"Saya akan menolong kamu."
Violet terdiam. Tidak ada lagi suara isakan yang tadi keluar dari bibirnya. Tapi gemetaran karena takut itu masih ada, malah bertambah. Ya, dia menyadari perubahan menyeramkan itu.
"E-El?" Panggilnya terbata-bata pada El yang sedang berjalan menuju jasad ayahnya dan kemudian berjongkok di depannya. Awalnya hanya memperhatikan, tetapi lelaki itu malah mencolek darah sang ayah dengan jari telunjuknya.
Violet beringsut mundur kala El berjalan menghampirinya sambil menjilati telunjuk penuh darah ayahnya itu. Ketakutan menyergapnya.
"P-pergi," usir gadis itu, tapi tak dihiraukan dan El malah berjalan semakin cepat ke arahnya.
El mencengkeram bahu gadis itu dengan kuat, membuat Violet tak dapat bergerak. Bahkan dapat Violet rasakan kalau kuku-kuku milik lelaki bermata merah darah di depannya saat ini sudah menusuk kulit bahunya.
El melebarkan seringaiannya, "Tadi bukannya kamu minta tolong?"
Violet diam, tidak berani menjawab. Sebenarnya situasi apa yang Violet tengah hadapi kini? Dia tidak mengerti satupun. Siapa El ini? Mengapa keadaan orang tuanya bisa sampai seperti ini? Apa dosanya? Kenapa semuanya jadi seperti ini?
Cengkeraman dari bahu Violet lepas. Dapat dia lihat ada darah di kuku El dan sudah pasti itu adalah darahnya. Gadis itu kembali beringsut mundur dengan sisa tenaganya, tetapi El malah memegangi kakinya.
"Saya sudah bilang akan menolong kamu," Ucap cowok itu seiring dengan bertambah merah matanya.
Tak mendapat jawaban dari gadis yang terus menunduk dihadapannya ini, El kembali bersuara. "Hey, lihat saya," sambil mengangkat dagu Violet dengan kasar, "Saya bisa membuat orang tua kamu hidup."
'Hidup' kata itulah yang membuat Violet berani menatap mata El secara langsung. Ia kumpulkan sisa-sisa keberanian yang dimilikinya, lalu bertanya, "Gimana caranya?" Dengan suara lemah, tanda energinya sudah tidak ada.
Mata merah darah itu semakin bercahaya, seperti ada lautan darah yang terkunci di dalamnya, "Semua itu tidak gratis."
Kalimat setengah-setengah itu membuat emosi dalam diri Violet bangkit, "Jangan ngomong setengah-setengah!" Teriaknya di depan wajah El, membuat lelaki itu melepaskan tangannya dari dagu Violet.
"Orang tua kamu itu mati Violet. Bukan hal yang mudah untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Bukankah kamu harus membayar saya dengan sepadan?"
"S-saya...akan memberikan apapun yang...kamu mau..." Ucap gadis itu yang El tahu ada banyak keraguan didalamnya.
El berdiri tegak sambil memandang rendah Violet yang tengah terduduk lemas dihadapannya, "Bicara formal, huh?"
Manusia. Ketika disaat seperti ini mereka bahkan rela menjadi orang dengan harga diri paling rendah. Apapun akan mereka lakukan asal permohonan mereka terkabul. Menjijikkan.
"Nggak usah banyak basa-basi! Cepat sebutin apa yang harus saya kasih biar semuanya sepadan!"
Wow-wow. Gadis ini sudah tersulut emosi rupanya. Ini semakin menyenangkan. "Kamu harus membayar ini dengan..."
El menggantung kalimatnya. Tapi tiba-tiba yang Violet lihat semuanya seolah berputar. Tubuhnya terasa seperti melayang-layang. Apa ini?
"...kebahagiaan."
Lalu semuanya menjadi gelap.
***
"Violet!"
Panggilan itu membuat si empunya nama terbangun dari mimpi terburuknya. Semua itu terasa nyata, menyeramkan, dan menyedihkan.
"Kamu kenapa?"
Suara lembut sang ibu menembus gendang telinganya. Belum sepenuhnya gadis itu sadar, karena takut masih menyergapnya. Bahkan tubuhnya masih gemetaran.
"Vio? Sayang?"
Kali ini Violet menoleh menatap sang ibu. Tangisnya pecah seketika ketika menatap ibunya yang tampak kebingungan dengan keadaan dirinya.
Yah, cukup kacau. Baju piyamanya basah karena keringat, wajah yang pucat pasi, lalu badan yang gemetaran. Dan sekarang, ditambah menangis tanpa alasan.
Sang ibu dengan sigap mendudukkan Violet, kemudian memeluk gadis itu dengan erat.
"M-mama..." Panggil gadis itu berulang-ulang sambil membenamkan wajah di dada ibunya.
Wanita cantik itu tentu semakin khawatir melihat keadaan anak gadisnya yang tiba-tiba seperti itu. "Kamu kenapa sayang?"
Violet menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu melepaskan pelukan mereka. Walau wajahnya masih tampak ketakutan dan kebingungan, gadis itu malah menjawab,
"Aku cuma mimpi buruk,"
***
Kaki Violet terus berputar-putar di dalam kamarnya. Sambil menggigiti kukunya, gadis itu menggunakan otaknya begitu keras untuk berpikir.
Apa benar itu hanya mimpi?
Lalu mengapa beberapa hal yang dia alami hari ini mirip seperti di mimpinya?
Oke, itu hanya mirip. Anggap saja begitu. Lalu bagaimana jika semua itu benar? Bukankah itu gila? Saat dia mengingat mimpi itu pun, ah tidak, setiap saat mimpi itu menghantuinya. Saat sarapan, saat mandi, saat berberes pun mimpi itu selalu melintas dipikirannya.
Seketika rasa takut itu kembali menyergap Violet. Mengerikan rasanya jika mimpi benar-benar nyata.
Violet mengambil ponselnya ketika ia mengingat sesuatu. Memencet tombol keyboard lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.
"Bobi, jangan lupa bahan tugasnya." Ucap Violet langsung tanpa basa-basi setelah teleponnya diangkat.
Terdengar kekehan di seberang sana, "hehe...tahu aja gue lupa, Vi."
Violet terdiam. Ponsel yang dipegangnya lepas begitu saja. Bingung dan takut lagi-lagi menyergapnya.
"Kok...gini?"
"Woi? Halo? Halo?"
Violet kembali sadar, lalu menempelkan kembali ponsel itu ke telinganya. Dengan jantung berdegup kencang karena takut, gadis itu berkata, "Bobi! Kita nggak jadi kerja kelompok. Antar aja gue ke rumah El."
"Loh, kok gitu? Gue udah di depan rumah Anya, nih. Lagian rumah El itu jauh, tahu."
Suara Violet semakin terdengar gemetaran, emosinya pun ikutan meluap. "Cepat aja! Jangan banyak bacot!"
Bobi pun yang biasanya selalu bercanda kini ikutan terdiam, menyadari ada yang tidak beres pada Violet. "Lo kenapa Vi? Kok suara Lo kayak lagi nangis?"
Terlalu banyak tanya! "CEPAT AJA!"
Setelah berteriak seperti itu, Violet langsung mematikan sambungan. Gadis itu terduduk di kasurnya. Ketakutan itu semakin membesar. Kuku-kuku jarinya pun dia jadikan pelampiasan rasa takut.
Apa itu memang bukan mimpi?
Gelak tawa yang riang begitu terdengar jelas di telinga Violet. Mungkin biasanya dia akan langsung tertawa hanya karena mendengar temannya tertawa, tapi hari ini perasaan was-was, takut, dan marah mendominasi hati dan pikirannya.Violet tidak ingin mempercayai mimpi itu adalah sebuah kenyataan, karena secara logika itu saja tidak masuk akal. Namun kejadian tadi pagi sampai sesaat sebelum dia menelepon Bobi persis seperti di dalam mimpi. Seolah sedang memutar film yang sama.Sebuah tepukan pelan di bahu membuat gadis itu benar-benar terperanjat. Bahkan nafasnya langsung putus-putus.Bobi itu tertawa melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Violet, "Lebay amat dah, lo. Jadi ga ini ke rumah si El?"Bobi menghentikan tawanya kala mendapat tatapan sinis dari Violet. Tidak, ini bukan tatapan sinis yang biasa Violet tunjukkan padanya. Tatapan ini, seperti ada rasa sedih sekaligus amarah besar
Violet menghela nafas entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditatapnya isi kertas itu berulang kali, berharap isinya dapat berubah hanya dengan tatapan mata. Tapi tentu saja tidak mungkin.Kertas itu berisi kontrak yang harus Violet patuhi jika ingin keinginan tidak masuk akalnya El penuhi. Isinya:1. Pemohon tidak boleh mati dengan cara apapun, kalau peraturan itu dilanggar maka permohonan akan dibatalkan.2. Pemohon tidak boleh memberi tahu identitas si pengabul atau akan ada denda yang harus pemohon bayar.3. Pemohon tidak boleh menceritakan hal-hal tidak masuk akan yang dialami kepada siapapun kecuali ke pengabul.4. Kontrak berlaku seumur hidup.5. Bayarannya adalah kebahagiaan sang pemohon.El menatap kesal Violet yang masih saja memegangi kertas itu dengan wajah ragu, "Isinya tidak akan berubah meskipun kamu tatap seperti
Ruangan ini gelap dan violet seperti sedang duduk di sebuah kotak transparan. Rasanya tidak ada oksigen di dalam kotak ini membuat Violet sulit bernafas.Tok! Tok!"Siapapun keluarin gue dari sini!" Teriaknya tak lupa sambil terus memukul kotak yang mengurungnya. Sayangnya di dalam keadaan gelap ini tidak ada yang dapat terlihat oleh Violet. Apa benar hanya dia sendiri di sini?Tiba-tiba muncul sebuah lampu gantung, membuat atensi Violet mengarah ke sana. Tapi bukannya mendapati hati lega, malah jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika melihat jasad kedua orang tua yang tergeletak tak berdaya di bawah cahaya lampu itu.Tangan gadis itu bergetar menyentuh dinding transparan kotak, "M-mama...? Papa...?" Berusaha memanggil, namun suaranya sulit untuk keluar.Violet semakin panik. Terkurung di dalam kotak sempit ini membuatnya tidak dapat berpikir jernih. "MAMA!! PAPA!!
"APA YANG UDAH LO LAKUIN KE ANDRE?!"Gendang telinga El rasanya ingin pecah mendengar teriakan seorang gadis yang terduduk lemas di depan pintu gudang itu. El tidak berbicara, tapi dia hanya memperhatikan Violet yang kini menangis meraung-raung.El berdecak, "Apa kamu tidak lelah dari tadi menangis terus?"Violet bangkit, walau kakinya masih sangat lemas, namun dia paksa untuk dapat berdiri di depan El. Gadis itu menunjuk dada pria itu dengan keras, "Jawab gue, apa yang udah lo lakuin ke Andre?" Tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.El tertawa pelan, "Dia hanya membayar apa yang semestinya dia bayar.""Lo brengsek!""Brengsek?" El berdecih, "Kalian yang serakah, tapi kamu mengatai saya brengsek?" Pria itu marah. Dengan kasar dia mengambil lengan Violet membuat gadis itu berdesis kesakitan. Tidak peduli, El menjentikkan jarinya.&n
Suara jangkrik menemani malam Violet yang sunyi. Tidak ada yang menemaninya disaat dia merasa begitu butuh teman. Kedua orangtuanya pergi melayat saudara jauh yang baru saja berpulang, sementara dirinya ditinggal seorang diri di sini.Mata gadis itu sudah terlalu kering untuk diajak menangis, jadi yang bisa dia lakukan hanya duduk termenung di balkon kamarnya. Sesekali matanya menatap jalanan kompleks yang sepi."Percuma lo minta orang tua lo buat hidup lagi, tapi mereka enggak peduli sama lo."Suara itu lagi.Violet muak mendengar suara itu, namun kepalanya tetap ia tolehkan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Tapi tetap saja, nihil. Tidak ada siapa-siapa."Keluar lo!" Teriak Violet marah pada suara itu.Bukannya memunculkan diri, tapi suara itu malah tertawa mengejek membuat Violet semakin meradang."Lo hidup de
Bulan berganti matahari, tanda hari buruk kemarin sudah berlalu. Tapi bukan berarti kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Violet. Gadis itu masih sangat ketakutan setiap melihat cermin, seolah kejadian semalam menimbulkan trauma baru untuknya.Hari baru pukul 6 pagi, saat matahari baru muncul dengan malu-malu. Namun, mata indah milik Violet seakan enggan menutup lebih lama.Dihelanya nafas pelan, kesal karena tidak dapat tidur kembali di hari libur nasional yang seharusnya dia nikmati dengan bersantai seperti biasanya. Merasa haus, gadis itu pun terpaksa beranjak dari tempat tidur menuju dapur.Melongok kan kepalanya ke seluruh penjuru rumah berharap mendapati sang ibu yang biasanya sudah sibuk membersihkan rumah atau merawat taman belakang, tapi tidak ada. Mungkin tidur, pikirnya.Mengedikkan bahu, dia berjalan ke arah dispenser. Menekan tombol dispenser dan menampung air dengan g
Violet menatap pintu hitam di hadapannya. Rasa takut menghampiri hati, membuatnya ragu untuk memencet bel. Gadis itu menggigit bibirnya, haruskah dia pulang saja? Tapi sisi lain hatinya berkata, dia sudah datang jauh-jauh kemari, setidaknya dia harus membunyikan bel, bukan?Tangan gadis itu meraih bel, namun dia turunkan lagi. Naikkan, lalu turunkan, naik, turun, begitu terus. Akhirnya gadis itu frustasi sendiri bahkan sampai menjambak rambutnya."Gue gini amat, sih." Keluhnya pada diri sendiri."Gini amat?"Violet mendongak. Menatap sepasang iris gelap dari seseorang yang sedari tadi ingin dia temui. Mata pria itu begitu gelap, berbeda dari 'hari itu'.Sesaat, Violet tenggelam oleh iris gelap itu."Kamu bukannya ingin menemui saya?"Violet mengerjap kaget. Refleks gadis itu menyisir rambutnya ke belakang. Me
Setelah memastikan Violet sudah benar-benar hilang dari pandangan, El pulang ke apartemennya. Dan sesaat setelah sampai di dalam apartemennya, pria itu langsung masuk ke dalam kamar miliknya yang bernuansa gelap dan membanting tubuh atletisnya di atas kasur.Dimana letak kesalahan yang dia lakukan? Dia tidak pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Pikirnya terus saja melayang pada kejadian Violet tadi, walau kelihatannya dia menatap langit-langit kamar.El terduduk kala mengingat sesuatu."Apa karena hari itu?" Bisiknya pada angin.Pria itu berjalan ke arah laci dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Raut wajah yang biasanya dingin dan datar berubah menjadi sendu saat melihat foto berwarna hitam putih yang sedang dia pegang. Tanda tanya yang sejak tadi muncul, mengapa dia menolong Violet pun belum hilang, apa benar karena gadis itu terlihat mirip dengan seseorang yang ada di fo
Dear Violet,Saya tidak tahu harus menulis surat yang bagaimana. Tapi saya tahu ajal saya tidak akan lama lagi. Jadi saya memutuskan untuk menulis surat.Saya hanya ingin kamu bahagia selalu dan juga tetap sehat. Jangan terlalu sering melamun dan makan yang banyak karena saya sering memperhatikan kalau kamu jarang sekali makan.Perlu kamu ketahui, saya benar-benar ingin kamu bahagia. Terlepas kamu adalah mawar atau bukan. Bagi saya, kamu hanyalah Violet sekarang. Tapi saya harus mengakui kalau saya mencintai kamu dari dulu sampai sekarang.Mungkin kamu tidak akan menemui saya lagi kalau sudah membaca surat ini. Karena mungkin saja saya sudah mati, atau mungkin kita berdua akan sama-sama mati? Yang jelas saya ingin menulis surat ini untuk kamu.Saya tidak pernah menulis sepanjang ini, jadi maklumi saja kalau isi surat ini aneh.Saya tah
"Kak caramel macchiato satu, dong."Violet tersenyum dan mengangguk menerima pesanan yang datang. Dengan lihai gadis itu membuat pesanan."Terima kasih, silahkan menikmati." Violet tersenyum seraya memberikan cup gelas itu kepada pembeli.Gadis itu kemudian membersihkan gelas-gelas yang kotor di meja. Dan mengelapnya agar lebih bersih. Apalagi terdapat bekas embun air yang jatuh ke meja, tentu harus dilap kan?"Oi, Violet!"Violet menoleh saat mendapati suara yang familiar di telinganya. Senyuman lebar Violet berikan pada orang itu."Lucy,"Lucy langsung saja duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja barista. Agar dapat lebih leluasa berbicara dengan Violet."Lagi di sini, ya?"Lucy mengangguki pertanyaan Violet, "Aku sedang bertugas 'lagi'." jawabnya
"Sudah lama ya, El."El langsung saja menolehkan kepalanya kaget. Pria itu langsung menyembunyikan Violet di balik punggungnya yang lebar. Violet tidak dapat melihat ekspresi dari El, yang jelas dia tangan El gemetaran.Dengan tangan yang berada di belakang memegangi Violet, El berteriak marah pada lelaki yang baru datang itu. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Violet merinding mendengar kekehan yang pria itu keluarkan. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya, siapa yang datang secara tiba-tiba itu? Apakah dia seorang iblis juga? Violet tidak sempat melihat wajahnya karena keburu ditarik ke belakang oleh El, tapi dia tahu kalau itu bukan Amon.Terutama aura yang sangat mencekam yang pria itu keluarkan. Amon memang menyeramkan tapi dia tidak mengeluarkan aura seperti ini."Tentu saja aku datang untuk membunuhmu."El semakin mengeratkan
Kamar El sudah tak terlihat sebagai tempat yang dapat untuk ditiduri lagi. Pasalnya begitu banyak barang yang hancur, sudah tidak terbentuk lagi karena El melempar semua benda yang ada di ruangan itu.Mulai dari lampu, meja, lemari, bahkan pakaiannya. Semuanya dia hancurkan. Guna untuk melampiaskan amarahnya yang bahkan tidak bisa ia salurkan dengan teriakan.Otaknya terus dipenuhi dengan pikiran-pikiran jahat. Pikiran untuk melenyapkan siapapun yang membocorkan hal itu pada Violet. Dan ya, Lucy akan menjadi yang pertama. Lalu mungkin Bunga akan menjadi yang selanjutnya."Sialan!" makinya entah untuk yang ke berapa kali.Siapa yang harus dia salahkan kini? Siapa yang harus menjadi sasaran amarahnya kini? Violet sudah mengetahui semuanya, semuanya sudah hancur! Hancur menjadi leburan.El memukul-mukul kepalanya, lagipun bagaimana bisa dia tidak mengetahui k
Suara kaki Violet yang beradu dengan tanah karena terseret-seret mengikuti langkah kaki El yang terburu-buru begitu jelas terdengar. Ditambah lagi jalanan yang sepi, malah hampir tidak dilalui orang membuat suara itu kian jelas terdengar. Ringisan juga tak luput berhenti Violet keluarkan, karena El yang terus menarik lengannya dengan kasar.Violet berusaha menggoyang-goyangkan tangannya agar terlepas dari genggaman El, namun yang ada lengannya malah dicengkeram semakin erat. "El! Lepasin! Gila ya lo?!"Bagai tersadar, El pun berhenti berjalan dan melepaskan cengkeramannya. Tertangkap oleh indera penglihatannya kalau lengan Violet membiru.Nafas pria itu tampak memburu, seperti menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya. Padahal seharusnya Violet lah yang kini mengamuk padanya."Kenapa kamu menemui dia?!"Violet yang sedari tadi mengelus pergelangan tangann
Selama perjalanan pulang, Violet hanya diam dan menatap keluar jendela mobil. El sebetulnya heran dengan sikap diam itu, tapi tidak mau bertanya lebih jauh. Sampai mobil mereka yang sudah sampai di basement apartemen pun, Violet masih tidak sadar dan terus melamun."Kita sudah sampai." ucap El pada Violet beserta tepukan pelan ia beri di bahu gadis itu.Violet langsung terperanjat, "O-oh udah sampai."Karena rasa penasaran yang tak dapat dia bendung, akhirnya El pun bertanya. "Kamu melamun kan apa?""Enggak, kok." kilahnya, "Yuk, turun." Violet berusaha mengalihkan perhatian El dengan mengambil barang-barang yang baru saja El bawa. Dan El pun membantunya untuk membawa bungkusan-bungkusan pakaian itu, karena memang lumayan banyak.Di dalam lift pun suasana di antara mereka kian canggung. Padahal sebelumnya mereka bersenang-senang dengan riang gembira
Saat Violet membuka matanya, rasa pusing yang pertama kali dia rasakan. Mungkin ini efek tidur terlambat, ralat, sangat terlambat. Terakhir kali dia melihat jarum jam sudah mengarah ke angka 4 dan sekarang baru pukul 8 pagi. Inginnya tidur lagi, tapi matanya tidak dapat dipejamkan lebih lama.Karena tak dapat kembali tidur, mau tak mau Violet pun beranjak dari kasurnya. Sambil memegangi kepalanya yang nyeri, gadis itu berjalan ke arah balkon kamar yang ia tempati untuk merasakan udara di pagi hari.Tapi suara ketukan pintu membuat Violet berhenti melangkah ke arah pintu balkon dan berjalan dengan kaku ke arah pintu kamarnya."Y-ya?" aduh, ketahuan sekali kalau dia menjadi gugup karena ketukan itu.Terdengar suara deheman pelan dari luar, "Sarapan."Violet mencibir mendengar ucapan singkat nan padat yang El beri.Bukankah hanya ak
Mata Violet terlihat kosong saat bertanya pada El bersamaan dengan suaranya terdengar begitu sendu."Kenapa lo menghalangi gue buat mati?"El mengerjapkan matanya pelan saat mendengar pertanyaan yang paling dia hindari seharian itu akhirnya keluar juga. Pria itu memalingkan wajahnya, tidak tahu harus menjawab apa."Jawab gue." Violet berkata pelan, namun terdengar begitu menusuk dan menuntut.Melihat El yang hanya dapat diam, Violet melanjutkan perkataannya. "Seharusnya lo yang paling pingin gue mati."El langsung menatap marah Violet. Pria itu juga langsung berdiri. "Maksud kamu apa berkata seperti itu?!"Violet menatap El dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. Begitu banyak yang ingin gadis itu katakan, tapi lidahnya terlalu kaku untuk dia gerakkan. Mengingat bagaimana perlakuan kejam El padanya selama ini, lalu secara tib
Hening.Kata itulah yang menggambarkan bagaimana keadaan ruang makan di apartemen milik El itu. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring lah yang mengisi kekosongan di antara mereka.Violet merasa canggung selama dia menyuapi makanannya ke mulut. Pasalnya hanya dirinya sendiri yang makan, tidak masalah apabila El tidak makan dan meninggalkannya sendirian. Tapi masalahnya terletak pada El yang duduk dihadapannya dan menatap dirinya yang sedang makan dengan tatapan yang sangat lurus dan serius. Seperti mengamati hewan peliharaannya yang sedang makan.Violet meletakkan sendoknya dan membalas tatapan El, "Kenapa lo lihatin gue terus, sih?" tanyanya kesal."Tidak ada." jawab El langsung yang mana hal itu semakin membuat Violet kesal.Akhirnya gadis itu melanjutkan makannya walau risih masih mengikuti karena El yang tak berhenti menatapnya.