"Aku belum bisa pulang sekarang, Sayang. Aku akan meminta dokter datang ke rumah untuk memeriksa kondisi Kai, bagaimana?"
Itu jawaban Mahendra kala Hana mengabari via telepon kalau putra mereka muntah di sekolah. Kini, kondisinya sedikit parah karena bukan hanya muntah tapi sudah disertai diare dua kali dalam dua jam."Aku rencananya akan membawanya ke rumah sakit aja, Mas. Aku khawatir Kai dehidrasi karena dia pun tidak mau makan dan minum."Terdengar helaan napas berat di seberang sana. Sang papa sedang mengadakan rapat dengan klien yang benar-benar tidak bisa ditinggal atau diwakilkan oleh Aldo, sang general manager."Oke kalau itu yang terbaik. Aku minta Pak Dadang ngantar kalian. Ingat, jangan pergi pake taksi online. Segera Pak Dadang meluncur. Paham, Sayang?"***Kai segera dibawa ke kamar perawatan usai diperiksa dokter anak langganannya. Arsenio yang dicari Hana untuk menangani putranya. Wanita itu tahu si dokter berkacaUntaian kata itu membuat mata Hana memanas. Entah mengapa, kalimat penyemangat yang keluar dari bibir Arsenio selalu menyentuh di hati paling dalam. Dia yang tahu bagaimana menembus palung hati tersebut. Andaikan dulu Hana tak bertemu dengan Mahendra lagi, apakah dia akan memberi sebagian hatinya untuk sang dokter? Ah, kenapa di benaknya ada pemikiran seperti itu?Hana menggeleng, membuang jauh angan-angan yang dulu sudah dia tepiskan. Dia sendiri yang telah memilih Mahendra dan menolak kala Arsenio menyatakan cinta."Makasih, Kak."Usai mendengar kata itu, Arsenio mendecak keras lalu berkata."Sudah berapa kali kamu bilang makasih, Han? Kenapa jadi sungkan gitu ke aku? Oh, sekarang kamu sudah anggap aku orang asing?""Bukan, bukan gitu, Kak.""Lalu?""Aku ...."Ucapan itu terhenti ketika pintu kamar perawatan terbuka. Sosok Mahendra dengan langkah tergesa masuk dan memasang wajah tak suka tatkala melihat kebera
"Apa, Pa?"Melengkungkan bibir, Mahendra membenarkan posisi duduk yang bersandar menjadi lebih tegak. Tangannya mengelus kepala Kai dengan lembut. Ditatap sorot mata yang mirip sekali dengannya, bibir Kai persis dengan Hana. Wajah yang sempurna di matanya."Papa akan bawa kamu ke theme park atau waterpark. Terserah Kai pilih mau di mana? Disneyland Hongkong? Genting Malaysia? Atau di mana, boleh pilih. Asal ...."Dia sengaja berhenti berucap demi membuat Kai maupun Hana penasaran. Lantas dia tersenyum lagi sebelum melanjutkannya."Asal apa, Pa?" Kai tampak tak bisa menyimpan mimik greget-nya. Tadi Hana bisa menangkap wajah kegirangan di wajah sana. Lantaran memang sudah hampir dua bulan, si papa memang sangat sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga lupa meluangkan waktunya untuk keluarga kecil tersebut."Asal Jagoan Papa janji mau makan dan turuti semua anjuran Mama dan dokter. Semua itu demi kesembuhan Kaindra. Nah, jika Jagoan
Percuma rasanya memberi penjelasan dan pengertian kepada Kai, anak itu kembali merajuk. Dia tak mau makan dan minum apapun saat Hana menawarkan."Aku ingin Papa, Ma. Kenapa akhir-akhir ini Papa sangat sibuk?"Di situ, ada Arsenio yang memang kebetulan sedang revisit pasien di kamar tersebut. Dia bisa menangkap kekecewaan di wajah pasien yang sudah mulai membaik kesehatannya. Namun, tidak dengan hati yang ada di rongga dada tersebut. Organ itu seolah patah."Dengarkan Mama. Papa melakukan ini karena memang tugas papa bekerja mencari nafkah. Demi mencari uang untuk sekolah Kai. Untuk biaya kehidupan kita, biaya jalan-jalan kita ke theme park atau waterpark nanti. Nah, jika urusan papa selesai dan Kai sudah sembuh, kita bisa berlibur bersama lagi."Kai mengangguk meski hatinya menolak untuk memaklumi pekerjaan si papa. Dia hampir kehabisan tolaransi untuk berada di posisi yang harus terus mengerti. Dia hanya ingin keluarga utuh yang bahagia. Di mana
Tidak ingin menerka yang akan membuatnya penasaran, jari itu menari lincah di layar dan mendapatkan deretan angka yang berarti identitas si pengirim belum tersimpan di kontak teleponnya. Nomor itu ada di barisan pertama di aplikasi hijau tersebut. Tidak ada gambar di sampingnya juga. Ya, benar-benar asing. Siapa?Hanya ada sebuah foto tanpa ada pesan tulisan apa pun yang tertangkap di layar. Sebuah gambar yang menunjukkan sepasang insan. Laki-laki dan perempuan sedang duduk di sebuah rumah makan, bisa jadi restoran atau kafe. Hana mengambil kesimpulan itu lantaran terlihat di sekitar ada meja dan kursi yang banyak. Di atas meja juga ada piring dan gelas. Itu tak begitu penting, tetapi ada sesuatu yang janggal di gambar tersebut. Sosok pria yang duduk menyamping itu mirip suaminya. Jambang tipis, setengah hidung dan mata kanan itu milik papa Kai. Jari Hana menekan memperbesar foto itu untuk memastikan terkaannya. Yes, itu memang Mahendra.Jari Hana memperk
"Dia tetap melakukan perjalanan ke Bali. Pertemuan dengan General Manager Hotel di sana untuk melanjutkan kontrak kerjasama. Lumayan proyek kali ini, Han. Cuma aku cancel ikut bersama karena tidak bisa meninggalkan mama.""Oh, kalau gitu. Ayo, kita lihat kondisi Tante dulu."Hana menahan pertanyaan selanjutnya karena kesehatan mamanya lebih penting saat itu. Dia pun mengikuti langkah Aldo dari belakang. Dia dan orangtua Aldo tidak begitu dekat, hanya baru beberapa kali bertemu. Yang Hana tahu, mamanya sudah menderita penyakit diabetes selama lima tahun lalu.***Sore hari setelah selesai urusannya dengan dokter yang menangani mamanya, Aldo datang ke ruang perawatan Kai. Dengan menenteng mainan Lego, pria berkeriting itu melempar senyuman kepada Kai yang juga menampilkan gigi seputih kapas kepadanya."Gimana kabar Jagoan Om?""Baik, Om."Tangan mungil itu sudah tak sabar meraih kotak persegi yang disodorkan. Entah sudah berapa banyak kotak koleksi mai
"Btw, kamu dapat foto itu dari siapa? Hendra yang mengirimkan ke kamu? Eh, tapi dia nggak mungkin lakuin itu."Pertanyaan yang dijawab sendiri membuat Aldo menggaruk kepala berhias rambut keriting kemudian dia tertawa garing. Tak lama, pria itu membenarkan posisi duduknya dan mengulurkan tangan."Coba aku lihat lagi fotonya, Han."Dengan ragu bercampur rasa penasaran lebih mendominasi, Hana menyerahkan ponsel ke tangan yang terulur. Jari kokoh itu mengusap hingga layar menyala. Mengecek foto dari aplikasi, Aldo memicingkan mata mempertajam penglihatannya. Iya, itu Mahendra dan Nadhira. Tidak ada efek editan karena di sana juga tidak ada adegan yang janggal. Mereka duduk di meja persegi dan sepertinya sedang menikmati makan siang."Tidak ada yang salah dengan ini, kan, Han?" Mata Aldo berpindah memindai wajah Hana yang sedari tadi menatapnya terlebih dahulu."Hubungan mereka murni hanya antar supplier dan klien. Aku bisa jamin itu. Lantara
"Sakit pada anak jangan dianggap sepele. Kamu aja yang tak tahu bagaimana rasanya muntah, mual lalu yang di bawah juga ikutan keluar. Kamu kurang pengetahuan ilmu kesehatan kayaknya. Kebanyakan lihatnya online shop. Muntaber itu sungguh berbahaya dan harus segera dibawa ke rumah sakit jika anaknya sudah lemas. Makanya kamu harus cepat-cepat punya anak, jadi kamu bisa tahu bagaimana perasaan khawatir itu jika anakmu sakit."Jawaban jitu, tetapi bukan Hana yang berucap. Mommy, tentu saja. Hana mana berani menyahuti dengan kalimat lantang yang langsung membuat wajah itu bertekuk sedemikian rupa. Langkahnya diseret keluar rumah, entah mau ke mana, Mommy tak bertanya. Terserah saja, hari pekan memang dia tak perlu ke kantor. Radit yang ada bersama Clarissa sempat berpamitan sebelum keluar lalu menyusul istrinya."Jangan diambil hati ucapan adik iparmu."Ucapan Mommy mendapatkan anggukan dan senyuman tipis dari Hana. Baru kali ini, Hana tinggal bersama saudara i
"Apakah mual muntahnya parah?"Mahendra memeluk dari belakang, melingkari perut Hana. Entah mengapa hari ini, Mahendra menyelesaikan aktifitas mandi hanya dalam waktu sepuluh menit. Biasanya pria bertubuh 175 centi itu akan menghabiskan setengah jam berendam di bath up untuk membuang rasa penat. Mahendra mencium bahu lalu hidungnya beralih ke leher Hana yang berdiri di depan meja hias. Entah apa yang dilakukan wanitanya di depan cermin, sang suami tak peduli. Dia hanya ingin bermanja sore itu."Kai? Dia better sekarang. Maka dari itu, dia diperbolehkan pulang sama Kak Arsen."Terdengar desahan pelan setelah mendengar nama itu, Mahendra membalikkan tubuh Hana. Mesti dia sudah mendapatkan wanita itu sepenuhnya, masih ada rasa tak suka jika Hana terus berhubungan dengan dokter tersebut."Mas bukan bertanya tentang Kai. Kalau soal itu, Mas sudah tahu kalau Kai pasti cepat sembuh. Mas tanya apa bayi ini rewel hingga membuat mamanya mengalami
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."