"Assalamualaikum ma, pa. Anita pulang." langkah Anita memasuki rumah yang didominasi warna putih diikuti Habib di belakangnya, keduanya sampai saat waktu sudah hampir menjelang magrib."
Waalaikumsalam." Radiga muncul dengan setelan sudah siap akan pergi ke masjid.
Anita menyalami sang papa begitu pula dengan Habib. "Udah mau ke masjid, pa?" perempuan itu bertanya kepada laki-laki yang sangat disayanginya itu.
"Sebentar lagi, Ta. Nunggu Adit, masih pakaian, baru pulang dia."
Anita mengangguk. "Mama mana, pa?"
"Mamamu di kamar, Ta. Udah siap-siap nunggu azan untuk salat." Anita yang mendengar itu mengangguk.
"Ta, aku mau ikut papa sama Adit ke masjid ya. Kamu cepet naik mandi dan salat." ujar Habib membuat Anita tersenyum mengangguk. "Pa, aku ke atas." ujar perempuan itu pamit lalu melangkah menuju tangga lantai dua rumahnya.
"Gimana bib, klien kamu lancar semuakan?" tanya Radiga setelah Anita pergi.
"Alhamdulillah, pa lancar. Ini lagi nangani kasus perceraian dan semoga lancar sampai akhir."
"Amin." Radiga tersenyum melihat Habib, calon menantunya itu memang selalu membanggakan untuk urusan pekerjaan dan agamanya karena hal itulah ia menyetujui hubungan Habib dengan putrinya itu.
"PA!!! MBAK ANITA PINGSAN!"
Teriakan suara Adit dari lantai dua membuat Radiga maupun Habib terkejut sekaligus panik, keduanya segera bergegas menuju lantai dua. Habib yang terlampau panik hampir berlari di tangga berusaha sekuat mungkin akan tidak tergelincir ke bawah. Saat keduanya sampai, Talita sudah menangisi putrinya yang tidak sadarkan diri dan Adit yang sudah menggendong sang kakak.
"Ayo ke rumah sakit, Pa." Adit berujar setenang mungkin segera berjalan menuju tangga.
Habib yang masih belum tersadar dari keterkejutannya melihat Anita yang sudah terkulai dalam gendongan Adit ditarik Talita agar sadar untuk mengikuti Adit. Sementara Radiga bergegas turun kembali mengambil kunci mobil.
Toyota Fortuner TRD putih sudah terparkir, Talita segera membukakan pintu belakang untuk Adit agar leluasa memasukan Anita. Sementara dirinya berjalan memutar mobil untuk duduk di samping sang putri.
"Mas, duduk di depan aja sama papa." ujar Adit yang segera naik setelah Anita sudah bersandar dengan Talita.
Tanpa kata Habib membuka pintu kursi penumpang depan lalu mobil pun melaju meninggalkan rumah yang didominasi putih berlis abu-abu muda itu, perjalanan yang hanya membutuhkan waktu 15 menit terasa seperti berjam-jam bagi mereka. Saat sampai, Habib langsung bergegas memanggil perawat untuk mengambil brankar.
Anita segera dibawa menuju UGD, sebelum sampai Radiga menyuruh Adit untuk menelpon dokter keluarga mereka untuk menangani Anita segera yang memang kebetulan bekerja di RS ini.
"Udah ya, ma. Mbak pasti baik-baik aja." ujar Adit mencoba menenangkan Talita.
Radiga menjauh tampak akan menghubungi seseorang. "Van, Tata drop kamu yang handle pekerjaan adik kamu untuk 3 hari ke depan. Tentang semua kliennya seminggu ke depan mungkin sudah Anita selesaikan jadi kamu hanya perlu buat report."
Sambungan telepon terputus setelah Ivan -sekretarisnya sekaligus anaknya- menyetujui permintaannya. Dokter yang memeriksa Anita keluar, Radiga berjalan mendekat begitu juga Talita, Adit dan Habib yang langsung berdiri ingin tahu.
"Jadi gimana Anita, Adrean?" tanya Talita lebih cepat dari siapapun yang ada disitu.
"Anita baik-baik aja, buk. Mungkin karena terlalu kecapekan jadi Anita drop, gula darah Anita juga rendah mungkin beberapa hari ini Anita kekurangan waktu untuk mengurus diri dan istirahat. Tolong diperhatikan lagi Anita-nya buk." ujar Adrean menjelaskan.
Radiga yang mendengar itu mengembuskan napas lega setelah mendengar penuturan sang dokter. Masih aja bandel ya, Tata. batinnya tak habis pikir membayangkan putrinya itu yang gila bekerja sama seperti dirinya dulu.
☁☁☁
Hospital Medical Centre20.35 WIBAnita terbangun dari tidurnya, sudah hampir dua hari ia dirawat di rumah sakit dengan penjagaan ketat dari pekerjaan. Malam ini yang menjaganya di bangsal adalah Adit, adiknya itu masih berkutat dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja.
"Dit." panggil perempuan itu mencoba bangun untuk bersandar mengubah posisinya menjadi duduk.
"Eh, mau ngapain?" Adit segera berdiri menghampiri Anita dan membantu perempuan itu untuk duduk.
"Bosen di sini, mbak mau pulang aja. Bisakan?" tanya Anita menatap Habib yang masih setia berdiri di sampingnya.
Adit paling tidak bisa ditatap Anita seperti ini, salah satu kelemahannya yang ia punya adalah tidak bida menolak permintaan sang kakak yang sangat ia sayangi itu. "Nanti aku bicarain sama Adrean ya. Nanti aku usahain minta dia izini mbak pulang besok." putus Adit akhirnya, tidak ingin melihat rengekan Anita yang bisa saja keluar kalau tidak iyakan permintaan perempuan itu.
Anita tersenyum. "Makasih ya adikku yang ganteng." ujarnya sementara Adit hanya menganggukkan kepalanya saja tidak ingin melebarkan obrolan dengan Anita yang kemungkinan akan menambah keinginan perempuan itu.
Saat keduanya tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, pintu ruang rawat Anita terbuka membuat keduanya menoleh menghentikan kegiatan mereka sejenak. Anita yang melihat orang yang datang tersenyum semringah. "Mas!" sapanya semangat setelah orang itu mengucapkan salam.
Adit yang melihat ekspresi sang kakak mendengus sebal pasalnya sejak tadi yang menemani Anita itukan dirinya di sini dan ekspresi Anita biasa saja tapi setelah melihat Habib datang ekspresinya luar biasa berubah.
Adit yang merasakan dirinya akan teraniaya secara tidak langsung bangkit dari duduknya. "Mabk, aku mau ke luar cari angin sebentar. Sumpek di sini." ujar laki-laki itu berjalan keluar setelah mengatakan sindiran diakhir kalimatnya.
"Adit kenapa, Ta?" tanya Habib yang bingung melihat calon adik iparnya yang tiba-tiba ingin keluar.
"Adit? Katanya tadikan sumpek mau cari angin di luar." ujar Anita yang mengulangi perkataan sang adik.
"Sumpek? Ini tempatnya lebar loh, Ta." Habib berujar yang masih tak mengerti maksud dari ucapan Adit yang mendadak pergi.
Anita tertawa kecil mendengar kalimat yang barusan Habib ucapkan. Calonku ini bener-bener lurus atau emang gak tau ya? batin Anita bertanya-tanya dalam hati. "Maksudnya Adit ngeliat kita berdua itu sumpek, mas. Yakan dia sendiri, pacarnya lagi pergi ke Amerika untuk menghadiri acara asosiasi gitu selama 3 bulanan jadi ya gitu, Adit LDR-an dan sekarang agak sensitif kalau ngeliat orang yang pasangan."
Habib yang mendengarkan Anita menjelaskan panjang mengangguk mengerti. "Oh jadi ceritanya Adit cemburu sama kita?" Anita yang mendengar itu mengangguk lalu keduanya tertawa mengingat sikap Adit yang terlihat jelas irinya.
"Kamu udah makan, mas?" tanya Anita masih setia melihat tampang tunangannya itu.
"Udah, Ta. Kamu udah makan? Udah minum obat?" kini gantian Habib yang menyerang Anita dengan banyak pertanyaan.
"Baik, Ta. Salah satu kasus yang aku tangani juga sudah selesai, hasilnya juga alhamdulillah." cerita Habib yang membuat Anita mengangguk senang. "Alhamdulillah, mas."
"Ta, Adit jagain kamu dari siang kok mukanya dia lesu?" tanya Habib penasaran melihat wajah sang calon adik ipar tampak lesu.
"Enggak, mas. Tadi dia sih ceritanya punya klien tapi kliennya ini ribet plus banyak maunya. Kayak kita udah buat sesuatu nih udah selesai, eh tapi si klien mau minta perubahan terus perubahan yang udah selesai minta balik ke awal lagi. Ya jadinya ya gitu, wajahnya dia sejak balik kantor lesunya kayak baju belum disetrika berbulan-bulan, mas."
Mendengar cerita panjang Anita membuat Habib menggeleng-geleng tidak habis pikir, ternyata masih ada aja orang kayak gitu ya semoga Adit diberi kesabaran lebih sama Allah. batin Habib. Keduanya terhanyut mengobrol tentang kesibukan masing-masing hari ini dengan Habib yang bertemu kembali dengan klien cerainya dan Anita yang sibuk dijaga sang mama yang bahkan tidak diizinkan bergerak sama sekali.
Dinding dan benda mati lainnya adalah saksi bisu kebahagiaan keduanya yang bisa saja abadi atau juga berganti dalam hitungan jam, menit ataupun detik tidak akan ada yang pernah mengetahui hal itu. Kedua insan itu hanya bisa berusaha dan berdoa agar mereka tetap baik-baik saja, agar hubungan dan keluarga mereka tetap baik-baik saja hingga nanti.
☁☁☁
Setelah seminggu pulang dari rumah sakit, segala aktivitas Anita baik urusan pekerjaan atau urusan hal lain dibatasi oleh Radiga. Pria itu tidak menginginkan putrinya masuk rumah sakit untuk kedua kalinya maka dari itu selain membatasi kegiatan Anita, Radiga juga memutuskan Ivan akan bekerja menjadi sekretaris perempuan itu tanpa menerima penolakan ataupun protes sama sekali. Saat ini, Radiga sedang berbincang dengan Ivan di ruang tamu sembari menunggu Anita yang masih bersiap-siap di kamarnya. "Inget ya Van, pesen tadi." ujar Radiga akhirnya setelah melihat sang putri kesayangannya turun. Ivan mengangguk, wajah tegasnya tampak serius. Laki-laki itu adalah anak angkat Radiga yang sejak umur 5 tahun sudah diasuh oleh Radiga dan Talita, saat itu keduanya sudah memiliki Anita yang belum genap berumur setahun. Radiga membawa Ivan dari panti asuhan karena tidak ada yang berniat untuk mengadopsi Ivan karena anak itu memiliki sikap buruk dan su
Anita sedang celingukan mencari Ivan yang belum terlihat oleh pandangannya, padahal sang Abang mengatakan bahwa ia sudah duduk di dalam restoran yang lumayan ramai ini karena jam makan siang sedang berlangsung. Di mana sih mas Ivan? batin Anita bertanya-tanya. Tangan perempuan itu bergerak mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk menelpon Ivan, saat ingin melangkah menuju sudut restoran pandangan secara tidak sengaja menangkap keberadaan Habib yang sedang makan dengan seorang perempuan memiliki rambut panjang melebihi bahu beberapa senti. Saat ingin melangkah menghampiri Habib, tangan Anita ditarik secara halus oleh Ivan menuju meja di sudut restoran tepatnya dekat dengan jendela besar. "Ke mana sih, Tata? Udah ditungguin malah berdiri di depan situ kayak orang bingung." Ivan bertanya saat keduanya sudah duduk. Anita yang mendengar pernyataan itu tiba-tiba dihinggapi rasa kesal. "Ya, aku memang lagi bingung karena
Di dalam rumah keluarga Radiga memiliki perpustakaan yang cukup luas dengan koleksi buku dari berbagai macam bahasa. Terdapat novel, buku self improvement, psikologi, bisnis, ekonomi, politik, budaya dan juga agama. Selesai melakukan salat isya, Anita terkadang menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan jika kedua orang tuanya sibuk berduaan di kamar mereka dan juga ketika pikirannya sedang penat, Anita akan menghabiskan malamnya di dalam perpustakaan yang memiliki suasana yang tenang ini. Anita duduk di kursi santai yang menghadap balkon sembari membaca buku yang baru ia beli minggu kemarin bersama sang adik ketika berkunjung ke negara tetangga untuk melakukan kunjungan bisnis dan mengikuti acara seminar, keduanya memang sengaja menyempatkan diri untuk belanja buku. Anita yang tengah fokus membaca tiba-tiba terhenti setelah mendengar ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Perempuan itu membaca pesan yang baru saja m
125 Panggilan tak terjawab50 Pesan belum dibaca Itulah yang layar ponsel Anita tunjukkan setelah hampir seharian tidak disentuh karena sang pemilik sibuk dengan pekerjaannya yang tiba-tiba membeludak dan meminta perhatian penuh, ia juga tidak menyentuh ponselnya bukan karena sedang menghindari Habib melainkan waktu yang selalu tidak tepat saat akan menerima panggilan dari laki-laki itu. Kini jam dinding yang ada di ruangan Anita menunjukkan hampir pukul 8 malam dan dia belum juga selesai melakukan pekerjaannya yang harus selesai hari ini juga. Perempuan itu setelah menunaikan ibadah salat isya menyempatkan diri untuk memesankan makanan untuk seluruh timnya yang memang diminta untuk lembur. Anita adalah orang yang mempersiapkan segalanya sebelum waktu selesainya tiba tetapi kali ini berbeda, pagi tadi saat ia masih sarapan di rumah salah satu klien yang ada di luar kota menelpon untuk memberikan proyek kecil yaitu mendesain sebuah
Sudah hampir 5 menit mereka berdiri di depan rumah Anita tanpa suara, baik Habib maupun Anita hanya terdiam setelah pertanyaan yang diberikan perempuan itu dan akhirnya Anita hanya tersenyum mencoba untuk mengerti laki-laki yang berdiri di depannya ini. "Maaf mas, kamu gak lupakan hari ini adalah hari dimana aku ke tempat dia. Jadi, kita gak mungkin bahas itu sekarang." ujar perempuan itu tersenyum dan mencoba berbicara baik-baik agar Habib tidak salah paham. "Jadi kamu lebih mentingi dia daripada hubungan kita?" Anita yang mendengar itu terdiam sebentar lalu ia melihat wajah Habib, laki-laki yang sudah hampir 3 tahun lamanya menetap dihatinya, perempuan itu melangkah menuju mobilnya yang sudah berada tepat di depan pintu rumahnya. Anita masuk ke dalam mobil setelah itu dengan cepat mobil melaju meninggalkan rumah putih berlis abu-abu itu. Wajah Anita yang biasa tersenyum dan lembut kini tidak, ekspresinya datar dan tat
Baik Anita maupun Hega masih berdiri di atas lantaiboarding passmenunggu giliran mereka untuk pengecekan tiket. Setelah acara berpelukan yang cukup panjang dengan keluarganya ditambah dengan kekecewaannya karena Habib tidak datang untuk mengantarnya, Anita tersenyum kecil mengingat kembali ucapan Ivan bahwa ia tak perlu mengambil pusing hubungannya dengan Habib, karena akan bagaimanapun ia menjaga hubungannya itu dengan baik jika Allah tidak berkehendak, hubungan itu akan hancur juga walau sudah berjalan selama tiga tahun. Anita hanya bisa berdoa, jika Habib memang jodohnya,pasti Allah akan mempermudah jalan keluar untukmasalah mereka, jika tidakmungkin saja Habib adalah jodoh orang lain yang sedang Anita jaga untuk sang pemilik. Apapun itu Anita yakin, itulah yang terbaik untuk hubungannya. Pesawat yang ditumpangi Anita dan Hega akantake offsebentar lagi. Hega yang duduk di sebelah Anita tampak sibuk mengel
Hari ketiga di kota Medan, hal yang menjadi rutinitas perempuan itu ketika bepergian ke luar kota bersama Hega adalah wisata kuliner sebelum kembali pulangke Jakarta. Anita sudah dilobbymenunggu Hega turun,perempuan itu berbusana kasual dengan warna pastel yang tampak sangat pas untuknya.Senyum Anita mengembang setelah melihat Hega yang baru ke luar dari lift bersama beberapa orang. "Mas Hega." panggil Anita melambaikan tangan seperti anak kecil yang senang karena akan pergi ke taman bermain.Hega yang melihat senyuman Anita yang kian manis ikut tersenyum. "Lama nunggu, Ta?" tanya laki-laki itu tersenyum.Anita menggeleng. "Enggak kok, mas, Tata baru aja turun tapi udah pegel sih berdiri aja karena udah gak sabar." Perempuan itu tersenyum.Hega yang mendengar itu juga ikut tersenyum, baginya Anita adalah sosok adik yang sangat ia sayangi karena laki-laki itu adalah anak semata wayang. "Yaudah, ayo. Kayaknya kamu udah gak sa
Baik Anita maupun Habib saat ini sedang berada di Rown Butik, sibuk memilih model dan bahan untuk pakaian yang akan mereka gunakan di hari pernikahan dan hari ijab kobul. “Tata gak mau ribet ya, tante. Mau yang sederhana tapi tetep kelihatan istimewa.” ujar Anita tersenyum kepada sang pemilik butik yang sudah ia kenal.Ronalia tersenyum mendengar permintaan dari Anita. “Iya, Tata. Tante tau kok selera kamu, dari dulu gak pernah berubah ya, selalu sederhana dan istimewa jadi pilihan kamu.”Anita tersenyum mendengar ucapan Ronalia. Perbicangan mereka berlanjut sampai dengan pemilihan warna dan berakhir setelah pengukuran tubuh dilakukan selesai. Baik Anita dan Habib kini masih berdiri di depan butik."Mas gak bisa anter kamu, Ta. Asisten mas udah ngehubungi mas katanya klien udah di Firma nunggu." ujar Habib tampak sedikit menyesal dengan keadaan.Anita yang mendengar itu tersenyum mengerti. "Gak papa, mas. Tata ngerti kok, lag
Minggu menjadi hari liburnya aktifitas dan seluruh kegiatan yang diwajibkan atau lebih dikenal dengan hari leha-leha, Anita dan Talita sudah ada di dapur dibantu dengan Adit dan Mbak ART rumah mereka. Adit sedang membantu memotongi wortel membantu sang kakak, sementara sang ibu sedang mengecek rasa masakan yang dibumbui oleh sang putri barusan. "Mas Ivan udah bangun, Dit?" tanya sang ibu, pasalnya sang sulung tidur setelah sholat subuh hingga sekarang sudah hampir pukul setengah delapan. "Udah, ma. Udah gabung kok sama Mas GIbran sama papa di halaman belakang." ujar Adit masih fokus dengan kegiatan memotong dan mengupasnya. "Kamu sendiri kok gak ikutan?" tanya Anita melihat adiknya yang lebih memilih sibuk membantu mereka di dapur, tidak ikut bermain bulu tangkis di belakang rumah. "Enggak, mbak. Capek nanti aku mau jalan sama anak gadis orang." ujar Adit tersenyum sumringah. "Ada aja alasan kamu itu, bilang aja males." ujar Anita menyindir sang adik dengan senyuman menge
Tepat puku jam 11 malam Anita dan Gibran masuk ke dalam kamar setelah selesai membereskan beberapa barang di taman belakang membantu Ivan, Adit dan sepupu-sepupu perempua itu yang lain. Anita mendudukkan dirinya di sofa single tempat biasa ia membaca buku, sementara Gibran masih berdiri di depan meja rias perempuan itu."Mau mas dulu atau Tata yang bersihkan badan?" tanya Gibran melepas jam tangannya lalu meletakan di atas meja rias wanita itu."Mas dulu aja, Tata masih kepengen duduk. Pegel banget pinggangnya." ujar perempuan itu melepas sendal yang hanya setinggi 3 cm."Ya sudah kalau begitu, mas duluan yang mandi." ujar Gibran melangkah menuju kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti."Mas sebentar, handuknya belum." ujar perempuan itu buru-buru bangkit melangkah menuju lemari sudut yang berisi selimut, handuk, seprai dan barang-barang lainnya kecuali pakaian."Ini mas." ujar Anita mengangsurkan handuk putih kepada Gibran yang diterima dengan baik oleh laki-laki itu."Terima
Selesai menemani Ivan makan, Anita yang ingin kembali pergi ke kamarnya tidak jadi karena ia kedatangan tamu tidak diundang. Anita dan sang tamu duduk di ruang tamu rumahnya dan jangan lupa ada Adit yang duduk tak jauh dari mereka dengan tatapan tajam dan mengawasi."Ada apa, bang?" tanya Anita. Tamunya adalah Habib, laki-laki itu tiba-tiba datang setelah diberitahukan oleh salah satu sepupu laki-laki Anita yang sedang duduk di depan teras rumahnya."Gak ada apa-apa, Ta." ujar Habib.Anita yang mendengar itu sedikit terdiam, jika bertemu tidak memiliki kepentingan atau suatu hal yang akan dibahas kenapa harus bertemu? apalagi ini Habib Darmawangsa, laki-laki memiliki sejuta jadwal penting yang harus segera dikerjakan. "Berarti gak ada yang mau diomongin, bang?" tanya wanita itu melihat Habib tidak minat.Habib terdiam mendengar itu, laki-laki itu tampak bimbang dalam diamnya. Ia bingung ingin mengutarakannya bagaimana perasaannya tapi jika ia tidak berbicara jujur maka ia akan kehilan
Habib yang melihat benda asing di atas meja ruang keluarganya, berjalan mendekati benda itu dan ternyata itu adalah sebuah undangan. Anita & Gibran Nama yang menghiasi depan undangan itu, undangan putih biru itu memiliki desain yang cantik dan simpel. Anita sekali desain ini, batin Habib melihat undangan itu karena teringat sosok Anita.Laki-laki itu menghembuskan napasnya lalu kembali meletakkan undangan itu di atas meja, ada beban berat yang baru saja menambah di pundaknya yaitu beban penyesalan, rasa penyesalan yang masih setia menghantuinya sampai saat ini.Bisakah ia mulai belajar ikhlas? Mengikhlaskan semuanya tentang Anita dan dirinya dulu? Memang benar apa yang dikatakan Adit tempo hari bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak tahu terima kasih karena telah menyakiti Anita padahal perempuan itu yang membantunya keluar dari kelamnya dunianya dulu setelah ditinggal pergi oleh Gina begitu saja. Ia harus belajar untuk mengikhlaskan Anita yang bukan lagi miliknya atas segala
Seluruh keluarga Anita sudah berkumpul di ruang tamu dengan tambahan Gibran karena laki-laki itu sudah berada di rumah Anita sebelum jam makan malam dimulai. "Kemarin surat dinas dari perusahaan sudah keluar, pa." ujar Gibran membuka percakapan melihat ke arah Radiga dengan wajah serius. "Dinasnya dapat di luar kota, kalau sesuai dengan jadwal yang tertera harusnya sebulan lagi baru berangkat tapi karena ada beberapa problem di cabang yang harus Gibran selesaikan segera, dinasnya dipercepat seminggu lagi dan Gibran harus berangkat." ujar laki-laki itu. Anita dan sekeluarga tampak diam setelah mendengar penjelasan Gibran. "Jadi gimana, nak? Bukannya pernikahan kalian 2 minggu lagi akan dilaksanakan?" tanya Talita yang menanggapi lebih dulu dari pada yang lain, ia melihat calon menantunya yang seperti terperangkap dalam kebimbangan. Gibran menghela napas pelan. "Gibran mau tanya pendapat mama sama papa, bagusnya gimana? Apakah pernikahannya kami diundu
Jam di ruang tamu kediaman Radiga sudah hampir menuju ke angka 12 malam, tapi ruangan itu masih ramai. Hampir pukul 11, Habib datang dengan keadaan lusuh dan berantakan. Sudah hampir satu jam lamanya laki-laki itu berada di ruang tamu bersama seluruh keluarga Anita dan termasuk wanita itu juga. "Jadi sebenarnya, hal yang nak Habib mau itu apa? Bukannya hubungan kalian sudah selesai semenjak nak Habib lebih memilih Gina daripada anak papa." ujar Radiga bertanya, pria paruh baya itu sudah mulai bosan melihat pemuda yang sudah berhasil menyakiti hati sang putri dengan kejamnya. "Gak mungkin, lo balikkan lagi sama mbak Anita, gak mungkin banget!" protes Adit, laki-laki itu tampak sekali tidak suka dengan kehadiran Habib di rumahnya. Habib melihat ke arah Anita yang tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun, wanita itu sekarang tampak lebih cantik menurut Habib. Apakah itu hanya perasaan Habib saja karena ketika bersama dulu, Habib tidak benar-benar melihat Anita da
Anita sudah menormalkan kembali wajah terkejutnya, wanita itu mulai mengeluarkan beberapa kertas dan juga bolpoin. "Baik, untuk menyingkat waktu kita mulai saja untuk konsultasinya karena saya yakin pak Dito juga memiliki janji lain." ujar Anita."Iya, saya juga punya janji temu lagi setelah ini." ujar Dito menimpali."Saya sudah membaca hasil konsultasi kemarin secara garis besar untuk desain rumah yang kalian inginkan. Dan dari desain tersebut..." ujar Anita membuka tabnya lalu mencari sesuatu.Wanita itu menunjukkan layar tabnya kepada Dito dan Gina. "Ada beberapa tempat yang kalian minta secara khusus desainnya dan ini gambaran kasar dari hasil konsultasi kalian kemarin."Dito dan Gina mulai melihat secara teliti hasil gambaran kasar yang sedang tertampil di layar tab itu, Dito menggeser gambar dengan jarinya dengan lambat sembari mengamati desain yang tertampil. Begitu pula Gina, wanita itu sibuk mengamati sembari sedang mencari-cari sesuatu.
Pintu kamar Anita diketuk dari luar, wanita itu membuka pintunya. Adit yang berencana akan mengomeli wanita itu karena belum juga turun mendadak bungkam, Anita tampil sangat cantik dengan baju kebaya yang hampir menyentuh lutut berwarna hijau pastel yang tampak membalut pas di tubuh Anita dengan bawahan kain batik."Mbak cantik banget sih." komentar Adit spontan tersenyum kagum.Anita yang mendengar itu hanya tertawa kecil, Adit memang senang memujinya cantik jika ia tidak tampil seperti biasanya dan mungkin itu juga sudah menjadi kebiasaan sang adik. "Iya iya makasih ya. Yasudah ayo kita turun." ujarnya menggandeng tangan sang adik.Adit dan Anita bergandengan melangkah menuruni tangga, semua mata yang duduk di ruang tamu tampak kagum melihat Anita yang hari ini tampil sangat cantik.
Weekendini menjadiweekendtersibuk yang pernah dialami keluarga Anita, pasalnya mereka akan menerima tamu dibeberapa jam ke depan. Adit yang biasanya tak pernah heboh kini ikut heboh membantu persiapan untuk membersihkan rumah bersama Ivan dan Radiga, sementara Anita dan Talita berada di dapur untuk membuat makanan kecil untuk menyambut tamu mereka."Ma, ini barang di ruang tengah gak ada yang perlu dipindah kemana-mana kan, ma?" tanya Adit yang baru saja masuk ke dalam dapur."Enggak ada, Dit. Ruang tengahnya di kosongkan dikit, siapa tahu kita perlu menggelar karpet untuk tamu mbakmu." ujar Talita, sementara Adit langsung mengangguk dan menghilang kembali ke ruang tamu."Bolu pisangnya udah selesai, Ta?" tanya Talita melihat pekerjaan sang putri.Anita mengangguk. "Udah masuk ke dalam oven, ma. Ini mama jadi mau buat risol atau pastel sayur aja?" tanya wanita itu karena sejak tadi sang mama tampak santai belum me