Setelah memastikan Violet sudah benar-benar hilang dari pandangan, El pulang ke apartemennya. Dan sesaat setelah sampai di dalam apartemennya, pria itu langsung masuk ke dalam kamar miliknya yang bernuansa gelap dan membanting tubuh atletisnya di atas kasur.
Dimana letak kesalahan yang dia lakukan? Dia tidak pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Pikirnya terus saja melayang pada kejadian Violet tadi, walau kelihatannya dia menatap langit-langit kamar.
El terduduk kala mengingat sesuatu.
"Apa karena hari itu?" Bisiknya pada angin.
Pria itu berjalan ke arah laci dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Raut wajah yang biasanya dingin dan datar berubah menjadi sendu saat melihat foto berwarna hitam putih yang sedang dia pegang. Tanda tanya yang sejak tadi muncul, mengapa dia menolong Violet pun belum hilang, apa benar karena gadis itu terlihat mirip dengan seseorang yang ada di fo
Violet berjalan pulang. Sengaja dia melangkahkan kakinya dengan lambat, dia ingin menikmati udara sore.Suara tawa anak-anak terdengar kala Violet melewati taman bermain. Gadis itu berhenti, lalu melangkahkan kakinya ke ayunan dan duduk di sana. Matanya mengamati anak-anak yang bermain dengan bahagia. Berlari ke sana kemari dengan tawa yang terdengar lucu di telinga Violet.Ingin rasanya kembali menjadi anak kecil seperti mereka. Bermain tanpa mengenal sulitnya hidup di dunia, pasti menyenangkan. Seperti itulah pikiran Violet kini saat menatap anak-anak itu.Sebuah tepukan kecil menyadarkan Violet dari lamunannya, membuatnya menunduk melihat seorang gadis kecil berambut panjang yang rambutnya diikat dua sedang menatapnya dengan mata bulat yang polos."Nama kakak siapa? Kok sendirian?" Tanyanya dengan nada yang menggemaskan.Aduh, Violet ingin menggig
Violet menatap ke sekelilingnya. Perasaan takut memeluk erat dirinya tiap kakinya melangkah.Dia tidak tahu dimana dirinya berada. Saat Violet membuka mata, tahu-tahu dirinya sudah berada di sebuah tempat yang terlihat aneh sekaligus menyeramkan.Entah apa sebutan yang tepat untuk tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya ada tanaman hitam setinggi pinggangnya, seolah-olah tumbuhan itu dapat mengikat tubuhnya kalau Violet tidak menginjakkan kaki dengan hati-hati. Belum lagi dengan warna aneh langit tempat ini, oranye kemerahan seperti sedang dibakar oleh bara api."Sebenarnya gue dimana, sih?" Gumam gadis itu, entah untuk ke berapa kalinya. Kedua tangan yang memeluk diri serta jantung yang terus berdegup, menandakan betapa ketakutannya gadis itu.Matanya berkaca-kaca, "Mau pulang..." cicitnya."Pulang?"Mata Violet membulat kaget,
Angin malam yang menyejukkan. Bukan hanya tubuhnya yang sejuk tetapi hati dan pikiran yang akhir-akhir ini kusut pun ikut merasakan angin malam yang begitu menenangkan. Gadis yang mengenakan pakaian pasien itu berdiri di dinding pembatas atap rumah sakit. Ingin menikmati indahnya malam karena tidak bisa tidur.Atap rumah sakit ini dibuat seperti taman. Sangat indah, membuat Violet sering menjadikan taman ini tempat bersantai dan menghilangkan bosan serta rasa kesepian yang menghampiri. Dan malam ini, hanya ada dirinya sendirian di taman atap rumah sakit.Ya, Violet kembali merasa kesepian karena kesibukan kedua orang tuanya. Ayahnya yang gila kerja, ditambah ibunya yang biasanya selalu berada di sisinya semenjak kejadian pengasuh itu pun terpaksa harus mengurus perusahaan peninggalan sang kakek yang sedang dalam keadaan kacau balau karena ada beberapa pegawai tak bertanggung jawab menggelapkan dana yang jumlahnya tidak sedikit.
"Kenapa kamu terus aja nyabut infus kamu Violet? Keadaan kamu belum baik-baik aja. Tolong jangan bikin Mama sama Papa khawatir disaat kami enggak ada!" Violet yang sedang bersender di punggung tempat tidur rumah sakitnya acuh tak acuh mendengarkan ibunya yang kini sedang berada di puncak emosinya. Yang gadis itu lakukan hanya menatap ke luar jendela, melamun. "Lihat Mama!" Bentak wanita itu sekali lagi membuat Violet terpaksa menatap matanya dengan malas. Gadis itu menghela nafasnya pelan, "Ma, kepala aku pusing. Udah dong ngomelnya." Ujarnya beralasan, padahal dia tidak merasakan sakit sama sekali. Dia hanya ingin beristirahat. Vina memijit pelipisnya tanda kalau dia lelah, "Tolong Mama kali ini aja, Violet. Mama tahu seharusnya sekarang Mama temenin kamu di sini. Tapi keadaan perusahaan sedang benar-benar enggak bisa ditinggal. Mama minta pengertian dari kamu."
Ruangan Violet begitu gelap. Gadis itu sulit melihat, hanya dapat melihat samar-samar karena cahaya bulan purnama yang masuk melalui celah-celah gorden jendela yang tidak tertutup rapat.Gadis itu yakin kalau dia tidak berada di kamar inapnya yang tadi siang dia tempati. Tapi brankar kasur ini yang membuatnya masih yakin kalau dia tetap berasa di rumah sakit. Tapi itu tetap tidak mengurangi rasa takutnya.Selain tidak dapat melihat dengan jelas, Violet juga tidak dapat bergerak. Saat bangun, tahu-tahu tangan dan kakinya sudah diikat kencang dengan tali. Suaranya bahkan sudah serak karena daritadi terus berteriak memanggil seseorang, tapi tetap tidak ada yang datang. Violet takut, sebenarnya dia ada di ruangan apa, sih?"Lo tahu ini ruangan apa?"Suara itu lagi. Kali ini Violet tidak akan menjawab suara aneh itu."Lo dibawa ke bagian kejiwaan. Mereka semua ngira kalau
Suara air yang jatuh dari langit beradu dengan tanah itu sangat berisik. Tapi El menyukai udara sejuk akibat hujan ini. Pria itu berdiri dengan segelas wine ditangan, menghadap jendela yang terbuka lebar. Baju bagian depannya sudah lembab akibat hujan yang memaksa masuk dari jendelanya. Tapi dia tidak peduli, dia hanya ingin menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan ini. Pria itu meminum wine nya. Ah, benar. Rasanya sudah lama sekali dia tidak sesantai ini. Dia selalu pusing memikirkan takdir macam apa yang terikat antara dirinya dan Violet. Tapi beberapa hari ini sungguh menenangkan tanpa rasa sakit yang menderanya seperti seminggu yang lalu. "Benar, Violet. Kamu tidak seharusnya banyak tingkah." Gumamnya pada angin yang membawa hujan. Tangan kekar itu mengangkat gelas wine ke atas, lalu dia menggerakkan tangan dan kakinya. Pria itu menari. Seperti menari dengan seseorang, tapi nyatanya dia hanya
"Bobi!"Bobi yang merasa terpanggil pun menoleh. Ternyata si aneh El yang memanggilnya. "Kenapa?""Kamu saja yang ajak dia keliling sekolah." Suruh El sambil menunjuk Lucy dengan dagunya.Lucy pun merengut masam. "Kan lo yang disuruh anterin gue keliling sekolah." Rengek gadis itu.Bobi malah tersenyum senang. Pria itu menaik-turunkan alisnya saat menatap Lucy, "Eneng Lucy sama akang Bobi aja. Si El itu anaknya aneh."El tampak tak peduli. Dia malah pergi ke kantin ingin membeli sesuatu untuk dijadikan cemilan. Kalau dia mengantar gadis itu berkeliling yang ada dia tidak dapat bersantai. Tapi langkahnya terhenti begitu saja karena Lucy menarik tangannya."Lo engga ingat, ya? Gue yang lo tabrak kemarin di rumah sakit." Gadis itu menunduk, memperhatikan sepatunya. "Sebagai permintaan maaf, kenapa ngga lo aja yang ajak gue keliling sekolah?"&
Hari-hari Violet lalui hanya dengan berdiam diri. Dia hanya mau berkomunikasi dengan psikiater nya. Kegiatan lainnya adalah dia makan teratur dan minum obat, lalu saat perawat sudah pergi dia muntahkan obat itu. Orangtuanya seperti yang sudah diberi tahu, tidak boleh menjenguknya. Selain itu kerjanya hanya melamunkan nasibnya. Violet kini sudah menganggap kesepian itu sebagai bagian dari dirinya. Tidak ada suara misterius yang menemaninya, membuat Violet merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Dia masih tidak habis pikir mengapa El membantunya. Gadis itu yakin sekali kalau El tidak membantunya secara gratis. Rasa takut akan apa yang harus dia bayar menghantuinya sedikit. Suara kunci yang terbuka membuat Violet mengalihkan pandangannya dari dinding. Langkah kaki terdengar mendekat, membuatnya melirik siapa yang memasuki ruangannya. Walau dia tahu siapa itu. "Waktunya minum obat."
Dear Violet,Saya tidak tahu harus menulis surat yang bagaimana. Tapi saya tahu ajal saya tidak akan lama lagi. Jadi saya memutuskan untuk menulis surat.Saya hanya ingin kamu bahagia selalu dan juga tetap sehat. Jangan terlalu sering melamun dan makan yang banyak karena saya sering memperhatikan kalau kamu jarang sekali makan.Perlu kamu ketahui, saya benar-benar ingin kamu bahagia. Terlepas kamu adalah mawar atau bukan. Bagi saya, kamu hanyalah Violet sekarang. Tapi saya harus mengakui kalau saya mencintai kamu dari dulu sampai sekarang.Mungkin kamu tidak akan menemui saya lagi kalau sudah membaca surat ini. Karena mungkin saja saya sudah mati, atau mungkin kita berdua akan sama-sama mati? Yang jelas saya ingin menulis surat ini untuk kamu.Saya tidak pernah menulis sepanjang ini, jadi maklumi saja kalau isi surat ini aneh.Saya tah
"Kak caramel macchiato satu, dong."Violet tersenyum dan mengangguk menerima pesanan yang datang. Dengan lihai gadis itu membuat pesanan."Terima kasih, silahkan menikmati." Violet tersenyum seraya memberikan cup gelas itu kepada pembeli.Gadis itu kemudian membersihkan gelas-gelas yang kotor di meja. Dan mengelapnya agar lebih bersih. Apalagi terdapat bekas embun air yang jatuh ke meja, tentu harus dilap kan?"Oi, Violet!"Violet menoleh saat mendapati suara yang familiar di telinganya. Senyuman lebar Violet berikan pada orang itu."Lucy,"Lucy langsung saja duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja barista. Agar dapat lebih leluasa berbicara dengan Violet."Lagi di sini, ya?"Lucy mengangguki pertanyaan Violet, "Aku sedang bertugas 'lagi'." jawabnya
"Sudah lama ya, El."El langsung saja menolehkan kepalanya kaget. Pria itu langsung menyembunyikan Violet di balik punggungnya yang lebar. Violet tidak dapat melihat ekspresi dari El, yang jelas dia tangan El gemetaran.Dengan tangan yang berada di belakang memegangi Violet, El berteriak marah pada lelaki yang baru datang itu. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Violet merinding mendengar kekehan yang pria itu keluarkan. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya, siapa yang datang secara tiba-tiba itu? Apakah dia seorang iblis juga? Violet tidak sempat melihat wajahnya karena keburu ditarik ke belakang oleh El, tapi dia tahu kalau itu bukan Amon.Terutama aura yang sangat mencekam yang pria itu keluarkan. Amon memang menyeramkan tapi dia tidak mengeluarkan aura seperti ini."Tentu saja aku datang untuk membunuhmu."El semakin mengeratkan
Kamar El sudah tak terlihat sebagai tempat yang dapat untuk ditiduri lagi. Pasalnya begitu banyak barang yang hancur, sudah tidak terbentuk lagi karena El melempar semua benda yang ada di ruangan itu.Mulai dari lampu, meja, lemari, bahkan pakaiannya. Semuanya dia hancurkan. Guna untuk melampiaskan amarahnya yang bahkan tidak bisa ia salurkan dengan teriakan.Otaknya terus dipenuhi dengan pikiran-pikiran jahat. Pikiran untuk melenyapkan siapapun yang membocorkan hal itu pada Violet. Dan ya, Lucy akan menjadi yang pertama. Lalu mungkin Bunga akan menjadi yang selanjutnya."Sialan!" makinya entah untuk yang ke berapa kali.Siapa yang harus dia salahkan kini? Siapa yang harus menjadi sasaran amarahnya kini? Violet sudah mengetahui semuanya, semuanya sudah hancur! Hancur menjadi leburan.El memukul-mukul kepalanya, lagipun bagaimana bisa dia tidak mengetahui k
Suara kaki Violet yang beradu dengan tanah karena terseret-seret mengikuti langkah kaki El yang terburu-buru begitu jelas terdengar. Ditambah lagi jalanan yang sepi, malah hampir tidak dilalui orang membuat suara itu kian jelas terdengar. Ringisan juga tak luput berhenti Violet keluarkan, karena El yang terus menarik lengannya dengan kasar.Violet berusaha menggoyang-goyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman El, namun yang ada lengannya malah dicengkeram semakin erat. "El! Lepasin! Gila ya lo?!"Bagai tersadar, El pun berhenti berjalan dan melepaskan cengkeramannya. Tertangkap oleh indera penglihatannya kalau lengan Violet membiru.Nafas pria itu tampak memburu, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya. Padahal seharusnya Violet lah yang kini mengamuk padanya."Kenapa kamu menemui dia?!"Violet yang sedari tadi mengelus pergelangan tangann
Selama perjalanan pulang, Violet hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. El sebetulnya heran dengan sikap diam itu, tapi tidak mau bertanya lebih jauh. Sampai mobil mereka yang sudah sampai di basement apartemen pun, Violet masih tidak sadar dan terus melamun."Kita sudah sampai." ucap El pada Violet beserta tepukan pelan ia beri di bahu gadis itu.Violet langsung terperanjat, "O-oh udah sampai."Karena rasa penasaran yang tak dapat dia bendung, akhirnya El pun bertanya. "Kamu melamun kan apa?""Enggak, kok." kilahnya, "Yuk, turun." Violet berusaha mengalihkan perhatian El dengan mengambil barang-barang yang baru saja El bawa. Dan El pun membantunya untuk membawa bungkusan-bungkusan pakaian itu, karena memang lumayan banyak.Di dalam lift pun suasana di antara mereka kian canggung. Padahal sebelumnya mereka bersenang-senang dengan riang gembira
Saat Violet membuka matanya, rasa pusing yang pertama kali dia rasakan. Mungkin ini efek tidur terlambat, ralat, sangat terlambat. Terakhir kali dia melihat jarum jam sudah mengarah ke angka 4 dan sekarang baru pukul 8 pagi. Inginnya tidur lagi, tapi matanya tidak dapat dipejamkan lebih lama.Karena tak dapat kembali tidur, mau tak mau Violet pun beranjak dari kasurnya. Sambil memegangi kepalanya yang nyeri, gadis itu berjalan ke arah balkon kamar yang ia tempati untuk merasakan udara di pagi hari.Tapi suara ketukan pintu membuat Violet berhenti melangkah ke arah pintu balkon dan berjalan dengan kaku ke arah pintu kamarnya."Y-ya?" aduh, ketahuan sekali kalau dia menjadi gugup karena ketukan itu.Terdengar suara deheman pelan dari luar, "Sarapan."Violet mencibir mendengar ucapan singkat nan padat yang El beri.Bukankah hanya ak
Mata Violet terlihat kosong saat bertanya pada El bersamaan dengan suaranya terdengar begitu sendu."Kenapa lo menghalangi gue buat mati?"El mengerjapkan matanya pelan saat mendengar pertanyaan yang paling dia hindari seharian itu akhirnya keluar juga. Pria itu memalingkan wajahnya, tidak tahu harus menjawab apa."Jawab gue." Violet berkata pelan, namun terdengar begitu menusuk dan menuntut.Melihat El yang hanya dapat diam, Violet melanjutkan perkataannya. "Seharusnya lo yang paling pingin gue mati."El langsung menatap marah Violet. Pria itu juga langsung berdiri. "Maksud kamu apa berkata seperti itu?!"Violet menatap El dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Begitu banyak yang ingin gadis itu katakan, tapi lidahnya terlalu kaku untuk dia gerakkan. Mengingat bagaimana perlakuan kejam El padanya selama ini, lalu secara tib
Hening.Kata itulah yang menggambarkan bagaimana keadaan ruang makan di apartemen milik El itu. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring lah yang mengisi kekosongan di antara mereka.Violet merasa canggung selama dia menyuapi makanannya ke mulut. Pasalnya hanya dirinya sendiri yang makan, tidak masalah apabila El tidak makan dan meninggalkannya sendirian. Tapi masalahnya terletak pada El yang duduk dihadapannya dan menatap dirinya yang sedang makan dengan tatapan yang sangat lurus dan serius. Seperti mengamati hewan peliharaannya yang sedang makan.Violet meletakkan sendoknya dan membalas tatapan El, "Kenapa lo lihatin gue terus, sih?" tanyanya kesal."Tidak ada." jawab El langsung yang mana hal itu semakin membuat Violet kesal.Akhirnya gadis itu melanjutkan makannya walau risih masih mengikuti karena El yang tak berhenti menatapnya.