"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."
Langit gelap menyelimuti kota Jakarta. Tepat pukul sebelas malam, lalu lintas di jalan raya perlahan mulai mumudar. Lampu-lampu jalanan serta iklan yang terpasang disetiap sudut jalan menjadi penerang bagi setiap pengemudi yang melintasi jalanan tersebut. Malam yang sunyi dan kelam, menyembunyikan setiap asa yang menguap pada terang hari. menyelimuti kalbu yang gelisah.
Sebuah mobil sedan pendek memutar kemudinya ke arah rumah tak berpagar bergaya minimalis moderen, yang berderet dengan rumah-rumah yang memiliki jenis yang sama. Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti disalah satu rumah yang nampak sepi dan lengang. Sosok lelaki yang berada dibalik kemudi itu memperhatikan dengan seksama bangunan yang telah ia kenali selama setahun belakangan ini. Mata elang yang bersembunyi dari balik lensa hitam kacamata miliknya mengintip kesunyian didalam sana. Banyak rahasia yang telah tercipta dan terukir dengan penuh drama. Rahasia yang tak pernah diketahui oleh siapapun kecuali dirinya dan wanita itu.
Sejenak, keraguan melandanya. Kala ia menatap bangunan itu, rasa ragu menyeruak didalam dadanya. Hatinya berdenyut, merasakan kebimbangan atas segala sikap yang selama ini telah ia keluarkan. Didalam sana, tentu saja menjadi salah satu faktor penyebab ketidakpastian sikap atas dirinya. Lelaki itu tahu, satu langkah ia menginjakkan kakinya diatas lantai bangunan itu, maka dirinya yang lain akan muncul. Dirinya yang jauh dari jati dirinya yang sesungguhnya.
Wanita itu, Odelia. Sosok yang asing baginya, yang paling tak boleh ia cintai dan kasihi, menjadi salah satu penyebab sosok menyeramkan dalam dirinya keluar. Sejujurnya lelaki itu tak menginginkan hal tersebut terjadi. Ia tak ingin menyakiti siapapun, tak terkecuali Odelia. Hanya saja, Jean harus melakukannya.
Ditatapnya tangan yang tak lagi memegang stiran mobil miliknya. Tangan besar dengan permukaan yang kasar, dengan tangan itu Jean harus menyakiti wanita itu. Tidak, bukan hanya sekedar menyakiti, namun ia harus menghancurkan wanita itu hingga Odelia tak sanggup lagi untuk bertahan hidup.
Tak lama, Jean memilih keluar dari mobil setelah pemikirannya yang tak lagi sama dengan akal sehatnya. Jean keluar dengan keadaan komplek yang sepi. Tentu saja, siapa yang akan berkeliaran di hari yang hampir menunjukkan tengah malam. Udara dingin pun membuat siapa saja memilih untuk menyembunyikan diri di balik selimut.
Langkah kaki Jean tergerak memasuki sisi balkon rumah. Tak ada debu sedikit pun yang menempel disana. Dirinya yakin Odelia telah melakukan hal itu untuknya. Entah mengapa wanita itu masih saja munafik, pikir Jean. Odelia bisa saja kabur kapan saja. Dengan bentuk rumah mereka yang tak berpagar dan tak diawasi oleh kamera atau apapun, Odelia harusnya memanfaatkan kesempatan ini sebaiknya.
Satu hal yang masih Jean tak mengerti, terbuat dari apa hati wanita itu.
Odelia tak pernah merintih, menolak semua kekerasan yang telah diberikannya. Bahkan setelah Jean membawa Martha masuk kedalam hidupnya, Odelia tetap bertahan disisinya. Wanita itu memilih untuk membutakan mata dan menulikan telinganya.
Perlahan Jean membuka pintu rumahnya. Langsung saja, Kegelapan yang menanti seolah menjadi ucapan selamat datang baginya. Siratan kesunyian yang tergambar dari dalam rumahnya tersebut, membuat Jean bertanya apakah wanita itu telah tertidur. Keadaan ini tentu saja membuat Jean sedikit khawatir. Ada kalanya ia merasa takut menemukan jikalau wanita itu telah pergi tanpa sepengetahuannya. Baginya, Odelia hanya bisa pergi jika ia menginginkannya. Untuk saat ini Jean sedikit mensyukuri kemunafikkan Odelia yang memilih bertahan disisinya.
Laki-laki bertubuh tinggi itu berjalan, menembus kegelapan rumahnya sendiri. kesunyian mendatangkan pikiran yang jernih baginya. Selama ini, rasa sesak selalu dirasakannya kala ia kembali ke rumah ini. Matanya selalu memanas ketika melihat wanita itu meringkuk ketakutan. Sementara, hidungnya terdengar napas kasar yang sebenarnya tak pernah ingin ia dengar. Emosi memuncak, dan berakhir pada dua jiwa yang terluka.
Jean harus melakukannya, meski ia tak menginginkannya.
Ia tak pernah dikendalikan oleh siapapun. Jean tak pernah menerima perintah dari arah manapun untuk menyakiti Odelia. Hanya saja, mengingat peristiwa dua puluh tahun yang lalu, membuatnya selalu terhenyak dalam pemikiran impulsifnya. Odelia tak bersalah, wanita itu hanya terlahir pada tempat yang salah. Seharusnya wanita itu tak lahir dari rahim sosok yang telah menghancurkan ketenangan batin mendiang ibunya. Seharusnya ayahnya bisa menjaga sikapnya dengan tidak menodai cinta mendiang ibunya.
Laki-laki itu sadar, sejak awal kedatangan Odelia dalam hidupnya, ada sebuah skenario yang telah dimainkan oleh ayahnya. Pernikahan dan semua yang telah terjadi dalam hidupnya sekarang, pasti tak lepas dari campur tangan sosok ayahnya yang selalu menyebutkan dirinya sebagai kepala keluarga yang baik. Kenyataan itu lah yang hingga kini sulit diterimanya. Jean tak bisa menerima keterpaksaan dirinya yang begitu saja menerima Odelia dalam hidupnya. Meski sedikit lamban Jean mengakui kehadiran Odelia telah membuka sedikit matanya, namun membuat jiwa pendendamnya bangkit.
Sungguh, Jean tak ingin melakukan semua ini, terkecuali, hal yang pernah ia katakan saat melihat sebuah ledakan besar yang berasal dari sebuah benda beroda yang didalamnya masih ada sosok ibunya. Wanita yang paling ia hormati mati, dalam dendam dan kesedihannya. Ibunya bahkan rela melemparkan tubuhnya sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi jatuh ke dasar jurang.
Hatinya terbelah dua saat itu. Ada rasa pedih yang mengalir deras dalam tubuhnya. Matanya yang kala itu memandang kobaran api hanya bisa termenung, berharap ibunya memiliki kekuatan magis yang dapat menembus kobaran itu. Namun sayang, hingga saat dimana terdengar suara sirene yang berdengung tepat dibelakangnya, tak ada apapun yang terjadi disana. kobaran api serta ledakan-ledakan yang menyusul tak mengubah apapun. Ibunya tak pernah kembali. Bahkan hingga detik dimana Jean merasa bahwa ia mulai kelelahan dengan rasa dendam ini.
Laki-laki itu kembali melangkah, menaiki undakan anak tangga. Namun belum sampai pada pertengahan persimpangan, matanya terumbuh pada sebuah pintu yang terpampang disudut tangga. Jean tahu disana ada sosok yang sama sekali tak ingin ia temui, tapi jauh dari dalam dirinya ia ingin melihat wajah itu meski hanya sedetik saja.
Entah selanjutnya apa yang akan ia lakukan kepada wanita itu. Jean tahu bahwa takkan ada tawa setelah pertemuan mereka. Yang tersisa dari semua reruntuhan bencana ini hanyalah tangisan dan isakan yang keluar dari bibirnya. Namun wanita itu tetap memilih bertahan, meski berulang kali Jean mengulang tindakan yang sama.
Tanpa sadar, Jean pun melangkahkan pelan kakinya menuju pintu tersebut. Ia berdiri cukup lama didepan sana, memikirkan apapun yang sama sekali tak berhubungan dengan situasinya kini. Namun laki-laki itu tetap berdiri disana, tak tahu apakah ia akan menanti sosok itu membukakan pintu untuknya atau kah hanya sekedar angin yang berlalu didepan wajahnya.
Tak lama, daun pintu itu tergerak dan menampilkan celah yang sebelumnya tak pernah tercipta. Sebuah wajah yang tentu saja tak pernah ia duga muncul disana. Dengan sepasang mata besarnya yang bening, sosok itu melihatnya seperti melihat hantu yang mengejutkannya. Kedua pupil yang bersembunyi dari balik matanya pun membesar, memantulkan bayangan Jean yang juga terpekur ditempatnya.
"Ada apa, Tuan?" wanita itu segera menurunkan pandangannya. Ia sungguh takut, tak berani mengangkat dagunya sejajar dengan lelaki itu. Wanita itu cukup tahu diri untuk tidak bersikap kurang ajar pada laki-laki yang kini memandangnya seolah ingin memakannya hidup-hidup.
Menyadari ekspresi yang dikeluarkannya, Jean segera berdeham. Laki-laki itu mundur selangkah, memberikan jarak diantara mereka. Masih dengan tatapan yang sama, lelaki itu mengeksplor tubuh mungil yang sudah menjadi pelampiasannya selama setahun belakangan ini. Tak pernah disangkanya, Wanita itu benar-benar memiliki penampilan yang naas, jauh dari kata baik-baik saja. Dengan luka yang hampir tak lagi tertutupi, terutama pada pergelangan tangannya, Jean yakin siapapun bsia menduga bahwa wanita itu baru saja mengalami tindak kekerasan. Dan orang yang nantinya akan paling disalahkan adalah dirinya.
Jean ingin berteriak, bertanya siapa yang bertanggung jawab atas semua kesakitan wanita itu. Ia ingin membunuh siapa saja yang bearni menyentuh kepunyaanya hingga meninggalkan bekas luka yang mengerikan seperti itu. Sebagian hatinya berkata demikian bahwa Odelia harus dalam keadaan utuh saat berhadapan dengannya. Namun ia tak bisa melakukan semua itu. Sosok laki-laki yang paling pantas disalahkan atas semua luka itu adalah dirinya, dan itu membuat Jean semakin tak mengerti dengan hatinya yang sekarang sering berubah-ubah.
"Tuan.."
Suara bisikkan lirih itu bagaikan sebuah lonceng kesadaran baginya. Tatapan Jean tak lagi menyendu, tanpa disadarinya. Laki-laki itu menajamkan matanya menatap wajah yang kini terlihat mengkhawatirkannya itu. Ia takkan tersentuh. Niatnya menikahi wanita itu hanya untuk menunjukkan betapa sakitnya disakiti oleh orang yang kau sayangi. Dan Jean, takkan membiarkan wanita itu bernapas lega karena mendapatkan kelonggaran darinya.
"Jalang.." Desisnya.
Meski tatapan terkejut tak bisa disembunyikannya, Odelia tak membiarkan sedikitpun suara terloloskan dari bibirnya. Wanita itu tetap bungkam dan hanya menunduk takut mendengar makian pelan dari suaminya. Lalu, segenggam tangan besar milik Jean merayap dikepalanya, menarik untaian rambut yang kini tak lagi sama.
Odelia merintih. Kesakitan yang menjalar ke akar rambutnya akibat jambakkan dari Jean sangat perih, terlebih ketika kesakitan itu sudah menembus jantungnya.
"Malam ini takkan kubiarkan kau tidur tenang. Layani aku, Jalang! Puaskan aku!"
Jean menyeret wanita itu, menaiki tangga tanpa melepaskan genggamannya pada rambut sang istri. Tak peduli seberapa bayak rintihan dan kesakitan yang didengarnya, Jean menyeret wanita itu masuk ke dalam kamarnya tanpa perasaan. Lelaki itu ingin membuktikan bahwa dirinya tak pernah goyah. Ia akan tetap menyakiti Odelia sebesar rasa sakit yang telah diterimanya selama ini.
Tidak akan sampai dirinya puas melakukannya.
"Aku takkan berhenti. Malam ini aku akan membuatmu menyesal telah memilihku!" Jean terus berteriak seperti orang tak waras, tetap memegang gumpalan rambut milik Odelia. Tak memperdulikan bagaimana usaha wanita itu untuk lepas dari cengkramannya.
Sesampainya di depan Kamar, Jean dengan kasar membuka pintu dan membanting tubuh mungil itu hingga terjerembab ke atas lantai. Odelia yang sudah bersimbah air mata tak lagi diperdulikannya. Laki-laki itu tetap melayangkan tatapan kebencian dan membiarkan wanita itu melihat sisi tergelap miliknya.
"J-Jean.."
"Kau harus merasakannya, Lia. Takkan kubiarkan kau menyela kedalam tekadku. Akan kubuat kau menyesal telah memilihku." Gertaknya.
Dengan kasar pria itu melempar tubuh Odelia hingga tersungkur diatas lantai. Tanpa belas kasihan, laki-laki itu tak memperdulikan sedikit pun rintihan kesakitan yang berasal dari mulut istrinya itu. napasnya terengah, marah memandangi Odelia yang masih meringkuk kesakitan diatas lantai. Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri yang mulai terasa nyeri, tak menyadari air wajah Jean yang semakin mengeras.
Kedua mata elang itu menatap tajam wanita yang kini menunduk dibawahnya. Odelia yang kini nampak, terlihat begitu polos, tanpa maksud tersembunyi didalamnya. Kesucian seolah menjadi perisai yang membungkus tubuh ringkih wanita itu.
"Brengsek!" Umpatnya. Jean berjalan ke arah pintu dan menutupnya dengan suara yang keras. Niatan awalnya hilang begitu saja melihat wajah menyedihkan itu. Wajah istrinya sudah bersimbah air mata dan tak berani menatapnya langsung dimata.
"Jean.. Maafkan aku.." ucap Odelia lirih. Wanita itu sungguh tak memiliki apapun untuk melawan Jean. Baginya, laki-laki itu adalah oksigennya. Tanpa Jean, Odelia mati. Biarpun Jean menyakitinya seribu kalipun, hatinya tetap takkan berdusta. Ia begitu mencintai laki-laki itu.
Jean measih terdiam, berdiri membelakangi istrinya itu. Gerakan pundaknya yang bergetar menandai bahwa laki-laki itu sedang berada dalam emosi yang tak stabil. Jean enggan menatap wanita itu. Ia lebih memilih mengarahkan pandangannya pada pintu kayu tebal kamarnya.
Odelia memperhatikan dengan baik punggung lebar yang membelakanginya itu. Ia sedih, bukan karena kemarahan pria itu. Ia sudah terlalu terbiasa dengan semua itu. Hanya saja sikap Jean yang seperti sekarang ini seakan mengatakan bahwa laki-laki itu menderita bersamanya. Jean menyiratkan sesuatu yang besar telah menekan dirinya. Tak seperti kemarahan dikemarin hari, saat ini Jean menahan segalanya. Ia tak mau.
Biarlah Jean memukulinya hingga dirinya tak sadarkan diri, asalkan pria itu tak menunjukkan penderitaannya seperti sekarang. Odelia sanggup menahan segala kemaraha suaminya itu.
"Lakukan.. apapun itu aku akan menahannya." Ujar Odelia tiba-tiba. Ucapan wanita itu seketika menjadi penanda dan langsung membuat Jean membalikkan tubuhnya dengan mata terbelalak.
"Lakukan. Kau boleh melampiaskan amarahmu padaku. Jangan menahannnya. Aku tak ingin kau menderita."
Jean yang mendengar bukannya tersentuh, malah pria itu tersenyum sinis menatap istri kecilnya itu. Dengan gerakan lamban, Jean mendekati dan berjongkok didepan Odelia. Satu cengkraman kasar menangkap dagu Odelia. Jean menekan bagian itu dengan kekuatan sampai membuat Odelia mengeluarkan ringisannya.
"Atas dasar apa kau memberikan perintah? Kau pikir kau siapa, Jalang? Harusnya aku yang mengatakannya!" Jean berteriak didepan wajah Odelia. Namun kali ini wanita itu tak menunduk. Sepasang intan hitam terang miliknya memandang Jean dengan tekad bulat.
"Aku mencintaimu. Tidakkah cukup itu dijadikan sebuah alasan?"
Satu tarikan mengakhiri semuanya. Jean mendekap tubuh mungil itu masuk ke dalam dadanya dan mencium bibir penuh milik Odelia dengan keras. Laki-laki itu membimbing tubuh kecil istrinya berjalan mundur ke arah ranjang yang biasa ia tempati. Suara intim yang berasal dari keduanya mengisi ruangan luas ini. Tak ada yang mau berhenti, keduanya terlalu terhanyut dalam pusara gairah yang selama ini tertahan.
Ketika Jean memutuskan untuk menghentikannya, kedua mata elang miliknya menatap ke wajah merah milik istrinya. Tubuh keduanya sudah polos, telanjang tanpa rasa malu satu sama lainnya. Mata elang milik laki-laki itu memandang Odelia yang terengah dibawahnya dengan penu gairah.
"Kupastikan kau akan memohon untuk berhenti. Kau tidak pantas mencintaiku. Kau tidak akan pernah pantas, Jalang!"
"Setiap darah yang mengalir dalam tubuhku adalah hal yang patut kusyukuri dan ketika aku meragu, kusebut namamu dalam hatiku dengan detak jantungku."Sepasang mata bulat yang tertutup itu terlelap, mengikuti dengkuran halus yang tak berbunyi milik sang wanita. Napasnya bergerak teratur dengan sendirinya kala udara yang berhembus disekitarnya masuk ke dalam paru-parunya, mengisi rongga terpenting dalam dirinya. Posisinya yang tidur menyamping membuat sosok yang kini juga berada disampingnya memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama dan bulat.Seorang laki-laki nampak serius memperhatikan bagaimana rupa wanita itu saat tertidur. Ekor matanya tak pernah lepas dari wajah tentram milik wanita yang masih terlelap dalam keadaan telanjang disampingnya. Sesekali, laki-laki itu menjalankan jarinya disekitar wajah wanita itu, lalu menariknya kembali dengan terkejut.Terkejut?Tentu saja ia terkejut.
"Keisenganku berubah menjadi rasa keingintahuan yang tinggi. Kalian bersembunyi, maka aku akan mencari."Seorang wanita berambut panjang kini tengah terduduk disalah satu meja di salah satu cafe, yang letaknya berada didalam pusat kota. Hingar bingar ibukota yang mencekam seolah menjadi titik dimana dirinya harus menyembunyikan diri. Sembari menyerumpun kopi hangatnya, dari balik kacamata hitam bermereknya, wanita itu menyebarkan pandangannya, terutama pada sisi pintu masuk cafe. Ia tengah menunggu seseorang, hingga rasanya ia hampir mati kebosanan."Sialan kau Marko.. bisa-bisanya kau membuatku menunggu nyaris satu jam" geramnya penuh emosi. Wanita itu mengeram marah lantaran sosok yang saat ini tengah ditunggunya melanggar janjinya. Laki-laki itu semula mengabulkan permintaannya untuk bertemu tepat di pukul 11 siang. Namun hingga jarum jam menyentuh menit ke 30, laki-laki itu pun tak kunjung muncul.Tak lam
"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka.""Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikena
"Melupakanmu mungkin adalah satu hal yang paling kuinginkan. Alih-alih menerima hantaman yang membuatku amnesia, kenangan bersamamu kembali menyentak ruang ketenanganku."Seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau yang membalut tubuh kurusnya, nampak berdiri didepan balkon. Kedua mata wanita itu terarah pada sinar rembulan yang malam ini bersinar begitu terang. Helaian rambutnya bergerak sesaat, mengikuti arah angin yang menerpa sisi wajahnya yang dibiarkan begitu saja berada dalam dinginnya angin malam ini.Adela.Wanita itu biasa akan terpanggil ketika mana itu disebut. Entah sudah berapa lama ia tak lagi mengingat dari mana asal nama itu. Ia terlalu menikmati hidupnya saat ini. Bahagia, berada dalam rumah yang mewah, dikelilingi oleh harta dan orang yang begitu mencintainya, dan juga Adela memiliki tempat berpulang saat ini. Wanita itu tak lagi
“Perpisahan menetes di pipimu seperti darahBibirmu bergetar, bertanya mengapa semua ini sangat menyedihkanJangan, jangan datang padaku dengan wajah seperti ituPergilah tinggalkan aku”Di sebuah ruangan yang gelap, hanya berukuran kecil, seorang wanita paruh baya terduduk didalamnya. Tatapannya kosong menatap kedepan, mengesampingkan kewarasan yang dimilikinya. Rambutnya yang tak tertata jelas dan baju daster kusam membalut tubuh kurusnya yang nyaris menyerupai tulang.. Terdapat keriput-keriput di pipinya. Jika orang lain melihatnya, ia akan dianggap orang tak waras. Bibir pucatnya sedari tadi hanya menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Namun sebuah nama tak sengaja tercelos dari bibirnya.Tak lama sosok wanita dengan pakaian mahalnya masuk ke
“Perasaan ini sangat menyesakkan dan yang kutahu, keinginan terbesarku adalah dengan menghancurkanmu”Seorang anak laki-laki berlari diatas rerumputan yang terletak dibelakang pekarangan rumahnya. Langkah kakinya yang riang berlari mengikuti arah kupu-kupu yang berterbangan seolah meminta untuk dikejar. Dibelakangnya, seorang balita mungil mengikuti langkah sang kakak. Suara tawa mereka yang riang terdengar seluruh pekarangan hingga membuat kedua pengasuh yang menjaga mereka ikut tertawa melihatnya. “Kakak...” balita perempuan yang manis dengan baju baby doll mungil berwarna peach itu mengerucutkan bibir tipisnya lantaran kakinya tak sampai mengejar langkah sang kakak. Ia pun menjatuhkan kedua bokong mungilnya diatas rerumputan dan memilih untuk duduk disana.Anak laki-laki yan
"Ada seribu macam pertanyaan yang bisa tersampaikan dengan baik, namun tak semua memiliki jawaban yang pantas.”“Duduklah disana.”Martha, wanita berambut pirang kemerahan itu menunjuk sofa panjang berwarna merah yang terbuat dari bludru mahal miliknya. Salah satu barang mewah yang berada didalam apartemen milik wanita cantik itu. Wanita itu menunjuk kearah benda itu untuk memberitahu sosok yang kini tengah mengekorinya.Seorang wanita paruh baya yang berjalan dibelakang Martha dengan tatapan menyelidik. Mata besar yang memiliki intan berwarna hijau pekat itu memperhatikan dengan seksama detail mewah dari ruangan yang ia tahu akan menampungnya sampai dirinya bertemu de
"Dari mata turun ke hati, begitu kata yang selalu mereka ucapkan.”“Brengsek kau, Odelia!” Umpat Jean sebelum mengayunkan tangannya ke arah Odelia. Suara umpatan kasar lelaki itu terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya dan pasti menganggap bahwa laki-laki itu akan melancarkan serangan kekasarannya lagi kepada Odelia.Wanita itu tak sanggup lagi membuka kedua matanya yang sudah tertutup entah sejak kapan. Napasnya sendiri tak terasa saat ia mencoba untuk bernapas, ia takut. Pada detik berikutnya mungkin ia akan terluka. Laki-laki itu pasti akan melukainya. Begitu yang pasti terjadi. Odelia memilih mengubur kesedihannya dalam kegelapan. Ia tak mau melihat Jean yang kasar. Ia tak mau
Sepasang intan hitam milik seorang wanita nampak memandangi pantulan bayangan yang ada dicermin. Matanya penuh binar kebahagiaan saat memperhatikan betapa indahnya bayangan yang ada disana. Ia nyaris tak mempercayai bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Rambutnya yang memiliki panjang hampir menutupi punggungnya sengaja digerai dan membentuk sebuah ikal yang semakin mempermanis penampilannya. Diatas kepalanya terdapat rangkaian bunga bermacam warna yang melingkarinya. Riasan wajahnya hari ini pun tak terlalu mencolok. Wanita itu memang sengaja meminta pada penata riasnya untuk tidak terlalu menor mendandaninya. Ia tidak ingin terlihat seperti badut pesta nanti.Dalam balutan gaun pengantin panjang tanpa lengan, wanita itu memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Hal yang selalu ditutupinya itu kini dipamerkan karena permintaan seseorang yang melarangnya keras untuk menutupinya.Odelia memiliki aset yang menganggumkan, begitu kata Clara. Wanita itu, sebentar lagi dalam
ODELIAPria itu duduk tenang di depannya sambil menyantap makanan yang baru saja dipesannya. Ada rasa keengganan ketika aku menatap ke dalam isi piringku. Makanan ini aneh. Aku tak terbiasa dengan makanan kelas atas. Hanya sayur dan tempe saja sebenarnya sudah membuatku kenyang dari pada sebuah makana dengan irisan daging yang hanya memiliki porsi setengah dari porsiku. Sebenarnya, melihatnya saja aku sudah tak lagi selera. Bukan hanya karena makanannya, melainkan karena pria yang menatapku lebih sering dari pada makanannya itu.Jean sengaja menyeretku masuk ke dalam restoran mewah yang entah berada dimana. Restoran yang memiliki kata yang aneh itu memang terlihat tak begitu ramah, namun memiliki suasana mewah untuk kumasuki. Hanya bermodalkan kaos dan celana jeans berlutut robek, serta sepatu kets usang yang selalu menjadi seragam wajib, kini aku terlihat seperti badut. Semua yang ada disana dan menikmati hidangan sorenya berpakaian formal. E
JEAN“Jadi, Ayahku sekarang berada di flat kecil yang kau sebutkan tadi?”Aku tak bisa menahan amarahku saat kudengar ayahku, Yonash memilih untuk melarikan diri dari rumah kami dan tinggal di rumah kecil di pinggiran kota itu. Bahkan, aku tak bisa mengira bagaimana pria tua itu hidup melarat seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat merencanakan usaha pelariannya itu disaat kami semua sedang tertidur. Andai saja Grace, nenek kami masih di Indonesia mungkin Ayah kami tak berani untuk melakukannya.“Jadi, bagaimana kak?” Tanya seorang wanita bermata hijau dibelakangku. Ai terus berdiri ditempatnya semula meski aku sudah memunggunginya cukup lama. Clara, adik bungsuku tak biasanya betah berlama-lama berada di ruangan kerjaku. Wanita itu selalu bilang bahwa tempat ini bagaikan sampah dengan kertas-kertas menumpuk yang tak sedang dipandang. Namun kali ini wanita itu mampu bertahan lebih dari setengah jam b
ODELIAKupandangi sepasang sepatu kusam kets-ku ini. Langkahku membawa sejuta harapan bahwa hari ini aku masih bisa bernapas dengan tenang di ibukota ini. Langkah yang beriringan denganku terasa seperti sebuah iklan yang melintas begitu saja di halte bus bersamaku pagi ini.Senin pagi. Semua orang setidaknya memiliki satu hingga dua keinginan untuk memulai pertama disetiap minggunya. Hari yang paling sering kuamati begitu pada dengan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalanan. Tanpa henti membuat suara bising yang mampu memekakkan telinga.Aku mendaratkan bokongku tepat disalah besi yang berbentuk persegi panjang. Besi berkarat yang memiliki bau agak amis. Entah apa fungsi dari besi tersebut. Seharusnya lebih baik menggunakan bangku atau apapun itu bila berniat untuk dijadikan sebuah tempat duduk. Namun sebagian dari mereka yang bernasib sama sepertiku terpaksa menggunakannya untuk mendudukkan diri.Sembari menunggu bus yang
Jika akhirnya kehidupanku nkembali berputar seperti roda, aku akan membuat persiapan ketika harusnya aku berada di bawah. Hatiku akan siap ketika suatu saat kehilangan segalanya.Seorang wanita berpakaian hitam tampak berjalan di sekitaran kompleks pemakaman. Langkahnya penuh kehati-hatian kala melintasi beberapa susun gundukkan tanah yang ada disana. Cuaca yang tak begitu terik menjadi keputusanya untuk berpakaian gelap dann juga mengenakann sebuah topi yang hampir menutupinya dari sinar matahari siang. Ditangannya sebuah bunga telah siap untuk disembahkan kepada yang tercinta, yang kini telah menyatu dengan tanah. Sejujurnya langkah pelannya bukan karena dirinya takut sepatu mahal yang dikenakannya terkena kotoran, namun dadanya berdentum seperti ingin meledakkan dirinya. Hatinya nyeri kala ia melihat sosok tercinta itu menyatu dengan tanah, dan takkan bisa be
Tak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk memilikimu seutuhnya. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu.Malam itu suasana benar-benar mencekam. Kabut dingin yang menyelimuti jalan ditengah hutan yang lebat menjadi sangat menyeramkan. Membuat dentuman aneh didalam dada kala sengatan hawa dingin yang sangat kerasa malam itu. Tengah malam yang semakin meredupkan sinar membutakan siapa saja yang berani menembus jalan gelap itu. hanya sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan seadanya, membelah jalan yang penuh kabut itu. lampu sorot mobil menjadi satu tumpuan mereka untuk sampai ke tempat yang akan mereka singgahi.Bukan hanya singgah, mereka akan sedikit lama berada disana, karena suatu hal."Apakah wanita itu bisa dipercaya?"
Aku akan mengambil apa yang sebelumnya telah kukatakan bahwa itu semua adalah milikku. Kalian yang berani mencegahnya takkan pernah kubiarkan untuk keluar dari lingkaran yang telahkubuat."Kau benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan kau melakukan ini semua?"Riska, wanita yang kini tengah memegang pisau lipat yang telah ternodai oleh darah itu tak menghiraukan makian yang sejak beberapa hari lalu dikeluarkan oleh kakaknya, Reanna. Dalam kondisi terikat, Rea terus melakukan perlawanan terhadap adiknya itu. tak disangkanya jika Riska bisa berbuat sejauh ini. Tak pernah ada bayangan menyeramkan yang seperti sekarang didalam kepalanya.Entah telah hilang kemana sosok adik kecilnya yang manis dan tak
Merasakan pengalaman pertama yang tak terduga. Hatiku membuncah. Genggaman manis dari jari mungilnya berhasil menggetarkan sesuatu didalam dadaku. Rasanya sesak, seperti sebuah kebahagiaan yang akan meledak.Attar syah Rahardi.Aleana Salma Rahardi.Bayi gempal yang kini menggeliat diatas tempat tidur mungil berbentuk kotak itu menjadi salah satu objek yang menarik perhatian kedua orang yang berdiri dari balik kaca jendela ruangan tersebut. Kedua bayi berwajah merah itu sesekali bersuara khas bayi yang menggemaskan. Keduanya sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari bayi-bayi mungil yang berwajah hampir serupa itu.Tak ada yang lebih menggetarkan dari apapun selain melihat kedua wajah itu,
Lahirkanmereka. Aku akan berjuang untukmelindungimudan anak-anak kita. Jangan takut, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."Lia, aku mohon buka pintu sialan ini! biarkan aku bicara padamu." Tak lama terdengar suara Jean yang berteriak menggedor pintu kamarnya. Mungkin pria itu sedikit terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba saja mengunci kamarnya, karena tak biasanya ia mengunci kamarnya."Aku manusia, Jean. Aku bisa saja sakit hati." Lirihnya pelan. Sepertinya hanya dua kalimat itu yang mampu mewakili semua perasaannya.Tak lama, Odelia merasakan ada rasa nyeri yang melanda perutnya. Tanpa bersuara, ia terus mengelus perutnya. Ia tak tahu mengapa, sejak beberap