"Kau akan segera pulang atau singgah ke mana dulu? Aku bersedia mengantarmu."
Ryder hanya menggeleng lemah untuk tawaran dari sang sahabat. Tidak akan dikeluarkan satu patah kata sebagai jawaban tambahan. Walau tahu, Erren ingin menciptakan obrolan dengannya.
Ryder sedang merasakan lelah secara fisik dan pikiran yang luar biasa, hari ini. Energi begitu terkuras hingga badannya lemas.
Berbicara tentang hal tidak penting, ingin dihindari. Lagi pula, suasana hatinya juga tengah tak mendukung. Lebih baik diam, daripada nantinya mengeluarkan jawaban yang sinis pada Erren.
Tugas memimpin beberapa bisnis serta juga perusahaan semakin berat baginya, seiring dengan hari demi hari yang sudah dilewati.
Dulu, Ryder bisa menghindar sesuka hati karena ia punya saudara bisa dihandalkan. Namun, sekarang menjadi tanggung jawab dirinya seorang.
"Kita ke klub sebentar bagaimana? Aku sudah satu bulan tidak bersenang-senang."
"Aku kira bekerja denganmu akan santai. Ck. Kau ternyata suka menyiksa sahabatmu sendiri."
Ryder masih memejamkan mata. Walau, Erren Verlen menggunakan nada menyindir yang sangat kentara. Apalagi ditambah pemilihan kata.
Namun, Ryder tidak akan meladeni. Ia tahu sang sahabat menggunakan taktik tersebut hanya untuk memancingnya saja.
"Kau harus menaikkan upahku bulan depan."
Ryder hanya memberi balasan anggukan kepala. Satu kali gerakan saja sudah cukup.
Bukan masalah untuknya meningkatkan gaji bagi sang sahabat. Hartanya berlimpah. Tidak akan habis hanya karena membayar Erren Verlen.
Kinerja sang sahabat juga terbilang bagus. Cakap dalam setiap pekerjaan yang diberikannya.
"Bulan depan, aku akan mentraktirmu minuman. Kau tidak boleh menolak pergi."
"Bukan cuma aku yang muak karena kau sulit diajak keluar sekarang. Tapi, Michael juga. Dia tidak kalah kesal denganku."
Erren tetap menyeringai, walau Ryder tidak akan melihat ekspresinya itu. Ia hanya menunjukkan reaksi atas bayangan lucu muncul di dalam benaknya. Tawa kemudian menyusul keluar.
"Aku dan Michael bahkan sudah menyiapkan sebuah rencana menyeretmu keluar bersama kami. Tapi, aku rasa cara tersebut tidak akan mempan."
"Terserah kalian saja." Ryder menjawab, kali ini.
"Satu bulan lagi …." Digantungkan ucapannya.
"Aku akan menyisihkan satu hari luang untuk kau dan Michael. Terserah kalian akan mengajakku ke mana." Ryder masih berkata dengan cuek.
"Hahahaha."
Erren tambah menyeringai. Walau, sang sahabat tetap tak melihat. "Kau harus tetap nakal, Kawan."
"Tidak peduli statusmu sudah menjadi Daddy. Kau harus tetap bergaul malam hari dengan kami."
"Pria akan tetap menjadi seorang pria, Kawan."
Ryder memandang Erren yang menyeringai dengan tatapan datar. Tak akan memiliki pengaruh apa pun untuknya. Atau dapat membuatnya menjadi berubah pikiran dalam memegang prinsip.
"Kau sudah lama tidak tidur dengan wanita bukan? Yang terakhir hanya bersama Miss Rosen Green."
Ryder bungkam. Tak merasa perlu menjawab apa yang ditanyakan oleh Erren. Karena, sahabatnya itu pasti sudah lebih dari tahu. Jika bertanya ulang, Erren pasti hanya berniat untuk menggoda.
"Aku punya ide untuk membuat Rosen kembali."
"Aku rasa bayimu juga harus segera mendapatkan seorang ibu. Kau tidak mungkin mengurus sendiri."
Ryder yang hendak keluar dari mobil karena telah sampai di rumahnya, langsung saja mengurungkan niatan mendengar ucapan sang sahabat.
Ryder pun memandang lekat dan sarat akan curiga ke sosok Erren yang menyeringai kian lebar. "Apa maksudmu soal Rosen kembali?"
"Ayolah, Kawan. Kau pikirkan kata-kataku. Kau itu punya kecerdasan di atas rata-rata. Kau tidak akan mungkin tidak paham maksudku."
Ryder seketika diam. Tentu, ia sedang memikirkan perkataan Erren kembali. Sudah pasti beberapa kesimpulan muncul di dalam kepalanya. Ia perlu untuk memilah dan memilih jawaban tertepat.
"Cepatlah bertindak. Sebelum orang lain yang menjadikan Rosen sebagai ibu dari anak-anaknya."
"Hahh!" Rosen berseru dalam suara teredam karena wajah ditutup dengan kedua tangan."Menyebalkan sekali!" seru Rosen kembali."Aku tahu kau sangat kesal. Aku pun kalau menjadi kau akan sangat emosi.""Aku pasti sudah menampar pria itu dengan keras beberapa kali. Aku tidak peduli kalau dia adalah klien penting perusahan."Rosen mengangguk-angguk. Gerakan kepala yang lemah saja. Lalu, tangan-tangannya disingkirkan dari wajah.Arah pandang langsung tertuju pada sang sahabat, yakni Varlon Lewis. Wanita itu tengah duduk di kursi seberang meja.Varlon itu menampakkan ekspresi galak. Kontras dengan dirinya yang memasang raut cemberut dan kerucutan bibir.Semarag apa pun sedang dirasakan Rosen, ia masih kalah dibanding Varlon dalam cara menunjukkan amarah yang meluap-luap.Kemudian, Rosen menggeleng. Respons atas ucapan sang sahabat tadi. "Aku juga mau begitu. Menampar pria itu. Tapi ....""Tapi, kenapa? Kau takut di
Ryder menghitung hampir setengah jam dirinya satu meja dengan Rosen Green, tapi mereka tidak mengobrol banyak.Seperti tidak ada pembicaraan panjang yang bisa diambil untuk menambah keakraban. Bukan berarti juga, Ryder ingin lebih dekat dengan Rosen Green secara cepat.Sulit menjelaskan secara benar. Tapi, Ryder berniat mengenal wanita itu dari tampilan yang tidak diperlihatkan padanya."Kau Ryder Davis bukan?"Sebuah kalimat bernada sopan, langsung saja membuat atensinya teralih dari Rosen. Kini, memandang ke sosok seorang wanita dengan gaun malam yang cukup terbuka. Berdiri cukup dekat dari tempat duduknya.Segera dianggukan kepala seraya berupaya mengingat siapa gerangan wanita itu. Terasa tidak asing bagi Ryder.Dan, tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kembali. Senyum pun lebih lebar dipamerkan pada si wanita."Iya, benar." Ryder menjawab ramah."Kau sendiri Maria bukan?""Haha. Iya. Aku Maria Gomez. Aku kir
Rosen mengira minum empat gelas vodka, akan berdampak pada kesadarannya yang mengalami penurunan. Ternyata, tidak.Rosen masih bisa mengingat dengan betul bagaimana awal meninggalkan bar bersama Ryder Davis. Lalu, masuk ke mobil mahal pria itu dengan kegugupan cukup besar.Rosen kira dirinya akan bisa mengontrol perasaan tersebut, saat sudah tiba di hotel. Namun, ia justru semakin tegang.Bukan karena ragu dengan rencananya akan berkencan semalam bersama Ryder Davis, namun tempat yang dipilih pria itu.Hotel sangat berkelas. Bertarif mahal.Rosen memanglah belum tahu secara jelas harga per malam. Sudah dipastikan tidak akan semurah di motel kelas bawah.Tak berarti, Rosen berniat mengajak Ryder Davis pergi ke penginapan yang seperti itu. Minimal bisa digunakan rumahnya hingga tak perlu mengeluarkan uang banyak.Rosen jelas akan membagi dua s
Rosen lelah sudah pasti karena permainan panas dengan Ryder semalam. Ia pun perlu istirahat yang cukup karena tubuhnya pegal.Namun, Rosen tak bisa tidur nyenyak sama sekali Walau, sudah berupaya memejamkankedua mata selama berbaring di samping Ryder yang justru terlelap pulas.Dekapan pria itu hangat. Rosen merasakan kenyamanan sekaligus kegugupan. Ia tidak juga mengharapkan apa-apa.Hubungannya dengan Ryder pun hanya satu malam. Tak ada kisah lanjutan yang akan terjadi untuk mereka berdua.Kembali, ke masalah insomnia dialami oleh Rosen. Wanita itu dibuat terjaga hingga pagi datang, tanpa bisa tidur sedikit pun.Tepat pukul enam, Rosen turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Ia menghabiskan satu jam di dalam.Rosen tidak menikmati waktunya dengan berendam air hangat di bath up. Ia duduk di closet memikirkan sejumlah hal. Dan,
"Aku sudah berpesan padamu bukan? Kau harus ajak sahabat kita ini ke dokter, Kawan.""Dia tidak membutuhkan perawatan medis, dia perlu seseorang mengisi hatinya, Michael." Erren dengan segera menimpatu ucapan sahabatnya."Haha. Kau sepertinya benar, Erren. Dia butuh wanita yang diajaknya kencan satu malam itu.""Tapi, sayang wanita itu tidak menampakkan diri di sini. Sungguh sangat malang." Michael berucap santai dan menyeringai ke arah Ryder."Kita setiap hari hampir ke sini selama tiga bulan. Tidak ada hasil sama sekali," lanjut Michael."Kau benar. Kita berdua bahkan selalu setia menemani sahabat kita kemari agar dia bisa menemukan
Bugh!Bugh!Bugh!Bugh!Ryder terus memukulkan tinjunya yang kencang ke samsak gantung di hadapannya. Keringat keluar deras. Sudah membasahi badan dan wajahnya.Ryder enggan berhenti, andai saja sang sahabat, Erren Verlen, tidak semakin mendekat.Langsung saja dilayangkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. Hendak ditunjukkan kehadiran Erren sedang tidak diinginkan. Sang sahabat pasti akan paham apa yang dirinya inginkan."Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, Bibi terus menghubungiku. Meminta menyampaikan pesan padamu agar kau mengangkat teleponnya."
"Kau akan segera pulang atau singgah ke mana dulu? Aku bersedia mengantarmu."Ryder hanya menggeleng lemah untuk tawaran dari sang sahabat. Tidak akan dikeluarkan satu patah kata sebagai jawaban tambahan. Walau tahu, Erren ingin menciptakan obrolan dengannya.Ryder sedang merasakan lelah secara fisik dan pikiran yang luar biasa, hari ini. Energi begitu terkuras hingga badannya lemas.Berbicara tentang hal tidak penting, ingin dihindari. Lagi pula, suasana hatinya juga tengah tak mendukung. Lebih baik diam, daripada nantinya mengeluarkan jawaban yang sinis pada Erren.Tugas memimpin beberapa bisnis serta juga perusahaan semakin berat baginya, seiring dengan hari demi hari yang sudah dilewati.&nbs
Bugh!Bugh!Bugh!Bugh!Ryder terus memukulkan tinjunya yang kencang ke samsak gantung di hadapannya. Keringat keluar deras. Sudah membasahi badan dan wajahnya.Ryder enggan berhenti, andai saja sang sahabat, Erren Verlen, tidak semakin mendekat.Langsung saja dilayangkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. Hendak ditunjukkan kehadiran Erren sedang tidak diinginkan. Sang sahabat pasti akan paham apa yang dirinya inginkan."Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, Bibi terus menghubungiku. Meminta menyampaikan pesan padamu agar kau mengangkat teleponnya."
"Aku sudah berpesan padamu bukan? Kau harus ajak sahabat kita ini ke dokter, Kawan.""Dia tidak membutuhkan perawatan medis, dia perlu seseorang mengisi hatinya, Michael." Erren dengan segera menimpatu ucapan sahabatnya."Haha. Kau sepertinya benar, Erren. Dia butuh wanita yang diajaknya kencan satu malam itu.""Tapi, sayang wanita itu tidak menampakkan diri di sini. Sungguh sangat malang." Michael berucap santai dan menyeringai ke arah Ryder."Kita setiap hari hampir ke sini selama tiga bulan. Tidak ada hasil sama sekali," lanjut Michael."Kau benar. Kita berdua bahkan selalu setia menemani sahabat kita kemari agar dia bisa menemukan
Rosen lelah sudah pasti karena permainan panas dengan Ryder semalam. Ia pun perlu istirahat yang cukup karena tubuhnya pegal.Namun, Rosen tak bisa tidur nyenyak sama sekali Walau, sudah berupaya memejamkankedua mata selama berbaring di samping Ryder yang justru terlelap pulas.Dekapan pria itu hangat. Rosen merasakan kenyamanan sekaligus kegugupan. Ia tidak juga mengharapkan apa-apa.Hubungannya dengan Ryder pun hanya satu malam. Tak ada kisah lanjutan yang akan terjadi untuk mereka berdua.Kembali, ke masalah insomnia dialami oleh Rosen. Wanita itu dibuat terjaga hingga pagi datang, tanpa bisa tidur sedikit pun.Tepat pukul enam, Rosen turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Ia menghabiskan satu jam di dalam.Rosen tidak menikmati waktunya dengan berendam air hangat di bath up. Ia duduk di closet memikirkan sejumlah hal. Dan,
Rosen mengira minum empat gelas vodka, akan berdampak pada kesadarannya yang mengalami penurunan. Ternyata, tidak.Rosen masih bisa mengingat dengan betul bagaimana awal meninggalkan bar bersama Ryder Davis. Lalu, masuk ke mobil mahal pria itu dengan kegugupan cukup besar.Rosen kira dirinya akan bisa mengontrol perasaan tersebut, saat sudah tiba di hotel. Namun, ia justru semakin tegang.Bukan karena ragu dengan rencananya akan berkencan semalam bersama Ryder Davis, namun tempat yang dipilih pria itu.Hotel sangat berkelas. Bertarif mahal.Rosen memanglah belum tahu secara jelas harga per malam. Sudah dipastikan tidak akan semurah di motel kelas bawah.Tak berarti, Rosen berniat mengajak Ryder Davis pergi ke penginapan yang seperti itu. Minimal bisa digunakan rumahnya hingga tak perlu mengeluarkan uang banyak.Rosen jelas akan membagi dua s
Ryder menghitung hampir setengah jam dirinya satu meja dengan Rosen Green, tapi mereka tidak mengobrol banyak.Seperti tidak ada pembicaraan panjang yang bisa diambil untuk menambah keakraban. Bukan berarti juga, Ryder ingin lebih dekat dengan Rosen Green secara cepat.Sulit menjelaskan secara benar. Tapi, Ryder berniat mengenal wanita itu dari tampilan yang tidak diperlihatkan padanya."Kau Ryder Davis bukan?"Sebuah kalimat bernada sopan, langsung saja membuat atensinya teralih dari Rosen. Kini, memandang ke sosok seorang wanita dengan gaun malam yang cukup terbuka. Berdiri cukup dekat dari tempat duduknya.Segera dianggukan kepala seraya berupaya mengingat siapa gerangan wanita itu. Terasa tidak asing bagi Ryder.Dan, tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kembali. Senyum pun lebih lebar dipamerkan pada si wanita."Iya, benar." Ryder menjawab ramah."Kau sendiri Maria bukan?""Haha. Iya. Aku Maria Gomez. Aku kir
"Hahh!" Rosen berseru dalam suara teredam karena wajah ditutup dengan kedua tangan."Menyebalkan sekali!" seru Rosen kembali."Aku tahu kau sangat kesal. Aku pun kalau menjadi kau akan sangat emosi.""Aku pasti sudah menampar pria itu dengan keras beberapa kali. Aku tidak peduli kalau dia adalah klien penting perusahan."Rosen mengangguk-angguk. Gerakan kepala yang lemah saja. Lalu, tangan-tangannya disingkirkan dari wajah.Arah pandang langsung tertuju pada sang sahabat, yakni Varlon Lewis. Wanita itu tengah duduk di kursi seberang meja.Varlon itu menampakkan ekspresi galak. Kontras dengan dirinya yang memasang raut cemberut dan kerucutan bibir.Semarag apa pun sedang dirasakan Rosen, ia masih kalah dibanding Varlon dalam cara menunjukkan amarah yang meluap-luap.Kemudian, Rosen menggeleng. Respons atas ucapan sang sahabat tadi. "Aku juga mau begitu. Menampar pria itu. Tapi ....""Tapi, kenapa? Kau takut di