Di dalam rumah keluarga Radiga memiliki perpustakaan yang cukup luas dengan koleksi buku dari berbagai macam bahasa. Terdapat novel, buku self improvement, psikologi, bisnis, ekonomi, politik, budaya dan juga agama. Selesai melakukan salat isya, Anita terkadang menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan jika kedua orang tuanya sibuk berduaan di kamar mereka dan juga ketika pikirannya sedang penat, Anita akan menghabiskan malamnya di dalam perpustakaan yang memiliki suasana yang tenang ini.
Anita duduk di kursi santai yang menghadap balkon sembari membaca buku yang baru ia beli minggu kemarin bersama sang adik ketika berkunjung ke negara tetangga untuk melakukan kunjungan bisnis dan mengikuti acara seminar, keduanya memang sengaja menyempatkan diri untuk belanja buku. Anita yang tengah fokus membaca tiba-tiba terhenti setelah mendengar ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk.
Perempuan itu membaca pesan yang baru saja masuk, ekspresinya berubah setelah membaca pesan itu dan sekarang membaca buku saja tidak cukup untuk menenangkan pikirannya itu, ia harus melakukan sesuatu seperti memakan es krim misalnya. Anita segera bangkit dari duduknya setelah meletakkan kembali buku yang ia baca ke dalam rak lalu melangkah ke luar perpustakaan atau lebih tepatnya mencari sang adik untuk menemani dirinya ke toko es krim yang tak jauh dari komplek perumahan mereka ini.
Nihil, ternyata adiknya itu belum pulang dan juga ketidakberuntungannya tidak berhenti sampai di situ saja karena ia juga tidak menemukan Ivan di seluruh penjuru rumah. Anita memutuskan untuk pergi sendiri diantarkan sang supir keluarga mereka setelah perempuan itu mengambil sweater di kamarnya dan ponsel yang tidak lupa ia bawa untuk membayar es krim nantinya.
"Ma, Pa. Tata, pergi ke luar sebentar." ujar Anita saat melalui pintu kamar orang tuanya yang berada pas di bawah tangga.
"Pak, anter saya ke toko es krim simpang tiga bisakan?" tanya Anita menghampiri pak Raman yang sedang duduk di dekat pos gerbang rumah mereka.
"Bisa, non. Sebentar, saya siapkan mobil dulu." Pak Raman bergegas pergi menuju garasi.
Mobil melaju keluar komplek perumahan elite itu dengan kecepatan santai, Anita tidak berminat sama sekali dengan ponselnya perempuan itu memilih memandangi ke luar jendela yang sedang menampilkan aktivitas sibuknya suasana jalanan padahal hari sudah gelap.
Mobil Fortuner putih itu sampai, sebelum turun Anita menanyakan kepada supirnya itu apakah menginginkan es krim juga atau tidak dan ternyata jawaban seperti biasa yang ditolak dengan gelengan halus membuat Anita tersenyum lalu turun dari mobil.
Saat akan mendorong pintu kaca toko, gerakan Anita terhenti karena melihat seseorang yang sangat ia kenali sedang membukakan pintu untuk perempuan lain, Anita hanya terdiam melihat itu, dirinya sama sekali tidak bereaksi saat melihat orang itu sudah berdiri di depan matanya.
"Ta..." panggil orang itu membuat Anita tetap tak bereaksi, untuk hanya sekadar menoleh, mendongak ataupun bergerak sesenti pun tidak, perempuan itu hanya diam di tempatnya berdiri.
"Tata..."
Lagi, suara itu memanggil Anita yang membuat perempuan itu tersadar dari keterdiamannya. Anita cepat bereaksi lalu memegang saku celananya, mencoba mencari hal yang bisa membuat dirinya lenyap dari tempat itu secepatnya. "Masya Allah, dompet aku." ujar Anita pura-pura tersadar bahwa dompetnya ketinggalan di mobil.
Perempuan itu berbalik, sedikit berlari menuju mobil yang bahkan mesinnya belum mati tak menghiraukan panggilan orang itu. Anita masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sulit ditebak. "Jalan, pak." ujar Anita mencoba menormalkan suaranya agar pak Raman tidak curiga.
Mobil melaju sesuai perintah, pak Raman hanya berani melirik sebentar dari kaca spion tengah untuk melihat kondisi putri majikannya itu, ia mengetahui apa yang terjadi di depan pintu toko es krim itu walau Anita berusaha dengan keras untuk menutupinya seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Tidak ada ada air mata yang keluar, Anita hanya diam memandangi jalanan yang ramai dan hal yang sekarang ingin ia lakukan adalah mengurung diri di kamar tanpa gangguan siapapun. Mobil yang membawa Anita sampai, perempuan itu turun tanpa mengatakan apapun kepada pak Raman, ia hanya ingin segera masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri.
Ivan yang melihat sang adik tiba-tiba masuk tanpa mengucapkan salam dan menyapanya bingung lalu laki-laki itu mencari tahu apa yang telah terjadi kepada sang adik melalui pak Raman yang baru saja selesai memarkirkan mobil di garasi rumah. "Pak Raman, sebentar." ujar Ivan melangkah mendekati pria paruh baya itu.
"Tata kenapa, pak?" tanya Ivan langsung tanpa basa-basi.
"Non Tata tadi ngeliat mas Habib di depan toko es krim barengan sama perempuan lain, den." cerita pak Raman.
Ivan yang mendengar perempuan lain segera mengeluarkan ponselnya mencari sesuatu. "Perempuan ini?" tanya laki-laki itu sembari menunjukkan layar ponsel yang sedang menampilkan gambar seorang perempuan yang baru selesai ia cari informasinya.
"Nah iya, den. Ini perempuan yang bareng sama mas Habib tadi."
Setelah mendengar pernyataan pak Raman seketika rahang Ivan mengeras tanda bahwa amarah laki-laki itu sedang diuji. "Tapi den, non Tata gak nangis ataupun marah. Non Tata cuma diam waktu mas Habib nyamperin dia terus kayak lagi akting kalo dompetnya ketinggalan terus masuk lagi ke mobil suruh saya jalan padahal non kan memang gak pernah bawa uang cash kalau pergi. Non Tata gak nunjukin emosinya, den." jelas pak Raman.
Ivan terdiam mendengar penjelasan itu lalu seperti seakan teringat sesuatu ia lalu mengucapkan terima kasih lalu pergi lebih tepatnya menghampiri Anita yang berada di kamar perempuan itu. "Tata, buka sebentar mas mau bicara." ujar Ivan lembut sembari mengetuk pintu pelan.
Tak lama pintu terbuka menampilkan wajah Tata yang terlihat biasa saja, tidak ekspresi sedih, kecewa ataupun marah dan hal itu malah semakin membuat Ivan semakin khawatir. "Tata, lagi apa?" tanya Ivan selembut mungkin agar sang adik tenang diajak berbicara.
"Baru selesai baca Al-Qur'an, mas. Ada apa, mas? Mau bicara di balkon?" tawar Anita tersenyum.
Hati Ivan sakit melihat senyuman Anita yang terlihat tulus itu. "Tata, gak papa?" tanya laki-laki itu pelan.
Sementara itu senyum Anita perlahan memudar. "Tata... Tata sakit, mas. Sakit sekali di sini rasanya tau mas Habib bohong, Tata udah coba untuk nenangi diri dengan membaca Al-Qur'an tapi tetep gak bisa, mas."
Air mata Anita turun membasahi pipi perempuan itu sembari tangannya yang mulai memukuli dadanya yang terasa sesak, Ivan yang melihat itu langsung merengkuh tubuh sang adik ke dalam pelukannya. "Tata, jangan dipukuli begitu. Ayo sayang, perlahan atur napas kamu." ujar Ivan mengingatkan bahwa perempuan itu memiliki asma yang dapat kambuh kapan saja.
"Tata, harus kayak gini. Harus jujur sama perasaan Tata sendiri, kalau memang sakit dan Tata gak bisa tahan lagi gak papa Tata nangis gini di depan mas. Gak papa, Tata keluarin aja semuanya." ujar Ivan mengusap punggung sang adik sembari memenangkan perempuan yang sangat ia sayangi itu.
Anita menangis tersedu-sedu, hatinya begitu sakit karena telah dibohongi dengan orang yang sangat ia sayangi dan Ivan paham akan hal itu. "Udah, Tata. Gimana udah naikkan hatinya?" tanya Ivan melepaskan pelukannya menatap sang adik yang sibuk menghapus air matanya.
Anita mengangguk. "Mau roti bakar bang Igob, mas." ujarnya tersenyum membuat Ivan yang mendengar permintaan itu ikut tersenyum juga. "Yaudah, ayo mas belikan."
Anita mengangguk lalu mengambil hoodie berwarna salam yang diberikan oleh Ivan sewaktu ia berulang tahun dua tahun yang lalu. "Adit udah pulang belum ya, mas? Nanti dibelikan aja deh, takut kecapean kalau diajak ikut beli." ujar Anita mengoceh di samping Ivan yang membuat laki-laki hampir genap berumur 30 itu tertawa dalam hati karena berhasil membuat Anita melupakan kesedihannya akibat dibohongi tunangannya sendiri. Miris sekali nasib adiknya itu.
☁️☁️☁️
See you next part 👋
125 Panggilan tak terjawab50 Pesan belum dibaca Itulah yang layar ponsel Anita tunjukkan setelah hampir seharian tidak disentuh karena sang pemilik sibuk dengan pekerjaannya yang tiba-tiba membeludak dan meminta perhatian penuh, ia juga tidak menyentuh ponselnya bukan karena sedang menghindari Habib melainkan waktu yang selalu tidak tepat saat akan menerima panggilan dari laki-laki itu. Kini jam dinding yang ada di ruangan Anita menunjukkan hampir pukul 8 malam dan dia belum juga selesai melakukan pekerjaannya yang harus selesai hari ini juga. Perempuan itu setelah menunaikan ibadah salat isya menyempatkan diri untuk memesankan makanan untuk seluruh timnya yang memang diminta untuk lembur. Anita adalah orang yang mempersiapkan segalanya sebelum waktu selesainya tiba tetapi kali ini berbeda, pagi tadi saat ia masih sarapan di rumah salah satu klien yang ada di luar kota menelpon untuk memberikan proyek kecil yaitu mendesain sebuah
Sudah hampir 5 menit mereka berdiri di depan rumah Anita tanpa suara, baik Habib maupun Anita hanya terdiam setelah pertanyaan yang diberikan perempuan itu dan akhirnya Anita hanya tersenyum mencoba untuk mengerti laki-laki yang berdiri di depannya ini. "Maaf mas, kamu gak lupakan hari ini adalah hari dimana aku ke tempat dia. Jadi, kita gak mungkin bahas itu sekarang." ujar perempuan itu tersenyum dan mencoba berbicara baik-baik agar Habib tidak salah paham. "Jadi kamu lebih mentingi dia daripada hubungan kita?" Anita yang mendengar itu terdiam sebentar lalu ia melihat wajah Habib, laki-laki yang sudah hampir 3 tahun lamanya menetap dihatinya, perempuan itu melangkah menuju mobilnya yang sudah berada tepat di depan pintu rumahnya. Anita masuk ke dalam mobil setelah itu dengan cepat mobil melaju meninggalkan rumah putih berlis abu-abu itu. Wajah Anita yang biasa tersenyum dan lembut kini tidak, ekspresinya datar dan tat
Baik Anita maupun Hega masih berdiri di atas lantaiboarding passmenunggu giliran mereka untuk pengecekan tiket. Setelah acara berpelukan yang cukup panjang dengan keluarganya ditambah dengan kekecewaannya karena Habib tidak datang untuk mengantarnya, Anita tersenyum kecil mengingat kembali ucapan Ivan bahwa ia tak perlu mengambil pusing hubungannya dengan Habib, karena akan bagaimanapun ia menjaga hubungannya itu dengan baik jika Allah tidak berkehendak, hubungan itu akan hancur juga walau sudah berjalan selama tiga tahun. Anita hanya bisa berdoa, jika Habib memang jodohnya,pasti Allah akan mempermudah jalan keluar untukmasalah mereka, jika tidakmungkin saja Habib adalah jodoh orang lain yang sedang Anita jaga untuk sang pemilik. Apapun itu Anita yakin, itulah yang terbaik untuk hubungannya. Pesawat yang ditumpangi Anita dan Hega akantake offsebentar lagi. Hega yang duduk di sebelah Anita tampak sibuk mengel
Hari ketiga di kota Medan, hal yang menjadi rutinitas perempuan itu ketika bepergian ke luar kota bersama Hega adalah wisata kuliner sebelum kembali pulangke Jakarta. Anita sudah dilobbymenunggu Hega turun,perempuan itu berbusana kasual dengan warna pastel yang tampak sangat pas untuknya.Senyum Anita mengembang setelah melihat Hega yang baru ke luar dari lift bersama beberapa orang. "Mas Hega." panggil Anita melambaikan tangan seperti anak kecil yang senang karena akan pergi ke taman bermain.Hega yang melihat senyuman Anita yang kian manis ikut tersenyum. "Lama nunggu, Ta?" tanya laki-laki itu tersenyum.Anita menggeleng. "Enggak kok, mas, Tata baru aja turun tapi udah pegel sih berdiri aja karena udah gak sabar." Perempuan itu tersenyum.Hega yang mendengar itu juga ikut tersenyum, baginya Anita adalah sosok adik yang sangat ia sayangi karena laki-laki itu adalah anak semata wayang. "Yaudah, ayo. Kayaknya kamu udah gak sa
Baik Anita maupun Habib saat ini sedang berada di Rown Butik, sibuk memilih model dan bahan untuk pakaian yang akan mereka gunakan di hari pernikahan dan hari ijab kobul. “Tata gak mau ribet ya, tante. Mau yang sederhana tapi tetep kelihatan istimewa.” ujar Anita tersenyum kepada sang pemilik butik yang sudah ia kenal.Ronalia tersenyum mendengar permintaan dari Anita. “Iya, Tata. Tante tau kok selera kamu, dari dulu gak pernah berubah ya, selalu sederhana dan istimewa jadi pilihan kamu.”Anita tersenyum mendengar ucapan Ronalia. Perbicangan mereka berlanjut sampai dengan pemilihan warna dan berakhir setelah pengukuran tubuh dilakukan selesai. Baik Anita dan Habib kini masih berdiri di depan butik."Mas gak bisa anter kamu, Ta. Asisten mas udah ngehubungi mas katanya klien udah di Firma nunggu." ujar Habib tampak sedikit menyesal dengan keadaan.Anita yang mendengar itu tersenyum mengerti. "Gak papa, mas. Tata ngerti kok, lag
Setelah pembahasanyang memakan waktuyangcukup panjang dengan Gibrankemarin dan juga dikarenakan iniadalahmasalah genting yang harus segera diselesaikanjika tidak akan semakin sulit untuk menyelesaikannya.Anita dan Gibran sepakat untuk membuat janji pertemuan hari ini setelah makan siang di kantor laki-laki itu dengan beberapa orang yang terlibat langsung dengan proyek ini sebelumnya. Anita sudah siap berangkat dengan Rifa, mobilnya juga sudah terparkir di depan Firma tapi saat Anita akan masuk gerakannya tertahan oleh panggilan seseorang. Anita yang menoleh dan mendapati Habib sedang melangkah mendekatinya, ia tersenyum. “Ada apa, mas?” tanyanya heran, ini penampakan yang mulai sering terjadi sekarang sejak pertemuan yang tidak disengaja itu, bila Anita dapat menembaknya dari pengalaman yang sering terjadi pasti akan berakhir buruk dan mereka akan ribut. “Kamu sibuk, Ta?” Pertanyaan basa-basi itu membuat Anita t
Anita hanya mendengarkan penjelasan Habib yang duduk di depannya tanpa melakukan hal lain, laki-laki itu mengatakan bahwa ia harus pergi ke luar kota untuk dinas di kantor cabang atau lebih tepatnya ada pertukaran karyawan dan itu berlangsung selama satu bulan lamanya. Anita hanya terdiam mendengarkan apa yang disampaikan laki-laki itu hingga selesai berbicara, barulah saat Habib selesai perempuan itu berdeham. “Mas, memang diharuskan pergi ya?” hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Anita setelah mendengarkan cerita panjang Habib dan mencerna semuanya dengan baik. Habib mengangguk. “Iya, Ta. Di kantor cabang kekurangan senior jadi aku diutus ke sana.” Anita mengangguk paham. “Mas, kamu bilang dinas selama satu bulankan? Mas bisa pergi, satu bulan setelahnya aku pikir cukup untuk mengurus catering dan WO atau EOuntuk acara kita karena kita sudah selesai untuk fitting jadi Anita pikir, mas bisa pergi dinas dengan tenang.”
Ternyata seminggu berada di kota Medan membuat Anita dapat melupakan sejenak masalah yang melandanya selama beberapa hari kemarin. Wanita itu disibukkan dengan berbagai pekerjaan dan juga tour list bersama Hega. Akhirnya hari ini, mereka harus kembali dan menjalankan rutinitas seperti biasa. Kemarin sebelum pulang Anita mengucapkan banyak terima kasih kepada Hega.“Mas Hega, makasih ya udah bawa Tata keliling kota Medan, diajak kuliner dan liburan sana sini. Makasih udah mau dibuat capek sama Tata.”Hega hanya tersenyum mendengar Anita mengucapkan terima kasih seperti itu, ia tahu Anita sedang dilanda banyak masalah tapi adiknya Ivan itu sangatlah pandai menutupi segalanya. Jadi, ia hanya dapat menghiburnya dengan cara seperti itu.“Mbak Anita, ini ada surat dari pak Gibran dari BASKA Group. Suratnya sampai dari kemarin, mbak.” ujar Wika, setelah berhasil menghentikan Anita yang baru saja datang.Anita menerima amplop cokl
Minggu menjadi hari liburnya aktifitas dan seluruh kegiatan yang diwajibkan atau lebih dikenal dengan hari leha-leha, Anita dan Talita sudah ada di dapur dibantu dengan Adit dan Mbak ART rumah mereka. Adit sedang membantu memotongi wortel membantu sang kakak, sementara sang ibu sedang mengecek rasa masakan yang dibumbui oleh sang putri barusan. "Mas Ivan udah bangun, Dit?" tanya sang ibu, pasalnya sang sulung tidur setelah sholat subuh hingga sekarang sudah hampir pukul setengah delapan. "Udah, ma. Udah gabung kok sama Mas GIbran sama papa di halaman belakang." ujar Adit masih fokus dengan kegiatan memotong dan mengupasnya. "Kamu sendiri kok gak ikutan?" tanya Anita melihat adiknya yang lebih memilih sibuk membantu mereka di dapur, tidak ikut bermain bulu tangkis di belakang rumah. "Enggak, mbak. Capek nanti aku mau jalan sama anak gadis orang." ujar Adit tersenyum sumringah. "Ada aja alasan kamu itu, bilang aja males." ujar Anita menyindir sang adik dengan senyuman menge
Tepat puku jam 11 malam Anita dan Gibran masuk ke dalam kamar setelah selesai membereskan beberapa barang di taman belakang membantu Ivan, Adit dan sepupu-sepupu perempua itu yang lain. Anita mendudukkan dirinya di sofa single tempat biasa ia membaca buku, sementara Gibran masih berdiri di depan meja rias perempuan itu."Mau mas dulu atau Tata yang bersihkan badan?" tanya Gibran melepas jam tangannya lalu meletakan di atas meja rias wanita itu."Mas dulu aja, Tata masih kepengen duduk. Pegel banget pinggangnya." ujar perempuan itu melepas sendal yang hanya setinggi 3 cm."Ya sudah kalau begitu, mas duluan yang mandi." ujar Gibran melangkah menuju kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti."Mas sebentar, handuknya belum." ujar perempuan itu buru-buru bangkit melangkah menuju lemari sudut yang berisi selimut, handuk, seprai dan barang-barang lainnya kecuali pakaian."Ini mas." ujar Anita mengangsurkan handuk putih kepada Gibran yang diterima dengan baik oleh laki-laki itu."Terima
Selesai menemani Ivan makan, Anita yang ingin kembali pergi ke kamarnya tidak jadi karena ia kedatangan tamu tidak diundang. Anita dan sang tamu duduk di ruang tamu rumahnya dan jangan lupa ada Adit yang duduk tak jauh dari mereka dengan tatapan tajam dan mengawasi."Ada apa, bang?" tanya Anita. Tamunya adalah Habib, laki-laki itu tiba-tiba datang setelah diberitahukan oleh salah satu sepupu laki-laki Anita yang sedang duduk di depan teras rumahnya."Gak ada apa-apa, Ta." ujar Habib.Anita yang mendengar itu sedikit terdiam, jika bertemu tidak memiliki kepentingan atau suatu hal yang akan dibahas kenapa harus bertemu? apalagi ini Habib Darmawangsa, laki-laki memiliki sejuta jadwal penting yang harus segera dikerjakan. "Berarti gak ada yang mau diomongin, bang?" tanya wanita itu melihat Habib tidak minat.Habib terdiam mendengar itu, laki-laki itu tampak bimbang dalam diamnya. Ia bingung ingin mengutarakannya bagaimana perasaannya tapi jika ia tidak berbicara jujur maka ia akan kehilan
Habib yang melihat benda asing di atas meja ruang keluarganya, berjalan mendekati benda itu dan ternyata itu adalah sebuah undangan. Anita & Gibran Nama yang menghiasi depan undangan itu, undangan putih biru itu memiliki desain yang cantik dan simpel. Anita sekali desain ini, batin Habib melihat undangan itu karena teringat sosok Anita.Laki-laki itu menghembuskan napasnya lalu kembali meletakkan undangan itu di atas meja, ada beban berat yang baru saja menambah di pundaknya yaitu beban penyesalan, rasa penyesalan yang masih setia menghantuinya sampai saat ini.Bisakah ia mulai belajar ikhlas? Mengikhlaskan semuanya tentang Anita dan dirinya dulu? Memang benar apa yang dikatakan Adit tempo hari bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak tahu terima kasih karena telah menyakiti Anita padahal perempuan itu yang membantunya keluar dari kelamnya dunianya dulu setelah ditinggal pergi oleh Gina begitu saja. Ia harus belajar untuk mengikhlaskan Anita yang bukan lagi miliknya atas segala
Seluruh keluarga Anita sudah berkumpul di ruang tamu dengan tambahan Gibran karena laki-laki itu sudah berada di rumah Anita sebelum jam makan malam dimulai. "Kemarin surat dinas dari perusahaan sudah keluar, pa." ujar Gibran membuka percakapan melihat ke arah Radiga dengan wajah serius. "Dinasnya dapat di luar kota, kalau sesuai dengan jadwal yang tertera harusnya sebulan lagi baru berangkat tapi karena ada beberapa problem di cabang yang harus Gibran selesaikan segera, dinasnya dipercepat seminggu lagi dan Gibran harus berangkat." ujar laki-laki itu. Anita dan sekeluarga tampak diam setelah mendengar penjelasan Gibran. "Jadi gimana, nak? Bukannya pernikahan kalian 2 minggu lagi akan dilaksanakan?" tanya Talita yang menanggapi lebih dulu dari pada yang lain, ia melihat calon menantunya yang seperti terperangkap dalam kebimbangan. Gibran menghela napas pelan. "Gibran mau tanya pendapat mama sama papa, bagusnya gimana? Apakah pernikahannya kami diundu
Jam di ruang tamu kediaman Radiga sudah hampir menuju ke angka 12 malam, tapi ruangan itu masih ramai. Hampir pukul 11, Habib datang dengan keadaan lusuh dan berantakan. Sudah hampir satu jam lamanya laki-laki itu berada di ruang tamu bersama seluruh keluarga Anita dan termasuk wanita itu juga. "Jadi sebenarnya, hal yang nak Habib mau itu apa? Bukannya hubungan kalian sudah selesai semenjak nak Habib lebih memilih Gina daripada anak papa." ujar Radiga bertanya, pria paruh baya itu sudah mulai bosan melihat pemuda yang sudah berhasil menyakiti hati sang putri dengan kejamnya. "Gak mungkin, lo balikkan lagi sama mbak Anita, gak mungkin banget!" protes Adit, laki-laki itu tampak sekali tidak suka dengan kehadiran Habib di rumahnya. Habib melihat ke arah Anita yang tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun, wanita itu sekarang tampak lebih cantik menurut Habib. Apakah itu hanya perasaan Habib saja karena ketika bersama dulu, Habib tidak benar-benar melihat Anita da
Anita sudah menormalkan kembali wajah terkejutnya, wanita itu mulai mengeluarkan beberapa kertas dan juga bolpoin. "Baik, untuk menyingkat waktu kita mulai saja untuk konsultasinya karena saya yakin pak Dito juga memiliki janji lain." ujar Anita."Iya, saya juga punya janji temu lagi setelah ini." ujar Dito menimpali."Saya sudah membaca hasil konsultasi kemarin secara garis besar untuk desain rumah yang kalian inginkan. Dan dari desain tersebut..." ujar Anita membuka tabnya lalu mencari sesuatu.Wanita itu menunjukkan layar tabnya kepada Dito dan Gina. "Ada beberapa tempat yang kalian minta secara khusus desainnya dan ini gambaran kasar dari hasil konsultasi kalian kemarin."Dito dan Gina mulai melihat secara teliti hasil gambaran kasar yang sedang tertampil di layar tab itu, Dito menggeser gambar dengan jarinya dengan lambat sembari mengamati desain yang tertampil. Begitu pula Gina, wanita itu sibuk mengamati sembari sedang mencari-cari sesuatu.
Pintu kamar Anita diketuk dari luar, wanita itu membuka pintunya. Adit yang berencana akan mengomeli wanita itu karena belum juga turun mendadak bungkam, Anita tampil sangat cantik dengan baju kebaya yang hampir menyentuh lutut berwarna hijau pastel yang tampak membalut pas di tubuh Anita dengan bawahan kain batik."Mbak cantik banget sih." komentar Adit spontan tersenyum kagum.Anita yang mendengar itu hanya tertawa kecil, Adit memang senang memujinya cantik jika ia tidak tampil seperti biasanya dan mungkin itu juga sudah menjadi kebiasaan sang adik. "Iya iya makasih ya. Yasudah ayo kita turun." ujarnya menggandeng tangan sang adik.Adit dan Anita bergandengan melangkah menuruni tangga, semua mata yang duduk di ruang tamu tampak kagum melihat Anita yang hari ini tampil sangat cantik.
Weekendini menjadiweekendtersibuk yang pernah dialami keluarga Anita, pasalnya mereka akan menerima tamu dibeberapa jam ke depan. Adit yang biasanya tak pernah heboh kini ikut heboh membantu persiapan untuk membersihkan rumah bersama Ivan dan Radiga, sementara Anita dan Talita berada di dapur untuk membuat makanan kecil untuk menyambut tamu mereka."Ma, ini barang di ruang tengah gak ada yang perlu dipindah kemana-mana kan, ma?" tanya Adit yang baru saja masuk ke dalam dapur."Enggak ada, Dit. Ruang tengahnya di kosongkan dikit, siapa tahu kita perlu menggelar karpet untuk tamu mbakmu." ujar Talita, sementara Adit langsung mengangguk dan menghilang kembali ke ruang tamu."Bolu pisangnya udah selesai, Ta?" tanya Talita melihat pekerjaan sang putri.Anita mengangguk. "Udah masuk ke dalam oven, ma. Ini mama jadi mau buat risol atau pastel sayur aja?" tanya wanita itu karena sejak tadi sang mama tampak santai belum me