"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka."
"Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"
Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.
Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikenalnya, Reanna tahu bahwa pria itu takkan mudah membuka suaranya hanya untuk menjadi seorang yang lemah. Pria itu tak suka dipaksa, melainkan bertindak sesuai kesadarannya sendiri.
Sampai saat dimana Reanna melihat kegundahan dalam mata elang milik pasiennya itu, ia memilih untuk berinisiatif mengambil langkah maju. Alih-alih merasa terinvansi, pria itu justru semakin membungkamkan suaranya. Hanya sebuah helaan napas yang sesekali terdengar berat ditelinganya.
"Kupikir setelah setahun kau menikah, kau bisa menemukan jawabannya."
Pria itu lantas langsung berdiri, meninggalkan kursi besi yang semula menjadi tempatnya untuk meletakkan tubuhnya. Dengan tangan yang berada didalam saku celana denimnya, pria itu berjalan ke arah jendela yang membatas ruangan ini dengan taman belakang milik wanita itu. Dalam bola matanya, terpantul pemandangan taman yang dihiasi dengan bunga-bunga cantik beraneka warna dan juga beberapa mainan outdoor khusus anak-anak yang sedang berkunjung ke rumah Reanna.
"Aku semakin tak menemukan apapun ketika aku mencoba untuk semakin membencinya."
Reanna tersenyum lembut dari balik cangkirnya. Wanita itu menerka mungkin saja bukan itu jawaban yang ingin didengarnya. Ia tahu pria itu masih memiliki hal besar lainnya yang enggan untuk dibicarakannya. Sejauh matanya melihat, Jean yang dikenalnya bukanlah sosok laki-laki yang bingung akan tindakannya. Pria itu selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Bahkan menurutnya terkadang sudah melewati ambang batas kewajaran.
Setahun lalu, Reanna dibuat ternganga atas keputusan yang diambil Jean dengan menikah wanita itu. Ia tahu Jean bukanlah tipe pemilih dalam urusan perasaan. Pria itu akan cenderung menerima siapa saja yang bisa membuatnya nyaman, termasuk kehadiran Martha yang sesungguhnya hanya menampilkan kenyamanan semu. Namun dengan keputusan besar yang dibuat Jean, Reanna tahu laki-laki itu sudah terpikat. Jean yang dikenalnya berubah saat mendekati hari besarnya. Senyuman tak biasa pun terpampang nyata saat Jean mengatakan bahwa dirinya akan mengakhiri masa lajangnya tersebut.
Namun semua itu tak berlangsung lama. Tepat sehari setelah pernikahan tersebut, Reanna mengangkap perubahan yang negatif kembali terjadi pada diri Jean. Persis sama seperti tahun-tahun pertama saat Jean mengalami depresi saat kehilangan ibunya, tatapan penuh amarah itu kembali menyeruak. Sepasang mata elang yang menghiasi kedua mata tajamnya memancarkan keinginan besar untuk melakukan hal keji. Membunuh mungkin adalah kata terlembut yang bisa diungkapkan atas tindakan yang akan dilakukan oleh Jean.
Reanna tahu bahwa Jean yang sesungguhnya telah hilang. Meski hanya sebentar, Reanna tahu bahwa saat dimana senyum lebar Jean terlihat, itulah dirinya yang sebenarnya. Sudah bertahun-tahun Reanna merawat Jean, bangkit dari keterpurukan yang bisa membunuh dirinya sendiri. Ia mengenal Jean dengan baik, bahkan memiliki cara untuk meredamkan amarah anak itu.
"Aku tak mengerti bagaimana cara menjelaskannya, hingga saat ini aku masih tak bisa memaafkannya."
"Kau mungkin bukannya tak menemukan, Jean."
Laki-laki berperawakan tinggi itu menoleh ke belakang. kini dilihatnya Reanna tak lagi terfokuskan pada cangkirnya, melainkan memberikannya tatapan lembut miliknya. Reanna selalu menjadi tempatnya untuk membuang keluh kesahnya. Baginya wanita itu bagaikan sosok ibu pengganti untuknya ketika dirinya hancur saat kehilangan sosok ibu kandungnya sendiri. Saat itu ia berpikir bahwa Reanna akan menjadi istri dari ayahnya. Namun kehadiran Reanna adalah sebagai seorang penyembuh. Dirinya yang dulu terluka berhasil bangkit berkat dorongan dari wanita itu.
Jean suka cara Reanna membimbingnya. Tanpa paksaan dan juga berbagai nasihat kosong yang paling dibencinya. Reanna tak berusaha mengguruinya seperti psikiater yang lain. Jika itu bukan Reanna, mungkin Jean akan dicap sebagai anak tidak waras saat itu.
"Kau perlu mengenalnya untuk menemukan jawabannya." Reanna berdiri. Tepat disamping Jean, wanita itu ikut memandangi apa yang sebelumnya dipandangi oleh Pasiennya, meski ia yakin bukan itu yang ada dalam penglihatan Jean.
"Aku sudah menikahinya dan aku sudah melakukan segala cara untuk menyakitinya. Aku telah merenggut apa yang menjadi haknya sebagai seorang wanita dengan cara yang tidak pantas. Lantas mengapa aku belum pernah menemukan jawaban atas semua ini?"
Reanna mendengus pelan. Wanita itu yakin Jean telah berkata jujur. Ia tahu jika selama ini Jean melakukan tindakan yang tidak wajar pada wanita yang telah sah menjadi istrinya. Bukan saja tidak wajar, melainkan marital rape yang seharusnya tak pernah ada. Bayangkan, tak ada orang yang mau percaya dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya sendiri. Apalagi hingga setahun pernikahan keduanya, tak ada tanda bahwa wanita itu melaporkan tindakan suaminya ke ranah hukum.
Satu-satunya hal yang bisa Reanna tarik dari semua kasus yang pernah ia tangani, kebencian Jean sejujurnya adalah ungkapan rasa kecewa pada sosok yang sudah memikatnya. Kekecewaan Jean pada asal-usul yang membelit wanita itu mendorongnya untuk menyakiti dan terus menyakiti wanita itu. Jean ingin perasaan bencinya terbalaskan, tapi hingga detik ini Jean tak bisa mendapatkannya. Reanna yakin perasaan aneh yang sering diungkapkan oleh Jean itu bukanlah sembaran rasa. Perasaan itu sudah ia yakini saat ini telah memiliki nama. Tentu saja, Jean akan sangat murka bila ia menyebutkannya sekarang.
"Mungkin kau takkan pernah puas." Celetuk Reanna tiba-tiba, hingga membuat Jean tertegun.
"Apa maksudmu?"
Reanna memberikan tatapan langsung ke arah mata Jean. Kali ini tentu saja Jean tahu bahwa ia tak lagi sedang ingin bergurau dengannya. Reanna ingin mengatakan bahwa Jean tak bisa main-main dengan hidupnya lagi. Kini ia mengerti mengapa Jean takkan pernah puas, dan wanita itu takkan pernah bisa membalas kebencian Jean. Wanita itu takkan tersiksa selama ia bisa hidup bersama Jean, begitu pun sebaliknya. Maka harapan Jean agar istrinya itu membencinya dan merasa tersiksa pasti takkan pernah terwujud.
"Kau tahu, antara membenci dan mencinta memiliki rasa yang tak berbeda jauh. Namun meski kau murka, aku harus menyampaikannya."
Rahang Jean menegang. Selanjutnya ia bisa menebak akan ada unsur romantisa disini dan ia benci saat pikiran konyol itu mulai menyambangi kepala Reanna.
"Lebih baik aku pergi. Berbicara denganmu membuat otakku berputar tak beres!" Jean melangkahkan kakinya, lebih lebar dari biasanya guna menjauhi Reanna. Namun kesempatan itu takkan disia-siakan oleh Reanna. Wanita itu tak mau Jean kembali mengalami keterpurukan terbesar dalam hidupnya.
Setelah meyakini setahun belakangan ini, Reanna tahu bahwa Jean akan hancur. Takkan pernah bisa bangkit setelah mengalami ketertinggalan untuk kedua kalinya. Terlebih untuk saat ini, kasus yang dialami oleh Jean adalah buah dari kesalahannya. Sesuatu yang sudah hancur, tentu saja takkan mudah untuk disatukan kembali.
"Kau takkan pernah puas, karena hati wanita itu sangatlah besar."
Langkah Jean terhenti saat mendengar seruan yang mengarah kepadanya. Tapi, laki-laki itu enggan berbalik. Ia tetap memilih diam dan memunggungi Reanna, yang pasti tengah tersenyum penuh arti kepadanya.
"Kali ini jika kau sampai salah mengambil langkah, aku takkan bisa membuatmu bangkit. Kehancuran yang sudah terlihat nyata mungkin saja bisa membuatmu gila dalam arti yang sesungguhnya. Kembalinya Martha dalam kehidupanmu takkan mengubah jalan bahwa wanita itu sudah merebut posisi Martha, bahkan menguasai seluruh jiwamu, Jean."
Menguasai?
Sungguh, Jean tak mengerti itu. Baginya wanita itu hanyalah petaka dan petaka harus dihancurkan guna menghindarkan dirinya dari nasib buruk. Ia yakin dengan kepergian Odelia dari hidupnya, maka ambisinya akan tersalurkan. Dan dirinya tak perlu lagi merasa kelelahan seperti sekarang ini.
"Kau memiliki hak untuk tidak memaafkan atau pun melupakan kesalahan yang telah diperbuat secara tidak langsung olehnya. Tapi, dengan membunuhnya secara perlahan, itu akan semakin membuatmu terpikat olehnya. Ketahuilah Jean, sejak pertama kau melihatnya, aku yakin hatimu telah menyerukan siapa pemiliknya yang sebenarnya. Kau tak bisa menapik bahwasannya kau sudah menemukan takdirmu bersamanya."
Jean tetap terdiam ditempatnya. Laki-laki itu lebih memilih memusatkan diri pada keegoannya yang tinggi untuk mengakui kekalahannya. Tidak, ini bukan sebuah kekalahan. Tak ada yang lebih mengenal dirinya sendiri kecuali dirinya. Tubuh ini adalah miliknya, tak ada yang pantas menilai benar atau tidaknya langkah yang sudah dipilihnya. Bersama Martha, adalah hidupnya, obsesinya menjalani kehidupan.
Masa depan yang menjanjikan bersama wanita itu tentu saja hal yang paling ia inginkan. Jean takkan menolak apabila wanita itu yang telah menyakitinya kembali ke sisinya. Martha adalah hidupnya, terhitung sejak pertama kali dirinya melihat wanita itu.
Bohong, jika Reanna mengatakan bahwa hatinya telah menyerukan siapa pemilik aslinya. Ia yakin dengan perasaannya bahwa hatinya takkan berubah untuk Martha. Wanita itu adalah impiannya dan akan selalu begitu. Lucu jika sekarang Reanna tidak mengamini keputusannya, padahal wanita itu selalu siap berdiri dibelakangnya kapan pun dirinya butuh.
"Hentikan Jean.. sebelum kau benar-benar menyesali semuanya." Reanna kembali berlirih, meski ia tahu hal itu adalah usaha yang percuma, karena Jean takkan mau mendengarkannya kali ini. Dan kebenciannya itu bisa saja menelannya bulat-bulat.
"Kau bilang, menjadi hakku untuk memutuskan kapan aku harus memaafkan kesalahannya. Ketika hari itu datang, bisa kupastikan bahwa takkan ada yang terjatuh disini, kecuali dirinya. Kau bisa memegang perkataanku kali ini, Rea."
Wanita itu hanya termenung memperhatikan kekerasan Jean yang tak berkesudahan. Mungkin sebelumnya ia hanya bisa terdiam, namun ia tahu cepat atau lambat semuanya pasti akan berubah. Wanita yang dinikahi oleh Jean tentu takkan selamanya diam. ia yakin Odelia pasti akan menuntut suatu hal dari Jean.
Sebuah penjelasan.
"Cobalah untuk menjelaskannya. Ini semua bukan sepenuhnya adalah kesalahan istrimu. Pasti ada jawaban logis dibalik kemarahanmu, Jean."
Tangan laki-laki itu mengepal kuat dikedua sisi tubuhnya. Mata elangnya tak henti memancarkan bara api yang sedang membara saat ini. Baginya tak ada yang perlu dijelaskan. Apapun alasannya, Odelia adalah penyebab semua ini. Wanita itu yang telah membuat kehidupannya dan Clara hancur pasca kematian ibu mereka, dan juga karena Odelia juga ibunya pergi dengan cara yang tak selayaknya.
"Aku tak perlu menjelaskan apapun pada wanita itu, Rea. Bagiku semuanya sudah jelas. Hanya Odelia yang pantas dipersalahkan atas semua kemalangan kami. Tidak siapapun, hanya Odelia."
Rea menghela napas pasrah. Memang percuma saja untuk membuat pendirian Jean berubah. Laki-laki itu memiliki kemauan yang keras dan itu sangat merepotkan untuknya.
"Dia punya kakak, Jean. Odelia masih memiliki kakak."
Jean menyeringai. Senyuman yang memiliki arti dan tatapan yang menusuk itu muncul setelah Rea kembali menguak fakta yang hampir saja ia kesampingkan karena Odelia. Namun fakta itu saat ini tidaklah penting. Ia tahu kakak Odelia tentu memiliki kebencian yang sama dengannya sampai tega membuang adiknya sendiri.
"Tidak ada kakak yang tega membuang adiknya kalau bukan karena ia sangat membencinya."
"Melupakanmu mungkin adalah satu hal yang paling kuinginkan. Alih-alih menerima hantaman yang membuatku amnesia, kenangan bersamamu kembali menyentak ruang ketenanganku."Seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau yang membalut tubuh kurusnya, nampak berdiri didepan balkon. Kedua mata wanita itu terarah pada sinar rembulan yang malam ini bersinar begitu terang. Helaian rambutnya bergerak sesaat, mengikuti arah angin yang menerpa sisi wajahnya yang dibiarkan begitu saja berada dalam dinginnya angin malam ini.Adela.Wanita itu biasa akan terpanggil ketika mana itu disebut. Entah sudah berapa lama ia tak lagi mengingat dari mana asal nama itu. Ia terlalu menikmati hidupnya saat ini. Bahagia, berada dalam rumah yang mewah, dikelilingi oleh harta dan orang yang begitu mencintainya, dan juga Adela memiliki tempat berpulang saat ini. Wanita itu tak lagi
“Perpisahan menetes di pipimu seperti darahBibirmu bergetar, bertanya mengapa semua ini sangat menyedihkanJangan, jangan datang padaku dengan wajah seperti ituPergilah tinggalkan aku”Di sebuah ruangan yang gelap, hanya berukuran kecil, seorang wanita paruh baya terduduk didalamnya. Tatapannya kosong menatap kedepan, mengesampingkan kewarasan yang dimilikinya. Rambutnya yang tak tertata jelas dan baju daster kusam membalut tubuh kurusnya yang nyaris menyerupai tulang.. Terdapat keriput-keriput di pipinya. Jika orang lain melihatnya, ia akan dianggap orang tak waras. Bibir pucatnya sedari tadi hanya menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Namun sebuah nama tak sengaja tercelos dari bibirnya.Tak lama sosok wanita dengan pakaian mahalnya masuk ke
“Perasaan ini sangat menyesakkan dan yang kutahu, keinginan terbesarku adalah dengan menghancurkanmu”Seorang anak laki-laki berlari diatas rerumputan yang terletak dibelakang pekarangan rumahnya. Langkah kakinya yang riang berlari mengikuti arah kupu-kupu yang berterbangan seolah meminta untuk dikejar. Dibelakangnya, seorang balita mungil mengikuti langkah sang kakak. Suara tawa mereka yang riang terdengar seluruh pekarangan hingga membuat kedua pengasuh yang menjaga mereka ikut tertawa melihatnya. “Kakak...” balita perempuan yang manis dengan baju baby doll mungil berwarna peach itu mengerucutkan bibir tipisnya lantaran kakinya tak sampai mengejar langkah sang kakak. Ia pun menjatuhkan kedua bokong mungilnya diatas rerumputan dan memilih untuk duduk disana.Anak laki-laki yan
"Ada seribu macam pertanyaan yang bisa tersampaikan dengan baik, namun tak semua memiliki jawaban yang pantas.”“Duduklah disana.”Martha, wanita berambut pirang kemerahan itu menunjuk sofa panjang berwarna merah yang terbuat dari bludru mahal miliknya. Salah satu barang mewah yang berada didalam apartemen milik wanita cantik itu. Wanita itu menunjuk kearah benda itu untuk memberitahu sosok yang kini tengah mengekorinya.Seorang wanita paruh baya yang berjalan dibelakang Martha dengan tatapan menyelidik. Mata besar yang memiliki intan berwarna hijau pekat itu memperhatikan dengan seksama detail mewah dari ruangan yang ia tahu akan menampungnya sampai dirinya bertemu de
"Dari mata turun ke hati, begitu kata yang selalu mereka ucapkan.”“Brengsek kau, Odelia!” Umpat Jean sebelum mengayunkan tangannya ke arah Odelia. Suara umpatan kasar lelaki itu terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya dan pasti menganggap bahwa laki-laki itu akan melancarkan serangan kekasarannya lagi kepada Odelia.Wanita itu tak sanggup lagi membuka kedua matanya yang sudah tertutup entah sejak kapan. Napasnya sendiri tak terasa saat ia mencoba untuk bernapas, ia takut. Pada detik berikutnya mungkin ia akan terluka. Laki-laki itu pasti akan melukainya. Begitu yang pasti terjadi. Odelia memilih mengubur kesedihannya dalam kegelapan. Ia tak mau melihat Jean yang kasar. Ia tak mau
"Aku tak pernah pantas untuk diakui.”“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku gila, mereka bilang aku sudah gila karena terus mengharapkanmu. Aku wanita gila, aku sungguh tergila-gila padamu sampai aku tak merasakan sakit saat kau memukulku. Aku tak peduli seberapa bencinya kau padaku. Aku tak peduli seberapa kasarkan tanganmu menyakiti tubuhku. Selama aku tahu bahwa kau hanya setia kepadaku, aku dapat menerimanya. Aku sungguh mencintaimu sampai aku berpikir mungkin saja aku sudah gila.”Odelia menatapnya. Menuntut dan meminta dengan paksa. Wanita itu masih berdiri ditempatnya, enggan menjauh dan membiarkan tangannya terjalin begitu saja dengan tangannya. Namun masih dengan tatapan yang sa
"Tak ada yang lebih kau benci selain diriku, dan tak ada yang lebih kucintai selain dirimu.”Bibir tipis milik lelaki itu pun tersenyum samar. “Dia sedang pergi. Aku hanya berdua saja dengan... pembantuku.”Suara itu tercekat. Jean enggan menatap langsung ke arah mata kedua tamunya. Pria itu lebih senang mengalihkan perhatiannya ke arah lain, asalkan bukan ke arah Rian atau pun istrinya. Perasaan asing saat mengatakan bahwa wanita itu adalah pembantunya benar-bennar menyisakan ruang yang menyesakkan dihatinya. Jean tak pernah merasakan perasaan asing ini. Hanya, ia tak tahu mengapa hatinya ikut nyeri ketika kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya.
Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta.”“Dia sedang pergi. Aku hanya berdua saja dengan... pembantuku.”Wanita itu hanya memperhatikan bagaimana lelaki itu menyebutkan sesuatu tentang dirinya. Dari balik pilar yang menyembunyikan tubuh mungilnya, wanita itu mulai terisak. Ia membekap mulutnya agar suara itu tak terdengar sampai ke ruang tamu sana.Disini, dibalik pilar yang membatas antara ruang tamu dengan jalan menuju dapur, wanita itu mulai terisak. Sebelah tangannya yang semula tertahan diudara memukul ke arah dadanya. Nyeri, ia berharap pukulannya bisa mengalihkan sakit yang
Sepasang intan hitam milik seorang wanita nampak memandangi pantulan bayangan yang ada dicermin. Matanya penuh binar kebahagiaan saat memperhatikan betapa indahnya bayangan yang ada disana. Ia nyaris tak mempercayai bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Rambutnya yang memiliki panjang hampir menutupi punggungnya sengaja digerai dan membentuk sebuah ikal yang semakin mempermanis penampilannya. Diatas kepalanya terdapat rangkaian bunga bermacam warna yang melingkarinya. Riasan wajahnya hari ini pun tak terlalu mencolok. Wanita itu memang sengaja meminta pada penata riasnya untuk tidak terlalu menor mendandaninya. Ia tidak ingin terlihat seperti badut pesta nanti.Dalam balutan gaun pengantin panjang tanpa lengan, wanita itu memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Hal yang selalu ditutupinya itu kini dipamerkan karena permintaan seseorang yang melarangnya keras untuk menutupinya.Odelia memiliki aset yang menganggumkan, begitu kata Clara. Wanita itu, sebentar lagi dalam
ODELIAPria itu duduk tenang di depannya sambil menyantap makanan yang baru saja dipesannya. Ada rasa keengganan ketika aku menatap ke dalam isi piringku. Makanan ini aneh. Aku tak terbiasa dengan makanan kelas atas. Hanya sayur dan tempe saja sebenarnya sudah membuatku kenyang dari pada sebuah makana dengan irisan daging yang hanya memiliki porsi setengah dari porsiku. Sebenarnya, melihatnya saja aku sudah tak lagi selera. Bukan hanya karena makanannya, melainkan karena pria yang menatapku lebih sering dari pada makanannya itu.Jean sengaja menyeretku masuk ke dalam restoran mewah yang entah berada dimana. Restoran yang memiliki kata yang aneh itu memang terlihat tak begitu ramah, namun memiliki suasana mewah untuk kumasuki. Hanya bermodalkan kaos dan celana jeans berlutut robek, serta sepatu kets usang yang selalu menjadi seragam wajib, kini aku terlihat seperti badut. Semua yang ada disana dan menikmati hidangan sorenya berpakaian formal. E
JEAN“Jadi, Ayahku sekarang berada di flat kecil yang kau sebutkan tadi?”Aku tak bisa menahan amarahku saat kudengar ayahku, Yonash memilih untuk melarikan diri dari rumah kami dan tinggal di rumah kecil di pinggiran kota itu. Bahkan, aku tak bisa mengira bagaimana pria tua itu hidup melarat seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat merencanakan usaha pelariannya itu disaat kami semua sedang tertidur. Andai saja Grace, nenek kami masih di Indonesia mungkin Ayah kami tak berani untuk melakukannya.“Jadi, bagaimana kak?” Tanya seorang wanita bermata hijau dibelakangku. Ai terus berdiri ditempatnya semula meski aku sudah memunggunginya cukup lama. Clara, adik bungsuku tak biasanya betah berlama-lama berada di ruangan kerjaku. Wanita itu selalu bilang bahwa tempat ini bagaikan sampah dengan kertas-kertas menumpuk yang tak sedang dipandang. Namun kali ini wanita itu mampu bertahan lebih dari setengah jam b
ODELIAKupandangi sepasang sepatu kusam kets-ku ini. Langkahku membawa sejuta harapan bahwa hari ini aku masih bisa bernapas dengan tenang di ibukota ini. Langkah yang beriringan denganku terasa seperti sebuah iklan yang melintas begitu saja di halte bus bersamaku pagi ini.Senin pagi. Semua orang setidaknya memiliki satu hingga dua keinginan untuk memulai pertama disetiap minggunya. Hari yang paling sering kuamati begitu pada dengan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalanan. Tanpa henti membuat suara bising yang mampu memekakkan telinga.Aku mendaratkan bokongku tepat disalah besi yang berbentuk persegi panjang. Besi berkarat yang memiliki bau agak amis. Entah apa fungsi dari besi tersebut. Seharusnya lebih baik menggunakan bangku atau apapun itu bila berniat untuk dijadikan sebuah tempat duduk. Namun sebagian dari mereka yang bernasib sama sepertiku terpaksa menggunakannya untuk mendudukkan diri.Sembari menunggu bus yang
Jika akhirnya kehidupanku nkembali berputar seperti roda, aku akan membuat persiapan ketika harusnya aku berada di bawah. Hatiku akan siap ketika suatu saat kehilangan segalanya.Seorang wanita berpakaian hitam tampak berjalan di sekitaran kompleks pemakaman. Langkahnya penuh kehati-hatian kala melintasi beberapa susun gundukkan tanah yang ada disana. Cuaca yang tak begitu terik menjadi keputusanya untuk berpakaian gelap dann juga mengenakann sebuah topi yang hampir menutupinya dari sinar matahari siang. Ditangannya sebuah bunga telah siap untuk disembahkan kepada yang tercinta, yang kini telah menyatu dengan tanah. Sejujurnya langkah pelannya bukan karena dirinya takut sepatu mahal yang dikenakannya terkena kotoran, namun dadanya berdentum seperti ingin meledakkan dirinya. Hatinya nyeri kala ia melihat sosok tercinta itu menyatu dengan tanah, dan takkan bisa be
Tak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk memilikimu seutuhnya. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu.Malam itu suasana benar-benar mencekam. Kabut dingin yang menyelimuti jalan ditengah hutan yang lebat menjadi sangat menyeramkan. Membuat dentuman aneh didalam dada kala sengatan hawa dingin yang sangat kerasa malam itu. Tengah malam yang semakin meredupkan sinar membutakan siapa saja yang berani menembus jalan gelap itu. hanya sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan seadanya, membelah jalan yang penuh kabut itu. lampu sorot mobil menjadi satu tumpuan mereka untuk sampai ke tempat yang akan mereka singgahi.Bukan hanya singgah, mereka akan sedikit lama berada disana, karena suatu hal."Apakah wanita itu bisa dipercaya?"
Aku akan mengambil apa yang sebelumnya telah kukatakan bahwa itu semua adalah milikku. Kalian yang berani mencegahnya takkan pernah kubiarkan untuk keluar dari lingkaran yang telahkubuat."Kau benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan kau melakukan ini semua?"Riska, wanita yang kini tengah memegang pisau lipat yang telah ternodai oleh darah itu tak menghiraukan makian yang sejak beberapa hari lalu dikeluarkan oleh kakaknya, Reanna. Dalam kondisi terikat, Rea terus melakukan perlawanan terhadap adiknya itu. tak disangkanya jika Riska bisa berbuat sejauh ini. Tak pernah ada bayangan menyeramkan yang seperti sekarang didalam kepalanya.Entah telah hilang kemana sosok adik kecilnya yang manis dan tak
Merasakan pengalaman pertama yang tak terduga. Hatiku membuncah. Genggaman manis dari jari mungilnya berhasil menggetarkan sesuatu didalam dadaku. Rasanya sesak, seperti sebuah kebahagiaan yang akan meledak.Attar syah Rahardi.Aleana Salma Rahardi.Bayi gempal yang kini menggeliat diatas tempat tidur mungil berbentuk kotak itu menjadi salah satu objek yang menarik perhatian kedua orang yang berdiri dari balik kaca jendela ruangan tersebut. Kedua bayi berwajah merah itu sesekali bersuara khas bayi yang menggemaskan. Keduanya sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari bayi-bayi mungil yang berwajah hampir serupa itu.Tak ada yang lebih menggetarkan dari apapun selain melihat kedua wajah itu,
Lahirkanmereka. Aku akan berjuang untukmelindungimudan anak-anak kita. Jangan takut, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."Lia, aku mohon buka pintu sialan ini! biarkan aku bicara padamu." Tak lama terdengar suara Jean yang berteriak menggedor pintu kamarnya. Mungkin pria itu sedikit terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba saja mengunci kamarnya, karena tak biasanya ia mengunci kamarnya."Aku manusia, Jean. Aku bisa saja sakit hati." Lirihnya pelan. Sepertinya hanya dua kalimat itu yang mampu mewakili semua perasaannya.Tak lama, Odelia merasakan ada rasa nyeri yang melanda perutnya. Tanpa bersuara, ia terus mengelus perutnya. Ia tak tahu mengapa, sejak beberap