagi. Naikkan, lalu turunkan, naik, turun, begitu terus. Akhirnya gadis itu frustasi sendiri bahkan sampai menjambak rambutnya."Gue gini amat, sih." Keluhnya pada diri sendiri."Gini amat?"Violet mendongak. Menatap sepasang iris gelap dari seseorang yang sedari tadi ingin dia temui. Mata pria itu begitu gelap, berbeda dari 'hari itu'.Sesaat, Violet tenggelam oleh iris gelap itu."Kamu bukannya ingin menemui saya?"Violet mengerjap kaget. Refleks gadis itu menyisir rambutnya ke belakang. Me
Setelah memastikan Violet sudah benar-benar hilang dari pandangan, El pulang ke apartemennya. Dan sesaat setelah sampai di dalam apartemennya, pria itu langsung masuk ke dalam kamar miliknya yang bernuansa gelap dan membanting tubuh atletisnya di atas kasur.Dimana letak kesalahan yang dia lakukan? Dia tidak pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Pikirnya terus saja melayang pada kejadian Violet tadi, walau kelihatannya dia menatap langit-langit kamar.El terduduk kala mengingat sesuatu."Apa karena hari itu?" Bisiknya pada angin.Pria itu berjalan ke arah laci dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Raut wajah yang biasanya dingin dan datar berubah menjadi sendu saat melihat foto berwarna hitam putih yang sedang dia pegang. Tanda tanya yang sejak tadi muncul, mengapa dia menolong Violet pun belum hilang, apa benar karena gadis itu terlihat mirip dengan seseorang yang ada di fo
Violet berjalan pulang. Sengaja dia melangkahkan kakinya dengan lambat, dia ingin menikmati udara sore.Suara tawa anak-anak terdengar kala Violet melewati taman bermain. Gadis itu berhenti, lalu melangkahkan kakinya ke ayunan dan duduk di sana. Matanya mengamati anak-anak yang bermain dengan bahagia. Berlari ke sana kemari dengan tawa yang terdengar lucu di telinga Violet.Ingin rasanya kembali menjadi anak kecil seperti mereka. Bermain tanpa mengenal sulitnya hidup di dunia, pasti menyenangkan. Seperti itulah pikiran Violet kini saat menatap anak-anak itu.Sebuah tepukan kecil menyadarkan Violet dari lamunannya, membuatnya menunduk melihat seorang gadis kecil berambut panjang yang rambutnya diikat dua sedang menatapnya dengan mata bulat yang polos."Nama kakak siapa? Kok sendirian?" Tanyanya dengan nada yang menggemaskan.Aduh, Violet ingin menggig
Violet menatap ke sekelilingnya. Perasaan takut memeluk erat dirinya tiap kakinya melangkah.Dia tidak tahu dimana dirinya berada. Saat Violet membuka mata, tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah tempat yang terlihat aneh sekaligus menyeramkan.Entah apa sebutan yang tepat untuk tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya ada tanaman hitam setinggi pinggangnya, seolah-olah tumbuhan itu dapat mengikat tubuhnya kalau Violet tidak menginjakkan kaki dengan hati-hati. Belum lagi dengan warna aneh langit tempat ini, oranye kemerahan seperti sedang dibakar oleh bara api."Sebenarnya gue dimana, sih?" Gumam gadis itu, entah untuk ke berapa kalinya. Kedua tangan yang memeluk diri serta jantung yang terus berdegup, menandakan betapa ketakutannya gadis itu.Matanya berkaca-kaca, "Mau pulang..." cicitnya."Pulang?"Mata Violet membulat kaget,
Angin malam yang menyejukkan. Bukan hanya tubuhnya yang sejuk tetapi hati dan pikiran yang akhir-akhir ini kusut pun ikut merasakan angin malam yang begitu menenangkan. Gadis yang mengenakan pakaian pasien itu berdiri di dinding pembatas atap rumah sakit. Ingin menikmati indahnya malam karena tidak bisa tidur.Atap rumah sakit ini dibuat seperti taman. Sangat indah, membuat Violet sering menjadikan taman ini tempat bersantai dan menghilangkan bosan serta rasa kesepian yang menghampiri. Dan malam ini, hanya ada dirinya sendirian di taman atap rumah sakit.Ya, Violet kembali merasa kesepian karena kesibukan kedua orang tuanya. Ayahnya yang gila kerja, ditambah ibunya yang biasanya selalu berada di sisinya semenjak kejadian pengasuh itu pun terpaksa harus mengurus perusahaan peninggalan sang kakek yang sedang dalam keadaan kacau balau karena ada beberapa pegawai tak bertanggung jawab menggelapkan dana yang jumlahnya tidak sedikit.
Dear Violet,Saya tidak tahu harus menulis surat yang bagaimana. Tapi saya tahu ajal saya tidak akan lama lagi. Jadi saya memutuskan untuk menulis surat.Saya hanya ingin kamu bahagia selalu dan juga tetap sehat. Jangan terlalu sering melamun dan makan yang banyak karena saya sering memperhatikan kalau kamu jarang sekali makan.Perlu kamu ketahui, saya benar-benar ingin kamu bahagia. Terlepas kamu adalah mawar atau bukan. Bagi saya, kamu hanyalah Violet sekarang. Tapi saya harus mengakui kalau saya mencintai kamu dari dulu sampai sekarang.Mungkin kamu tidak akan menemui saya lagi kalau sudah membaca surat ini. Karena mungkin saja saya sudah mati, atau mungkin kita berdua akan sama-sama mati? Yang jelas saya ingin menulis surat ini untuk kamu.Saya tidak pernah menulis sepanjang ini, jadi maklumi saja kalau isi surat ini aneh.Saya tah
"Kak caramel macchiato satu, dong."Violet tersenyum dan mengangguk menerima pesanan yang datang. Dengan lihai gadis itu membuat pesanan."Terima kasih, silahkan menikmati." Violet tersenyum seraya memberikan cup gelas itu kepada pembeli.Gadis itu kemudian membersihkan gelas-gelas yang kotor di meja. Dan mengelapnya agar lebih bersih. Apalagi terdapat bekas embun air yang jatuh ke meja, tentu harus dilap kan?"Oi, Violet!"Violet menoleh saat mendapati suara yang familiar di telinganya. Senyuman lebar Violet berikan pada orang itu."Lucy,"Lucy langsung saja duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja barista. Agar dapat lebih leluasa berbicara dengan Violet."Lagi di sini, ya?"Lucy mengangguki pertanyaan Violet, "Aku sedang bertugas 'lagi'." jawabnya
"Sudah lama ya, El."El langsung saja menolehkan kepalanya kaget. Pria itu langsung menyembunyikan Violet di balik punggungnya yang lebar. Violet tidak dapat melihat ekspresi dari El, yang jelas dia tangan El gemetaran.Dengan tangan yang berada di belakang memegangi Violet, El berteriak marah pada lelaki yang baru datang itu. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Violet merinding mendengar kekehan yang pria itu keluarkan. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya, siapa yang datang secara tiba-tiba itu? Apakah dia seorang iblis juga? Violet tidak sempat melihat wajahnya karena keburu ditarik ke belakang oleh El, tapi dia tahu kalau itu bukan Amon.Terutama aura yang sangat mencekam yang pria itu keluarkan. Amon memang menyeramkan tapi dia tidak mengeluarkan aura seperti ini."Tentu saja aku datang untuk membunuhmu."El semakin mengeratkan
Kamar El sudah tak terlihat sebagai tempat yang dapat untuk ditiduri lagi. Pasalnya begitu banyak barang yang hancur, sudah tidak terbentuk lagi karena El melempar semua benda yang ada di ruangan itu.Mulai dari lampu, meja, lemari, bahkan pakaiannya. Semuanya dia hancurkan. Guna untuk melampiaskan amarahnya yang bahkan tidak bisa ia salurkan dengan teriakan.Otaknya terus dipenuhi dengan pikiran-pikiran jahat. Pikiran untuk melenyapkan siapapun yang membocorkan hal itu pada Violet. Dan ya, Lucy akan menjadi yang pertama. Lalu mungkin Bunga akan menjadi yang selanjutnya."Sialan!" makinya entah untuk yang ke berapa kali.Siapa yang harus dia salahkan kini? Siapa yang harus menjadi sasaran amarahnya kini? Violet sudah mengetahui semuanya, semuanya sudah hancur! Hancur menjadi leburan.El memukul-mukul kepalanya, lagipun bagaimana bisa dia tidak mengetahui k
Suara kaki Violet yang beradu dengan tanah karena terseret-seret mengikuti langkah kaki El yang terburu-buru begitu jelas terdengar. Ditambah lagi jalanan yang sepi, malah hampir tidak dilalui orang membuat suara itu kian jelas terdengar. Ringisan juga tak luput berhenti Violet keluarkan, karena El yang terus menarik lengannya dengan kasar.Violet berusaha menggoyang-goyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman El, namun yang ada lengannya malah dicengkeram semakin erat. "El! Lepasin! Gila ya lo?!"Bagai tersadar, El pun berhenti berjalan dan melepaskan cengkeramannya. Tertangkap oleh indera penglihatannya kalau lengan Violet membiru.Nafas pria itu tampak memburu, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya. Padahal seharusnya Violet lah yang kini mengamuk padanya."Kenapa kamu menemui dia?!"Violet yang sedari tadi mengelus pergelangan tangann
Selama perjalanan pulang, Violet hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. El sebetulnya heran dengan sikap diam itu, tapi tidak mau bertanya lebih jauh. Sampai mobil mereka yang sudah sampai di basement apartemen pun, Violet masih tidak sadar dan terus melamun."Kita sudah sampai." ucap El pada Violet beserta tepukan pelan ia beri di bahu gadis itu.Violet langsung terperanjat, "O-oh udah sampai."Karena rasa penasaran yang tak dapat dia bendung, akhirnya El pun bertanya. "Kamu melamun kan apa?""Enggak, kok." kilahnya, "Yuk, turun." Violet berusaha mengalihkan perhatian El dengan mengambil barang-barang yang baru saja El bawa. Dan El pun membantunya untuk membawa bungkusan-bungkusan pakaian itu, karena memang lumayan banyak.Di dalam lift pun suasana di antara mereka kian canggung. Padahal sebelumnya mereka bersenang-senang dengan riang gembira
Saat Violet membuka matanya, rasa pusing yang pertama kali dia rasakan. Mungkin ini efek tidur terlambat, ralat, sangat terlambat. Terakhir kali dia melihat jarum jam sudah mengarah ke angka 4 dan sekarang baru pukul 8 pagi. Inginnya tidur lagi, tapi matanya tidak dapat dipejamkan lebih lama.Karena tak dapat kembali tidur, mau tak mau Violet pun beranjak dari kasurnya. Sambil memegangi kepalanya yang nyeri, gadis itu berjalan ke arah balkon kamar yang ia tempati untuk merasakan udara di pagi hari.Tapi suara ketukan pintu membuat Violet berhenti melangkah ke arah pintu balkon dan berjalan dengan kaku ke arah pintu kamarnya."Y-ya?" aduh, ketahuan sekali kalau dia menjadi gugup karena ketukan itu.Terdengar suara deheman pelan dari luar, "Sarapan."Violet mencibir mendengar ucapan singkat nan padat yang El beri.Bukankah hanya ak
Mata Violet terlihat kosong saat bertanya pada El bersamaan dengan suaranya terdengar begitu sendu."Kenapa lo menghalangi gue buat mati?"El mengerjapkan matanya pelan saat mendengar pertanyaan yang paling dia hindari seharian itu akhirnya keluar juga. Pria itu memalingkan wajahnya, tidak tahu harus menjawab apa."Jawab gue." Violet berkata pelan, namun terdengar begitu menusuk dan menuntut.Melihat El yang hanya dapat diam, Violet melanjutkan perkataannya. "Seharusnya lo yang paling pingin gue mati."El langsung menatap marah Violet. Pria itu juga langsung berdiri. "Maksud kamu apa berkata seperti itu?!"Violet menatap El dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Begitu banyak yang ingin gadis itu katakan, tapi lidahnya terlalu kaku untuk dia gerakkan. Mengingat bagaimana perlakuan kejam El padanya selama ini, lalu secara tib
Hening.Kata itulah yang menggambarkan bagaimana keadaan ruang makan di apartemen milik El itu. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring lah yang mengisi kekosongan di antara mereka.Violet merasa canggung selama dia menyuapi makanannya ke mulut. Pasalnya hanya dirinya sendiri yang makan, tidak masalah apabila El tidak makan dan meninggalkannya sendirian. Tapi masalahnya terletak pada El yang duduk dihadapannya dan menatap dirinya yang sedang makan dengan tatapan yang sangat lurus dan serius. Seperti mengamati hewan peliharaannya yang sedang makan.Violet meletakkan sendoknya dan membalas tatapan El, "Kenapa lo lihatin gue terus, sih?" tanyanya kesal."Tidak ada." jawab El langsung yang mana hal itu semakin membuat Violet kesal.Akhirnya gadis itu melanjutkan makannya walau risih masih mengikuti karena El yang tak berhenti menatapnya.