Aku sudah tidak punya harga diri di depan mereka. Polisi-polisi juga ikut tertawa. Mereka semua menginjak-injak harga diriku. Padahal kau tahu, akulah orang yang paling disegani di New York.
Ketika usahaku untuk mengekspresikan keputusasaan malah ditertawakan oleh saudara yang seharusnya mendukungku apa yang harus kulakukan?
Semua orang di ruangan ini, kecuali Venus, sedang menertawakanku. Mereka membuatku merasa seperti anak kecil. Anak kecil penuntut yang mengentak-entakan kaki dan mengancam tidak mau makan agar keinginannya dituruti.
Anak-anak venus sering melakukannya. Isabelle, yang berusia lima tahun dan sangat penuntut. Kau tahu apa yang dilakukan Venus agar Isabelle menyerah? Dia mengatakan dengan wajah sedih yang dibuat-buat, "lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku juga akan tetap pada pendirianku karena aku mencintaimu."
Trik itu selalu berhasil mendamaikan Isabelle.
Tapi dia tidak melakukannya kepadaku. Memang, Isabelle belum pernah mengancam untuk lompat dari atas gedung setinggi ratusan meter.
Berkali-kali aku mengumpati mereka.
Berbalik untuk mengakui kepada mereka kalau aku memang pengecut akan membuatku terlihat semakin parah. Tapi terjun ke trotoar bisa jauh lebih buruk.
"Hei!"
Neptune mengejutkanku. Suara pelannya membuat aku hampir terlompat. Dia tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Venus memekik ngeri, lalu meneriaki Neptune dengan kata-kata yang bisa membuatmu menutup telinga anak kecil di sebelahmu.
"Aku tahu kau kolokan. Tapi jangan permalukan dirimu seperti ini." Neptune menyimpan ponselnya. Dia bersandar pada tembok balkon dengan santai. Seolah tidak ada yang ingin bunuh diri saat ini.
"Sialan!" Suaraku terlalu kecil hingga Neptune tidak bisa mendengarnya. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendengarnya.
"Hah? Apa kau bilang?" Neptune mendekatkan kepalanya kepadaku. Aku mencoba berbicara lagi tapi tidak ada yang keluar dari tenggorokanku. Rasanya kering sekali.
Kucoba untuk menunduk lebih rendah lagi untuk mengumpat keras-keras di telinga Neptune. Aku gagal. Kakiku yang keram tidak bisa lagi menahan tubuhku yang tidak seimbang.
Semua seperti sebuah kilatan kejadian. Kakiku keramku terlepas dari pijakannya, daguku menghantam tembok dengan keras, lalu tanganku mencoba meraih pegangan.
Kupikir aku akan mati seperti misiku saat pertama berdiri di tembok ini.
Ternyata Tuhan masih ingin menghukumku.
Tangan Neptune mencengkram tangan kiriku. Keras dan kuat. Wajahnya terlihat sangat ketakutan. "Sumpah, aku akan menghajarmu setelah ini, Adam," pekiknya padaku.
Abe dan beberapa orang polisi berteriak-teriak memintaku mengulurkan tangan kanan kepada mereka.
Tulang bahuku mengeluarkan bunyi gemeretak yang menyedihkan ketika mereka menarikku ke atas. Kupikir aku akan menyerah. Kupikir ingin melepaskan pegangan tanganku.
"Kalau kau berani melepas tanganmu, Kuhajar kau sampai hancur," seru Abe yang wajahnya sudah sangat merah. Aku menurut, tentu saja. Hancur versi Abe masih bisa diselamatkan dokter.
Mereka berhasil mengangkatku.
Beberapa polisi menatapku dengan muak.
"Lain... kali... kalau... dia mau bunuh diri lagi, jangan pernah kau halangi. Jangan pernah!" Abe berkata kepada Venus dengan napas terengah.
"Oh, ya Tuhan! Adam! Ya, Tuhan!" Venus memelukku dengan erat. Dia menangis.
Venus adalah perempuan paling aneh yang pernah ada. Dia sangat keras. Keras kepala, keras hati, dan kemauannya keras. Pada usia dua puluh lima tahun dia pernah membidik segerombolan gembong narkoba di Veinmere dengan senapan sniper M24. Semua bidikannya kena. Memang, ayahku juga memberinya arahan yang bagus, tapi gadis mana sih yang bisa membidik dengan tepat begitu?
Di sisi lain, dia juga penuh cinta. Venus yang cantik selalu mudah tersentuh, apalagi kalau itu berkaitan denganku. Dia mencintaiku lebih dari apa pun. Lihat saja, saat Abe dan Neptune memakiku, Venus memelukku, mendekapku dengan selimut yang diambil salah satu polisi dari kamarku. Dia terus meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja.
"Oh, ya! Peluk dia. Katakan kepadanya kalau kita semua mencintainya dan berharap dia tidak melakukan hal bodoh lagi. Dunia bisa hancur kalau dia mati."
Abe tergelak mendengar nada kalimat Neptune yang sarkastis.
"Apa masalahmu?!" Venus menyembur pada Neptune.
"Apa masalahku? Dia tidak pantas mendapatkan pelukan. Dia pantas mendapatkan ini." Neptune menghantamkan tinjunya ke wajahku. Venus memekik.
Seumur hidupku, baru kali ini Neptune berani memukulku. Neptune adalah kakak paling pengasih yang pernah ada. Dia selalu mengakui kesalahanku sebagai kesalahannya di depan ayahku. Dia membuatku lepas dari hukuman. Dia memberikan apa saja yang kumau, bahkan gadis yang dicintainya.
Walau wajahku kebas karena angin dingin, tapi aku masih bisa merasakan darah mengucur dari hidungku
"Kau sampah di Rockwood. Rockwood bukan pengecut. Aku akan berdeklamasi semalaman kalau kau mau." Suara Neptune membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya, bahkan Venus hanya menutup mulutnya.
Aku menunduk. Kuakui, aku malu sekali. Seharusnya aku mati saja tadi. "Maaf," kataku pelan.
"Ibumu tidak melahirkanmu untuk menjadi mayat, Adam. Ibumu melahirkanmu dan menunggu-nunggu sampai kamu besar untuk melihatmu sebagai penerus Rockwood. Paling tidak, kalau kamu terlalu tolol dan dungu untuk meneruskan nama Rockwood, tetaplah hidup."
"Buat apa?" protesku.
"Jadi badut atau apalah. Itu kan pekerjaanmu selama ini," jawab Neptune sambil memijat dahinya. "Pokoknya hidup saja kenapa, sih? Bisa bayangkan bagaimana wajah Mom kalau melihat anak kesayangannya mati? Apa kau pikir Mom bisa makan dengan tenang kalau kau mati?"
"Sudah, Neptune!" Venus mendesis. "Kita tidak bisa terus menghakiminya. Dia memang dungu. Mau bagaimana? Tidak bisakah kau sedikit toleransi pada saudaramu yang punya kekurangan intelijensi?"
"Ven, kira-kira kau ingin membunuhku atau apa?"
"Aku bicara jujur. Sudahlah! Kubakar ijazah Harvard-mu kalau kamu bicara lagi. Aku sedang memperjuangkan nasibmu."
"Aku sama sekali tidak merasa sedang diperjuangkan," gerutuku sambil menjejalkan tisu ke lubang hidungku.
"Tinggalkan dia, Venus. Dia bukan bayimu lagi." Neptune mengangkat ponselnya yang berbunyi. Dia kemudian mengerang keras saat membaca yang ada di layar ponselnya. Dengan wajah kesal, dia memperlihatkan ponsel itu pada kami. "Mom sudah tahu. Wajah dungumu itu ada di TV. Dia memintaku melihat apa yang sedang terjadi padamu."
Abe yang baru dari dapur membawa kopi untuk kami semua. "Aku penasaran," kata Abe saat memberikan kopi padaku. "Apa yang akan dikatakan Thompson dan Atkins kalau melihat ini."
Neptune menjentikkan jari. "Aku lebih penasaran mendengar apa yang mungkin dikatakan Syailendra dan Brennan, musuh besarmu itu," katanya sambil terkekeh. "Dude, kalau kamu memang sangat ingin berbuat bodoh, pastikan dulu orang-orang yang bisa menertawakanmu mati. Rasa malunya bisa sampai ke DNA."
Venus mengeluh keras-keras. "Neptune, aku--"
"Sudah katakan padamu, Adikku." Neptune menyentuh wajah Venus. "Tinggalkan dia. Jangan beri dia kemanjaan yang menyedihkan. Dia lelaki dewasa. Kau tidak bisa hanya membuatnya nyaman dan bahagia saja. Kau perlu menghajarnya juga sesekali agar dia tahu kalau yang dilakukannya itu salah."
Venus seperti akan mengucapkan sesuatu. Kemudian ia menggigit bibir sebelum berdiri untuk meninggalkan kami. Jujur saja, aku belum pernah merasa begitu ingin ditemani Venus karena Neptune sepertinya akan mengulitiku.
"Nah," kata Neptune dengan nada suara bosan, seolah aku ini anak nakal yang terus berbuat kurang ajar untuk mencari perhatian. "Apa masalahmu? Benarkah seperti yang kuduga?"
"Apa yang kau duga?"
"Patah hati?"
Aku memejam. Dia memang tepat sasaran. Seluruh duni menyiarkan momen patah hatiku. Seluruh dunia. Bajingan itu memang ingin memastikan tidak ada yang melewatkan adegan itu. Bahkan ekspresi patah hatiku disiarkan berulang-ulang dan dalam waktu kurang dari satu jam sudah menjadi meme yang memenuhi media sosial.
"Tidak ada yang bisa membuatku lebih hancur lagi, Kak." Aku menunduk pada kopi panas tanpa gula yang diberikan Abe. Lidahku masih kelu karena angin dingin tadi. Aku masih ingin mati seperti saat berdiri di balkon tadi.
***
Aku menceritakan semua kepadanya. Kali ini aku tidak menutupi apa pun. Aku menceritakan sampai ke hal-hal yang membuatku gemas dan sakit hati. Aku tidak memikirkan kalau Neptune juga mencintainya. Aku tidak memikirkan kalau Neptune dan Abe mungkin saja menertawakanku. Aku tidak memikirkan apa pun. Aku juga tidak malu melihat Venus ikut mendengarkan dan beberapa polisi berhenti untuk mendengarkanku. Aku sudah lelah. Aku tidak keberatan terlihat seperti gadis remaja yang menceritakan dengan terisak-isak lelaki yang telah menghamilinya, lalu pergi.Tidak. Aku tidak pernah menghamili perempuan. Venus pasti akan memasak kemaluanku di kuali kalau sampai itu terjadi. Tidak ada anak Rockwood yang lahir di luar pernikahan, begitu katanya bertahun-tahun lalu saat kami masih SMA. Pesan itu kutanamkan baik-baik di kepalaku hingga hari ini. Aku tidak akan menghamili perempuan yang bukan istriku. Tidak percuma akhirnya aku membuat merek kondom ternama, Phallus. Kondom ya
Enam bulan sebelumnyaPerempuan berambut pirang itu mendesahkan rayuan provokatif saat lelaki di belakang tubuhnya menyusun bubuk kenikmatan, memanjang dari punggung ke pantatnya yang bulat. Seperti seorang OCD yang membuat barisan rapi tipis bubuk putih. Tak lama kemudian, laki-laki itu menyesap semuanya dalam sekali isap dengan lintingan uang kertas lewat hidungnya. Lelaki itu merasakan sensasi sengatan yang sangat dikenalnya; menusuk, menekan kepalanya, lalu memberikan sensasi melayang yang menyenangkan. Setelah itu, mulutnya melolong penuh kemenangan.Semua orang di ruangan besar itu tertawa. Sebagian mengacungkan botol-botol minuman dan sebagian lagi mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak keras mengalahkan dentum musik dari speaker raksasa, "Selamat ulang tahun!"Laki-laki itu merasa dirinya seperti dewa yang diagungkan. Empat perempuan tanpa busana di kanan kirinya tertawa. S
"Apa yang membuatmu ingin lari?"Gadis itu membelalak. Terkejut. Tidak. Kurasa bukan terkejut. Lebih tepatnya, mematung, seketika lumpuh. Yah, kau tahu, siapa yang tidak tergiur dengan keindahan yang kupunya? Aku tampan dengan tubuh tanpa pakaian yang memperlihatkan otot menawan. Jangan salahkan dia kalau dia sampai tak bisa berkedip.Aku juga tak bisa berkedip.Ya, Tuhan, mata bulat itu seperti penuh dengan sihir!"Kalau kau sendirian, aku akan menemani," ucapku dengan lembut setelah menghabiskan detik-detik yang diam.Bibir gadis itu membuka sedikit seolah mengizinkanku mengintip ke dalamnya. Kalau memang itu yang dia inginkan, dia berhasil. Aku sudah bisa membayangkan bibir itu memberiku pelayanan istimewa. Tidak perlu mengulum kemaluanku. Cium saja aku. Aku akan dengan suka rela membalas ciumannya. Aku yakin ciuman itu akan menjadi panas sekali."Aku menunggu temank
Alarm mengejutkanku, membuat sarafku terjaga dengan serentak. Tubuhku gemetar. Dengan susah payah kutelah ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering. Kuraba meja di samping tempat tidur untuk menghentikan bunyi 'beep' sialan itu. Rencananya, aku ingin tidur lagi. Aroma bersih seprai dan lembutnya kain selimut membuatku ingin berada di tempat tidur lebih lama. Setelah keluhan panjang, aku siap untuk kembali terlelap. Toh, dunia bisa menyusulku.Ponselku bergetar. Getarannya cukup kuat untuk membuat bunyi dengan kayu meja. Aku mengeluh keras-keras, memaki siapa saja yang berani meneleponku pagi ini. Apa aku tidak bisa menikmati satu hari saja dengan bermalas-malasan?Dengan sangat terpaksa, aku duduk. Layar ponsel itu membuatku mengurungkan niat membanting ponsel ke lantai. Itu bukan telepon masuk. Itu alarm rapat yang dikirim Holy. Pagi ini aku harus ke Rockwood Building. ASTAGA!Kusandarkan kepala ke dind
"Shit!" Aku mendesis ketika kopi panas menyengat luka di bibirku. Luka dari gadis latin sial semalam. Luka dari gadis yang muncul lalu pergi seenaknya.Gadis tolol yang seharusnya tidak kulihat semalam. Gadis itu mungkin lesbian atau apa. Kalau normal, mana mungkin dia menolakku?Aku tidak menyombong. Tanya saja pada semua perempuan yang ada di New York. Siapa yang tidak menginginkanku? Aku memiliki semua mimpi perempuan Amerika.Kau lihat gedung termegah di New York? Rockwood Buildings. Sebuah gedung yang menggenggam perekonomian dunia. Kalau buku ekonomimu mengatakan perekonomian dunia berada di Wall Street atau White House, bisa kau bakar buku itu sekarang. Kalau bukan karena gedung ini, Rusia sudah sejak lama menjatuhkan nuklirnya di kota New York.Bagi kalangan terbatas, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebijakan ekonomi dunia ditentukan dari gedung-gedung New York. Undang-undang yang d
"Holy," sapaku ceria. Kurentangkan tanganku selebar-lebarnya untuk menyambutnya.Perempuan itu tidak tersenyum sama sekali. Wajahnya sedingin patung batu. Dagunya terangkat menunjukkan kalau dia tidak sedang ingin beramah-tamah padaku."Masing hangover? Kau terlambat satu jam, Mr. Rockwood." Tangannya dilipat di dada dengan penuh emosi. Orang lain yang tidak mengenalnya mungkin akan menganggap ini sebagai gestur biasa, gestur yang cocok untuk perempuan berumur tiga puluhan dengan tubuh ramping dan dandanan modis seperti dia. Tidak bagiku. Ini tanda aku harus bersembunyi dalam bunker. Holy siap mengamuk."Jauh lebih baik. Bugar dan sehat. Kau lihat birunya mataku yang seindah langit musim panas ini? Seks membuatku merasa muda sepuluh tahun," ucapku jujur. Aku benar-benar dalam kondisi paling prima sekarang."Aspirin?""Done." Kujulurkan gelas kopi panas kepadanya. "Aku sudah mu
"Lupakan soal kehidupan pribadimu. Sekarang, kau harus memikirkan kehidupan bisnis kita," ucapnya sambil menghubungkan tablet dengan monitor besar."Apa pun yang kau inginkan, Holy." Kusandarkan bahuku di kursi dengan santai."Kau tahu, kita punya reputasi yang buruk karena perilakumu. Jadi, yang akan kita lakukan sekarang adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat kepadamu."Aku memutar mata dengan bosan. "Memberikan bantuan kepada anak-anak di negara konflik? membantu membangun rumah roboh? Ikut berperang di negeri antah berantah? Menjadi Brad Pitt? Sebut saja!""Tidak seburuk itu. Kau hanya perlu menjadi mentor di Rockwood Apprentice.""Mentor? Kau pikir aku ini siapa? Setiap tahun selalu ada peserta magang. Kenapa harus aku yang menjadi mentor?" Holy pasti bercanda."Tapi sekarang berbeda, Adam. Ini akan menjadi reality show di RTN, perusahaan televisi Rockwood. Me
"Apa sih maumu?!" Suara Holy mendesis ketika kami sampai di elevator. Aku tidak menoleh kepadanya. Bisa kubayangkan wajah murkanya. Itu sangat tidak enak dilihat. Sebanyak apa pun dia melakukan operasi plastik, amarah akan membuat wajahmu tidak enak dipandang. Ya, seperti holy sekarang.Lagipula, aku masih memikirkan gadis di ruang rapat tadi. Saat aku meninggalkan ruangan, dia melihatku, mengikuti mataku. Tatapannya bukan tatapan menggoda, tapi kecewa. Dia seperti anak yang tidak mendapatkan hadiah yang diinginkan. Besar sekali keinginan dalam diriku untuk berhenti dan menciumnya, memberikan apa pun yang diinginkannya.Apa mungkin dia menyesal atas apa yang terjadi semalam? Apa dia ternyata menginginkanku? Apa dia ingin kembali padaku?"Tugasmu memberikan sambutan untuk mereka, bukan membicarakan masalah pribadimu. 'Menjilat bokong'? Bokong siapa yang harus kujilat sampai harus menjadi sekretaris sialmu, Mr. Rockwoo
Tentu saja Venus tidak mengizinkanku menyentuh Cattleya sama sekali. Menurutnya, Cattleya masih termasuk tamunya dan aku tidak boleh sama sekali menyentuh tamunya yang dalam keadaan mabuk. Dia meminta Daniel menggendong gadis itu ke kamar tamu. Kuharap Daniel keparat itu ingat pacarnya yang sedang mengandung anak mereka. Dari kilatan pada matanya itu terlihat betapa bejatnya pikirannya. Sebelum berbalik membawa Cattleya ke kamar saja dia masih sempat tersenyum licik padaku, memamerkan keberhasilannya. Aku sama sekali tidak memperhatikan Holy yang dengan bersemangat menceritakan betapa tololnya anak magang yang bernama Wales itu. Dia mencampur beberapa data dalam kotak kertas-kertas yang akan dihancurkan. Untung Saja Cattleya datang dan membaca lagi kertas-kertas itu. Dia langsung mencabut mesin penghancur kertas dan mulai memunguti bagian kertas yang sudah berada di dalam mesin. Holy mengatakan sesuatu tentang musibah dan kesengajaan, tapi aku tidak bisa menyim
Aku melepaskan bibirnya setelah sadar kalau kelakuanku ini bisa menyeret kemaluanku ke pengadilan keluarga Volkov. "Maaf," kataku pelan, benar-benar minta maaf dan berharap dia tidak membuat hal ini menjadi masalah panjang di antara kami. Dia tidak melihatku. Dia sibuk mengelap bibir dan wajahnya sendiri. Sepertinya dia memang menghindari bertatapan denganku. Melihat gelagatnya yang seperti itu, aku curiga ini ciuman pertamanya. Dia memang tidak terlalu banyak membalasku tadi. Dia hanya membiarkan aku melakukan yang bisa kulakukan atas bibirnya. Dia tidak mencengkeram pakaianku atau menyentuh bagian tubuhku seperti gadis-gadis lain yang berciuman denganku. Dia juga memejam dengan erat sampai matanya berkerut, seolah dia menahan sesuatu di dalam dirinya. "Teleponnya?" tanyanya dengan suara parau, sama sekali tidak menatapku. "Di sana. Silakan," kataku menunjuk telepon di atas meja kerja yang memang sering digunakan oleh para tamu sebagai jalur am
"Aku ... pulang saja. Maafkan aku." "Siapa bilang?" Abe yang pertama berdiri, kemudian Daniel. Dia menghampiri Cattleya dan mengulurkan tangan padanya. "Aku sudah mengatakan pada istriku akan memperkenalkanmu padanya. Istriku melihatmu di TV dan langsung menyukaimu. Kuharap kalian bisa menjadi teman. Ayolah, Miss Aguilar. Kami sudah menyiapkan tempat untukmu." Abe menunjuk meja makan yang sedang ditata untuk satu orang lagi di samping Venus, pada kursi kosong yang tadi ditempati Isabelle. Sebenarnya, tidak sopan memberikan kursi orang lain pada tamu yang baru datang. Namun, akan lebih tidak menyenangkan lagi kalau Cattleya harus duduk di bagian paling ujung dengan jarak dua bangku kosong antara dia dan Venus. Aku tidak menyapanya. Bukannya aku sengaja ingin berbuat jahat padanya. Aku hanya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Aku datang ke tempat ini untuk melupakannya. Aku ingin melupakan obsesiku tentangnya. Bisa-bisanya sekarang aku mal
"Kami bertemu pada malam amal penggalangan dana untuk Rockwood Foundation. Venus dengan baik hati mengundang kedua orang tuaku untuk menghadiri malam amal itu. Kalian tahu, selama ini orang berpikir keluarga Volkov adalah keluarga yang buruk. Kami memiliki jaringan kejahatan yang dianggap kalangan atas New York sebagai biang keladi berbagai permasalahan di kota ini. Beberapa kali kulihat Mama ingin melihat kami berada dalam acara sosial atau acara lain seperti keluarga normal di New York ini. Tapi, yang mengundang kami hanyalah orang-orang dari kalangan kami sendiri. Mama sempat merasa rendah diri dan stres karena ini." Dia melihat Venus dengan mata berkaca-kaca, ekspresif sekali. "Aku tidak merasa melakukan hal yang istimewa. Aku mengundang orang tuamu karena mereka memang keluarga yang baik. Sekalipun pamanmu memiliki ... uhm ... jaringan apa kau bilang tadi? Yah, pokoknya itu. Aku tidak merasa kalian musuh kami. Jadi ... uhm ... kenapa tidak?" Venus tersenyum cang
"Terima kasih, Mr. Black. Aku tidak minum." Nova tersenyum dan mengangguk pada Abe yang menawarkan anggur pada tamu-tamunya. "Tidak minum atau tidak bisa minum untuk saat ini, Miss Volkova?" Steve bertanya dengan suara yang lembut seperti yang sering digunakannya untuk menggaet perempuan. "Aku memang tidak pernah minum, Mr. Thompson. Aku ini peminum yang payah. Aku hanya minum seteguk anggur atau sampanye pada acara tertentu dan itu sudah membuat kepalaku sakit." "Biasanya keluarga Rusia sangat suka minum dalam berbagai acara," ucap Steve lagi setelah mengucapkan terima kasih pada Abe. "Sejak kecil ibuku melarangku minum. Katanya, aku harus belajar untuk tetap sadar. Minuman itu bisa membuatku ketagihan dan kehilangan kesadaran. Aku baru boleh minum saat berumur dua puluh satu. Ternyata, aku memang tidak bisa minum. Saat natal tahun kemarin, aku hanya minum satu teguk sampanye dan harus ke dokter untuk meminta obat penahan sakit." "Andai semua
"Aku tidak akan memilihkan gadis sembarangan, Adikku. Kamu harus tahu itu. Miss Volkova bukan gadis yang bisa kau lihat di diskotek atau tempat hiburan lainnya. Dia gadis baik dan memiliki dua gelar di belakang namanya. Penampilan dan catatan kriminalnya sama bagusnya. Dia tidak pernah melanggar aturan lalu lintas atau melakukan pencurian." "Tentu tidak, Ven," kata Steve tanpa melihatnya. Dengan senyum tipis mengembang, Steve berkata lagi, "Miss Volkova adalah anak dari pengusaha perkapalan dan senjata. Dia anak pertama dari dua bersaudara dengan selisih usia lima belas tahun. Kekayaannya tanpa perlu bekerja saja sudah mencapai dua pulu juta dolar yang didapat dari pembagian saham dan investasi yang dia lakukan sejak kecil pada beberapa perusahaan milik keluarganya yang lain. Dia tidak akan pernah punya catatan kriminal lalu lintas karena dia tidak pernah menyetir. Dia juga tidak akan mungkin mencuri sesuatu karena dia hanya perlu menyebutkan barang yang dia mau dan mendapat
Steve terbahak. Dia tertawa sampai matanya berair. Sebagai turunan keluarga tua yang menjunjung tinggi keningratan, dia tidak sering tertawa. Jika memang tawanya serius begini, berarti memang kondisiku menggelikan sekali. "Ayolah, Steve! Jangan jadi keparat begini. Tolong jangan rusak hari ulang tahunku, Pal." Tawanya yang sudah agak reda jadi makin keras lagi. Dia sampai memegangi perutnya. Begitu selesai tertawa, dia memberikan tanda dengan tangan seperti memintaku berhenti. Apa memangnya yang kulakukan? Aku hanya bertanya. Dia saja yang sinting. "Aku akan ke dalam," katanya bertepatan dengan datangnya Venus ke ruangan kami lagi. Steve menggeleng pada Venus. "Venny Sayang, sepertinya kau perlu menyadarkan adikmu kalau dia lucu sekali. Dia pantas menjadi komika." Venus melihatku dengan bingung setelah Steve melewatinya. "Ada apa? Kenapa dia pikir kau bisa melakukan stand up comedy? "Dia menertawakanku." Aku melotot
Makan malam di rumah keluarga Black memang merupakan makan malam rutin. Sebagai saudara yang telah ditinggalkan kedua orangtua yang ingin hidup tenang di pedesaan, kami harus benar-benar akrab dan saling menjaga. Ini alasan Venus menginisiasi makan malam rutin sebulan sekali ini. Namun, acara yang seharusnya sakral ini jadi lebih seperti perkumpulan orang-orang yang ingin merisakku. Saudara-saudaraku yang jahat itu meledekku habis-habisan sampai rasanya aku ingin sekali membakar mereka. Bahan utama ledekan selalu saja tentang masa kecilku yang mereka anggap terlalu manja untuk ukuran Rockwood. Memangnya harusnya bagaimana? Apa aku harus dilempar ke hutan? Apa aku salah kalau masih menyusu pada ibuku hingga usia lima tahun? Aku masih kecil dan tidak punya pilihan selain menurut pada perempuan yang melahirkan dan mengasuhku itu. Tentu s
Oke. Baiklah. Kuakui kalau ini fase paling aneh di dalam hidupku. Sebenarnya, aku malu mengakuinya. Sungguh. Namun, fase ini penting sekali untuk kuceritakan, seharusnya malah harus kuulang-ulang sampai hafal benar setiap detailnya. Siapa tahu anak cucuku nanti bisa mendapatkan sesuatu dari pengalaman ini. Fase ini adalah awal dalam kejadian besar di dalam hidupku. Tidak. Aku tidak bohong atau membual. Aku juga tidak sedang mabuk. Lihat wajahku? Ya, aku tahu aku memang tampan. Maksudku, lihat wajahku yang normal ini. Tidak ada tanda-tanda kalau aku sedang teler, kan? Aku tidak menggunakan obat jenis apa pun seharian ini dan hanya minum sedikit martini pada makan siang tadi. Hanya sedikit, sumpah. Kuawali fase ini dengan mondar-mandir seperti vacum cleaner ke penjuru ruangan di penthouse-ku. Aku tidak bisa menceritakan dengan detail kepadamu tentang kegelisahan yang kurasakan, hanya saja, seperti ada beban berat