"Keisenganku berubah menjadi rasa keingintahuan yang tinggi. Kalian bersembunyi, maka aku akan mencari."
Seorang wanita berambut panjang kini tengah terduduk disalah satu meja di salah satu cafe, yang letaknya berada didalam pusat kota. Hingar bingar ibukota yang mencekam seolah menjadi titik dimana dirinya harus menyembunyikan diri. Sembari menyerumpun kopi hangatnya, dari balik kacamata hitam bermereknya, wanita itu menyebarkan pandangannya, terutama pada sisi pintu masuk cafe. Ia tengah menunggu seseorang, hingga rasanya ia hampir mati kebosanan.
"Sialan kau Marko.. bisa-bisanya kau membuatku menunggu nyaris satu jam" geramnya penuh emosi. Wanita itu mengeram marah lantaran sosok yang saat ini tengah ditunggunya melanggar janjinya. Laki-laki itu semula mengabulkan permintaannya untuk bertemu tepat di pukul 11 siang. Namun hingga jarum jam menyentuh menit ke 30, laki-laki itu pun tak kunjung muncul.
Tak lama, suara lonceng yang berbunyi menjadi angin segar bagi wanita itu. dengan kepala terdongak, wanita itu melambaikan tangannya, berusaha untuk meredam emosi yang tadi sempat melingkupi dirinya. Ia tak mau sampai laki-laki itu mengundurkan niat untuk membantunya. Saat ini wanita itu sungguh membutuhkan bantuan dari pria itu. Sosok laki-laki dengan kemeja putih dan juga celana denim nya berjalan ke arah wanita yang baru saja melambaikan tangan kearahnya. Tubuh besarnya yang tinggi menjulang terlalu mencolok berjalan ke tengah cafe yang terlihat ramai itu.
"Clara.." sapa seorang pria yang itu langsung mengambil posisi duduk dihadapan wanita berkacamata hitam tadi.
"Sialan kau, Marko." Geramnya. "Kau membuatku menjadi lebih tua disini."
"Tadi aku harus mengurus beberapa berkas kasus. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pembunuhan dan penculikkan." Ujar Marko sambil menggedikkan kedua bahunya sebelum akhirnya ia mengambil cangkir kopi milik Clara.
"Benarkah? Sebanyak itu, sampai kau melupakan Tunanganmu sendiri." Balas wanita itu dengan sedikit menyindir.
Mendengar ucapan wanita ituMarko nyaris menyemburkan minumannya ke wajah wanita itu. Tak biasanya Clara menyinggung perihal status mereka jika bukan karena amarah wanita itu yang sudah mulai memuncak. Dengan hati-hati, Marko meletakkan kembali cangkir tersebut dihadapan Clara dan mulai memasang wajah memelas.
"Sayang, kau, kan tahu pekerjaanku tak mudah sebagai seorang polisi. Hal yang berkaitan dengan kami memang berat." Ujarnya pada wanita yang sudah 3 tahun menjalin cinta dengannya. Selama rentan waktu selama itu, Marko sedikit banyak mampu menghapal diluar kepalanya bagaimana peringai wanita itu. Jika sudah menyinggung tentang status mereka, itu artinya Clara tengah dalam emosi yang tinggi dan Marko tak mau mengambil resiko dengan rajukan wanita itu yang mampu bertahan hingga berbulan-bulan.
"Kalau begitu, Kau pacaran saja dengan kertas-kertas itu. Jangan pacaran denganku." Cibir Clara dengan nada yang sedikit meninggi. Beberapa pengunjung lainnya mulai tertarik dengan mereka saat mendengar suara Clara yang keras.
"Ya! Mana bisa begitu, sayang. Kau kan tahu rasanya mencium kertas itu tidak enak. Aku lebih suka mencium wanita-ku sendiri." Marko tak mau kalah. Laki-laki itu pun tanpa sadar ikut meninggikan suaranya hingga membuat beberapa pengunjung wanita disana terkikik geli saat mendengarnya.
Clara yang menyadari hal itu segera melemparkan tatapan membunuh pada wanita yang menertawai kekasihnya. Wanita itu memicingkan matanya cukup lama sampai membuat wanita-wanita yang tadi tertawa tiba-tiba saja bungkam. Marko yang melihatnya hanya bisa mendesah pelan. Tunangannya adalah wanita paling posesif yang pernah ada. Dan sayangnya, ia terlalu cinta pada Clara.
"Sudahlah sayang. Kau membuat kerutan lagi disekitar matamu." Marko mengangkat tangannya ke arah sisi wajah Clara dan mengusapnya pelan hingga akhirnya wanita itu pun kembali memandangnya. Seulas senyuman pun terpasang dibibir tipis milik wanita itu. Tunangannya itu memang paling tahu cara menenangkan emosinya.
"Jadi, kau mau meminta tolong apa, Sayang?" tanya Marko dengan nada yang mulai serius. Ia yakin apa yang diminta oleh kekasihnya itu tentu bukanlah hal sepele. Dari nada bicaranya, Marko tahu jika Clara ingin memintanya melakukan sesuatu yang besar. Dan ia pun yakin ini berhubungan dengan kerabat dekatnya. Setahunya, Clara bukanlah wanita yang senang meminta bantuan orang lain. Wanita itu lebih suka meminta bantuan dari orang terdekatnya saja, kecuali itu adalah masalah kecil.
"Aku mau kau menyelidiki ulang kasus kecelakaan ibuku 12 tahun yang lalu." Jawab Clara sambil melepaskan kacamata hitamnya. Kini terlihatlah bola mata hazel yang terlihat manis dimata bulatnya. Raut wajah wanita itu menegas saat berucap kalimat tersebut. Bagaikan daya magis tersendiri, wanita itu langsung berubah 180 derajat dari Clara yang tadi melemparkan tatapan sinis pada beberapa wanita disekitarnya.
"Kau tak serius, kan? Kasus itu sudah ditutup sejak 2 tahun penyelidikannya yang tanpa hasil. Sampai saat ini pihak kepolisian masih belum bisa menemukan jasad ibumu." Marko memajukan tubuhnya. Ia memandang lurus-lurus wanita itu dengan seksama. "Sulit bagi kami menemukan penyebab kecelakaan yang dialami oleh ibumu. Hanya kakakmu yang bisa dijadikan saksi kunci, tapi sepertinya dia memilih bungkam."
Clara menjatuhnya tatapannya pada buku jarinya yang bertautan. Ia tahu betul saat itu ia masih sangat kecil. Ia butuh waktu beberapa lama agar menyadari bahwa keadaan sudah berbeda. Ibunya yang dulu sering menemaninya kini telah tiada. Tanpa jasadnya yang berhasil ditemukan. Dan sejak saat itu, kakaknya pun menderita trauma yang berat. Kakaknya selalu mengamuk ketika pihak kepolisian bertanya tentang kecelakaan naas itu. Bahkan kakaknya sempat mendapatkan perawatan psikiater saat itu.
Mata hazel Clara menerawang ke depan. Ia memangku dagunya dengan tangan yang terlipat rapi diatas meja cafe itu. "Aku tahu. Tapi, aku yakin diantara ayahku dan Kak Jean pasti ada sesuatu. Terlebih lagi, tiba-tiba Ayah membawa pulang seorang wanita dan langsung menikahkannya dengan Kak Jean. Dan aku juga melihat kakak seperti membenci kakak iparku itu. Aku yakin semua itu berhubungan dengan kematian ibuku."
Marko memiringkan kepalanya heran. "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Entahlah. Aku sama sekali tak tahu. Namun batinku mengatakan jika ada sebuah rahasia yang mereka simpan rapat-rapat." Ucap Clara penuh keyakinan. Mata hazelnya menatap wajah kekasihnya yang memandangnya dengan wajah bingung.
Marko menghela napasnya pelan. Ia memijit pelipisnya pelan sebelum akhirnya kembali bersuara dengan napas yang berat. "Kau tak bisa menggunakan perasaanmu untuk mengungkapkan suatu kasus. Terlebih kasus kecelakaan ibumu. Bahkan sampai saat ini tak ada yang mampu menjelaskan bagaimana kronologis kejadian itu. Harusnya jasad ibumu bisa ditemukan meski dalam keadaan yang tak utuh. Apalagi disekitar kejadian tak ada sungai ataupun jalan lain untuk menyembunyikan tubuhnya."
"Jadi apa maksudmu?" sebelumnya Clara tak pernah mendengar asumsi ini. Ia tahu kekasihnya pun ikut dalam pencaharian bukti kasus kecelakaan ibunya. Dan, hari ini ia mendengar sendiri dari mulut kekasihnya bahwa ada yang ganjil dalam peristiwa tersebut.
Marko yang sudah kehabisan kata. Ia terlanjur mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasia kecil yang harus tersimpan rapat-rapat.
"Aku harap kau tak memberitahukan siapapun." Imbuhnya dan Clara pun mengangguk patuh.
Marko menempatkan kedua tangannya berlipat didepan dadanya. "Dua tahun yang lalu, saat pertama kali aku terjun dalam kasus kecelakaan ibumu, aku mengetahui bahwa sama sekali tak ditemukan tanda-tanda jasad ibumu disana. Entah apa yang terjadi sebelum ledakan itu. Rasanya tak mungkin jika jasad ibumu dicuri orang atau hanyut ke sungai, yang jelas-jelas tak pernah ada."
Clara tercengang. Wanita itu sampai tak bisa menutup mulutnya sendiri. kedua mata hazelnya terbelalak dengan detak jantung yang menyerbu seperti ingin melompat keluar. Ia sendiri sudah tak bisa berkonsentrasi memandang apapun didepannya. Perkataan Marko seolah terngiang-ngiang, membekukan dirinya detik itu juga.
"A-Apa kau.. b-bercanda?" suara wanita itu tergagap. Clara tak sanggup menyelesaikan kalimat tanyanya dengan baik.
Marko menggeleng. Inilah hal yang palig ditakutkannya. Wanita itu pasti sangat terkejut dengan kenyataan yang ada. Apalagi Clara yang paling menuntut diselesaikannya kasus ini.
"Aku sedang tak ingin membuat lelucon, sayang. Satu-satunya saksi disini adalah kakakmu. Jika Jean bisa membuka suara, maka kami akan menemukan titik terang."
Clara terdiam. Benar saja, hanya Jean yang tahu tentang kejadian ini, karena laki-laki itulah yang ada saat kejadian naas yang menimpa ibu mereka. Tapi, Clara tak mungkin memaksa kakaknya itu untuk bersuara. Ia tahu penyakit Jean akan kembali kambuh saat disinggung mengenai ibu mereka. Dan, ia tak ingin mengusik ketenangan kakaknhya setelah menikah.
"Kau intai kakakku." Putusnya. Clara memandang lak-laki itu dengan tatapan tajam. "Awasi gerak-gerik kakakku."
Marko terdiam. Pria itu merespon hanya dengan setengah alis tebalnya yang meninggi. Ia tak yakin itu adalah keputusan yang tepat. Jean begitu pintar membaca situasi. Sangat sulit baginya untuk mengintai pria itu.
"Aku tak yakin itu berhasil."
Clara kembali mendapatkan ketenangannya saat cairan hitam itu masuk ke dalam tenggorokkannya. Tangan lentiknya memegang cangkir kopi, mencari kehangatan disana.
"Memang. Tapi, melalui Kak Odelia kau bisa." Putusnya.
"Kakak Iparmu?" Marko bertanya tak yakin. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya pada wanita itu. Sungguh, sejak pertama melihat Odelia, Marko sudah membaca bahwa wanita itu sangat lemah.
"Kenapa? Kau tidak mau membantuku, sayang? " tanya Clara sambil menegakkan tubuhnya dan memandangi Tunangannya itu dengan tajam. Ia yakin cara ini akan berhasil membantunya mendapatkan apapun yang diinginkannya dari sang kekasih.
"Bukannya begitu. Tapi.."
"Baiklah .." potong Clara tiba-tiba. Lalu wanita cantik itu berdiri. Ia menatap sekali lagi wajah kekasihnya dengan ekspresi datar. "Aku harap kau akan selalu ada disaat aku membutuhkanmu. Tapi.."
"S-Sayang... tenanglah. Bukan begitu maksudku.. tapi a-aku.." balas Marko yang ikut berdiri dengan terbata-bata. Ia sudah bingung jika kekasihnya ini sudah memasang ekspresi datar seperti ini. Pasti ia takkan bisa melihat wajah itu dalam waktu yang lama, karena Clara pasti akan menolak menemuinya. Wanita itu akan melancarkan aksi merajuknya.
"Mau atau tidak?" Tanya Clara dengan tegas. Matanya tegas menatap kekasihnya itu. Ia butuh kepastian apakah tunangannya ini bisa membantunya atau tidak. Ia sungguh harus menemukan bukti disini. Clara yakin ada yang tak beres dengan kakaknya dan juga ayahnya, serta pernikahan mendadak yang tiba-tiba disetujui oleh Jean begitu saja.
"B-Baiklah." Marko takkan pernah bisa mengatakan tidak pada pacarnya itu. Ia sungguh tak mau kehilangan wanita yang paling ia cintai itu. Apapun yang dikatakannya, bagaikan sebuah perintah dan selayaknya laki-laki sejati hal utama yang diinginkan Marko adalah kebahagiaan kekasihnya itu.
"Aaaah.. kau yang terbaik, Sayangku.." pekik Clara senang. Ia langsung memeluk tubuh tegap kekasihnya itu, tak peduli pandangan orang yang berada di cafe, yang ikut memandanginya dengan berbagai ekspresi. Ia tahu pasti ini akan terjadi. Kekasihnya takkan pernah mungkin menolak keinginannya.
"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka.""Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikena
"Melupakanmu mungkin adalah satu hal yang paling kuinginkan. Alih-alih menerima hantaman yang membuatku amnesia, kenangan bersamamu kembali menyentak ruang ketenanganku."Seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau yang membalut tubuh kurusnya, nampak berdiri didepan balkon. Kedua mata wanita itu terarah pada sinar rembulan yang malam ini bersinar begitu terang. Helaian rambutnya bergerak sesaat, mengikuti arah angin yang menerpa sisi wajahnya yang dibiarkan begitu saja berada dalam dinginnya angin malam ini.Adela.Wanita itu biasa akan terpanggil ketika mana itu disebut. Entah sudah berapa lama ia tak lagi mengingat dari mana asal nama itu. Ia terlalu menikmati hidupnya saat ini. Bahagia, berada dalam rumah yang mewah, dikelilingi oleh harta dan orang yang begitu mencintainya, dan juga Adela memiliki tempat berpulang saat ini. Wanita itu tak lagi
“Perpisahan menetes di pipimu seperti darahBibirmu bergetar, bertanya mengapa semua ini sangat menyedihkanJangan, jangan datang padaku dengan wajah seperti ituPergilah tinggalkan aku”Di sebuah ruangan yang gelap, hanya berukuran kecil, seorang wanita paruh baya terduduk didalamnya. Tatapannya kosong menatap kedepan, mengesampingkan kewarasan yang dimilikinya. Rambutnya yang tak tertata jelas dan baju daster kusam membalut tubuh kurusnya yang nyaris menyerupai tulang.. Terdapat keriput-keriput di pipinya. Jika orang lain melihatnya, ia akan dianggap orang tak waras. Bibir pucatnya sedari tadi hanya menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Namun sebuah nama tak sengaja tercelos dari bibirnya.Tak lama sosok wanita dengan pakaian mahalnya masuk ke
“Perasaan ini sangat menyesakkan dan yang kutahu, keinginan terbesarku adalah dengan menghancurkanmu”Seorang anak laki-laki berlari diatas rerumputan yang terletak dibelakang pekarangan rumahnya. Langkah kakinya yang riang berlari mengikuti arah kupu-kupu yang berterbangan seolah meminta untuk dikejar. Dibelakangnya, seorang balita mungil mengikuti langkah sang kakak. Suara tawa mereka yang riang terdengar seluruh pekarangan hingga membuat kedua pengasuh yang menjaga mereka ikut tertawa melihatnya. “Kakak...” balita perempuan yang manis dengan baju baby doll mungil berwarna peach itu mengerucutkan bibir tipisnya lantaran kakinya tak sampai mengejar langkah sang kakak. Ia pun menjatuhkan kedua bokong mungilnya diatas rerumputan dan memilih untuk duduk disana.Anak laki-laki yan
"Ada seribu macam pertanyaan yang bisa tersampaikan dengan baik, namun tak semua memiliki jawaban yang pantas.”“Duduklah disana.”Martha, wanita berambut pirang kemerahan itu menunjuk sofa panjang berwarna merah yang terbuat dari bludru mahal miliknya. Salah satu barang mewah yang berada didalam apartemen milik wanita cantik itu. Wanita itu menunjuk kearah benda itu untuk memberitahu sosok yang kini tengah mengekorinya.Seorang wanita paruh baya yang berjalan dibelakang Martha dengan tatapan menyelidik. Mata besar yang memiliki intan berwarna hijau pekat itu memperhatikan dengan seksama detail mewah dari ruangan yang ia tahu akan menampungnya sampai dirinya bertemu de
"Dari mata turun ke hati, begitu kata yang selalu mereka ucapkan.”“Brengsek kau, Odelia!” Umpat Jean sebelum mengayunkan tangannya ke arah Odelia. Suara umpatan kasar lelaki itu terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya dan pasti menganggap bahwa laki-laki itu akan melancarkan serangan kekasarannya lagi kepada Odelia.Wanita itu tak sanggup lagi membuka kedua matanya yang sudah tertutup entah sejak kapan. Napasnya sendiri tak terasa saat ia mencoba untuk bernapas, ia takut. Pada detik berikutnya mungkin ia akan terluka. Laki-laki itu pasti akan melukainya. Begitu yang pasti terjadi. Odelia memilih mengubur kesedihannya dalam kegelapan. Ia tak mau melihat Jean yang kasar. Ia tak mau
"Aku tak pernah pantas untuk diakui.”“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku gila, mereka bilang aku sudah gila karena terus mengharapkanmu. Aku wanita gila, aku sungguh tergila-gila padamu sampai aku tak merasakan sakit saat kau memukulku. Aku tak peduli seberapa bencinya kau padaku. Aku tak peduli seberapa kasarkan tanganmu menyakiti tubuhku. Selama aku tahu bahwa kau hanya setia kepadaku, aku dapat menerimanya. Aku sungguh mencintaimu sampai aku berpikir mungkin saja aku sudah gila.”Odelia menatapnya. Menuntut dan meminta dengan paksa. Wanita itu masih berdiri ditempatnya, enggan menjauh dan membiarkan tangannya terjalin begitu saja dengan tangannya. Namun masih dengan tatapan yang sa
"Tak ada yang lebih kau benci selain diriku, dan tak ada yang lebih kucintai selain dirimu.”Bibir tipis milik lelaki itu pun tersenyum samar. “Dia sedang pergi. Aku hanya berdua saja dengan... pembantuku.”Suara itu tercekat. Jean enggan menatap langsung ke arah mata kedua tamunya. Pria itu lebih senang mengalihkan perhatiannya ke arah lain, asalkan bukan ke arah Rian atau pun istrinya. Perasaan asing saat mengatakan bahwa wanita itu adalah pembantunya benar-bennar menyisakan ruang yang menyesakkan dihatinya. Jean tak pernah merasakan perasaan asing ini. Hanya, ia tak tahu mengapa hatinya ikut nyeri ketika kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya.
Sepasang intan hitam milik seorang wanita nampak memandangi pantulan bayangan yang ada dicermin. Matanya penuh binar kebahagiaan saat memperhatikan betapa indahnya bayangan yang ada disana. Ia nyaris tak mempercayai bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Rambutnya yang memiliki panjang hampir menutupi punggungnya sengaja digerai dan membentuk sebuah ikal yang semakin mempermanis penampilannya. Diatas kepalanya terdapat rangkaian bunga bermacam warna yang melingkarinya. Riasan wajahnya hari ini pun tak terlalu mencolok. Wanita itu memang sengaja meminta pada penata riasnya untuk tidak terlalu menor mendandaninya. Ia tidak ingin terlihat seperti badut pesta nanti.Dalam balutan gaun pengantin panjang tanpa lengan, wanita itu memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Hal yang selalu ditutupinya itu kini dipamerkan karena permintaan seseorang yang melarangnya keras untuk menutupinya.Odelia memiliki aset yang menganggumkan, begitu kata Clara. Wanita itu, sebentar lagi dalam
ODELIAPria itu duduk tenang di depannya sambil menyantap makanan yang baru saja dipesannya. Ada rasa keengganan ketika aku menatap ke dalam isi piringku. Makanan ini aneh. Aku tak terbiasa dengan makanan kelas atas. Hanya sayur dan tempe saja sebenarnya sudah membuatku kenyang dari pada sebuah makana dengan irisan daging yang hanya memiliki porsi setengah dari porsiku. Sebenarnya, melihatnya saja aku sudah tak lagi selera. Bukan hanya karena makanannya, melainkan karena pria yang menatapku lebih sering dari pada makanannya itu.Jean sengaja menyeretku masuk ke dalam restoran mewah yang entah berada dimana. Restoran yang memiliki kata yang aneh itu memang terlihat tak begitu ramah, namun memiliki suasana mewah untuk kumasuki. Hanya bermodalkan kaos dan celana jeans berlutut robek, serta sepatu kets usang yang selalu menjadi seragam wajib, kini aku terlihat seperti badut. Semua yang ada disana dan menikmati hidangan sorenya berpakaian formal. E
JEAN“Jadi, Ayahku sekarang berada di flat kecil yang kau sebutkan tadi?”Aku tak bisa menahan amarahku saat kudengar ayahku, Yonash memilih untuk melarikan diri dari rumah kami dan tinggal di rumah kecil di pinggiran kota itu. Bahkan, aku tak bisa mengira bagaimana pria tua itu hidup melarat seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat merencanakan usaha pelariannya itu disaat kami semua sedang tertidur. Andai saja Grace, nenek kami masih di Indonesia mungkin Ayah kami tak berani untuk melakukannya.“Jadi, bagaimana kak?” Tanya seorang wanita bermata hijau dibelakangku. Ai terus berdiri ditempatnya semula meski aku sudah memunggunginya cukup lama. Clara, adik bungsuku tak biasanya betah berlama-lama berada di ruangan kerjaku. Wanita itu selalu bilang bahwa tempat ini bagaikan sampah dengan kertas-kertas menumpuk yang tak sedang dipandang. Namun kali ini wanita itu mampu bertahan lebih dari setengah jam b
ODELIAKupandangi sepasang sepatu kusam kets-ku ini. Langkahku membawa sejuta harapan bahwa hari ini aku masih bisa bernapas dengan tenang di ibukota ini. Langkah yang beriringan denganku terasa seperti sebuah iklan yang melintas begitu saja di halte bus bersamaku pagi ini.Senin pagi. Semua orang setidaknya memiliki satu hingga dua keinginan untuk memulai pertama disetiap minggunya. Hari yang paling sering kuamati begitu pada dengan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalanan. Tanpa henti membuat suara bising yang mampu memekakkan telinga.Aku mendaratkan bokongku tepat disalah besi yang berbentuk persegi panjang. Besi berkarat yang memiliki bau agak amis. Entah apa fungsi dari besi tersebut. Seharusnya lebih baik menggunakan bangku atau apapun itu bila berniat untuk dijadikan sebuah tempat duduk. Namun sebagian dari mereka yang bernasib sama sepertiku terpaksa menggunakannya untuk mendudukkan diri.Sembari menunggu bus yang
Jika akhirnya kehidupanku nkembali berputar seperti roda, aku akan membuat persiapan ketika harusnya aku berada di bawah. Hatiku akan siap ketika suatu saat kehilangan segalanya.Seorang wanita berpakaian hitam tampak berjalan di sekitaran kompleks pemakaman. Langkahnya penuh kehati-hatian kala melintasi beberapa susun gundukkan tanah yang ada disana. Cuaca yang tak begitu terik menjadi keputusanya untuk berpakaian gelap dann juga mengenakann sebuah topi yang hampir menutupinya dari sinar matahari siang. Ditangannya sebuah bunga telah siap untuk disembahkan kepada yang tercinta, yang kini telah menyatu dengan tanah. Sejujurnya langkah pelannya bukan karena dirinya takut sepatu mahal yang dikenakannya terkena kotoran, namun dadanya berdentum seperti ingin meledakkan dirinya. Hatinya nyeri kala ia melihat sosok tercinta itu menyatu dengan tanah, dan takkan bisa be
Tak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk memilikimu seutuhnya. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu.Malam itu suasana benar-benar mencekam. Kabut dingin yang menyelimuti jalan ditengah hutan yang lebat menjadi sangat menyeramkan. Membuat dentuman aneh didalam dada kala sengatan hawa dingin yang sangat kerasa malam itu. Tengah malam yang semakin meredupkan sinar membutakan siapa saja yang berani menembus jalan gelap itu. hanya sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan seadanya, membelah jalan yang penuh kabut itu. lampu sorot mobil menjadi satu tumpuan mereka untuk sampai ke tempat yang akan mereka singgahi.Bukan hanya singgah, mereka akan sedikit lama berada disana, karena suatu hal."Apakah wanita itu bisa dipercaya?"
Aku akan mengambil apa yang sebelumnya telah kukatakan bahwa itu semua adalah milikku. Kalian yang berani mencegahnya takkan pernah kubiarkan untuk keluar dari lingkaran yang telahkubuat."Kau benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan kau melakukan ini semua?"Riska, wanita yang kini tengah memegang pisau lipat yang telah ternodai oleh darah itu tak menghiraukan makian yang sejak beberapa hari lalu dikeluarkan oleh kakaknya, Reanna. Dalam kondisi terikat, Rea terus melakukan perlawanan terhadap adiknya itu. tak disangkanya jika Riska bisa berbuat sejauh ini. Tak pernah ada bayangan menyeramkan yang seperti sekarang didalam kepalanya.Entah telah hilang kemana sosok adik kecilnya yang manis dan tak
Merasakan pengalaman pertama yang tak terduga. Hatiku membuncah. Genggaman manis dari jari mungilnya berhasil menggetarkan sesuatu didalam dadaku. Rasanya sesak, seperti sebuah kebahagiaan yang akan meledak.Attar syah Rahardi.Aleana Salma Rahardi.Bayi gempal yang kini menggeliat diatas tempat tidur mungil berbentuk kotak itu menjadi salah satu objek yang menarik perhatian kedua orang yang berdiri dari balik kaca jendela ruangan tersebut. Kedua bayi berwajah merah itu sesekali bersuara khas bayi yang menggemaskan. Keduanya sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari bayi-bayi mungil yang berwajah hampir serupa itu.Tak ada yang lebih menggetarkan dari apapun selain melihat kedua wajah itu,
Lahirkanmereka. Aku akan berjuang untukmelindungimudan anak-anak kita. Jangan takut, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."Lia, aku mohon buka pintu sialan ini! biarkan aku bicara padamu." Tak lama terdengar suara Jean yang berteriak menggedor pintu kamarnya. Mungkin pria itu sedikit terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba saja mengunci kamarnya, karena tak biasanya ia mengunci kamarnya."Aku manusia, Jean. Aku bisa saja sakit hati." Lirihnya pelan. Sepertinya hanya dua kalimat itu yang mampu mewakili semua perasaannya.Tak lama, Odelia merasakan ada rasa nyeri yang melanda perutnya. Tanpa bersuara, ia terus mengelus perutnya. Ia tak tahu mengapa, sejak beberap