Aku dan hidupku, siapa yang tahu bahwa nyatanya kehidupanku tak seindah novella roman yang sering kubaca. Jauh dari itu semua, kehidupanku tak akan pernah baik-baik saja.
Hamparan langit biru yang cerah terpampang nyata menghiasi langit di pagi hari itu. suara kicauan burung menjadi musik pengiring pagi disalah satu rumah megah yang terbangun diantara deretan rumah yang lainnya. Bangunan itu nampak sunyi, bersembunyi dibalik kemegahannya. Tak pernah ada yang tahu bagaimana isi didalamnya. Tatapan yang melintas didepan bangunan itu hanya bisa berdecak kagum memandangi keindahan rumah dengan pilar kokoh bak istana. Bangunan yang paling besar dan mewah dari pada bangunan lainnya.
Namun tak pernah ada yang mengira apakah yang terjadi didalam sana. Tak pernah ada yang ingin tahu apa saja yang tengah terjadi didalam sana selain kemegahan yang menutupinya. Mereka hanya berpikir bahwa disana adalah tempat tinggal orang-orang kelas atas, yang memiliki banyak uang dan kekuasaan.
Ya, kekuasaan.
"Odelia!" suara seorang lelaki menggema diseluruh penjuru ruangan memanggil nama yang tak kunjung datang menyahuti panggilannya. Laki-laki dengan pakaian kantor miliknya nampak menuruni tangga dengan wajah marah. Rahang tegas miliknya menegang saat menemukan hal yang tak disukainya pagi ini.
Odelia.
Harusnya wanita itu ada disana. Harusnya wanita itu sudah bersiap, menyiapkan semua keperluannya pagi ini.
"Odelia!" langkah kaki milik lelaki itu berjalan menuju semua pintu yang dilihatnya. Membantingnya dengan debuman yang keras. Namun emosinya semakin memuncak kala tak menemukan sosok yang dicarinya sejak tadi pagi. Tak biasanya wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya hingga waktu yang menunjukkan hampir mendekati siang.
"Odelia! Sialan! Kemana wanita ini?" makian terus dilontarkan lelaki itu ketika waktu semakin mendesaknya untuk menemukan wanita itu. Akan tetapi, hingga beberapa menit mencari, tak kunjung ditemukannya wanita itu.
Di salah satu kamar, yang letaknya berada jauh dari tempat dimana laki-laki itu mencarinya, sosok wanita bernama Odelia meringkuk diatas tempat tidur miliknya. Tubuh wanita itu bergetar, ia memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya disana. didalam ruangan kecil, yang hanya diterangi oleh cahaya yang mengintip masuk melalui jendela kecil, menjadi saksi bisu dimana wanita itu kini berada.
Ia takut. Seluruh tubuhnya menginginkannya untuk segera lari dari tempat ini. Hanya saja kedua kakinya sulit untuk digerakkan. Setiap gerakan yang ia lakukan, wanita itu harus menahan sakit yang amat mendalam pada luka yang bersarang disana. Beberapa bekas luka cambukan yang masih belum pulih hingga detik ini.
Seluruh tubuhnya bergetar saat mendengar lengkingan suara dari laki-laki yang masih meneriakinya. Ia ingin menulikan telinganya, tapi ia takut. Lelaki itu bisa saja menemukannya dan menumpahkan semua amarahnya kembali padanya. Lagi.
"Odelia!"
Gaungan suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya. Kedua tangan wanita itu terangkat menutup kedua sisi kepalanya. Menutup jalur masuknya gelombang suara itu ke telinganya. Keterlanjangan ini begitu menyiksanya.
Wanita itu terisak kala rasa takut semakin menyeruak ke dalam sudut hatinya. Tangan-tangan kurus itu sampai mencengkram rambutnya yang sudah tak beraturan. Pergelangan tangan yang penuh luka, hanya itulah yang bisa digunakannya untuk lari dari kenyataan. Matanya tertutup, menolak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suara pintu terbuka dengan kasar memecahkan keheningan didalam ruangan sempit itu. Disana, laki-laki yang sejak tadi meneriakkan nama "Odelia" tersenyum menyeringai. Napasnya tersengal, namun tak menyembunyikan kemarahan yang terpendam pada wanita itu.
"Jadi, disini tempat kau bersembunyi, Jalang?"
Odelia, wanita itu meringsut ketakutan. Dengan tangan lemah itu, Odelia berusaha meraih apapun agar menutupinya dari lelaki yang kini tengah berjalan ke arahnya. Ia mencengkram selimut tipis dan menutupi tubuhnya yang penuh luka dengan benda itu. ia tak ingin laki-laki itu mendekat. Ia tak ingin laki-laki itu menyentuhnya. Ia ketakutan. Ia tak mau merasakan sakit ini lagi.
Tubuhnya sakit, hatinya pun telah hancur.
"Wah, ada apa sayang? Kelihatannya kau begitu takut padaku." senyum mengejek terlihat dari bibir tipis milik laki-laki itu saat menyadari ketakutan melanda Odelia. Hatinya senang, wanita itu menderita saat ini. Semua luka yang ada ditubuhnya membuatnya yakin jika saat ini Odelia tengah kesakitan. Dan, ia tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini.
Saat sampai didepan tempat tidur Odelia, laki-laki itu merangkak naik ke atas sana. Senyuman jahat pun tak pernah dilepaskannya saat memandang wajah pias milik Odelia yang ketakutan dengan kehadirannya. Tak peduli seberapa malangnya wanita itu, ia puas bisa melampiaskan semuanya pada wanita itu.
Wanita yang harus dibencinya.
"J-Jangan! Jangan dekati aku!" Odelia menutup wajahnya ketakutan. Ia ingin meringsut lebih jauh lagi, menjauhi laki-laki ini. Hanya saja punggungnya sudah tak bisa lagi membuat jarak. Ia sudah terjepit dan laki-laki itu takkan mungkin mengampuninya saat ini. Kesakitan pasti akan datang kembali padanya.
Tangan laki-laki itu terangkat, mengurai emosi yang tertahan selama beberapa saat tadi, disaat ia tak menemukan sosok wanita ini ditempat yang sudah seharusnya. Dicengkramnya surai hitam milik Odelia dengan kekuatan penuh sebelum akhirnya menyeret wanita itu hingga bangkit dari tempat tersembunyiannya.
Tanpa belas kasihan, laki-laki itu memaksa Odelia untuk mendongak. Menatapnya dengan wajah penuh air mata. Tak terbesit sedikit pun perasaan kasihan saat memandangi wajah penuh lebam itu. Takkan tergerak hatinya mendengar isakan kecil, memintanya untuk melepaskan cengkraman dari rambutnya.
Odelia menderita, itulah keinginannya.
"Kau berani membantahku, maka kau akan merasakan akibatnya." Laki-laki itu menggantung suaranya dan mendekatkan tubuh Odelia. Merengkuh seperti ingin meremukkan tubuh lemah wanita itu dalam pelukannya. Bibirnya yang tepat berada disamping telinga wanita itu berbisik. Bisikkan yang membuat Odelia tak mampu lagi berkata-kata.
"Kau. Akan kubuat kau hidup bagaikan di neraka, istriku."
Dibalik punggung lelaki itu, wajah Odelia berubah pias. Ia sudah pasrah, laki-laki itu takkan pernah mengampuninya. Odelia tahu, seberapa besar keinginannya untuk meluluhkan hati suaminya itu, Jean takkan pernah membalas perasaannya. Jean hanya ingin melukainya. Menorehkan bekas parah yang takkan pernah bisa ia sembuhkan.
Tak ada Jean miliknya yang lembut, merengkuhnya saat dirinya terjatuh dalam kesedihan.
Tak ada Jean miliknya yang akan membawanya berbicara dari hati ke hati seperti dahulu.
Sekarang, Jean yang ingin menghancurkannya adalah sosok monster yang menginginkan kematiannya. Laki-laki yang bersuka rela melenyapkan nyawanya kapan saja.
Namun, seberapa banyak luka yang laki-laki itu tinggalkan, perasaan Odelia takkan pernah berubah. Robekan dihatinya takkan pernah bisa menyentuh palung terdalam perasaannya. Rasa yang takkan pernah berubah hingga detik dimana ia menyadari bahwa takkan ada cinta untuknya dihati Jean.
Dan selamanya ia akan terus mencintai suaminya, Jean.
"Apakah kau pernah mendengar kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya sendiri?"
Laki-laki dengan pakaian jas putih khas dokter itu nyaris tergelak saat mendengar suara Jean yang bertanya padanya. Ingin rasanya ia menertawakan laki-laki itu karena pertanyaan anehnya, tapi melihat ke arah wajahnya yang nampak tak ingin dibantah, laki-laki itu pun memilih jalan aman. Diam dan mendengarkannya saja.
Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan sahabat lamanya saat berkuliah di Jerman, yang tiba-tiba mengajaknya untuk bertemu. Bahkan Jean sampai rela menyinggahi tempat kerjanya, di rumah sakit. Dan dari apa yang sudah didengarnya dari Clara, mungkin saja saat ini sahabatnya itu sedang berada dalam masalah. Raut wajah Jean pagi ini menjelaskan semua padanya.
"Tak ada istilah pemerkosaan pada kehidupan rumah tangga, Jean. Kalian menikah, sudah pasti semua itu berjalan dengan semestinya."
Rian, laki-laki itu tahu harusnya kalimat itu tak tepat dialamatkan pada Jean. Sudah bukan rahasia pribadi lagi kalau Jean tak menghendaki pernikahannya. Laki-laki itu dengan terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada sosok wanita yang kini menjadi istrinya. bahkan Jean selalu meminta pil pencegah kehamilan padanya selama beberapa bulan setelah pernikahannya berlangsung. Setiap kali Rian mencoba bertanya, Jean hanya mengatakan bahwa ia tak siap untuk menjadi seorang ayah. Tidak sampai ia bisa benar-benar mencintai istrinya.
"Aku tak pernah mencintainya." Tegas Jean. Namun suara laki-laki itu penuh keraguan. Wajah pria blaseran itu hanya terunduk murung, menolak menatap kedua mata Rian yang kini sedang mengamatinya.
"Apakah kau yakin?" Rian menggenggam botol bening yang berisikan beberapa butir pil berwarna kuning. Pil yang biasa digunakan Jean untuk mencegah adalah kehamilan dalam rumah tangganya. Ia sangsi jika perkataan Jean akan selalu sama setiap bulannya. Memang pada awalnya, Jean memperlihatkan keyakinan bahwa ia takkan jatuh pada pesona istrinya sendiri. Namun entah mengapa yang dilihat Rian semakin lama semakin bertolak belakang. Sedikit keraguan terpancar saat Jean menyatakan perasaannya pada pernikahan ini.
"Jean, kau bisa memulai untuk jujur terlebih dahulu. Dia bukan Martha. Wanita itu sudah menjadi istrimu, sudah pasti dia akan menjadi milikmu."
"Dia memang bukanlah Martha, Jadi aku tak bisa mencintainya." Sergah Jean cepat. Laki-laki bertubuh tegap itu mengambil paksa botol yang ada dalam genggaman Rian.
"Jika kau memperlakukan wanita selayaknya Ratu, maka wanita akan memperlakukanmu selayaknya seorang Raja."
Jean mendengus pelan. Tangan besar laki-laki itu membuka satu kancing jas hitam miliknya dan kembali duduk bersandar setelah mengantongi botol pil itu. Masih dengan tatapan yang sama, Jean enggan untuk menatap Rian secara langsung.
"Ada hal yang telah kulakukan, lebih buruk dari itu."
Kedua alis Rian bertaut sempurna. Ucapan Jean yang baru saja terlontar menyentaknya. Ia yakin ekspresi itu sebelumnya tak pernah ia harapkan. Namun Jean merubah raut wajahnya. Penuh maksud yang ia yakin takkan baik.
"Apakah pertanyaanmu tadi memiliki hubungan dengan semua ini, Jean?"
Wajah Rian menegang saat menyadari pengakuan tak langsung yang dilakukan Jean. Ia berharap apa yang dipikirkannya tak menjadi kenyataan. Ia tahu Jean. Laki-laki itu takkan pernah tega menyakiti siapapun, apalagi wanita. Jean sangat menghormati dan menjunjung tinggi derajat wanita. Sama seperti halnya Jean memperlakukan Clara dan juga Martha.
Jean bangkit. Setelah keinginannya untuk mengambil barang yang ia cari, tak ada gunanya lagi ia berada disini. Semakin lama berada satu ruangan dengan Rian, bisa membuatnya berdebat dengan laki-laki itu. Ia cukup sadar jika Rian mulai mengendus ada ketidakberesan padanya, dan Jean harus segera mengakhiri ini.
"Tidak ada. Aku hanya iseng bertanya. Lagi pula,"
Jean berjalan ke arah pintu. Namun laki-laki itu tak langsung keluar. Jean menahan dirinya sebentar untuk mengucapkan beberapa kata pada Rian. Jean membuat wajahnya sedatar mungkin saat bertatapan dengan Rian. Kali ini laki-laki itu menatap mata pria itu langsung. Ia tak ingin Rian terlibat dalam masalah ini.
Ini hanyalah masalah dirinya, Odelia dan masa lalu.
Rian tak perlu menambah daftar peran dalam rencananya. Menghancurkan wanita itu adalah keinginannya. Ia ingin mengakhiri kisah menyedihkan ini dengan kehancurkan Odelia. Takkan pernah ia membiarkan orang lain berusaha menghalangi jalannya. Meski itu kerabat dekatnya sendiri.
"Tak ada satu pun wanita di dunia ini yang akan bertahan dengan laki-laki yang menyiksanya."
Tidak, selain Odelia.
"Kau harus tahu, Jean." Rian berkata. Dokter itu keluar dari sisi meja kerjanya dan berjalan menghampiri sahabatnya. Tangannya terangkat, merengkuh pundak pria itu. bukan dalam bentuk dukungan, hanya kepastian bahwa Jean tak salah mengambil pilihan apapun itu.
"Penyesalan selalu datang terlambat. Jangan sampai kau menyesali apa yang kau perbuat saat ini, meskipun aku tahu kau sudah mengetahui segala resikonya. Kau terlalu mudah kutebak."
Jean bergeming. Laki-laki itu lebih memilih memandangi kedua sepatu miliknya. Kilauan sepatu hitam itu memantulkan bayangan wajahnya. Disana, terlihat sosok yang menyerupai dirinya. Wajah yang muram dan tak yakin dengan apa yang sekarang ia lakukan.
Pikirannya bertekad, namun hatinya meragu.
Setelah setahun berlalu, benarkah ia sudah merasa puas?
Setahun, dua belas bulan, tiga ratus enam puluh lima hari ia telah melakukan semuanya. Sungguh, tidakkah ada yang berubah?
"Tak ada yang perlu kusesali."
Jean berjalan keluar dari ruangan Rian. Langkahnya yang lebar diiringi oleh tatapan Rian yang mengiba kepadanya. Sedikit banyak Rian mengetahui bagaimana kehidupan Jean sebelum ini. Lelaki itu memiliki catatan masa lalu yang buruk. Jean jarang memiliki orang terdekat disisinya. Lelaki itu terbiasa hidup dengan keburukan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya.
"Kuharap kau tak salah langkah, Jean."
Di dalam sebuah kamar yang luas, Seorang wanita tergeletak tak berada diatas lantai. Hanya dengan berbalut selimut, wanita itu tak berada diatas lantai kayu yang dingin. Entah sudah berapa jam ia bertahan pada posisi seperti ini. Bukannya ia kuat menahannya. Diatas lantai kayu yang dingin, tanpa sehelai benang selain selimut yang menutupi tubuhnya, Odelia tentu saja takkan kuat menahannya.
Hanya saja..
Ia tak mampu menggerakan tubuhnya. Semuanya terasa sangat nyeri. Setiap kali ia berusaha mengubah posisinya yang teraring miring menjadi terlentang, rasanya seperti ada salah satu tulang yang mulai bergeser dari tempatnya. Entah sudah berapa pagi yang telah ia lewati selama ini dalam kondisi yang sama. Ia tak mampu menghitungnya lagi. Odelia sudah terlalu terbiasa dengan semua ini. Bukan pagi baginya apabila ia tak berakhir dengan kondisi seperti ini.Ditatapnya pergelangan tangan kirinya yang semakin memar karena perbuatan lelaki itu. Jean takkan mau berbaik hati membiarkannya tertinggal dalam kedamaian. Lelaki itu tak sudi membiarkannya terlelap karena kelelahan. Jean selalu meninggalkan bekas, untuk membuatnya kesakitan.
Jean.
Suaminya.
Odelia takkan pernah melupakan pria iru barang sedetik saja. kehadiran Jean menjadi detik dalam setiap detak jantungnya. Kehidupannya bergantung kepada pria itu. Bukan saja dalam hal keuangan, Odelia telah menggantungkan jiwanya pada Jean.
Sebut saja dirinya bodoh, Odelia tak peduli. Ia sudah tak bisa menganggap yang lainnya selain Jean. Bahkan ia pun sudah melupakan Yonash dan juga Clara yang harusnya ia selalu ingat sebagai sebuah keluarga. Hanya Jean. Benaknya dipenuhi oleh eksistensi pria itu.
Odelia begitu mencintai Jean. Ia bahkan tak bisa membedakan yang mana rasa sakit dan rasa kasih jika bersama Jean. Ia sudah terlalu kebal terhadap semua kesakitan yang diberikan oleh lelaki itu. Baginya asalkan bersama Jean, Odelia merasa hidup. Meski Odelia harus mengorbankan dirinya hanya untuk lelaki itu.
Ia bodoh. Wanita bodoh.
Harusnya Odelia bisa saja melarikan diri. Bisa saja ia melaporkan Jean atas tindak kriminal yang dilakukannya. Namun ia tak sanggup. Cintanya pada Jean terlalu besar. Hanya sedikit kebaikan yang ditunjukkan oleh pria itu, maka ia akan merasa dicintai. Jean adalah hidupnya, tak perlu ia ulang kembali karena Odelia sudah menghapalkan hal itu didalam kepalanya.
Suara pintu terbuka memecah keheningan. Disana munculah sosok pria yang sejak tadi melintas dibenaknya. Jean dengan penampilannya yang segar tengah berdiri disana. Memandangi Odelia dengan raut wajah datar.
"Kau sudah bangun?"
Odelia mengangguk pelan. Ia tahu pertanyaan itu bukanlah karena maksud Jean mengkhawatirkannya. Laki-laki itu hanya memastikan kesadarannya yang sudah pulih. Odelia tahu Jean takkan pernah sebaik itu kepadanya.
Jean menurunkan tubuhnya. Dengan lutut yang menopang berat tubuhnya, Jean merunduk. Mata coklat terang miliknya menelusuri setiap sudut wajah Odelia yang terlihat memar karena ulahnya beberapa saat yang lalu. Matanya sendu membayangkan betapa menyakitkannya luka itu jika saja ia yang mengalaminya. Namun mengapa wanita itu begitu kuat menahan segala perilaku buruk yang dilakukannya. Terbuat dari apa hati wanita ini. Mengapa Odelia tak kunjung pergi meninggalkannya.
"Kau, Mau sampai kapan bertahan?" Jean berbisik. Suara bariton pria itu begitu kentara ditengah desisan udara yang bahkan hampir tak terdengar disekitar mereka.
Odelia tak mampu menjawab. Sudah ratusan kali Jean menanyakan hal yang sama, namun ia masih tak sanggup menemukan jawaban yang tepat untuk itu. Ia masih akan menjawab bahwa ia bertahan karena mencintai pria itu. Tentu, Jean takkan menerima alasan konyol itu. Jean dengan segala kerealistisannya hanya berpikir bahwa takkan ada wanita yang sanggup bertahan meskipun tersakiti.
"Aku tak bisa menjawab hal yang lain." Suara Odelia nyaris tak terdengar. Suara itu lemah mengikuti laju udara yang bergerak disekitarnya. "Kenapa kau tak mengakhiri ini, Jean?"
Rahang pria itu menegang. Jean terdiam dengan emosi yang mulai memuncak. Dicengkramnya rahang wanita itu hingga membuat Odelia meringis kesakitan. Kedua mata coklat terang itu dengan jelas memancarkan perasaan marah pada Odelia. Tak peduli seberapa kasarnya ia pada wanita yang merupakan istrinya itu.
"Ada banyak alasan mengapa aku melakukannya."
Ya, sangat banyak. Odelia takkan pernah mengerti jika wanita itu tak pernah hidup di posisinya. Semua penghinaan dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Apalagi saat mengetahui bahwa wanita itu adalah orang yang sangat ingin ia hancurkan.
"K-Katakan."
Jean semakin menarik rahang Odelia mendekat ke arahnya. Kedua mata mereka pun kini semakin tak berjarak, membuat Odelia mampu melihat tatapan marah sekaligus terluka milik Jean yang mengarah kepadanya.
"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."
Perasaan yang paling menyakitkan adalah ketika kau tak bisa memiliki sesuatu yang paling kau inginkan. Tapi, hal yang paling sulit diterima adalah menghadapi kenyataan bahwa orang yang kau cintai adalah orang yang bertanggung jawab atas kesakitan itu."Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."Sepasang mata hitam memandangnya tajam. Menusuk, seolah ingin benar-benar melukai hatinya. Tak ada dusta disana. semuanya terdengar nyata saat ini. Ingin rasanya ia membelai wajah itu, namun apa jadinya jika itu sampai ia lakukan. Jean takkan pernah membiarkannya menyentuh sejengkal tubuh miliknya. Laki-laki itu akan menepis kuat rasa kasih yang berusaha ia sampaikan meski hanya dengan kata-kata.Kini ia tahu mengapa dahulu ibunya begitu mencintai ayahnya. Ia mengerti posisi itu. Sampai disaat ay
Mencoba bertahan di atas puing, cinta yang telah rapuh. Apa yang kugenggam, tak mudah untuk aku lepaskan.Sepasang mata teduh itu memandangi rerumputan hijau yang ada didepannya. Suara cicitan burung sesekali terdengar kala ia mencoba untuk kembali tersadar dari lamunannya. Angin yang berhembus sedikit tenang mampu membawa alam tidurnya menjemput ditengah siang hari yang tak begitu terik. Justru siang ini ia merasa bahwa matahari sengaja menutupi sinarnya agar tak menyengat siapapun yang ada dibawahnya. Di taman belakang pekarangan rumahnya, sosok itu memilih terduduk dibawah langit-langit yang seolah tengah menatapnya. Meratapi bagaimana wujud wanita itu yang masih terdiam tak bergerak.Sosok itu, Odelia hanya bergeming dalam kesendiriannya. Tatapan palsunya tak benar-benar memandang objek yang ada dihadapannya. Pikirannya melayang, berada jauh ditempat yang sama sekali ta bisa ia jamah. Ia ingin mengatakan bahwa ia merindu
"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."Langit gelap menyelimuti kota Jakarta. Tepat pukul sebelas malam, lalu lintas di jalan raya perlahan mulai mumudar. Lampu-lampu jalanan serta iklan yang terpasang disetiap sudut jalan menjadi penerang bagi setiap pengemudi yang melintasi jalanan tersebut. Malam yang sunyi dan kelam, menyembunyikan setiap asa yang menguap pada terang hari. menyelimuti kalbu yang gelisah.Sebuah mobil sedan pendek memutar kemudinya ke arah rumah tak berpagar bergaya minimalis moderen, yang berderet dengan rumah-rumah yang memiliki jenis yang sama. Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti disalah satu rumah yang nampak sepi dan lengang. Sosok lelaki yang berada dibalik kemudi itu memperhatikan dengan seksama bangunan yang telah ia kenali selama setahun belakangan ini. Mata elang
"Setiap darah yang mengalir dalam tubuhku adalah hal yang patut kusyukuri dan ketika aku meragu, kusebut namamu dalam hatiku dengan detak jantungku."Sepasang mata bulat yang tertutup itu terlelap, mengikuti dengkuran halus yang tak berbunyi milik sang wanita. Napasnya bergerak teratur dengan sendirinya kala udara yang berhembus disekitarnya masuk ke dalam paru-parunya, mengisi rongga terpenting dalam dirinya. Posisinya yang tidur menyamping membuat sosok yang kini juga berada disampingnya memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama dan bulat.Seorang laki-laki nampak serius memperhatikan bagaimana rupa wanita itu saat tertidur. Ekor matanya tak pernah lepas dari wajah tentram milik wanita yang masih terlelap dalam keadaan telanjang disampingnya. Sesekali, laki-laki itu menjalankan jarinya disekitar wajah wanita itu, lalu menariknya kembali dengan terkejut.Terkejut?Tentu saja ia terkejut.
"Keisenganku berubah menjadi rasa keingintahuan yang tinggi. Kalian bersembunyi, maka aku akan mencari."Seorang wanita berambut panjang kini tengah terduduk disalah satu meja di salah satu cafe, yang letaknya berada didalam pusat kota. Hingar bingar ibukota yang mencekam seolah menjadi titik dimana dirinya harus menyembunyikan diri. Sembari menyerumpun kopi hangatnya, dari balik kacamata hitam bermereknya, wanita itu menyebarkan pandangannya, terutama pada sisi pintu masuk cafe. Ia tengah menunggu seseorang, hingga rasanya ia hampir mati kebosanan."Sialan kau Marko.. bisa-bisanya kau membuatku menunggu nyaris satu jam" geramnya penuh emosi. Wanita itu mengeram marah lantaran sosok yang saat ini tengah ditunggunya melanggar janjinya. Laki-laki itu semula mengabulkan permintaannya untuk bertemu tepat di pukul 11 siang. Namun hingga jarum jam menyentuh menit ke 30, laki-laki itu pun tak kunjung muncul.Tak lam
"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka.""Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikena
"Melupakanmu mungkin adalah satu hal yang paling kuinginkan. Alih-alih menerima hantaman yang membuatku amnesia, kenangan bersamamu kembali menyentak ruang ketenanganku."Seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau yang membalut tubuh kurusnya, nampak berdiri didepan balkon. Kedua mata wanita itu terarah pada sinar rembulan yang malam ini bersinar begitu terang. Helaian rambutnya bergerak sesaat, mengikuti arah angin yang menerpa sisi wajahnya yang dibiarkan begitu saja berada dalam dinginnya angin malam ini.Adela.Wanita itu biasa akan terpanggil ketika mana itu disebut. Entah sudah berapa lama ia tak lagi mengingat dari mana asal nama itu. Ia terlalu menikmati hidupnya saat ini. Bahagia, berada dalam rumah yang mewah, dikelilingi oleh harta dan orang yang begitu mencintainya, dan juga Adela memiliki tempat berpulang saat ini. Wanita itu tak lagi
“Perpisahan menetes di pipimu seperti darahBibirmu bergetar, bertanya mengapa semua ini sangat menyedihkanJangan, jangan datang padaku dengan wajah seperti ituPergilah tinggalkan aku”Di sebuah ruangan yang gelap, hanya berukuran kecil, seorang wanita paruh baya terduduk didalamnya. Tatapannya kosong menatap kedepan, mengesampingkan kewarasan yang dimilikinya. Rambutnya yang tak tertata jelas dan baju daster kusam membalut tubuh kurusnya yang nyaris menyerupai tulang.. Terdapat keriput-keriput di pipinya. Jika orang lain melihatnya, ia akan dianggap orang tak waras. Bibir pucatnya sedari tadi hanya menggumamkan kata-kata yang tak jelas. Namun sebuah nama tak sengaja tercelos dari bibirnya.Tak lama sosok wanita dengan pakaian mahalnya masuk ke
Sepasang intan hitam milik seorang wanita nampak memandangi pantulan bayangan yang ada dicermin. Matanya penuh binar kebahagiaan saat memperhatikan betapa indahnya bayangan yang ada disana. Ia nyaris tak mempercayai bahwa sosok itu adalah dirinya sendiri. Rambutnya yang memiliki panjang hampir menutupi punggungnya sengaja digerai dan membentuk sebuah ikal yang semakin mempermanis penampilannya. Diatas kepalanya terdapat rangkaian bunga bermacam warna yang melingkarinya. Riasan wajahnya hari ini pun tak terlalu mencolok. Wanita itu memang sengaja meminta pada penata riasnya untuk tidak terlalu menor mendandaninya. Ia tidak ingin terlihat seperti badut pesta nanti.Dalam balutan gaun pengantin panjang tanpa lengan, wanita itu memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Hal yang selalu ditutupinya itu kini dipamerkan karena permintaan seseorang yang melarangnya keras untuk menutupinya.Odelia memiliki aset yang menganggumkan, begitu kata Clara. Wanita itu, sebentar lagi dalam
ODELIAPria itu duduk tenang di depannya sambil menyantap makanan yang baru saja dipesannya. Ada rasa keengganan ketika aku menatap ke dalam isi piringku. Makanan ini aneh. Aku tak terbiasa dengan makanan kelas atas. Hanya sayur dan tempe saja sebenarnya sudah membuatku kenyang dari pada sebuah makana dengan irisan daging yang hanya memiliki porsi setengah dari porsiku. Sebenarnya, melihatnya saja aku sudah tak lagi selera. Bukan hanya karena makanannya, melainkan karena pria yang menatapku lebih sering dari pada makanannya itu.Jean sengaja menyeretku masuk ke dalam restoran mewah yang entah berada dimana. Restoran yang memiliki kata yang aneh itu memang terlihat tak begitu ramah, namun memiliki suasana mewah untuk kumasuki. Hanya bermodalkan kaos dan celana jeans berlutut robek, serta sepatu kets usang yang selalu menjadi seragam wajib, kini aku terlihat seperti badut. Semua yang ada disana dan menikmati hidangan sorenya berpakaian formal. E
JEAN“Jadi, Ayahku sekarang berada di flat kecil yang kau sebutkan tadi?”Aku tak bisa menahan amarahku saat kudengar ayahku, Yonash memilih untuk melarikan diri dari rumah kami dan tinggal di rumah kecil di pinggiran kota itu. Bahkan, aku tak bisa mengira bagaimana pria tua itu hidup melarat seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat merencanakan usaha pelariannya itu disaat kami semua sedang tertidur. Andai saja Grace, nenek kami masih di Indonesia mungkin Ayah kami tak berani untuk melakukannya.“Jadi, bagaimana kak?” Tanya seorang wanita bermata hijau dibelakangku. Ai terus berdiri ditempatnya semula meski aku sudah memunggunginya cukup lama. Clara, adik bungsuku tak biasanya betah berlama-lama berada di ruangan kerjaku. Wanita itu selalu bilang bahwa tempat ini bagaikan sampah dengan kertas-kertas menumpuk yang tak sedang dipandang. Namun kali ini wanita itu mampu bertahan lebih dari setengah jam b
ODELIAKupandangi sepasang sepatu kusam kets-ku ini. Langkahku membawa sejuta harapan bahwa hari ini aku masih bisa bernapas dengan tenang di ibukota ini. Langkah yang beriringan denganku terasa seperti sebuah iklan yang melintas begitu saja di halte bus bersamaku pagi ini.Senin pagi. Semua orang setidaknya memiliki satu hingga dua keinginan untuk memulai pertama disetiap minggunya. Hari yang paling sering kuamati begitu pada dengan mobil dan motor yang berlalu lalang di jalanan. Tanpa henti membuat suara bising yang mampu memekakkan telinga.Aku mendaratkan bokongku tepat disalah besi yang berbentuk persegi panjang. Besi berkarat yang memiliki bau agak amis. Entah apa fungsi dari besi tersebut. Seharusnya lebih baik menggunakan bangku atau apapun itu bila berniat untuk dijadikan sebuah tempat duduk. Namun sebagian dari mereka yang bernasib sama sepertiku terpaksa menggunakannya untuk mendudukkan diri.Sembari menunggu bus yang
Jika akhirnya kehidupanku nkembali berputar seperti roda, aku akan membuat persiapan ketika harusnya aku berada di bawah. Hatiku akan siap ketika suatu saat kehilangan segalanya.Seorang wanita berpakaian hitam tampak berjalan di sekitaran kompleks pemakaman. Langkahnya penuh kehati-hatian kala melintasi beberapa susun gundukkan tanah yang ada disana. Cuaca yang tak begitu terik menjadi keputusanya untuk berpakaian gelap dann juga mengenakann sebuah topi yang hampir menutupinya dari sinar matahari siang. Ditangannya sebuah bunga telah siap untuk disembahkan kepada yang tercinta, yang kini telah menyatu dengan tanah. Sejujurnya langkah pelannya bukan karena dirinya takut sepatu mahal yang dikenakannya terkena kotoran, namun dadanya berdentum seperti ingin meledakkan dirinya. Hatinya nyeri kala ia melihat sosok tercinta itu menyatu dengan tanah, dan takkan bisa be
Tak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk memilikimu seutuhnya. Ingatlah bahwa kau milikku dan aku milikmu.Malam itu suasana benar-benar mencekam. Kabut dingin yang menyelimuti jalan ditengah hutan yang lebat menjadi sangat menyeramkan. Membuat dentuman aneh didalam dada kala sengatan hawa dingin yang sangat kerasa malam itu. Tengah malam yang semakin meredupkan sinar membutakan siapa saja yang berani menembus jalan gelap itu. hanya sebuah mobil yang melintas dengan kecepatan seadanya, membelah jalan yang penuh kabut itu. lampu sorot mobil menjadi satu tumpuan mereka untuk sampai ke tempat yang akan mereka singgahi.Bukan hanya singgah, mereka akan sedikit lama berada disana, karena suatu hal."Apakah wanita itu bisa dipercaya?"
Aku akan mengambil apa yang sebelumnya telah kukatakan bahwa itu semua adalah milikku. Kalian yang berani mencegahnya takkan pernah kubiarkan untuk keluar dari lingkaran yang telahkubuat."Kau benar-benar keterlaluan. Mau sampai kapan kau melakukan ini semua?"Riska, wanita yang kini tengah memegang pisau lipat yang telah ternodai oleh darah itu tak menghiraukan makian yang sejak beberapa hari lalu dikeluarkan oleh kakaknya, Reanna. Dalam kondisi terikat, Rea terus melakukan perlawanan terhadap adiknya itu. tak disangkanya jika Riska bisa berbuat sejauh ini. Tak pernah ada bayangan menyeramkan yang seperti sekarang didalam kepalanya.Entah telah hilang kemana sosok adik kecilnya yang manis dan tak
Merasakan pengalaman pertama yang tak terduga. Hatiku membuncah. Genggaman manis dari jari mungilnya berhasil menggetarkan sesuatu didalam dadaku. Rasanya sesak, seperti sebuah kebahagiaan yang akan meledak.Attar syah Rahardi.Aleana Salma Rahardi.Bayi gempal yang kini menggeliat diatas tempat tidur mungil berbentuk kotak itu menjadi salah satu objek yang menarik perhatian kedua orang yang berdiri dari balik kaca jendela ruangan tersebut. Kedua bayi berwajah merah itu sesekali bersuara khas bayi yang menggemaskan. Keduanya sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari bayi-bayi mungil yang berwajah hampir serupa itu.Tak ada yang lebih menggetarkan dari apapun selain melihat kedua wajah itu,
Lahirkanmereka. Aku akan berjuang untukmelindungimudan anak-anak kita. Jangan takut, aku takkan pernah meninggalkanmu lagi."Lia, aku mohon buka pintu sialan ini! biarkan aku bicara padamu." Tak lama terdengar suara Jean yang berteriak menggedor pintu kamarnya. Mungkin pria itu sedikit terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba saja mengunci kamarnya, karena tak biasanya ia mengunci kamarnya."Aku manusia, Jean. Aku bisa saja sakit hati." Lirihnya pelan. Sepertinya hanya dua kalimat itu yang mampu mewakili semua perasaannya.Tak lama, Odelia merasakan ada rasa nyeri yang melanda perutnya. Tanpa bersuara, ia terus mengelus perutnya. Ia tak tahu mengapa, sejak beberap