Mencoba bertahan di atas puing, cinta yang telah rapuh. Apa yang kugenggam, tak mudah untuk aku lepaskan.
Sepasang mata teduh itu memandangi rerumputan hijau yang ada didepannya. Suara cicitan burung sesekali terdengar kala ia mencoba untuk kembali tersadar dari lamunannya. Angin yang berhembus sedikit tenang mampu membawa alam tidurnya menjemput ditengah siang hari yang tak begitu terik. Justru siang ini ia merasa bahwa matahari sengaja menutupi sinarnya agar tak menyengat siapapun yang ada dibawahnya. Di taman belakang pekarangan rumahnya, sosok itu memilih terduduk dibawah langit-langit yang seolah tengah menatapnya. Meratapi bagaimana wujud wanita itu yang masih terdiam tak bergerak.
Sosok itu, Odelia hanya bergeming dalam kesendiriannya. Tatapan palsunya tak benar-benar memandang objek yang ada dihadapannya. Pikirannya melayang, berada jauh ditempat yang sama sekali ta bisa ia jamah. Ia ingin mengatakan bahwa ia merindukan sosok yang saat ini sedang dipikirkannya. Menerka apa yang sedang orang itu kerjakan diluar sana. Ia sungguh berharap bahwa Tuhan selalu memberkati orang itu dimana pun ia berada. Meski ribuan pisau telah tertancap disudut hatinya, namun Odelia sulit untuk mengharapkan hal buruk terjadi padanya.
Cinta.
Dalam akal yang sehat, tentu semua orang pasti akan menganggapnya adalah wanita bodoh. Setahun sudah ia mempertahankan dirinya agar terus berada disamping laki-laki itu. memastikan bahwa laki-laki itu sungguh berada dalam keadaan yang baik-baik saja. Odelia ingin memastikan bahwa laki-laki itu bisa bertahan hidup meski ia tahu bahwa dia tak pernah bahagia bersamanya.
Odelia menengadahkan wajahnya ke langit. Disana, awan-awan yang berkumpul menjadi satu seperti tengah menemani kesendiriannya. Ia sudah terbiasa seperti ini. Sejak setahun lalu, Odelia tak pernah bertemu dengan orang lain selain laki-laki itu dan juga pembantu rumah tangga yang hanya datang disaat siang hari. Setidaknya laki-laki itu masih membiarkannya istirahat sejenak dengan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga.
Kejadian tadi pagi dimana ia mendengar sendiri sumpah yang laki-laki itu ucapan, benar-benar menohok hatinya. Jean, laki-laki itu tanpa dusta mengatakan hal yang benar-benar menguar dari hatinya. Tak ada kebohongan dibalik sudut sepasang mata elang miliknya. Jean tak pernah mencintainya, malah cenderung membencinya.
Dendam yang membara dari laki-laki itu mendorong Jean. Sikap kasarnya yang Odelia tahu berasal dari amarah yang sampai saat ini tidak pernah ia mengerti. Odelia bisa saja mencaritahu, namun ia tak mau. Wanita itu takut, jika saat dimana ia mengetahui semua kenyataan dibalik amarah suaminya itu, ia hancur. Cukup menerima amarah tak beralasan dari Jean sudah membuatnya sedikit retak. Ada satu titik dalam hatinya yang telah memiliki celah retakan akibat pengakuan kebencian yang ditujukan untuknya.
Suami yang selalu ia harapkan akan memberkahkan dirinya dengan cinta dan kasih, kenyataannya hanyalah laki-laki yang paling menginginkan kesakitannya. Laki-laki yang paling menginginkan kematiannya. Ia tahu, ia sakit, tapi Odelia tak bisa mendendam padanya.
Baginya, Jean adalah segalanya. Sejak disaat laki-laki itu merengkuhnya erat penuh perasaan dulu, Odelia telah menyerahkan seluruh hidupnya pada lelaki itu. Odelia sudah berjanji bahwa apapun yang terjadi dan bagaimana pun sikap Jean setelah pernikahan ini, ia akan tetap bertahan disisinya. Katakan ia bodoh, namun Odelia tak pernah peduli.
Odelia telah merasakan seluruh kesakitan yang amat mendalam saat ibu tercintanya berpulang ke rumah Tuhan. Ia merasakan kehancuran yang amat mendalam kala itu. Tak pernah terbayangkan olehnya jika hidup tanpa sosok yang selama ini selalu menopang hidupnya. Sosok lembut yang selalu berdiri dibelakangnya, mendorongnya untuk hidup berbahagia.
Ia begitu menyayangi sang ibu, namun Odelia menyesal tak pernah bisa mengabulkan keinginan sang ibu. Suara lembut yang mengalun sebelum kematiannya hanya menginginkan permintaan yang sangat sederhana. Permintaan yang sebenarnya mudah untuk diraihnya, tapi tak pernah ingin ia pijaki. Odelia ingin hidup menjadi seperti yang diminta oleh ibunya. Hanya saja, keadaan yang membuatnya menjadi tak pernah bisa melakukannya. Dirinya yang terlalu lemah, terlalu takut untuk melangkah, karena ia tahu jika setelahnya ia melangkah maka Odelia akan kehilangan Jean untuk selama-lamanya.
"Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa menjadi seorang istri yang bahagia seperti yang kau minta."
Kalimat itu tercelos begitu saja bersamaan dengan laju perasaan yang tertuang dala tetes air matanya. Odelia sungguh menyesal tak bisa mewujudkannya. Permintaan sederhana dari seorang ibu yang menginginkan anaknya bahagia.
Jean, pria itu dengan tenang memandangi jendela ruangan kerjanya yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang terbangun disekitar kantornya. Bangunan yang memiliki tinggi puluhan bahkan ratusan meter itu nampak sangat kecil dimatanya kini. Awan yang berkabut sedikit menutupi bayangan jelas dari siluet gedung-gedung itu. Meski terlihat ahampir sama tingginya dengan gedung yang saat ini ia pijak, namun tak ada yang bisa menandinginya. Jean sungguh berterima kasih kepada ibunya yang ikut membantu usaha yang didirikan oleh kakenya.
Masih segar dalam ingatan Jean bagaimana hangatnya dan penuh cinta sang ibu saat mengurus mereka, meskipun ibunya adalah seorang wanita karir. Baginya dan Clara tak ada wanita yang bisa menggantikan sosok ibunya yang masih melekat dihati mereka, terutama Jean.
Saat itu, tepat pada usianya yang baru saja menginjak sepuluh tahun, Jean ingat ibunya memghadiahinya sebuah helikopter mini dengan remot kontrol yang bisa memutar arah terbangnya. Ketika itu semuanya nampak normal. Ayahnya dan juga adiknya yang masih bayi berkumpul bersamanya. Mereka menikmati makan malam dengan penuh kehangatan layaknya keluarga.
Namun semuanya lenyap saat waktu menunjukkan hari yang sudah malam. Ketidaknampakkan sinar matahari membuat Jean sedikit takut dengan situasi dirumahnya sendiri. Kala itu ia melihat ibunya berteriak kepada ayahnya dan mengejar laki-laki itu menuruni tangga. Untuk pertama kalinya sang ibu menyumpah kepada ayahnya. Setelah sepuluh tahun menikah, baru kali itu Jean melihat kemarahan sang ibu.
Riska. Wanita yang bagi Jean begitu hangat seketika berubah menjadi sosok yang tak dikenalnya. Sosok hangat yang melekat pada sosok Riska tiba-tiba saja menguap saat itu. ibunya dengan pancaran mata yang tajam menyadari kehadirannya. Dirinya yang dulu hanyalah Jean kecil tak berdaya, ketakutan dengan ibunya sendiri. Lelehan maskara yang menyerupai air mata hitam membuat wajah ibunya begitu mengenaskan.
Jean, laki-laki itu menghela napasnya. Saat itu adalah saat terburuk dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya pelukan sang ibu yang selalu ia inginkan ditepisnya kasar. Jean memilih berlari, namun sang ibu tetap mengejarnya seperti kehilangan akal. Ia terus berlari, berlari hingga akhirnya tangan itu menangkapnya dan memasukkannya ke mobil.
Ia berusaha untuk keluar, tapi ibunya saat itu seolah menulikan telinganya. Tangisannya kala itu tak digubrisnya. Ia melihat sendiri ibunya berubah menjadi sosok monster. Monster yang menyerupai ibunya sendiri dan merupakan saat terakhir dimana Jean melihat sosok itu secara nyata, sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi membawa jasad ibunya dan meledak dibawah jurang sana.
Namun sebuah kata yang masih diingatnya jelas. Kata-kata yang menjadi mantra hingga kini, merupakan penyebab semua penderitaannya dengan Clara disaat mereka harusnya mendapatkan kasih sayang sosok ibu. Ditambah dengan perubahan sikap ayahnya yang semakin tak dikenalinya. Ayahnya yang dulu seorang laki-laki penyayang, berubah menjadi orang asing yang entah siapa.
"Sayang.."
Sebuah lengan kurus melingkar disekeliling pinggangnya. Tanpa perlu bertanya, Jean tahu siapa sosok yang kini tengah memeluknya. Wangi feminim yang menguar dari tubuh wanita itu sungguh membuat hatinya sedikit tenang. Merenungi kejadian masa lalu membuatnya tak cukup mampu untuk menghalau kegelisahan yang menjaring dihatinya. Kegelisahan akan perasaan dan janjinya didepan mobil terbakar yang didalamnya ada sang ibu yang ikut disana.Jean membalikkan tubuhnya. Pria itu dengan lembut menyingkirkan anak rambut pada wanita yang menggunakan dress pendek berwarna merah didepannya. Senyuman tak biasa yang terukir cantik pada wajah wanitanya.
Martha. Wanita yang selama ini menemani hari-harinya itu dengan setia selalu berada disisinya. Jean begitu memahami perasaan wanita yang telah kembali ke dalam pelukannya itu. Tak apa jika Martha pernah meninggalkannya dulu, toh saat ini sosok itu bisa berdiri kembali dihadapannya. Martha, hanya wanita itu yang bisa dijadikannya pengobat rasa sakit.
"Aku senang kita kembali bersama." Ucap Jean. Pria itu mendekatkan wajahnya ke arah bibir Martha dan mengecupnya pelan. Bibir merah yang merona itu cukup menggodanya untuk membawa wanita itu kedalam pelukannya. Persetan dengan omongan orang yang mencemooh Martha. Baginya, wanita itu adalah segala-galanya bagi Jean.
Martha mengalunkan tangan-tangan lentiknya disekitar leher Jean. Jari-jari lentiknya nampak meremas pelan rambut-rambut pendek milik Jean dengan gerakan menggoda. Bibirnya yang terbalut oleh lipstik merah nampak mengerucut.
"Kau senang, tapi aku tidak." Tukasnya. Martha memberenggut. Ia sudah tahu bahwa Jean yang telah ia campakkan dulu, kini sudah memiliki istri. Namun pria itu menjanjikan sebuah pernikahan ketika dendamnya pada sang istri terbalaskan. Martha tak mau ambil pusing memikirkan dendam apa yang menyelimuti pria pujaannya. Yang terpenting, Martha sudah memegang kartu as untuk menjerat Jean kembali.
Jean kembali mencium bibir Martha. Kali ini dengan intensitas yang sedikit lama, bahkan pria itu mendudukkan dirinya pada kursi tanpa melepas tautan bibir mereka. Martha yang berada dipangkuan pria itu dengan senang hati membalas setiap gerakan bibir yang dipancing oleh Martha.
Jean yang akhirnya melepaskan tautan mereka. Ia menjauhan wajahnya dari sang kekasih yang kini memanyunkan bibirnya. "Jeanattan, ada apa denganmu? Selama setahun ini bahkan kau tak pernah menyentuhku. Aku bisa mengira bahwa tadi adalah ciuman yang paling lama yang kita lakukan."
Jean tersenyum hangat. Ia merapikan anakkan rambut yang kembali mengusik kecanikkan waja Martha. Ia sungguh bersyukur bisa membawa Martha kembali ke dalam hidupnya. Dengan menggunakan alibi menjadikan Martha sebagai model Brand perusahaannya, tentu takkan ada yang mencurigai hubungan mereka.
"Kau tahu, kan aku sangat sibuk sayang. Namun, sudah kukatakan, kita akan bersama sebentar lagi." Ucap Jean yang kembali memfokuskan dirinya pada berkas-berkas kantor. Masih dengan Martha yang duduk dipangkuannya. Pakaian wanita itu sedikit tersingkap ke atas hingga memperlihatkan paha mulusnya. Namun Jean sama sekali tak tergoda. Pria itu hanya melihatnya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada kertas-kertas yang ada dimeja kerjanya.
"Kau sudah tidak mencintaiku lagi ya?"
Mata Jean menatap kekasihnya itu sendu. "Tak mungkin. Tak ada satupun yang aku cintai kecuali kau, sayang."
"Kalau begitu kenapa kau mengacuhkanku belakangan ini?" tanya-nya masih dalam posisi berada diatas pangkuan Jean. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke dada bidang Jean. Sambil memainkan kancing-kancing kemeja Jean, Martha kembali menyerukkan tubuhnya ke leher lelakinya itu. Posisinya yang duduk dipangkuan sang kekasih mempermudahnya melakukan hal itu.
"Apa kau sudah mulai tergoda dengan wanita jalang itu?" Tanya Martha disela kegiatannya memainkan kancing baju Jean. Bukan rahasia lagi jika Martha begitu tak menyukai wanita itu. Karenanya, Langkah Martha untuk mendekati Jean sedikit terhalang. Meskipun pada akhirnya Jean tetap memilihnya.
"Kau gila? Aku tidak mungkin tergoda oleh si jalang itu. Dia hanya kujadikan sebagai pelampiasan nafsuku saja. Dia adalah budakku." Jawab Jean santai tanpa mengalihkan pandangannya dari sang kekasih.
"Kapan kau membuangnya? Aku sudah muak melihatnya berada di rumahmu. Aku takut kau akan tergoda, sayang." Ujar Martha manja.
"Tidak. Tidak akan. Aku tidak mungkin berpaling darimu." Balas Jean lalu mengecup puncak kepala kekasihnya itu dengan lembut.
Martha, Wanita yang seharusnya menjadi istrinya. Wanita itu sudah menjadi kekasihnya sejak mereka masih di SMA. Namun karena ayah Jean tak menyukai Martha, Jean mengundurkan niatnya untuk menikahi Martha. Terlebih saat kepergian Martha ke Amerika dua tahun yang lalu untuk memperluas karir modelingnya, semakin membuat seorang Yonash menganggap Martha sebagai wanita matrealistis dan hanya menginginkan kekayaan saja.
Namun bukan Jeanattan jika ia tak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Dua bulan setelah pernikahannya, ia mengontrak Martha untuk menjadi artis di iklan produk terbaru perusahaannya. Ia sengaja agar lebih dekat dengan mantan kekasihnya itu agar dapat kembali merajut kasih dengannya. Persetan dengan statusnya yang sudah memiliki istri. Toh, ia tak mencintai istrinya, Odelia. Malah ia sangat membencinya.
"Kupastikan kau akan menderita hingga kau akan memohon padaku kematianmu sendiri, Odelia." Batin Jean dalam hati.
"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."Langit gelap menyelimuti kota Jakarta. Tepat pukul sebelas malam, lalu lintas di jalan raya perlahan mulai mumudar. Lampu-lampu jalanan serta iklan yang terpasang disetiap sudut jalan menjadi penerang bagi setiap pengemudi yang melintasi jalanan tersebut. Malam yang sunyi dan kelam, menyembunyikan setiap asa yang menguap pada terang hari. menyelimuti kalbu yang gelisah.Sebuah mobil sedan pendek memutar kemudinya ke arah rumah tak berpagar bergaya minimalis moderen, yang berderet dengan rumah-rumah yang memiliki jenis yang sama. Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti disalah satu rumah yang nampak sepi dan lengang. Sosok lelaki yang berada dibalik kemudi itu memperhatikan dengan seksama bangunan yang telah ia kenali selama setahun belakangan ini. Mata elang
"Setiap darah yang mengalir dalam tubuhku adalah hal yang patut kusyukuri dan ketika aku meragu, kusebut namamu dalam hatiku dengan detak jantungku."Sepasang mata bulat yang tertutup itu terlelap, mengikuti dengkuran halus yang tak berbunyi milik sang wanita. Napasnya bergerak teratur dengan sendirinya kala udara yang berhembus disekitarnya masuk ke dalam paru-parunya, mengisi rongga terpenting dalam dirinya. Posisinya yang tidur menyamping membuat sosok yang kini juga berada disampingnya memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama dan bulat.Seorang laki-laki nampak serius memperhatikan bagaimana rupa wanita itu saat tertidur. Ekor matanya tak pernah lepas dari wajah tentram milik wanita yang masih terlelap dalam keadaan telanjang disampingnya. Sesekali, laki-laki itu menjalankan jarinya disekitar wajah wanita itu, lalu menariknya kembali dengan terkejut.Terkejut?Tentu saja ia terkejut.
"Keisenganku berubah menjadi rasa keingintahuan yang tinggi. Kalian bersembunyi, maka aku akan mencari."Seorang wanita berambut panjang kini tengah terduduk disalah satu meja di salah satu cafe, yang letaknya berada didalam pusat kota. Hingar bingar ibukota yang mencekam seolah menjadi titik dimana dirinya harus menyembunyikan diri. Sembari menyerumpun kopi hangatnya, dari balik kacamata hitam bermereknya, wanita itu menyebarkan pandangannya, terutama pada sisi pintu masuk cafe. Ia tengah menunggu seseorang, hingga rasanya ia hampir mati kebosanan."Sialan kau Marko.. bisa-bisanya kau membuatku menunggu nyaris satu jam" geramnya penuh emosi. Wanita itu mengeram marah lantaran sosok yang saat ini tengah ditunggunya melanggar janjinya. Laki-laki itu semula mengabulkan permintaannya untuk bertemu tepat di pukul 11 siang. Namun hingga jarum jam menyentuh menit ke 30, laki-laki itu pun tak kunjung muncul.Tak lam
"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka.""Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikena
"Melupakanmu mungkin adalah satu hal yang paling kuinginkan. Alih-alih menerima hantaman yang membuatku amnesia, kenangan bersamamu kembali menyentak ruang ketenanganku."Seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau yang membalut tubuh kurusnya, nampak berdiri didepan balkon. Kedua mata wanita itu terarah pada sinar rembulan yang malam ini bersinar begitu terang. Helaian rambutnya bergerak sesaat, mengikuti arah angin yang menerpa sisi wajahnya yang dibiarkan begitu saja berada dalam dinginnya angin malam ini.Adela.Wanita itu biasa akan terpanggil ketika mana itu disebut. Entah sudah berapa lama ia tak lagi mengingat dari mana asal nama itu. Ia terlalu menikmati hidupnya saat ini. Bahagia, berada dalam rumah yang mewah, dikelilingi oleh harta dan orang yang begitu mencintainya, dan juga Adela memiliki tempat berpulang saat ini. Wanita itu tak lagi
“Perpisahan menetes di pipimu seperti darahBibirmu bergetar, bertanya mengapa semua ini sangat menyedihkanJangan, jangan datang padaku dengan wajah seperti ituPergilah tinggalkan aku”Di sebuah ruangan yang gelap, hanya berukuran kecil, seorang wanita paruh baya terduduk didalamnya. Tatapannya kosong menatap kedepan, mengesampingkan kewarasan yang dimilikinya. Rambutnya yang tak tertata jelas dan baju daster kusam membalut tubuh kurusnya yang nyaris menyerupai tulang.. Terdapat keriput-keriput di pipinya. Jika orang lain melihatnya, ia akan dianggap orang tak waras. Bibir pucatnya sedari tadi hanya menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Namun sebuah nama tak sengaja tercelos dari bibirnya.Tak lama sosok wanita dengan pakaian mahalnya masuk ke
“Perasaan ini sangat menyesakkan dan yang kutahu, keinginan terbesarku adalah dengan menghancurkanmu”Seorang anak laki-laki berlari diatas rerumputan yang terletak dibelakang pekarangan rumahnya. Langkah kakinya yang riang berlari mengikuti arah kupu-kupu yang berterbangan seolah meminta untuk dikejar. Dibelakangnya, seorang balita mungil mengikuti langkah sang kakak. Suara tawa mereka yang riang terdengar seluruh pekarangan hingga membuat kedua pengasuh yang menjaga mereka ikut tertawa melihatnya. “Kakak...” balita perempuan yang manis dengan baju baby doll mungil berwarna peach itu mengerucutkan bibir tipisnya lantaran kakinya tak sampai mengejar langkah sang kakak. Ia pun menjatuhkan kedua bokong mungilnya diatas rerumputan dan memilih untuk duduk disana.Anak laki-laki yan
"Ada seribu macam pertanyaan yang bisa tersampaikan dengan baik, namun tak semua memiliki jawaban yang pantas.”“Duduklah disana.”Martha, wanita berambut pirang kemerahan itu menunjuk sofa panjang berwarna merah yang terbuat dari bludru mahal miliknya. Salah satu barang mewah yang berada didalam apartemen milik wanita cantik itu. Wanita itu menunjuk kearah benda itu untuk memberitahu sosok yang kini tengah mengekorinya.Seorang wanita paruh baya yang berjalan dibelakang Martha dengan tatapan menyelidik. Mata besar yang memiliki intan berwarna hijau pekat itu memperhatikan dengan seksama detail mewah dari ruangan yang ia tahu akan menampungnya sampai dirinya bertemu de
Sepasang intan hitam milik seorang wanita nampak memandangi pantulan bayangan yang ada dicermin. Matanya penuh binar kebahagiaan saat memperhatikan betapa indahnya bayangan yang ada disana. Ia nyaris tak mempercayai bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Rambutnya yang memiliki panjang hampir menutupi punggungnya sengaja digerai dan membentuk sebuah ikal yang semakin mempermanis penampilannya. Diatas kepalanya terdapat rangkaian bunga bermacam warna yang melingkarinya. Riasan wajahnya hari ini pun tak terlalu mencolok. Wanita itu memang sengaja meminta pada penata riasnya untuk tidak terlalu menor mendandaninya. Ia tidak ingin terlihat seperti badut pesta nanti.Dalam balutan gaun pengantin panjang tanpa lengan, wanita itu memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Hal yang selalu ditutupinya itu kini dipamerkan karena permintaan seseorang yang melarangnya keras untuk menutupinya.Odelia memiliki aset yang menganggumkan, begitu kata Clara. Wanita itu, sebentar lagi dalam
ODELIAPria itu duduk tenang di depannya sambil menyantap makanan yang baru saja dipesannya. Ada rasa keengganan ketika aku menatap ke dalam isi piringku. Makanan ini aneh. Aku tak terbiasa dengan makanan kelas atas. Hanya sayur dan tempe saja sebenarnya sudah membuatku kenyang dari pada sebuah makana dengan irisan daging yang hanya memiliki porsi setengah dari porsiku. Sebenarnya, melihatnya saja aku sudah tak lagi selera. Bukan hanya karena makanannya, melainkan karena pria yang menatapku lebih sering dari pada makanannya itu.Jean sengaja menyeretku masuk ke dalam restoran mewah yang entah berada dimana. Restoran yang memiliki kata yang aneh itu memang terlihat tak begitu ramah, namun memiliki suasana mewah untuk kumasuki. Hanya bermodalkan kaos dan celana jeans berlutut robek, serta sepatu kets usang yang selalu menjadi seragam wajib, kini aku terlihat seperti badut. Semua yang ada disana dan menikmati hidangan sorenya berpakaian formal. E
JEAN“Jadi, Ayahku sekarang berada di flat kecil yang kau sebutkan tadi?”Aku tak bisa menahan amarahku saat kudengar ayahku, Yonash memilih untuk melarikan diri dari rumah kami dan tinggal di rumah kecil di pinggiran kota itu. Bahkan, aku tak bisa mengira bagaimana pria tua itu hidup melarat seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat merencanakan usaha pelariannya itu disaat kami semua sedang tertidur. Andai saja Grace, nenek kami masih di Indonesia mungkin Ayah kami tak berani untuk melakukannya.“Jadi, bagaimana kak?” Tanya seorang wanita bermata hijau dibelakangku. Ai terus berdiri ditempatnya semula meski aku sudah memunggunginya cukup lama. Clara, adik bungsuku tak biasanya betah berlama-lama berada di ruangan kerjaku. Wanita itu selalu bilang bahwa tempat ini bagaikan sampah dengan kertas-kertas menumpuk yang tak sedang dipandang. Namun kali ini wanita itu mampu bertahan lebih dari setengah jam b
ODELIAKupandangi sepasang sepatu kusam kets-ku ini. Langkahku membawa sejuta harapan bahwa hari ini aku masih bisa bernapas dengan tenang di ibukota ini. Langkah yang beriringan denganku terasa seperti sebuah iklan yang melintas begitu saja di halte bus bersamaku pagi ini.Senin pagi. Semua orang setidaknya memiliki satu hingga dua keinginan untuk memulai pertama disetiap minggunya. Hari yang paling sering kuamati begitu pada dengan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalanan. Tanpa henti membuat suara bising yang mampu memekakkan telinga.Aku mendaratkan bokongku tepat disalah besi yang berbentuk persegi panjang. Besi berkarat yang memiliki bau agak amis. Entah apa fungsi dari besi tersebut. Seharusnya lebih baik menggunakan bangku atau apapun itu bila berniat untuk dijadikan sebuah tempat duduk. Namun sebagian dari mereka yang bernasib sama sepertiku terpaksa menggunakannya untuk mendudukkan diri.Sembari menunggu bus yang
Jika akhirnya kehidupanku nkembali berputar seperti roda, aku akan membuat persiapan ketika harusnya aku berada di bawah. Hatiku akan siap ketika suatu saat kehilangan segalanya.Seorang wanita berpakaian hitam tampak berjalan di sekitaran kompleks pemakaman. Langkahnya penuh kehati-hatian kala melintasi beberapa susun gundukkan tanah yang ada disana. Cuaca yang tak begitu terik menjadi keputusanya untuk berpakaian gelap dann juga mengenakann sebuah topi yang hampir menutupinya dari sinar matahari siang. Ditangannya sebuah bunga telah siap untuk disembahkan kepada yang tercinta, yang kini telah menyatu dengan tanah. Sejujurnya langkah pelannya bukan karena dirinya takut sepatu mahal yang dikenakannya terkena kotoran, namun dadanya berdentum seperti ingin meledakkan dirinya. Hatinya nyeri kala ia melihat sosok tercinta itu menyatu dengan tanah, dan takkan bisa be
Tak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk memilikimu seutuhnya. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu.Malam itu suasana benar-benar mencekam. Kabut dingin yang menyelimuti jalan ditengah hutan yang lebat menjadi sangat menyeramkan. Membuat dentuman aneh didalam dada kala sengatan hawa dingin yang sangat kerasa malam itu. Tengah malam yang semakin meredupkan sinar membutakan siapa saja yang berani menembus jalan gelap itu. hanya sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan seadanya, membelah jalan yang penuh kabut itu. lampu sorot mobil menjadi satu tumpuan mereka untuk sampai ke tempat yang akan mereka singgahi.Bukan hanya singgah, mereka akan sedikit lama berada disana, karena suatu hal."Apakah wanita itu bisa dipercaya?"
Aku akan mengambil apa yang sebelumnya telah kukatakan bahwa itu semua adalah milikku. Kalian yang berani mencegahnya takkan pernah kubiarkan untuk keluar dari lingkaran yang telahkubuat."Kau benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan kau melakukan ini semua?"Riska, wanita yang kini tengah memegang pisau lipat yang telah ternodai oleh darah itu tak menghiraukan makian yang sejak beberapa hari lalu dikeluarkan oleh kakaknya, Reanna. Dalam kondisi terikat, Rea terus melakukan perlawanan terhadap adiknya itu. tak disangkanya jika Riska bisa berbuat sejauh ini. Tak pernah ada bayangan menyeramkan yang seperti sekarang didalam kepalanya.Entah telah hilang kemana sosok adik kecilnya yang manis dan tak
Merasakan pengalaman pertama yang tak terduga. Hatiku membuncah. Genggaman manis dari jari mungilnya berhasil menggetarkan sesuatu didalam dadaku. Rasanya sesak, seperti sebuah kebahagiaan yang akan meledak.Attar syah Rahardi.Aleana Salma Rahardi.Bayi gempal yang kini menggeliat diatas tempat tidur mungil berbentuk kotak itu menjadi salah satu objek yang menarik perhatian kedua orang yang berdiri dari balik kaca jendela ruangan tersebut. Kedua bayi berwajah merah itu sesekali bersuara khas bayi yang menggemaskan. Keduanya sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari bayi-bayi mungil yang berwajah hampir serupa itu.Tak ada yang lebih menggetarkan dari apapun selain melihat kedua wajah itu,
Lahirkanmereka. Aku akan berjuang untukmelindungimudan anak-anak kita. Jangan takut, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."Lia, aku mohon buka pintu sialan ini! biarkan aku bicara padamu." Tak lama terdengar suara Jean yang berteriak menggedor pintu kamarnya. Mungkin pria itu sedikit terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba saja mengunci kamarnya, karena tak biasanya ia mengunci kamarnya."Aku manusia, Jean. Aku bisa saja sakit hati." Lirihnya pelan. Sepertinya hanya dua kalimat itu yang mampu mewakili semua perasaannya.Tak lama, Odelia merasakan ada rasa nyeri yang melanda perutnya. Tanpa bersuara, ia terus mengelus perutnya. Ia tak tahu mengapa, sejak beberap